Share

Hari Pertama

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-06-02 06:31:26

Hari pertama kerja resmi Aurelie dimulai dengan tiga hal: nervous, flat shoes, dan tatapan tajam dari semua sisi.

Sejak memasuki lantai tujuh belas, ruangan R&D Neuverse terasa seperti panggung sirkus, diam-diam semua sedang menilai siapa yang paling bersinar dan siapa yang harus menjadi bahan bully.

Dan di tengah pertunjukan itu, Aurelie berdiri sendirian di depan pintu, diam, tapi mencolok.

Meja kerjanya di pojok terlihat bersih dan minimalis, berbanding terbalik dengan meja Rika, staf R&D senior, yang penuh tumpukan berkas dan tisu bekas.

Rika melirik sinis begitu Aurelie duduk. “Pojok favorit aku tuh. Tapi ya, kalau ‘anak emas’ CEO mau duduk di sana, siapa yang berani larang, ya, kan?”

Aurelie menoleh dengan sopan, selain jadi pusat perhatian sekarang dia bahan bullyan. “Mbak bisa pakai lagi kok nanti. Saya cuma numpang magang.”

Rika tersenyum tipis. “Oh, enggak kok. Cuma nyeletuk.”

Dan Aurelie tahu, celetukan itu berisi satu kata yaitu benci.

Pukul 08.58, seluruh tim R&D sudah berkumpul di ruang rapat besar berdinding kaca.

Mira duduk di kursi utama. Staf-staf teknis, analis data dan dua intern lainnya duduk berjejer. Di ujung meja, satu kursi kosong mencolok.

“CEO-nya belum datang, Bu?” bisik Aurelie ke Mira.

“Biasanya jam segini udah masuk,” gumam Mira pelan. “Mungkin telat sedikit.”

Aurelie mengangguk dan membuka laptop. Detik itu juga, pintu terbuka—tapi bukan Shaquelle.

Hanya sekretarisnya-Celica yang masuk dengan ekspresi canggung.

“Pak Shaquelle masih di lift. Tadi sempat balik ke basement, katanya… ada… yang tertinggal di mobil.”

Mira menghela napas. “Baik, kita tunggu lima menit.”

Waktu berlalu. Lima menit jadi tujuh. Lalu sepuluh.

Aurelie menatap jam tangannya. Lalu menatap Mira. Lalu menatap kursi kosong itu lagi.

Dan tiba-tiba, tanpa berpikir panjang, ia berkata cukup lantang, “Maaf, Bu Mira, tapi jika CEO-nya tidak segera datang, mungkin lebih baik kita mulai saja rapatnya? Supaya lebih efisien.”

Sebenarnya dia keceplosan karena kesal menunggu.

Ruangan hening.

Aurelie menyesali apa yang terlontar barusan.

Satu detik…

dua detik…

Pintu terbuka.

Dan di ambang pintu berdiri Shaquelle, dengan kemeja setengah masuk celana, rambut sedikit berantakan dan senyum penuh dosa di wajahnya.

“Oh? Rapat dimulai tanpaku?” katanya pelan. “Apa aku digulingkan dari kursi pimpinan?”

Beberapa staf cekikikan menahan tawa.

Mira berdiri. “Pak Shaquelle, kami hanya—”

“Tenang,” potongnya. “Saya suka perempuan yang inisiatif.”

Tatapannya mengarah langsung ke Aurelie. Semua orang di ruangan itu ikut melirik, beberapa dengan tatapan penasaran, beberapa lainnya dengan ekspresi seperti ingin menumpahkan kopi panas ke wajahnya.

Aurelie menelan ludah. Tapi ia tetap menatap Shaquelle lurus. “Saya hanya enggak mau waktu orang lain terbuang karena ketidakhadiran satu orang.”

BOOM.

Tegas. Teguran langsung di depan umum. Dari anak magang. Ke CEO. Di hari pertama.

Rika mendadak tersedak air minumnya. Reza, analis teknis, hampir menjatuhkan mouse. Celica di luar ruangan tampak menekan bibir, menahan tawa setelah menutup pintu.

Shaquelle mengangkat alis. Lalu tertawa kecil, duduk di kursi kosong.

“Luar biasa. Magang rasa manajer.” Ia menatap Mira. “Aku setuju. Lain kali, kalau aku telat, Aurelie aja yang pimpin rapat.”

“Noted,” jawab Mira cepat, tapi matanya menahan geli.

Shaquelle akhirnya bersandar di kursinya dengan santai. Kakinya disilangkan, satu tangan menopang dagu, dan senyumnya tak pernah surut sejak teguran Aurelie tadi.

