Share

Gombalan Receh

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-06-17 21:36:31

Pagi itu, jam masih menunjukkan pukul delapan lebih tujuh menit saat Aurelie duduk di meja kerjanya.

Lantai tujuh belas belum terlalu ramai, tapi hawa sosial tetap terasa mencekam.

Meja pojok tempat ia duduk sudah seperti panggung kecil.

Setiap kali Aurelie mengangkat kepala, selalu ada satu pasang mata (minimal) yang menatap. Baik itu lirikan Rika yang tajam seperti pisau roti, atau tatapan heran dari dua staf lain yang pura-pura sibuk ngetik padahal layar mereka masih di halaman G****e.

Reza? Seperti biasa. Duduk di meja seberang, ngopi sambil membaca file. Netral. Bagaikan G****e yang tahu semua tapi memilih diam demi kelangsungan hidup.

Pukul delapan lebih lima belas menit Mira datang. Rapat pagi internal dimulai di ruang rapat kecil berkapasitas tujuh orang. Mira duduk di kursi utama, mengusap layar tablet dan langsung membuka agenda pagi itu.

“Oke, kita mulai ya. Pagi ini fokus ke tiga hal utama: progres sistem API untuk input data medis, deadline integrasi data RS partner, dan update desain UI/UX versi beta.”

Aurelie langsung mengetik poin-poin itu di dokumen rapat. Jari-jarinya cepat, tapi tetap memperhatikan.

“Reza, kamu bisa mulai dari laporan backend kemarin?” tanya Mira.

Reza mengangguk ringan. “Sudah 80% jalan. Sistem sudah bisa tarik data dummy dari server pusat. Masih ada bug kecil di auto-sync waktu input manual, tapi bisa di-patch sebelum minggu ini.”

“Good,” ucap Mira singkat. “Kita harus pastikan sinkronisasi berjalan real-time. Karena target kita adalah efisiensi, bukan cuma digitalisasi.”

Aurelie mengangguk setuju. “Saya sempat uji coba semalam, Bu. Kalau input dilakukan bersamaan dari dua device, timestamp-nya saling tiban. Saya lagi siapkan logikanya biar bisa locking otomatis per session.”

Reza melirik ke arah Aurelie, lalu mengangguk setuju. “Nice. Kalau sistem locking kamu jalan, itu bakal bantu kami banget di coding server.”

Rika hanya menatap layar. Tak ada komentar, hanya satu alis yang nyaris naik. Dan rasa bencinya kepada Aurelie semakin besar.

Mira mencatat poin itu. “Aurelie, kamu bantu terus Reza untuk hal ini ya. Kamu handle testing logic-nya.”

“Siap, Bu,” jawab Aurelie tenang.

“Sekarang bagian UI/UX,” lanjut Mira. “Rika, kamu bisa update soal desain interface untuk menu ‘Riwayat Pasien’?”

Rika mengangguk, lalu menampilkan tampilan layar lewat tablet yang dikoneksikan ke monitor.

“Saya desain ulang dengan layout split view. Kiri untuk identitas pasien, kanan untuk detail medis dan rekam data. Warna dasar tetap biru muda, dengan aksen hijau untuk tombol tindakan.”

Aurelie menatap desain itu sekilas. Rapi. Tapi… agak kaku. Terlalu ‘template’.

“Boleh komentar sedikit, Bu?” tanya Aurelie sopan.

Mira melirik. “Silakan.”

Aurelie menunjuk elemen di layar. “Kalau tombol tindakan ditaruh di bawah langsung, user mungkin harus scroll dulu untuk akses fungsi. Kalau pakai floating button dengan ikon yang familiar, bisa lebih intuitif. Apalagi kalau digunakan di tablet rumah sakit.”

Rika menoleh cepat. Tatapannya seperti mengatakan, “Serius nih, anak magang ngomentarin desain gue?”

“Kamu yakin user kita bisa langsung paham ikon?” tanya Rika pelan, tapi nadanya menusuk.

“Makanya kita tambahkan tooltip atau label awal untuk onboarding user. Habis itu mereka pasti akan terbiasa,” jawab Aurelie, masih datar tapi sopan.

