"Baca. Kalo setuju, tanda tangan," ujar Rayhan dingin, menyerahkan akta pernikahan pada Kayla—seolah ini hanya dokumen biasa. Masalahnya… hati itu bukan fingerprint yang bisa diatur. Kayla pikir dia bisa pura-pura jadi istri. Tapi gimana kalau ternyata malah berubah jadi perasaan sungguhan? “Malem ini ... malam pertama kita, kan?” “Saya mau minta hak sebagai seorang suami.” Kayla tak bisa berpikir jernih. "Serius ini malam pertama sama suami kontrak bukan sama suami beneran? Emangnya boleh?"
View MoreHari pertama magang setelah dua tahun menganggur. Harusnya aku deg-degan soal job desk, bukan soal status pernikahan. Tapi lihatlah aku sekarang, duduk di ruang meeting yang super dingin, berhadapan langsung dengan CEO muda paling ganteng dan paling galak se-Jakarta, sambil megang ... akta nikah.
Bukan. Ini bukan prank ataupun konten settingan. Dan bukan juga drama Korea. Ini kenyataan.
Rayhan menyodorkannya ke hadapanku, "Baca. Kalau setuju, tanda tangan di sini," kata pria itu—Rayhan Alvaro—dengan ekspresi datar kayak tembok kantor.
Aku melongo. "Ini ... ini akta nikah, Pak?" jawabku sedikit tergagap sambil menunjuk kertas itu.
"Memang. Saya nggak punya banyak waktu buat drama ala gen Z. Kita cuma nikah selama setahun. Setelah itu ... cerai, dan kamu bebas buat lanjutin hidup. Oh, dan kamu tetap bisa magang. Gaji dobel," tawarnya begitu menggiurkan.
Aku menatap kertas itu sejenak, lalu mataku berpindah ke wajah CEO yang katanya masih single, tapi hari ini ngajak kawin anak magang. Aku bahkan belum nanya lokasi toilet di mana, tapi dia udah nawarin jadi istrinya?
"Kenapa saya?" tanyaku, masih syok.
"Karena saya butuh warisan," Dia menatapku dengan serius. "Karena kamu orang pertama yang masuk ruangan ini dan belum tahu apa-apa," jawabnya singkat, padat, dan nggak jelas.
Oh. Keren. Nasib ditentukan oleh keberuntungan dan bodohnya aku datang pagi-pagi dengan harapan bisa dicap jadi anak magang yang rajin. Aku melirik ke sekeliling. Ruangan sunyi. Hanya ada aku, CEO gak jelas ini, dan secarik kertas legal yang siap mengubah status hidupku.
"Kalau saya menolak?" tanyaku pelan.
"Berarti kamu kehilangan kesempatan dapat bayaran magang tertinggi di sejarah perusahaan ini. Dan, yah, mungkin ... dikeluarkan juga."
Ancaman halus, tapi cukup bikin jantungku jedag-jedug. Aku ngelamar magang disini, in this economy setelah usai wisuda— dua tahun lalu sih. Gak ada yang mau melirikku. Kebetulan rekan kakek mau membantukku untuk masuk kesini. Tapi pengalaman ini? Ini pengalaman yang kelewat batas!
Tanganku gemetar waktu memegang pulpen. Tapi... bayaran dobel, tinggal di apartemen mewah, dan cuma setahun kan? Setahun pura-pura jadi istri CEO. Gampang, kan?
“Inget! jangan malu - maluin kakek!,” Suara kakek terbayang di pikiranku sebelum kesini. Tapi ini? er— yang bener aja?
“Sebentar, saya telpon orang tua saya dulu!” ujarku menatap Rayhan itu horor.
Dering telepon terlalu berisik di ruangan hening ini, “Halo bun,”
“Ini kakek. Bundamu lagi beli sayur,” kata suara di seberang sana.