Aurelie mencatat dengan cepat, fokus pada poin timeline yang Mira sampaikan, berusaha keras tidak mengalihkan perhatian ke pria di ujung meja yang dari tadi sangat tidak membantu kestabilan emosi.

“Untuk modul awal, kita akan mulai dari pengembangan sistem input data pasien,” kata Mira.

Aurelie siap menulis nama Reza sebagai PIC.

Tapi lalu…

“Aurelie.”

Pensil stylus-nya berhenti di tengah garis.

Apa?

Ia menoleh pelan ke arah Shaquelle, yang sedang menatapnya seperti…seperti dia bukan intern, tapi objek eksperimen yang baru ditemukan.

“Otaknya dingin, terus katanya codingnya rapi, dan yang penting… hatinya masih jadi misteri.”

Astaga.

Aurelie menutup dokumen proyek. “Serius, Pak? Ini rapat, bukan audisi pembaca puisi absurd.” Batinnya bicara tapi matanya menyampaikan itu dengan tatapan tajam.

Tapi tentu saja, pria itu malah tersenyum.

Beberapa menit berlalu. Mira masuk ke pembahasan desain aplikasi.

“UI-nya udah cukup clean, tinggal ditambahin sedikit elemen ramah pengguna,” katanya.

Aurelie baru ingin memberi saran ringan soal penggunaan warna tenang untuk pengguna usia lanjut.

Tapi…

“Setuju. Aplikasi ini harus user-friendly. Kayak… tatapan Aurelie pas tadi marah, bikin jantung deg-degan tapi tetap pengen menatap terus.”

Oh. My. God.

Aurelie menghela napas pelan. Di kepala:

Boleh enggak aku keluar lima menit? Bukan buat pipis tapi buat teriak.

Ia mencatat lagi. Kali ini sambil menahan diri untuk tidak menggambar wajah Shaquelle dan menulisi jidatnya dengan “PERUSAK FOKUS.”

Ketika Mira mulai bicara soal sistem notifikasi otomatis, Aurelie sudah siap kembali terlibat. Tapi lalu…

“Pastikan sistem notifikasinya responsif. Kayak Aurelie waktu aku telat… langsung nembak di depan umum. Cepat, tajam, dan… jujur.”

ASTAGA LANGIT.

Kali ini, dia benar-benar menoleh dan menatap pria itu lurus.

“Bapak tahu ‘kan kalau ini ruang rapat, bukan panggung stand-up comedy?”

Kepalanya panas. Tapi suaranya tetap datar. Dingin. Profesional.

“Tenang, Rel. Kamu enggak bisa nonjok bos. Itu pidana. Tetap diam. Tetap bernapas. Dia cuma… makhluk absurd level dewa.” Aurelie menenangkan dirinya sendiri di dalam hati.

Tapi yang paling membuatnya kesal adalah—di sela kekesalan dan malu, dia sempat nyaris ketawa.

Sempat. Nyaris. Ketawa.

Dan itu membuatnya jauh lebih marah pada dirinya sendiri.

Setiap kalimat Shaquelle berikutnya, menambah intensitas rasa tak nyaman dari beberapa orang di ruangan.

Terutama Rika, yang sudah menggigit ujung pulpen tiga kali karena menahan diri untuk tidak bersarkasme kepada Aurelie.

Setelah rapat, saat hendak pergi ke kantin untuk makan siang, Aurelie dicegat oleh intern lain.

“Gila, lo nekat banget,” bisik Nara. “Lo sadar tadi pagi lo negur CEO lo sendiri?”

Aurelie menoleh menatapnya. “Astaga, gosip cepat beredar … padahal baru beberapa menit yang lalu aku keluar dari ruangan, gosip udah sampe saja ke telinga intern lain,” ujarnya di dalam hati.

“Dia telat,” jawab Aurelie singkat.

“Ya, tapi lo tuh… magang. Kita tuh… figuran di kantor ini.”

Aurelie mengangkat bahu. “Figuran tetap boleh buka mulut kok.”

Meski ekspresinya tetap tenang, Aurelie tahu bahwa dunia kerjanya baru saja berubah warna.

Karena sejak pagi itu, dia bukan sekadar ‘intern biasa’ lagi.

Dia adalah anak magang yang menegur CEO di depan semua orang, yang bikin CEO malah senyum-senyum dan yang sekarang jadi target perbincangan di tiap coffee break.

Sialnya seperti biasa, Shaquelle tidak membuat semuanya lebih mudah.

Karena saat Aurelie membuka laptopnya usai jam istirahat selesai, sebuah notifikasi muncul.