Mira mengangguk. “Poin valid. Kita coba gabungkan dua konsep. Rika, kamu revisi dulu. Kita uji dua-duanya minggu ini.”

“Baik, Bu,” jawab Rika pelan, walau wajahnya masih kaku.

Semua berjalan normal…

…sampai seseorang mengetuk pintu, lalu membukanya tanpa menunggu jawaban.

“Permisi, boleh nebeng sebentar?” Suara itu muncul duluan sebelum wajahnya.

Dan muncul lah sang CEO-Shaquelle, kali ini pakai hoodie hitam dan sneakers, rambutnya messy but intentional, seperti baru bangun tapi tampan. Seperti biasa. Menjengkelkan sekaligus bikin dada sesak.

“Pak Shaquelle,” sapa Mira kaku dan sopan. “Kami sedang review UI/UX.”

“Aku cuma mau duduk sebentar. Lihat langsung tim paling potensial di lantai ini,” katanya santai, lalu memindai seluruh ruangan…

…dan matanya berhenti cukup lama pada satu titik, Aurelie.

Aurelie menunduk cepat, pura-pura sibuk baca slide.

“Silakan, Pak,” ujar Mira sopan.

Shaquelle duduk di kursi kosong paling ujung. Tapi tidak diam. Tentu saja tidak.

Baru lima menit, dia sudah mulai…

“Slide itu bagus… Tapi kayaknya akan lebih bagus kalau pakai transisi animasi. Biar presentasinya enggak lebih kaku dari ekspresi Aurelie waktu ditegur di rapat kemarin.”

Mira menahan tawa. Rika menghela napas dalam. Reza menyeruput kopi lebih cepat dari biasanya.

“Oh, dan sistem alert-nya…bisa enggak kalau ditambahkan bunyi yang calm, tapi tetap efektif? Kayak suara Aurelie pas ngomel kemarin. Tegas tapi enggak bikin sakit kepala.”

Aurelie menutup slide. Lalu menatap Shaquelle tanpa ekspresi.

“Pak, saya boleh bertanya sesuatu?”

“Tentu, silakan,” sahut Shaquelle dengan gaya serius.

“Apa Bapak selalu begini? Maksud saya, datang ke rapat orang, lalu menjadikan satu orang sebagai inspirasi konten dadakan?”

Reza menyembunyikan tawanya di balik tangan. Rika mengetik sesuatu dengan sangat cepat—entah laporan atau chat gibah.

Shaquelle tersenyum lebih lebar. “Kalau satu orangnya memang inspiratif, kenapa tidak?”

Aurelie menarik napas dalam. “Tenang, Rel. Tahan. Jangan kamu lempar pulpen ke wajah CEO. Itu hukumnya kriminal.” Dia membatin.

Sebelum rapat ditutup, Shaquelle menambahkan.

“Saya minta demo minggu depan. Saya ingin semua tim siapkan masing-masing progress yang bisa dipresentasikan langsung.”

Rika mendesah pelan. Reza mengangguk. Aurelie diam meski dalam hati mulai gelisah. Dia tahu, Shaquelle tidak akan cuma menonton demo. Dia akan bikin segalanya jadi panggung. Lagi.

“Kita targetin preview internal hari Jumat. Jadi, ayo push semua. Tapi tetap sehat, jangan begadang kebablasan ya,” ucap Mira, menutup rapat dengan suara tegas tapi hangat.

“Siap, Bu,” jawab semua hampir bersamaan.

Mereka keluar satu per satu. Aurelie merapikan laptopnya pelan, sebelum akhirnya berdiri.

Di luar ruang rapat, Reza sempat menyenggol ringan bahunya sambil berkata pelan:

“Tadi kamu berani banget nge-cut desain Rika.”

Aurelie menoleh. “Cuma saran teknis.”

“Cuma saran teknis bisa berubah jadi perang dunia di ruangan itu, lho,” ujar Reza, setengah bercanda.

Aurelie mengangkat bahu. “Kalau gitu aku siap helm. Dan kopi.”

Mereka tertawa kecil. Tapi dari kejauhan Rika sedang menatap mereka. Dengan tatapan kebencian yang pekat.

