Hari pertama kerja resmi Aurelie dimulai dengan tiga hal: nervous, flat shoes, dan tatapan tajam dari semua sisi.
Sejak memasuki lantai tujuh belas, ruangan R&D Neuverse terasa seperti panggung sirkus, diam-diam semua sedang menilai siapa yang paling bersinar dan siapa yang harus menjadi bahan bully.
Dan di tengah pertunjukan itu, Aurelie berdiri sendirian di depan pintu, diam, tapi mencolok.
Meja kerjanya di pojok terlihat bersih dan minimalis, berbanding terbalik dengan meja Rika, staf R&D senior, yang penuh tumpukan berkas dan tisu bekas.
Rika melirik sinis begitu Aurelie duduk. “Pojok favorit aku tuh. Tapi ya, kalau ‘anak emas’ CEO mau duduk di sana, siapa yang berani larang, ya, kan?”
Aurelie menoleh dengan sopan, selain jadi pusat perhatian sekarang dia bahan bullyan. “Mbak bisa pakai lagi kok nanti. Saya cuma numpang magang.”
Rika tersenyum tipis. “Oh, enggak kok. Cuma nyeletuk.”
Dan Aurelie tahu, celetukan itu berisi satu kata yaitu benci.
Pukul 08.58, seluruh tim R&D sudah berkumpul di ruang rapat besar berdinding kaca.
Mira duduk di kursi utama. Staf-staf teknis, analis data dan dua intern lainnya duduk berjejer. Di ujung meja, satu kursi kosong mencolok.
“CEO-nya belum datang, Bu?” bisik Aurelie ke Mira.
“Biasanya jam segini udah masuk,” gumam Mira pelan. “Mungkin telat sedikit.”
Aurelie mengangguk dan membuka laptop. Detik itu juga, pintu terbuka—tapi bukan Shaquelle.
Hanya sekretarisnya-Celica yang masuk dengan ekspresi canggung.
“Pak Shaquelle masih di lift. Tadi sempat balik ke basement, katanya… ada… yang tertinggal di mobil.”
Mira menghela napas. “Baik, kita tunggu lima menit.”
Waktu berlalu. Lima menit jadi tujuh. Lalu sepuluh.
Aurelie menatap jam tangannya. Lalu menatap Mira. Lalu menatap kursi kosong itu lagi.
Dan tiba-tiba, tanpa berpikir panjang, ia berkata cukup lantang, “Maaf, Bu Mira, tapi jika CEO-nya tidak segera datang, mungkin lebih baik kita mulai saja rapatnya? Supaya lebih efisien.”
Sebenarnya dia keceplosan karena kesal menunggu.
Ruangan hening.
Aurelie menyesali apa yang terlontar barusan.
Satu detik…
dua detik…
Pintu terbuka.
Dan di ambang pintu berdiri Shaquelle, dengan kemeja setengah masuk celana, rambut sedikit berantakan dan senyum penuh dosa di wajahnya.
“Oh? Rapat dimulai tanpaku?” katanya pelan. “Apa aku digulingkan dari kursi pimpinan?”
Beberapa staf cekikikan menahan tawa.
Mira berdiri. “Pak Shaquelle, kami hanya—”
“Tenang,” potongnya. “Saya suka perempuan yang inisiatif.”
Tatapannya mengarah langsung ke Aurelie. Semua orang di ruangan itu ikut melirik, beberapa dengan tatapan penasaran, beberapa lainnya dengan ekspresi seperti ingin menumpahkan kopi panas ke wajahnya.
Aurelie menelan ludah. Tapi ia tetap menatap Shaquelle lurus. “Saya hanya enggak mau waktu orang lain terbuang karena ketidakhadiran satu orang.”
BOOM.
Tegas. Teguran langsung di depan umum. Dari anak magang. Ke CEO. Di hari pertama.
Rika mendadak tersedak air minumnya. Reza, analis teknis, hampir menjatuhkan mouse. Celica di luar ruangan tampak menekan bibir, menahan tawa setelah menutup pintu.
Shaquelle mengangkat alis. Lalu tertawa kecil, duduk di kursi kosong.
“Luar biasa. Magang rasa manajer.” Ia menatap Mira. “Aku setuju. Lain kali, kalau aku telat, Aurelie aja yang pimpin rapat.”
“Noted,” jawab Mira cepat, tapi matanya menahan geli.
Shaquelle akhirnya bersandar di kursinya dengan santai. Kakinya disilangkan, satu tangan menopang dagu, dan senyumnya tak pernah surut sejak teguran Aurelie tadi.
Aurelie mencatat dengan cepat, fokus pada poin timeline yang Mira sampaikan, berusaha keras tidak mengalihkan perhatian ke pria di ujung meja yang dari tadi sangat tidak membantu kestabilan emosi.
“Untuk modul awal, kita akan mulai dari pengembangan sistem input data pasien,” kata Mira.
Aurelie siap menulis nama Reza sebagai PIC.
Tapi lalu…
“Aurelie.”
Pensil stylus-nya berhenti di tengah garis.
Apa?
Ia menoleh pelan ke arah Shaquelle, yang sedang menatapnya seperti…seperti dia bukan intern, tapi objek eksperimen yang baru ditemukan.
“Otaknya dingin, terus katanya codingnya rapi, dan yang penting… hatinya masih jadi misteri.”
Astaga.
Aurelie menutup dokumen proyek. “Serius, Pak? Ini rapat, bukan audisi pembaca puisi absurd.” Batinnya bicara tapi matanya menyampaikan itu dengan tatapan tajam.
Tapi tentu saja, pria itu malah tersenyum.
Beberapa menit berlalu. Mira masuk ke pembahasan desain aplikasi.
“UI-nya udah cukup clean, tinggal ditambahin sedikit elemen ramah pengguna,” katanya.
Aurelie baru ingin memberi saran ringan soal penggunaan warna tenang untuk pengguna usia lanjut.
Tapi…
“Setuju. Aplikasi ini harus user-friendly. Kayak… tatapan Aurelie pas tadi marah, bikin jantung deg-degan tapi tetap pengen menatap terus.”
Oh. My. God.
Aurelie menghela napas pelan. Di kepala:
Boleh enggak aku keluar lima menit? Bukan buat pipis tapi buat teriak.
Ia mencatat lagi. Kali ini sambil menahan diri untuk tidak menggambar wajah Shaquelle dan menulisi jidatnya dengan “PERUSAK FOKUS.”
Ketika Mira mulai bicara soal sistem notifikasi otomatis, Aurelie sudah siap kembali terlibat. Tapi lalu…
“Pastikan sistem notifikasinya responsif. Kayak Aurelie waktu aku telat… langsung nembak di depan umum. Cepat, tajam, dan… jujur.”
ASTAGA LANGIT.
Kali ini, dia benar-benar menoleh dan menatap pria itu lurus.
“Bapak tahu ‘kan kalau ini ruang rapat, bukan panggung stand-up comedy?”
Kepalanya panas. Tapi suaranya tetap datar. Dingin. Profesional.
“Tenang, Rel. Kamu enggak bisa nonjok bos. Itu pidana. Tetap diam. Tetap bernapas. Dia cuma… makhluk absurd level dewa.” Aurelie menenangkan dirinya sendiri di dalam hati.
Tapi yang paling membuatnya kesal adalah—di sela kekesalan dan malu, dia sempat nyaris ketawa.
Sempat. Nyaris. Ketawa.
Dan itu membuatnya jauh lebih marah pada dirinya sendiri.
Setiap kalimat Shaquelle berikutnya, menambah intensitas rasa tak nyaman dari beberapa orang di ruangan.
Terutama Rika, yang sudah menggigit ujung pulpen tiga kali karena menahan diri untuk tidak bersarkasme kepada Aurelie.
Setelah rapat, saat hendak pergi ke kantin untuk makan siang, Aurelie dicegat oleh intern lain.
“Gila, lo nekat banget,” bisik Nara. “Lo sadar tadi pagi lo negur CEO lo sendiri?”
Aurelie menoleh menatapnya. “Astaga, gosip cepat beredar … padahal baru beberapa menit yang lalu aku keluar dari ruangan, gosip udah sampe saja ke telinga intern lain,” ujarnya di dalam hati.
“Dia telat,” jawab Aurelie singkat.
“Ya, tapi lo tuh… magang. Kita tuh… figuran di kantor ini.”
Aurelie mengangkat bahu. “Figuran tetap boleh buka mulut kok.”
Meski ekspresinya tetap tenang, Aurelie tahu bahwa dunia kerjanya baru saja berubah warna.
Karena sejak pagi itu, dia bukan sekadar ‘intern biasa’ lagi.
Dia adalah anak magang yang menegur CEO di depan semua orang, yang bikin CEO malah senyum-senyum dan yang sekarang jadi target perbincangan di tiap coffee break.
Sialnya seperti biasa, Shaquelle tidak membuat semuanya lebih mudah.
Karena saat Aurelie membuka laptopnya usai jam istirahat selesai, sebuah notifikasi muncul.
Email baru. Subject: “Tentang Rapat Tadi Pagi”
Dari: shaquelle.folke@neuverse.tech
Isi:
Next time, kalau aku telat lagi, tolong kasih tahu aku jam rapatnya dengan lebih manis. Mungkin pakai emot :) atau (^3^)
PS: Kamu cakep kalau lagi marah. Just FYI.
Aurelie menutup laptop.
Dan diam-diam, dia ingin meninju layar itu.
Atau… entah kenapa… ingin tertawa juga.
***
Suara sendok bertemu piring keramik terdengar lembut di ruang makan yang bersih dan hangat. Dindingnya putih dengan lukisan kecil peninggalan almarhum papi, dan aroma sayur sop buatan mami Nadira memenuhi udara.
Aurelie duduk di seberang sang ibu, menyendok nasi tanpa semangat.