Email baru. Subject: “Tentang Rapat Tadi Pagi”

Dari: shaquelle.folke@neuverse.tech

Isi:

Next time, kalau aku telat lagi, tolong kasih tahu aku jam rapatnya dengan lebih manis. Mungkin pakai emot :) atau (^3^)

PS: Kamu cakep kalau lagi marah. Just FYI.

Aurelie menutup laptop.

Dan diam-diam, dia ingin meninju layar itu.

Atau… entah kenapa… ingin tertawa juga.

***

Suara sendok bertemu piring keramik terdengar lembut di ruang makan yang bersih dan hangat. Dindingnya putih dengan lukisan kecil peninggalan almarhum papi, dan aroma sayur sop buatan mami Nadira memenuhi udara.

Aurelie duduk di seberang sang ibu, menyendok nasi tanpa semangat.

“Mami enggak suka kalau kamu makan sambil lemas gitu. Kayak ayam habis diajak lari maraton,” komentar mami Nadira, mengaduk sup dengan tenang.

“Badanku memang kayak ayam lemas sekarang, Mi,” balas Aurelie datar. “Hari pertama magang, tapi rasanya kayak abis dimaki dosen satu angkatan.”

Nadira terkekeh kecil. “Sampai segitunya? Gimana kantornya?”

“Dingin. Canggih. Kaku. Dan orang-orangnya… ya, gitu deh. Lihat aku kayak aku tuh selebgram yang salah masuk tempat.”

“Ada yang rese?” tanya Nadira cepat.

Aurelie menggeleng. “Enggak ada yang frontal. Tapi tatapannya tuh… tahu ‘kan, Mi? Tatapan ‘oh jadi kamu punya orang dalam, ya?’ gitu.”

Nadira menyendok kuah sop ke mangkuk anaknya. “Enggak usah peduliin mereka. Kamu masuk karena layak. Kamu pintar, kamu bisa coding, kamu tahu dunia medis, kata kamu kemarin kamu ditempatkan di sebuah proyek yang ada hubungannya dengan medis ‘kan?”

Aurelie mengangguk pelan.

“Nah, justru mereka yang harusnya belajar dari kamu.”

Aurelie mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Lalu, dengan nada berubah sedikit sarkastik, ia berkata, “Mereka juga kayaknya makin kesal karena CEO-nya tiba-tiba jadi… terlalu aktif berinteraksi.”

Nadira berhenti makan. “CEO-nya?”

Aurelie mengangguk pelan. “Yang ganteng itu, iya. Shaquelle. Dia… absurd, Mi. Sok kenal. Lempar lelucon aneh waktu rapat. Bikin orang fokus ke aku. Padahal aku cuma ingin magang.”

Nadira menyipitkan mata. Lalu tersenyum… terlalu lebar. “Oh CEO-nya ganteng ya?” godanya sambil menyendok sayur ke mulut.

Aurelie langsung mengerutkan dahi. “Mi, please.”

“Eh, apa? Mami ‘kan cuma mengulang ucapan kamu. Cuma mengonfirmasi fakta visual.”

Aurelie meletakkan sendoknya. “Kata orang, kalau Mami udah mulai ngegodain, artinya mami mulai mencium sesuatu.”

Nadira menaikkan alis. “Ciuman apa dulu nih?”

“Mi!” pekik Aurelie dengan pipi memerah.

Mami Nadira tertawa senang. “Santai aja. Mami tahu kamu enggak gampang tertarik. Tapi Mami juga tahu… kamu kalau udah diganggu cowok absurd, bisa jadi malah nyambung.”

Aurelie berdiri, membawa piring ke wastafel.

“Ya udah, Aurel cuci piring dulu. Mau lanjut kerja bentar.”

“Tunggu, kamu belum jawab satu hal,” ujar Nadira dari belakang. “Kalau CEO-nya ngajak kamu dinner— purely profesional—kamu mau enggak?”

“Mi… serius?” tanya Aurelie sambil menoleh.

“Mami cuma mau tahu kamu masih normal atau udah mulai goyah,” jawab sang ibu sambil mengangkat bahu.

Aurelie hanya menggeleng sambil tersenyum kecil, lalu membawa ponsel ke kamar.

Di atas tempat tidur, setelah selesai mencuci muka dan ganti baju, Aurelie duduk bersandar pada headboard yang dilapisi bantal.

Kamarnya rapi, minimalis, didominasi warna pink dan biru muda. Ponsel tergeletak di samping laptop.