Satu hal makin terasa jelas kalau Aurelie bukan sekadar magang biasa di tim ini.

Dan semua orang sudah mulai menyadarinya.

Aurelie kembali ke mejanya, notifikasi muncul di komputernya.

[Forwarded Task from CEO Folder]

File: UI Prototype — Feedback Requested

Catatan:

“Coba kasih masukan kamu di sini, Aurelie. Saya mau tahu opini kamu sebagai pengguna dan calon wanita masa depan aku eh… pengguna masa depan maksudnya—SPF”

Aurelie menatap layar.

Lalu berbisik, “Dasar absurd.” Tapi dia buka juga filenya. Dan baca. Sampai habis. Lalu kasih komentar .

***

Sore mulai turun perlahan di lantai tujuh belas.

Langit di balik kaca gedung mulai memerah, sebagian staf sudah mulai pulang. Tapi tim R&D masih cukup aktif—beberapa masih mengetik, sebagian berdiskusi kecil di meja kerja masing-masing.

Aurelie berdiri dari kursinya. Matanya lelah, bahunya sedikit tegang. Ia berjalan ke pantry untuk mengisi ulang termos kecilnya dengan air panas, niat awal hanya ingin seduh teh tapi ternyata teh bukan satu-satunya yang sedang “panas.”

Rika sudah berdiri di sana. Sendiri. Memutar sendok di dalam mug kopinya seperti sedang menyihir sesuatu agar meledak.

Aurelie melangkah masuk. “Permisi, Mbak.”

Rika tidak menjawab langsung. Hanya melirik. Lalu kembali ke kopinya.

Hening. Sampai akhirnya .…

“Cepet juga ya kamu adaptasinya,” kata Rika, pelan tapi jelas.

Aurelie menoleh perlahan. “Maaf?”

“Baru beberapa minggu magang, tapi udah mulai koreksi desain orang. Di ruang rapat pula,” lanjut Rika dengan senyum tipis yang tidak sampai ke mata.

Aurelie menarik napas sebentar. “Saya minta izin bicara tadi. Dan saya hanya kasih masukan berdasarkan user behavior di UI tablet.”

“Iya, iya. Masukan. Tapi asal kamu tahu ya, itu desain yang udah aku garap selama tiga hari.” Rika menatap tajam sekarang.

Aurelie tetap tenang. “Saya tidak tahu itu sudah digarap selama apa, Mbak. Tapi saya kira masukan dari user experience termasuk bagian dari pekerjaan tim, bukan?”

Rika tertawa pendek. “Wah, pintar juga jawabannya.”

Aurelie mengangguk kecil. “Saya enggak bermaksud menyinggung, Mbak. Tapi kalau desainnya bagus dan efisien, saya dukung. Kalau ada yang bisa ditingkatkan… saya kira semua tim juga boleh bicara.”

“Atau mungkin… kamu merasa punya hak lebih karena deket sama pak Shaquelle?” Nada bicara Rika mulai bergeser.

Aurelie mematung.

Beberapa detik hening. Suara dispenser air terdengar seperti efek dramatis tak perlu.

“Maaf, Mbak?” tanya Aurelie, kini lebih dingin.

“Ya enggak usah malu-malu lah. CEO kita itu jarang nongol di rapat kecil. Tapi akhir-akhir ini… selalu datang pas kamu ada dengan gombalan recehnya buat kamu,” ujar Rika dengan alis naik setengah senti.

Aurelie menatapnya tajam, tapi tetap menjaga nada suara.

“Saya magang karena saya ingin belajar. Bukan karena saya ingin jadi bahan gosip.”

Rika meletakkan sendoknya ke meja. Suaranya pelan, tapi mengandung tekanan:

“Kalau kamu pintar, kamu akan tahu… terlalu bersinar di awal itu bukan strategi yang bagus di kantor ini.”

“Kalau itu maksudnya ancaman, Mbak… saya juga cukup pintar untuk tahu bedanya kritik desain dan serangan pribadi.” Aurelie membalas dengan datar.