Sebelum bertanya, aku membersihkan tenggorokan lebih dulu dengan berdeham, “Kek, aku ditawarin magang eksklusif,”
“Oh ya? bagus dong! Yang bener kerjanya, ya,”
“Nggak kek. Aku ditawarin magang—,”
Ia berdeham sekali lagi, “ —magang jadi istri,”
“Oh ya? bagus dong! Yang bener, ya!” tutup Kakek menutup teleponku.
Aku lupa bahwa kakek sedikit gangguan telinga. "JADI ISTRI KEK!,"
"Ya ya ya. Kakek tutup," tukas kakek membuatku mengernyit.
Di ekonomi sekarang dengan umur 24 tuh mulai purba di negara ini. Sampai aku dengan sadar tanda tangan, dan Rayhan menatapku lalu berkata, "Selamat, Nyonya Rayhan. Sekarang kamu istriku."
Aku cuma bisa membalas dengan senyum kaku. Mulutku sih tersenyum, tapi otakku udah kayak sinyal Wi-Fi—nggak stabil. Ini seriusan nggak sih? Pernikahan dadakan. Magang sambil nikah. Kerja sambil bawa status istri orang—eh, istri CEO.
Selamat datang di dunia kerja, Kayla. Versi ekstrem.
Rayhan berdiri, merapikan jasnya, lalu menekan interkom. "Pak Reno, tolong siapkan satu unit apartemen di Kuningan. Sekalian, hubungi notaris buat proses legalitas hari ini."
Aku membelalak tak percaya. "Lho?! Hari ini juga?" tanyaku terkejut.
“Lebih cepat lebih baik,” katanya sambil melirik jam tangan mahalnya. “Kita harus mulai pura-pura jadi pasangan harmonis secepat mungkin.”
Oke. Bernapas, Kay. Ini bukan mimpi buruk. Ini ... mimpi absurd. Tapi, belum lima menit berlalu, seorang pria berjas rapi mengetuk pintu dan mengangguk sopan.
Tanganku gemetar waktu notaris masuk ke ruangan dengan senyum sopan dan setumpuk berkas di tangan. Sementara aku masih berusaha mencerna semuanya, Rayhan sudah duduk santai di sebelahku, wajahnya tenang seperti orang yang mau tanda tangan paket Shopee, bukan akta nikah.
"Silahkan Pak Teddy," sapa Rayhan dengan menjabat tangannya.
Hatiku semakin deg-degan, hidupku kayak flash sale yang langsung sold out diserbu para netizen. Pria yang bernama Pak Teddy itu duduk di depan kami, dan menyerahkan sebuah berkas ke arahku.
“Silakan dibaca dulu,” ucap Pak Teddy dengan ramah.
Tapi buat apa juga? Aku paham hukum aja enggak. Yang kutahu, ini tanda tangan yang akan resmi bikin aku jadi... istri orang. Aku melirik Rayhan sejenak. Dia mengangguk kecil, matanya lurus ke arah kertas. Dingin. Tegas. Tapi sesekali, jemarinya ngetuk meja—seolah aku diburu.
Dengan napas panjang, aku ambil pulpen dan mulai tanda tangan. Satu... dua... tiga...
Nama lengkapku tertulis jelas di atas kertas itu, berdampingan dengan nama Rayhan Alvaro, lengkap dengan embel-embel "suami".Sah.
Resmi. Aku istri orang. Tepatnya, istri CEO. Dadakan.Setelah selesai, Rayhan berdiri duluan dan menyalami Pak Teddy. “Terima kasih. Tolong kirimkan salinannya ke legal hari ini juga.”
Sementara aku masih duduk dengan wajah bengong, mencoba menyatukan kenyataan di otakku yang masih loading 80%. Tadi aku cuma niat ikut magang. Sekarang? Aku punya status baru selain karyawan magang.
Aku menelan ludah. Oke. Kayla, tarik napas. Buang napas. Kamu bukan anak magang biasa lagi. Kamu anak magang yang… resmi jadi istri CEO. Dadakan. Kontrak. Tapi tetep aja. Istri.
