“Ya Tuhan!” katanya seraya bertepuk tangan kecil. “Kamu mirip banget sama aktris Korea! Siapa ya ... yang main di Crash Landing on You!”
Aku tersenyum mendengarnya, rupanya Tante Nara nggak galak kayak tante-tante pada umumnya. “Son Ye-jin?” tebakku lagi.
“YES! Astaga, Tante suka banget nonton drakor! Kamu juga suka?” tanya Tante Nara dengan nada antusias.
Aku menganggukkan kepala cepat. “Suka banget, Tante! Sekarang lagi nonton Queen of Tears!” jawabku tak kalah antusias..
“Soundtracknya tuh bikin baper banget, ya! Bisa-bisanya Tante nangis tiap kali denger lagu itu,” katanya sambil mentutup mata dan bersenandung lirih.
“Sama, Tan! Kayak kok bisa sih?” ujarku dramatis.
Tante Nara masih ketawa geli sambil menyuap potongan dessert ke mulutnya. “Aduh Han, kamu ini ya … bisa-bisanya tiba-tiba bawa cewek cantik kayak gini terus bilang udah nikah. Tante jadi ngerasa tua banget, ketinggalan momen penting di hidup kamu tau!” ujarnya sedikit cemberut.
Rayhan hanya tersenyum tipis, lalu bersandar di kursinya. “Lagian Tante di luar terus. Nggak bosen apa? Sampe nggak tau keponakan kesayangannya ini nikah.”
Tante Nara membulatkan matanya. “Sombong amat keponakan Tante satu ini. Kalau tahu kamu mau nikah, ya Tante pasti pulang lah!” semprotnya lagi.
Rayhan hanya mengangkat alisnya santai. “Makanya, Tante rajin pulang. Tapi ya udah, walaupun nggak dateng, warisan bisa langsung diserahin kan, Tan?” tanya Rayhan.
Tante Nara langsung tertawa keras seraya menggelengkan kepalanya. “Dasar kamu! Belum-belum udah mikirin warisan aja!”
Aku cuma bisa tersenyum menyimak obrolan mereka sambil pura-pura fokus pada dessert, padahal dalam hati bergulat, ini beneran ya, warisan jadi alasan utama pernikahan dadakan ini?
Tante Nara menatap jam tangannya dan menghela napas pelan. “Wah, nggak kerasa udah malem aja, nih. Besok pagi Tante harus ke bandara lagi. Flight ke Milan jam tujuh pagi.”
Aku langsung menoleh. “Wah, tante mau balik lagi ke luar negeri?” ujarku tak percaya.
Dia tersenyum lembut padaku. “Iya, Sayang. Ada beberapa galeri seni yang harus diurus. Tapi nanti Tante pasti balik lagi, terutama kalau kalian ada acara khusus. Eh, atau nambah anggota baru, siapa tahu?” ujarnya menatapku dan Rayhan bergantian.
Rayhan langsung terbatuk kecil—entah karena tersedak air putih atau tersedak omongan tantenya sendiri.
“A-amin, Tante…,” ujarku tersenyum kaku.
Tante Nara bangkit dari duduknya lalu meraih tanganku. “Senang banget bisa ketemu sama kamu. Tante titip Rayhan, ya. Anak itu dingin di luar doang, dalemnya tuh kayak mochi—lembek dan manis kalau udah sayang.”
“Tan, jangan buka rahasia negara, dong.”
Sebelum pamit, Tante Nara mencium pipiku singkat dan memeluk Rayhan erat. “Jaga istrimu baik-baik. Tante seneng kamu akhirnya bisa nemu yang cocok.”
Rayhan hanya mengangguk dengan senyum tipis di bibirnya. Tapi matanya sempat melirikku sekilas, dan entah kenapa... senyumnya tak sedingin biasanya.
Sebelum benar-benar beranjak, Tante Nara berhenti sejenak dan membuka tas mahalnya yang elegan. Ia mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru tua, kecil tapi terlihat mewah. Ia menatapku sambil tersenyum hangat.
“Hampir aja Tante lupa. Ini ada sedikit hadiah dari Tante buat kamu, Kayla.”
Aku menerima kotak itu dengan kedua tangan, tetapi wajahku masih bingung. Aku membukanya dengan perlahan, mataku langsung membelalak. Di dalamnya ada satu set perhiasan berlian—kalung, anting, dan cincin. Semuanya berkilau indah, dengan desain elegan yang nggak norak tapi jelas bukan barang murah.
“Ta … Tante?” suaraku nyaris berbisik. “Ini … buat aku?”
Tante Nara mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu cantik, sopan, dan punya aura ceria yang segar banget. Tante suka kamu dari pertama Tante lihat. Dan perhiasan ini memang udah Tante simpan lama buat istri Rayhan, siapa pun dia nanti. Ternyata, kamu yang jadi isterinya,” ujarnya mengusap tanganku.
Aku melongo tak percaya. Antara terharu, bingung, dan... panik. Karena ini beneran berlian asli, bukan aksesoris pasar malam yang biasa aku beli.
Rayhan berdiri di sampingku, ia menatap kotak itu sekilas lalu berkata datar, “Kalau nggak suka, bisa tuker ke butik langganan Tante. Ada cabangnya di Singapura, Paris, sama Dubai ... tinggal pilih mau yang mana."
Aku melirik ke arahnya dengan tatapan ‘ya Tuhan ini orang serius banget’. Tapi bibirku justru membentuk senyum kaku—lagi-lagi. “Terima kasih banyak, Tante… Ini mewah banget buat aku,” ujarku tulus.
Tante Nara menepuk tanganku pelan. “Nggak ada yang terlalu mewah buat istri keponakan kesayangan Tante. Pakai ya, nanti kalau dinner resmi atau ada event perusahaan. Biar semua orang tahu Rayhan Alvaro istrinya bukan cuma cantik, tapi juga menawan.”
“Terima kasih, Tante. Tante hati-hati, ya?” ujarku melambaikan tangan padanya.
Begitu keluar dari restoran, udara malam kota Jakarta menyambut dengan semilir angin yang entah kenapa terasa dramatis. Atau mungkin karena aku masih syok habis dikasih berlian beneran sama tante ipar CEO—bukan boneka panda, bukan cokelat batangan, tapi berlian.
Rayhan membuka pintu mobil hitamnya, lalu menoleh sambil menyandarkan tangan di atap mobil. Gayanya kayak model iklan parfum mahal. “Ayo ... atau mau nginep?” tanyanya santai, dagunya mengarah ke hotel bintang lima di belakang kami. “Suite paling atas kosong. Kalau mau, gadaiin aja satu berlian dari Tante Nara.”
Aku mendelik kesal. “Ya ampun, kamu pikir aku apa? Cinderella yang naik level jadi Sugar Baby? Segala ngabisin ratusan juta buat nginep semalem gini.”
“Kita udah nikah. Dan kamu istri CEO, bukan lagi sugar baby. Jadi nggak papa kalo mau nginep—asal pakai nama suami.”
Aku ngibrit masuk mobil duluan sebelum dia makin ngawur. “Aku pulang ke apartemen aja. Mau cuci muka, ganti hoodie, terus maraton drakor. Berlian ini nanti aku simpan buat acara award show ... kalau tiba-tiba jadi aktris.”
Begitu mobil melaju meninggalkan restoran mewah itu, aku masih menatap kotak berlian di pangkuanku. Sumpah demi tahu bulat, ini beneran kejadian?
Rayhan melirikku dari sisi kanan. “Ngapain diliatin terus? Kamu pikir isinya bisa ganti jadi nasi padang, gitu?”
Kata-kata itu terasa menusuk lebih dalam dari yang kukira. Aku menundukkan kepala cepat, menggigit bibir bawah, dan menahan air mata yang hampir jatuh di depan mereka. Nafasku berat—dan semua suara di sekitar terdengar seperti gema yang memekakkan."Eh itu tuh ada anaknya."Aku mengepalkan tanganku, menahan rasa kesal yang kini menyelingkupi dadaku, tapi aku tahu jika aku tak mungkin membalas semua ucapan mereka. Langkahku terayun cepat, menuju ruangan, sebelum kalimat demi kalimat yang mereka lontarkan semakin membuat hatiku sakit. Murahan.Satu kata itu terus menggema di kepalaku, seolah menghancurkan sisa ketenanganku yang berusaha kubangun sejak tadi malam. Aku membenamkan wajahku di atas meja, menutup kedua telingaku rapat. Tapi, sayangnya air mata ini tak lagi bisa kutahan. Sakit. Sakit sekali mendengar hal yang bahkan aku sendiri belum tau kebenarannya. “Kay?” panggil Fina dengan mengusap bahuku pelan. Aku buru-buru menyeka mataku, lalu mengangkat wajahku pelan. “Lo udah tau
Setelah merasa sedikit tenang, aku kembali melangkah menuju ruang tamu, tepat saat ponselku bedering dan nama Rayhan muncul di layar, panggilan dari suamiku yang membuat jantungku seketika berdetak lebih kencang. Ah, suamiku sedang apa kamu di sana?“Hey...,” sapa Rayhan begitu aku menggeser tombol hijau, senyum khasnya begitu membuatku tiba-tiba merasa rindu dengan kehadirannya. Dari background sata ini, aku bisa melihat jika dia sudah berada di kamar hotel—kemeja putihnya dengan dua kancing atas yang dibiarkan terbuka, dan rambutnya yang agak berantakan. “Lagi ngapain, hm? Kok kelihatannya pucet banget gitu?” lanjutnya dengan mata yang menajam.Aku buru-buru merapikan posisi dudukku, berusaha tetap tersenyum walau bibirku terasa kering. “Enggak, cuma capek aja ... hari ini capek banget rasanya,” alibiku mencoba bersikap manja seperti biasa.Rayhan menyipitkan matanya lagi, kali ini tatapannya terfokus pada wajahku. “Capek sampe kayak gitu? Kamu kelihatan lemes banget, Kay. Mukamu pu
“Waduh, Mbak Kayla ... kayaknya capek banget, ya, hari ini,” ujar Pak Jaja menyambutku ketika melihatku melangkah ke arahnya, membuka pintu belakang dengan cekatan.Aku menghela napas panjang, seolah setuju dengan ucapannya. “Iya, nih, Pak. Lumayan capek,” jawabku mengerucutkan bibir, lalu masuk, menyenderkan tubuhku,.memejamkan mata dan menarik napas panjang, seolah menghilangkan beban yang hari ini kurasakan.Tin. Tin.“Mari, Pak,” sapa Pak Jaja terdengar begitu renyah, membuatku membuka mata, melihat mobil yang mulai melaju dan meninggalkan halaman kantor dengan perlahan. Di sepanjang perjalanan, hanya ada suara mesin dan musik yang terdengar. Aku menatap kosong keluar jendela, memperhatikan lampu-lampu jalan yang mulai menyala satu per satu. Sementara pikiran terus menerus berputar—dengan kata “hamil” itu yang nggak juga mau hilang dari kepala, walau udah berkali-kali aku bilang ke diri sendiri kalau itu cuma sugesti.“Mbak Kayla kenapa diem aja, atuh? Biasanya juga suka cerita—te
“Lo nggak boleh mikir sejauh itu, Kay,” bisikku menggeleng pelan, menatap diriku sendiri melalui pantulan cermin, tapi, air mata di sudut mataku justru menetes, tanpa permisi. Aku menggigit bibir bawahku lebih keras, seolah rasa sakit itu bisa menghilangkan kegelisahan yang ada di dalam dadaku. “Nggak mungkin,” gumamku, berulang-ulang, seolah dengan mengucapkannya, aku bisa mengubah kenyataan yang ada. Tapi setiap detik yang kulalui justru terasa seolah memperjelas semuanya. “Argh!” geramku tertahan. Mencengkeram pinggiran wastafel hingga buku-buku jariku memutih. “Hidup gue kenapa segila ini sih?!” Drt. Drt. Getaran diponselku membuatku sedikit tersentak, aku menatap wajahku sekali lagi, mengamatinya dari dalam. Lalu kuhela napas panjang, menghilangkan semua beban yang begitu berat. Tanganku terangkat menerima telepon dengan nama Fina tertera di layar ponsel, membuatku menghela napas sekali lagi. “Iya ... gue balik,” ujarku singkat sebelum mendengar sepatah katapun dari Fina. Lal
Aku terlonjak begitu mendengar suara yang tak asing untukku, sontak, aku menyembunyikan ponsel di belakang tubuhku dan ketika berbalik badan, aku mendapati Siska yang tengah berdiri di ambang pintu dengan tangan bersidekap dada.“Lagi baca apa tuh?” tanyanya dengan mengangkat wajahnya tinggi, seolah sengaja mengintip apa yang kubaca.“Nggak, cuma—artikel kesehatan biasa,” alibiku, menggelengkan kepala singkat.Siska menaikkan sebelah alisnya, menatapku dengan tatapan merendakan. “Artikel kesehatan yang lagi bahas ‘tanda-tanda awal kehamilan’, ya?” tanyanya membuat jantungku mencelos. “Saya nggak salah denger kan, ya, tadi ada yang ngomong hamil-hamil gitu,” lanjutnya dengan tersenyum miring.Darahku seperti berhenti mengalir, tubuhku lemas, dan masalah baru sepertinya akan segea datang. “Kak Siska, jangan salah paham dulu, deh,” ujarku mencoba terlihat biasa, padahal, rasa gugup sudah menghampiri seluruh tubuhku.Siska kembali menaikkan satu alisnya, kali ini tatapannya semakin meneli
Sudah hampir sebulan sejak kepulanganku dari Zimbabwe. Semua kembali seperti semula — rapat, laporan, jadwal klien, dan rutinitas kantor yang sangat padat, termasuk Rayhan yang sibuk dengan urusan kantor dan meeting bolak balik ke luar negeri. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini tiap kali aku melihat layar laptop, pikiranku sering melayang ke padang savana — ke suara gajah dari kejauhan, dan tawa Rayhan waktu memotretnya diam-diam.“Fin, bisa nggak kopinya jauhin dulu?” ucapku cepat dengan menahan napas.Fina yang tengah mengetik sesuatu, kini menghentikan gerakannya, lalu menatapku dengan dahi berkerut. “Hah? Lah kenapa?” tanyanya bingung. "Biasanya juga luo oke aja ... apalagi ini kopi yang lo biasa minum juga."Aku buru-buru menggelengkan kepala. “Gue mual Fin. Serius, gue kayak nggak kuat sama baunya.”Fina langsung memindahkan tumblernya sedikit menjauhiku lalu kembali menatapku penuh heran, “Lho, lo kenapa sih? Muka lo juga pucet banget. Jangan-jangan lo masih jetlag, lagi?”Aku