Lalu Aurelie mengambil gelasnya, menuang air panas, dan berjalan keluar tanpa menoleh.

Rika menatap punggungnya pergi. Matanya sempit, wajahnya tak lagi tersenyum.

Semenjak saat itu, pantry jadi saksi bahwa kompetisi di kantor tidak selalu datang dari persaingan jabatan.

Terkadang, datang karena satu komentar desain dan satu perhatian dari seorang CEO yang salah tempat—atau justru sangat tepat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang Di Pelukan CEO   Bersabar

    Di sana tidak ada tablet. Tidak ada prototype.Hanya dua kursi, satu meja kecil, dan segelas lemon tea yang sudah dipesan duluan.Aurelie menyilangkan tangan. “Ini jebakan, ya?”Shaquelle mengangkat bahu. “Teknik persuasi strategis. Tidak sepenuhnya jebakan.”Aurelie menghela napas. “Kalau kamu mau ngomongin kita, harusnya bilang dari tadi.”Shaquelle menatapnya, kali ini tanpa seloroh. “Aku enggak tahu kita bisa disebut ‘kita’ lagi. Tapi… aku ingin ngobrol berdua sama kamu.”Hening.Angin malam berhembus pelan. Lampu-lampu kota berkedip samar di kejauhan.Aurelie duduk, akhirnya. Matanya tak menatap Shaquelle langsung. Tapi tak juga pergi.“Kamu tahu kenapa dulu aku marah?” tanyanya pelan.Shaquelle mengangguk. “Karena aku menjadikan kamu bagian dari hidup saat aku belum selesai dengan Greta. Dan saat itu… aku enggak cukup berani untuk jujur tentang peranku dalam semua kekacauan.”Aurelie menatapnya. Lama. Lalu berkata, “Aku enggak butuh kamu sempurna. Aku cuma butuh kamu

  • Magang Di Pelukan CEO   Makan Malam Tim

    Jam menunjukkan pukul 08.42. Di ruang konferensi lantai 15 Neuverse Technologies, suasananya sudah seperti panggung startup nasional.Panel investor duduk berjejer di depan. Empat orang dari berbagai latar belakang—dua dari perusahaan venture capital, satu dari yayasan sosial berbasis digital, dan satu pria yang tampak lebih kalem, berjas abu-abu, dengan buku catatan kulit di tangannya.Nama ruangan hari itu: Startup Showcase – Tim Internal & Mitra Sosial.Aurelie berdiri di samping layar proyektor. Rambutnya diikat kuda rapi, blazer navy membingkai postur tubuhnya yang tegas. Rania berdiri di belakang dengan pointer dan ekspresi siap tempur. Dipo duduk di sisi meja, laptop terbuka—jari-jarinya sudah siap di keyboard jika harus buka simulasi demo dadakan.Shaquelle berdiri agak jauh di sudut ruangan. Tidak mencampuri. Hanya mengamati. Kemeja putih lengan panjang yang digulung setengah membalut tubuh atletisnya begitu sempurna, tampak lebih sebagai mentor daripada CEO.MC membuka

  • Magang Di Pelukan CEO   Tidak Memaksa

    Shaquelle duduk dengan laptop terbuka, tangan kirinya menahan dagu, dan pandangan tertuju ke skema struktur sistem backend SamaSama.id yang terproyeksi di layar.Aurelie berdiri di depan papan, memegang spidol hijau. Ia baru saja selesai menggambar alur UX baru yang lebih sederhana untuk pengguna lansia. Outfit casual office yang ia kenakan membuatnya tampak seperti designer startup sungguhan. Tapi raut wajahnya menunjukkan ia tahu ruangan ini … terlalu sunyi.Shaquelle bicara duluan.“Alur kamu bagus. Tapi ada satu titik bottleneck di form verifikasi.”Aurelie menoleh. “Maksudnya waktu user harus unggah KTP?”Shaquelle mengangguk. “Untuk pengrajin yang gaptek, itu bisa jadi titik gagal.”Aurelie berpikir. “Mungkin pakai sistem pendampingan dari relawan? Atau justru verifikasi manual via call?”“Berisiko overload. Tapi bisa kita coba.”Mereka diam lagi. Suara AC menjadi satu-satunya suara.Aurelie membalikkan badan, menyandarkan spidol ke meja. “Shaq.”“Hm?”Aurelie terdiam