“Mulai sekarang, kamu harus akting normal di kantor. Kayla si anak magang. Saya atasanmu sekaligus CEO. Nggak ada yang boleh tahu kalo kita udah nikah,” ujar Rayhan menatapku tajam.
Aku mengangguk cepat.
“Kecuali kamu pengen seluruh kantor bikin acara lamaran dadakan di pantry, jangan coba-coba,”
Kata-kata itu terasa menusuk lebih dalam dari yang kukira. Aku menundukkan kepala cepat, menggigit bibir bawah, dan menahan air mata yang hampir jatuh di depan mereka. Nafasku berat—dan semua suara di sekitar terdengar seperti gema yang memekakkan."Eh itu tuh ada anaknya."Aku mengepalkan tanganku, menahan rasa kesal yang kini menyelingkupi dadaku, tapi aku tahu jika aku tak mungkin membalas semua ucapan mereka. Langkahku terayun cepat, menuju ruangan, sebelum kalimat demi kalimat yang mereka lontarkan semakin membuat hatiku sakit. Murahan.Satu kata itu terus menggema di kepalaku, seolah menghancurkan sisa ketenanganku yang berusaha kubangun sejak tadi malam. Aku membenamkan wajahku di atas meja, menutup kedua telingaku rapat. Tapi, sayangnya air mata ini tak lagi bisa kutahan. Sakit. Sakit sekali mendengar hal yang bahkan aku sendiri belum tau kebenarannya. “Kay?” panggil Fina dengan mengusap bahuku pelan. Aku buru-buru menyeka mataku, lalu mengangkat wajahku pelan. “Lo udah tau
Setelah merasa sedikit tenang, aku kembali melangkah menuju ruang tamu, tepat saat ponselku bedering dan nama Rayhan muncul di layar, panggilan dari suamiku yang membuat jantungku seketika berdetak lebih kencang. Ah, suamiku sedang apa kamu di sana?“Hey...,” sapa Rayhan begitu aku menggeser tombol hijau, senyum khasnya begitu membuatku tiba-tiba merasa rindu dengan kehadirannya. Dari background sata ini, aku bisa melihat jika dia sudah berada di kamar hotel—kemeja putihnya dengan dua kancing atas yang dibiarkan terbuka, dan rambutnya yang agak berantakan. “Lagi ngapain, hm? Kok kelihatannya pucet banget gitu?” lanjutnya dengan mata yang menajam.Aku buru-buru merapikan posisi dudukku, berusaha tetap tersenyum walau bibirku terasa kering. “Enggak, cuma capek aja ... hari ini capek banget rasanya,” alibiku mencoba bersikap manja seperti biasa.Rayhan menyipitkan matanya lagi, kali ini tatapannya terfokus pada wajahku. “Capek sampe kayak gitu? Kamu kelihatan lemes banget, Kay. Mukamu pu
“Waduh, Mbak Kayla ... kayaknya capek banget, ya, hari ini,” ujar Pak Jaja menyambutku ketika melihatku melangkah ke arahnya, membuka pintu belakang dengan cekatan.Aku menghela napas panjang, seolah setuju dengan ucapannya. “Iya, nih, Pak. Lumayan capek,” jawabku mengerucutkan bibir, lalu masuk, menyenderkan tubuhku,.memejamkan mata dan menarik napas panjang, seolah menghilangkan beban yang hari ini kurasakan.Tin. Tin.“Mari, Pak,” sapa Pak Jaja terdengar begitu renyah, membuatku membuka mata, melihat mobil yang mulai melaju dan meninggalkan halaman kantor dengan perlahan. Di sepanjang perjalanan, hanya ada suara mesin dan musik yang terdengar. Aku menatap kosong keluar jendela, memperhatikan lampu-lampu jalan yang mulai menyala satu per satu. Sementara pikiran terus menerus berputar—dengan kata “hamil” itu yang nggak juga mau hilang dari kepala, walau udah berkali-kali aku bilang ke diri sendiri kalau itu cuma sugesti.“Mbak Kayla kenapa diem aja, atuh? Biasanya juga suka cerita—te