“Mami enggak suka kalau kamu makan sambil lemas gitu. Kayak ayam habis diajak lari maraton,” komentar mami Nadira, mengaduk sup dengan tenang.
“Badanku memang kayak ayam lemas sekarang, Mi,” balas Aurelie datar. “Hari pertama magang, tapi rasanya kayak abis dimaki dosen satu angkatan.”
Nadira terkekeh kecil. “Sampai segitunya? Gimana kantornya?”
“Dingin. Canggih. Kaku. Dan orang-orangnya… ya, gitu deh. Lihat aku kayak aku tuh selebgram yang salah masuk tempat.”
“Ada yang rese?” tanya Nadira cepat.
Aurelie menggeleng. “Enggak ada yang frontal. Tapi tatapannya tuh… tahu ‘kan, Mi? Tatapan ‘oh jadi kamu punya orang dalam, ya?’ gitu.”
Nadira menyendok kuah sop ke mangkuk anaknya. “Enggak usah peduliin mereka. Kamu masuk karena layak. Kamu pintar, kamu bisa coding, kamu tahu dunia medis, kata kamu kemarin kamu ditempatkan di sebuah proyek yang ada hubungannya dengan medis ‘kan?”
Aurelie mengangguk pelan.
“Nah, justru mereka yang harusnya belajar dari kamu.”
Aurelie mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Lalu, dengan nada berubah sedikit sarkastik, ia berkata, “Mereka juga kayaknya makin kesal karena CEO-nya tiba-tiba jadi… terlalu aktif berinteraksi.”
Nadira berhenti makan. “CEO-nya?”
Aurelie mengangguk pelan. “Yang ganteng itu, iya. Shaquelle. Dia… absurd, Mi. Sok kenal. Lempar lelucon aneh waktu rapat. Bikin orang fokus ke aku. Padahal aku cuma ingin magang.”
Nadira menyipitkan mata. Lalu tersenyum… terlalu lebar. “Oh CEO-nya ganteng ya?” godanya sambil menyendok sayur ke mulut.
Aurelie langsung mengerutkan dahi. “Mi, please.”
“Eh, apa? Mami ‘kan cuma mengulang ucapan kamu. Cuma mengonfirmasi fakta visual.”
Aurelie meletakkan sendoknya. “Kata orang, kalau Mami udah mulai ngegodain, artinya mami mulai mencium sesuatu.”
Nadira menaikkan alis. “Ciuman apa dulu nih?”
“Mi!” pekik Aurelie dengan pipi memerah.
Mami Nadira tertawa senang. “Santai aja. Mami tahu kamu enggak gampang tertarik. Tapi Mami juga tahu… kamu kalau udah diganggu cowok absurd, bisa jadi malah nyambung.”
Aurelie berdiri, membawa piring ke wastafel.
“Ya udah, Aurel cuci piring dulu. Mau lanjut kerja bentar.”
“Tunggu, kamu belum jawab satu hal,” ujar Nadira dari belakang. “Kalau CEO-nya ngajak kamu dinner— purely profesional—kamu mau enggak?”
“Mi… serius?” tanya Aurelie sambil menoleh.
“Mami cuma mau tahu kamu masih normal atau udah mulai goyah,” jawab sang ibu sambil mengangkat bahu.
Aurelie hanya menggeleng sambil tersenyum kecil, lalu membawa ponsel ke kamar.
Di atas tempat tidur, setelah selesai mencuci muka dan ganti baju, Aurelie duduk bersandar pada headboard yang dilapisi bantal.
Kamarnya rapi, minimalis, didominasi warna pink dan biru muda. Ponsel tergeletak di samping laptop.
Ia membuka aplikasi email. Notifikasi dari Shaquelle masih ada. Subjeknya masih “Tentang Rapat Tadi Pagi.”
Ia belum berani membacanya lagi.
Dengan malas, ia berpindah ke I*******m, iseng membuka akunnya sendiri.
Feed-nya penuh dengan foto buku, kopi, dan pemandangan. Dan satu foto dari beberapa minggu lalu—saat liburan ke pantai dengan sepupu. Foto itu cukup mencolok: dirinya duduk di atas papan paddle board, dengan bikini kotak-kotak warna pink, senyum tipis, dan rambut terurai.
Saat itu, dia tak terlalu peduli. Followers-nya pun kebanyakan teman-teman kampus.
Tapi sekarang…
Dia melihat bagian bawah foto itu.
1.258 likes
Dan salah satunya, paling baru, paling nyeleneh…
shaquelle.folke liked your photo
Aurelie menatap layar itu lama.
Lalu meletakkan ponsel di wajahnya, menutup seluruh wajah dengan satu kata dalam hati:
“Ya Tuhan… dia stalking i* aku.”
Dan anehnya, meskipun logikanya ingin menjerit dan meneriakkan “gila lo, Pak!”, hatinya malah—
… tersenyum.
Sedikit.
Tapi cukup untuk bikin dia marah lagi ke dirinya sendiri.