Ia membuka aplikasi email. Notifikasi dari Shaquelle masih ada. Subjeknya masih “Tentang Rapat Tadi Pagi.”

Ia belum berani membacanya lagi.

Dengan malas, ia berpindah ke I*******m, iseng membuka akunnya sendiri.

Feed-nya penuh dengan foto buku, kopi, dan pemandangan. Dan satu foto dari beberapa minggu lalu—saat liburan ke pantai dengan sepupu. Foto itu cukup mencolok: dirinya duduk di atas papan paddle board, dengan bikini kotak-kotak warna pink, senyum tipis, dan rambut terurai.

Saat itu, dia tak terlalu peduli. Followers-nya pun kebanyakan teman-teman kampus.

Tapi sekarang…

Dia melihat bagian bawah foto itu.

1.258 likes

Dan salah satunya, paling baru, paling nyeleneh…

shaquelle.folke liked your photo

Aurelie menatap layar itu lama.

Lalu meletakkan ponsel di wajahnya, menutup seluruh wajah dengan satu kata dalam hati:

“Ya Tuhan… dia stalking i* aku.”

Dan anehnya, meskipun logikanya ingin menjerit dan meneriakkan “gila lo, Pak!”, hatinya malah—

… tersenyum.

Sedikit.

Tapi cukup untuk bikin dia marah lagi ke dirinya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Deeeyy
mami zara sama slenge’an nyaa kek papi kana wkwk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Magang Di Pelukan CEO   Bersabar

    Di sana tidak ada tablet. Tidak ada prototype.Hanya dua kursi, satu meja kecil, dan segelas lemon tea yang sudah dipesan duluan.Aurelie menyilangkan tangan. “Ini jebakan, ya?”Shaquelle mengangkat bahu. “Teknik persuasi strategis. Tidak sepenuhnya jebakan.”Aurelie menghela napas. “Kalau kamu mau ngomongin kita, harusnya bilang dari tadi.”Shaquelle menatapnya, kali ini tanpa seloroh. “Aku enggak tahu kita bisa disebut ‘kita’ lagi. Tapi… aku ingin ngobrol berdua sama kamu.”Hening.Angin malam berhembus pelan. Lampu-lampu kota berkedip samar di kejauhan.Aurelie duduk, akhirnya. Matanya tak menatap Shaquelle langsung. Tapi tak juga pergi.“Kamu tahu kenapa dulu aku marah?” tanyanya pelan.Shaquelle mengangguk. “Karena aku menjadikan kamu bagian dari hidup saat aku belum selesai dengan Greta. Dan saat itu… aku enggak cukup berani untuk jujur tentang peranku dalam semua kekacauan.”Aurelie menatapnya. Lama. Lalu berkata, “Aku enggak butuh kamu sempurna. Aku cuma butuh kamu

  • Magang Di Pelukan CEO   Makan Malam Tim

    Jam menunjukkan pukul 08.42. Di ruang konferensi lantai 15 Neuverse Technologies, suasananya sudah seperti panggung startup nasional.Panel investor duduk berjejer di depan. Empat orang dari berbagai latar belakang—dua dari perusahaan venture capital, satu dari yayasan sosial berbasis digital, dan satu pria yang tampak lebih kalem, berjas abu-abu, dengan buku catatan kulit di tangannya.Nama ruangan hari itu: Startup Showcase – Tim Internal & Mitra Sosial.Aurelie berdiri di samping layar proyektor. Rambutnya diikat kuda rapi, blazer navy membingkai postur tubuhnya yang tegas. Rania berdiri di belakang dengan pointer dan ekspresi siap tempur. Dipo duduk di sisi meja, laptop terbuka—jari-jarinya sudah siap di keyboard jika harus buka simulasi demo dadakan.Shaquelle berdiri agak jauh di sudut ruangan. Tidak mencampuri. Hanya mengamati. Kemeja putih lengan panjang yang digulung setengah membalut tubuh atletisnya begitu sempurna, tampak lebih sebagai mentor daripada CEO.MC membuka