“Lo nggak boleh mikir sejauh itu, Kay,” bisikku menggeleng pelan, menatap diriku sendiri melalui pantulan cermin, tapi, air mata di sudut mataku justru menetes, tanpa permisi. Aku menggigit bibir bawahku lebih keras, seolah rasa sakit itu bisa menghilangkan kegelisahan yang ada di dalam dadaku. “Nggak mungkin,” gumamku, berulang-ulang, seolah dengan mengucapkannya, aku bisa mengubah kenyataan yang ada. Tapi setiap detik yang kulalui justru terasa seolah memperjelas semuanya. “Argh!” geramku tertahan. Mencengkeram pinggiran wastafel hingga buku-buku jariku memutih. “Hidup gue kenapa segila ini sih?!” Drt. Drt. Getaran diponselku membuatku sedikit tersentak, aku menatap wajahku sekali lagi, mengamatinya dari dalam. Lalu kuhela napas panjang, menghilangkan semua beban yang begitu berat. Tanganku terangkat menerima telepon dengan nama Fina tertera di layar ponsel, membuatku menghela napas sekali lagi. “Iya ... gue balik,” ujarku singkat sebelum mendengar sepatah katapun dari Fina. Lal
Aku terlonjak begitu mendengar suara yang tak asing untukku, sontak, aku menyembunyikan ponsel di belakang tubuhku dan ketika berbalik badan, aku mendapati Siska yang tengah berdiri di ambang pintu dengan tangan bersidekap dada.“Lagi baca apa tuh?” tanyanya dengan mengangkat wajahnya tinggi, seolah sengaja mengintip apa yang kubaca.“Nggak, cuma—artikel kesehatan biasa,” alibiku, menggelengkan kepala singkat.Siska menaikkan sebelah alisnya, menatapku dengan tatapan merendakan. “Artikel kesehatan yang lagi bahas ‘tanda-tanda awal kehamilan’, ya?” tanyanya membuat jantungku mencelos. “Saya nggak salah denger kan, ya, tadi ada yang ngomong hamil-hamil gitu,” lanjutnya dengan tersenyum miring.Darahku seperti berhenti mengalir, tubuhku lemas, dan masalah baru sepertinya akan segea datang. “Kak Siska, jangan salah paham dulu, deh,” ujarku mencoba terlihat biasa, padahal, rasa gugup sudah menghampiri seluruh tubuhku.Siska kembali menaikkan satu alisnya, kali ini tatapannya semakin meneli
Sudah hampir sebulan sejak kepulanganku dari Zimbabwe. Semua kembali seperti semula — rapat, laporan, jadwal klien, dan rutinitas kantor yang sangat padat, termasuk Rayhan yang sibuk dengan urusan kantor dan meeting bolak balik ke luar negeri. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini tiap kali aku melihat layar laptop, pikiranku sering melayang ke padang savana — ke suara gajah dari kejauhan, dan tawa Rayhan waktu memotretnya diam-diam.“Fin, bisa nggak kopinya jauhin dulu?” ucapku cepat dengan menahan napas.Fina yang tengah mengetik sesuatu, kini menghentikan gerakannya, lalu menatapku dengan dahi berkerut. “Hah? Lah kenapa?” tanyanya bingung. "Biasanya juga luo oke aja ... apalagi ini kopi yang lo biasa minum juga."Aku buru-buru menggelengkan kepala. “Gue mual Fin. Serius, gue kayak nggak kuat sama baunya.”Fina langsung memindahkan tumblernya sedikit menjauhiku lalu kembali menatapku penuh heran, “Lho, lo kenapa sih? Muka lo juga pucet banget. Jangan-jangan lo masih jetlag, lagi?”Aku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments