Jujur aja, hari ini rasanya kayak abis ditabrak sama se-truck emosi, kepala berat, hati lebih berat lagi. Aku bahkan nggak inget gimana caranya kaki ini bisa melangkah dari lift sampai ke lobi—yang jelas, semua tenaga rasanya udah tinggal lima persen.Pas baru keluar dari pintu utama, suara familiar langsung memanggil namaku. “Mbak Kayla!” Suara lantang itu datang dari seseorang yang udah kayak maskot kantor, Pak Jaja, si sopir senior kesayangan Rayhan.Aku sempat melongok ke kanan-kiri, seolah memastikan suara itu benar-benar buat aku. “Eh, Pak Jaja?” panggilku Aku mendekat sambil menahan kantuk dan lelah yang udah kayak numpang ngekos di kelopak mata. “Pak Jaja ngapain di sini? Mau jemput siapa?” ujarku mencari ornag yang mungkin ia tunggu ... kali aja Rayhan, kan?Pak Jaja cuma ketawa polos, khas banget bapak-bapak. “Ya jemput Mbak Kayla atuh,” ujarnya menunjukku dengan jempolnya.Hah? Aku refleks melirik ke sekeliling. Nggak ada Rayhan. Nggak ada siapa-siapa lagi. Cuma aku, dia, d
“Tap—”“Nggak ada tapi-tapian,” potong Mbak Nadira cepat. “Dan kamu juga, Fina. Kamu bener karena ngebela temen kamu, tapi caramu yang nggak bener. Di tempat kerja, emosi harus bisa dikendalikan. Sekarang semuanya duduk di tempatnya masing-masing,” ujarnya membuat keduanya kembali duduk. “Dan untuk kamu, Kayla,” katanya menatapku, “saya tahu ini berat buat. Tapi mulai hari ini, kamu harus mau ngomong. Kalo kamu tetap diem, orang bakal terus membenarkan asumsi mereka sendiri. Pahami, ya?”Aku mengangguk pelan. Suaraku tak keluar, tapi aku paham apa yang ia maksud.“Sekarang ... apa kamu pernah tidur dan berhubungan dengan Pak Rayhan?” tanyanya padaku.Aku terdiam mendengar pertanyaannya yang ... susah dijawab. Jantungku mendadak berdetak lebih cepat. Nafasku mulai berat, dan untuk sekejap, aku hanya bisa menundukkan kepala.Di sisi lain, aku emang tidur bsama Rayhan ... tapi posisi dia suamiku. Tapi... aku nggak bisa jawab segamblang itu, karena status pernikahan kami adalah sesuatu ya
“KAYLA!”Teriakan itu bikin langkahku terhenti tepat di depan pintu lobi. Aku menoleh, dan di sana, Fina berlari dengan heels tingginya dan napas yang ngos-ngosan, ngeloyor ke arahku dan tanpa babibu langsung meluk erat tubuhku.“Lo gapapa, Kay? Ya ampun, semalem gue udah tidur duluan, gue nggak liat chat lo ...,” ucapnya terbata, pelukannya erat, hangat, dan tiba-tiba... bikin mataku kerasa panas.Aku berusaha senyum kecil. “Gapapa, Fin ... gue cuma—”“Jangan bilang ‘gapapa’ kalau muka lo kayak abis diseret drama Korea episode 24,” potongnya sambil ngelepas pelukan dan natap badanku dari atas sampai bawah. “Lo udah makan belum?” ujarnya menarik lenganku ke sudut sofa dekat vending machine.Aku menggeleng pelan. “Belum...”“Duh, ya Tuhan, badan lo bisa lemes nggak, Kay,” ujarnya mencak-mencak tapi matanya masih dipenuhi rasa khawatir. “Lo kenapa sih nggak bilang dari kemarin? Maksud gue ... ya emang gue nyolot, tapi bukan berarti gue nggak peduli sama lo. Harusnya ... ya udah nggak us
“Dan menurut kamu itu pantes diomongin di tempat umum, apalagi ... sama anak magang?” potong Mbak Nadira cepat.Mbak Siska mengangkat bahunya acuh. “Ya ... orang juga mikirnya pasti ke situ, Mbak. Apalagi kan banyak yang bilang ... ya udah pasti, kalo bukan karena kerjaannya, ya mungkin karena dia enak ... udah dipake duluan sama atasannya.”Deg.Satu detik. Dua detik.Lalu—BRAK!Fina dengan spontan mengebrak meja keras-keras hingga semua orang terkesiap. “Lo ngomong APA barusan?!” ujarnya berdiri, dan menunjuk langsung ke arah Mbak Siska. “Lo sadar nggak lo barusan nyebut apa?!”Aku berusaha menarik tangan Fina, tetapi tenaganya terlalu kuat dan melepaskannya begitu saja.Pandanganku beralih pada Mbak Siska yang juga langsung berdiri. “Lah, emang gue salah apa? Lo semua pada tutup mata apa gimana? Kayak lo nggak mikir hal yang sama aja?! Muna banget jadi orang!”“Lo gila!” bentak Fina lagi. “Gue yang tiap hari bareng sama Kayla dari jaman kuliah, gue tau banget gimana kerja kerasnya
“Apalagi nama lo tuh ... udah sempet keangkat waktu lo gantiin posisinya Pak Rayhan,” suara Fina melemah, “Beuh ... itu gosip tiap hari ada aja, sampe gue enek dengernya!” jelas Fina seakan tak percaya.Aku membelalakan mataku. “Serius, Lo?”Fina menghela napasnya panjang, “Ngapain gue boong anjir ... nggak penting banget. Lo aja kebanyakan ndekem di ruangan CEO sampe-sampe gosip sepanas ini lo nggak denger.”Aku mengangguk, sekali. “Iya sih. Gue nggak sempet keluar ruangan soalnya banyak banget kerjaan” jawabku lemah. “Terus gue harus gimana, ya? Udah terlanjur nyebar kemana-mana,” tanyaku menatap Fina penuh harap.Fina menghendikkan bahunya acuh, “Lo ngerti nggak sih, Kay. Ini tuh kantor, bukan sinetron yang bisa kita take ulang kalo adegan nggak sesuai sama naskah. Satu gosip di kantor bisa ngerusak reputasi lo sampe bertahun-tahun ke depan.”Aku mengatupkan bibir, berusaha menenangkan gejolak di dada yang makin sulit dikendalikan, pandanganku menatap kosong ke belakang Fina, memb
Aku keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Mataku udah sembab, napas ngos-ngosan karena abis nahan tangis yang belum kunjung reda. Tapi tetap aja, rasanya kayak masih ada yang nyangkut di dada, sesak dan ngilu. Begitu masuk ke ruangan, Fina langsung menoleh dari balik layar monitornya dan terkejut melihat kedatanganku.Mataku menatap Fina yang kini bergegas mendekat padaku, “Anjir, lo kenapa?” katanya tanpa basa-basi, “Gue tungguin dari tadi lama banget baliknya.”“Nggak apa-apa, Fin,” alibiku meninggalkannya.Langkah Fina terdengar mengikutiku. “Nggak apa-apa pala lo. Mata lo sembab gitu udah kayak abis nangis semaleman.”Aku mendudukkan diriku di kusri, lalu mengalihkan wajahku dari Fina, “Beneran, cuma capek aja kok.”“Capek apaan? Capek dibodohin sama cowok kontrak lo itu?” sentaknya. “Siapa yang bikin lo kayak gini? Gue datengin sekarang juga!”Aku tetap diam, menahan sesak di dada yang semakin terasa berat. Aku tak ingin menumpahkan air mataku di depan Fina dan teman-tem