  • Magang Di Pelukan CEO   Hari Pertama

    “Rel!” seru Rania dari depan meja resepsionis. Aurelie menoleh kemudian balas melambaikan tangan begitu melewati pintu kaca besar yang dengan sensornya bisa terbuka sendiri.“Terimakasih sudah menunggu … Sorry aku telat.” “Santai aja, kita juga baru sampe kok,” sahut Dipo santai. Matanya mengedar ke sekeliling, mengagumi desain interior dan eksterior gedung Neuverse Technologies yang futuristik ini. “Yuk … kita ke lantai 21, tadi malam Shaq … eh maksud aku, pak Shaquelle infoin kalau ruangan kita ada di lantai 21.” Aurelie berjalan lebih dulu memandu mereka masuk ke dalam lift.Tentu dia sudah hapal denah gedung ini.Lift berdenting pelan saat tiba di lantai 21. Pintu terbuka, memperlihatkan lorong dengan penerangan hangat dan aroma lem kayu yang masih baru. Aurelie melangkah keluar duluan, diikuti Rania dan Dipo yang menenteng laptop dan tote bag penuh post-it, kabel, dan semangat yang sedikit gugup.“Jadi… ini lantainya?” tanya Rania pelan, menoleh ke kanan dan kiri dengan

  • Magang Di Pelukan CEO   Pondasi Baru

    Shaquelle baru saja menekan tombol lift menuju lantai 21 ketika suara pintu ruang R&D terbuka dan tiga sosok familiar keluar sambil membawa laptop dan kopi dingin masing-masing.Mira menatap Shaquelle dari pintu dan langsung menyipitkan mata penuh kecurigaan.Reza, yang paling cerewet sekaligus jago coding, langsung menyikut Rika dengan ekspresi datar yang bisa berubah sangat sarkastik dalam lima detik.“Eh, eh, eh… Lihat siapa yang lagi rajin naik ke lantai 21 …,” bisik Reza, cukup keras agar tetap terdengar oleh target utamanya.Shaquelle, yang sudah setengah melangkah masuk lift, menoleh perlahan.“Gue ke lantai 21 mau ngecek ruangan baru buat proyek sosial kampus,” jelasnya datar, tidak menutup-nutupi.Mira menautkan alis, lalu menyipitkan mata. “Proyek sosial kampus? Proyek sosial Aurel, maksudnya?”Shaquelle terbatuk pelan. “Nama project-nya SamaSama.id, bukan Aurel.id .…”“Oke… oke,” sahut Rika sambil mengangkat satu alis, “Tapi aneh aja. Kita udah setahun minta ruangan

  • Magang Di Pelukan CEO   Pelan-Pelan

    Aurelie mengetik kata terakhir di halaman kesimpulan. Tangannya berhenti, perlahan menekan ctrl + s.Dia tidak menangis. Tidak melompat. Tidak berteriak.Dia hanya menghela napas panjang.Skripsi selesai.Di kamar yang jadi markas belajarnya selama ini—dinding penuh sticky notes, jam dinding yang terlambat tujuh menit, dan printer yang suka mogok—Aurelie duduk diam dengan, bibirnya tersenyum lega.Tiga bulan terakhir bukan bulan yang mudah. Tapi bukan juga bulan yang hancur.Shaquelle menepati janjinya. Tidak memaksa. Tidak menghilang. Hanya hadir sebagai support sistem tak kasat mata.*Kampus – Hari Sidang SkripsiRuang sidang berpendingin udara tapi tetap terasa panas.Aurelie berdiri tegak. Presentasinya selesai. Ibu Ratna Karina—dosen pembimbing sekaligus dosen favoritnya—menyilangkan tangan.“Presentasi kamu padat. Bahasanya teknis, tapi bisa dipahami. Hasilnya nyata dan aplikatif.”Aurelie menahan napas.“Dan… saya senang kamu memilih topik ini. Karena dunia butuh le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status