  • Magang Di Pelukan CEO   Tidak Memaksa

    Shaquelle duduk dengan laptop terbuka, tangan kirinya menahan dagu, dan pandangan tertuju ke skema struktur sistem backend SamaSama.id yang terproyeksi di layar.Aurelie berdiri di depan papan, memegang spidol hijau. Ia baru saja selesai menggambar alur UX baru yang lebih sederhana untuk pengguna lansia. Outfit casual office yang ia kenakan membuatnya tampak seperti designer startup sungguhan. Tapi raut wajahnya menunjukkan ia tahu ruangan ini … terlalu sunyi.Shaquelle bicara duluan.“Alur kamu bagus. Tapi ada satu titik bottleneck di form verifikasi.”Aurelie menoleh. “Maksudnya waktu user harus unggah KTP?”Shaquelle mengangguk. “Untuk pengrajin yang gaptek, itu bisa jadi titik gagal.”Aurelie berpikir. “Mungkin pakai sistem pendampingan dari relawan? Atau justru verifikasi manual via call?”“Berisiko overload. Tapi bisa kita coba.”Mereka diam lagi. Suara AC menjadi satu-satunya suara.Aurelie membalikkan badan, menyandarkan spidol ke meja. “Shaq.”“Hm?”Aurelie terdiam

  • Magang Di Pelukan CEO   Hari Pertama

    “Rel!” seru Rania dari depan meja resepsionis. Aurelie menoleh kemudian balas melambaikan tangan begitu melewati pintu kaca besar yang dengan sensornya bisa terbuka sendiri.“Terimakasih sudah menunggu … Sorry aku telat.” “Santai aja, kita juga baru sampe kok,” sahut Dipo santai. Matanya mengedar ke sekeliling, mengagumi desain interior dan eksterior gedung Neuverse Technologies yang futuristik ini. “Yuk … kita ke lantai 21, tadi malam Shaq … eh maksud aku, pak Shaquelle infoin kalau ruangan kita ada di lantai 21.” Aurelie berjalan lebih dulu memandu mereka masuk ke dalam lift.Tentu dia sudah hapal denah gedung ini.Lift berdenting pelan saat tiba di lantai 21. Pintu terbuka, memperlihatkan lorong dengan penerangan hangat dan aroma lem kayu yang masih baru. Aurelie melangkah keluar duluan, diikuti Rania dan Dipo yang menenteng laptop dan tote bag penuh post-it, kabel, dan semangat yang sedikit gugup.“Jadi… ini lantainya?” tanya Rania pelan, menoleh ke kanan dan kiri dengan

  • Magang Di Pelukan CEO   Pondasi Baru

    Shaquelle baru saja menekan tombol lift menuju lantai 21 ketika suara pintu ruang R&D terbuka dan tiga sosok familiar keluar sambil membawa laptop dan kopi dingin masing-masing.Mira menatap Shaquelle dari pintu dan langsung menyipitkan mata penuh kecurigaan.Reza, yang paling cerewet sekaligus jago coding, langsung menyikut Rika dengan ekspresi datar yang bisa berubah sangat sarkastik dalam lima detik.“Eh, eh, eh… Lihat siapa yang lagi rajin naik ke lantai 21 …,” bisik Reza, cukup keras agar tetap terdengar oleh target utamanya.Shaquelle, yang sudah setengah melangkah masuk lift, menoleh perlahan.“Gue ke lantai 21 mau ngecek ruangan baru buat proyek sosial kampus,” jelasnya datar, tidak menutup-nutupi.Mira menautkan alis, lalu menyipitkan mata. “Proyek sosial kampus? Proyek sosial Aurel, maksudnya?”Shaquelle terbatuk pelan. “Nama project-nya SamaSama.id, bukan Aurel.id .…”“Oke… oke,” sahut Rika sambil mengangkat satu alis, “Tapi aneh aja. Kita udah setahun minta ruangan

  • Magang Di Pelukan CEO   Pelan-Pelan

    Aurelie mengetik kata terakhir di halaman kesimpulan. Tangannya berhenti, perlahan menekan ctrl + s.Dia tidak menangis. Tidak melompat. Tidak berteriak.Dia hanya menghela napas panjang.Skripsi selesai.Di kamar yang jadi markas belajarnya selama ini—dinding penuh sticky notes, jam dinding yang terlambat tujuh menit, dan printer yang suka mogok—Aurelie duduk diam dengan, bibirnya tersenyum lega.Tiga bulan terakhir bukan bulan yang mudah. Tapi bukan juga bulan yang hancur.Shaquelle menepati janjinya. Tidak memaksa. Tidak menghilang. Hanya hadir sebagai support sistem tak kasat mata.*Kampus – Hari Sidang SkripsiRuang sidang berpendingin udara tapi tetap terasa panas.Aurelie berdiri tegak. Presentasinya selesai. Ibu Ratna Karina—dosen pembimbing sekaligus dosen favoritnya—menyilangkan tangan.“Presentasi kamu padat. Bahasanya teknis, tapi bisa dipahami. Hasilnya nyata dan aplikatif.”Aurelie menahan napas.“Dan… saya senang kamu memilih topik ini. Karena dunia butuh le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status