Share

MJIC - 6

Author: senjaaaaaa
last update Last Updated: 2025-07-08 15:21:06

 “Ya Tuhan!” katanya seraya bertepuk tangan kecil. “Kamu mirip banget sama aktris Korea! Siapa ya ... yang main di Crash Landing on You!” 

Aku tersenyum mendengarnya, rupanya Tante Nara nggak galak kayak tante-tante pada umumnya. “Son Ye-jin?” tebakku lagi.

“YES! Astaga, Tante suka banget nonton drakor! Kamu juga suka?” tanya Tante Nara dengan nada antusias.

Aku menganggukkan kepala cepat. “Suka banget, Tante! Sekarang lagi nonton Queen of Tears!” jawabku tak kalah antusias..

“Soundtracknya tuh bikin baper banget, ya! Bisa-bisanya Tante nangis tiap kali denger lagu itu,” katanya sambil mentutup mata dan bersenandung lirih.

“Sama, Tan! Kayak kok bisa sih?” ujarku dramatis.

Tante Nara masih ketawa geli sambil menyuap potongan dessert ke mulutnya. “Aduh Han, kamu ini ya … bisa-bisanya tiba-tiba bawa cewek cantik kayak gini terus bilang udah nikah. Tante jadi ngerasa tua banget, ketinggalan momen penting di hidup kamu tau!” ujarnya sedikit cemberut.

Rayhan hanya tersenyum tipis, lalu bersandar di kursinya. “Lagian Tante di luar terus. Nggak bosen apa? Sampe nggak tau keponakan kesayangannya ini nikah.”

Tante Nara membulatkan matanya. “Sombong amat keponakan Tante satu ini. Kalau tahu kamu mau nikah, ya Tante pasti pulang lah!” semprotnya lagi.

Rayhan hanya mengangkat alisnya santai. “Makanya, Tante rajin pulang. Tapi ya udah, walaupun nggak dateng, warisan bisa langsung diserahin kan, Tan?” tanya Rayhan.

Tante Nara langsung tertawa keras seraya menggelengkan kepalanya. “Dasar kamu! Belum-belum udah mikirin warisan aja!”

Aku cuma bisa tersenyum menyimak obrolan mereka sambil pura-pura fokus pada dessert, padahal dalam hati bergulat, ini beneran ya, warisan jadi alasan utama pernikahan dadakan ini?

Tante Nara menatap jam tangannya dan menghela napas pelan. “Wah, nggak kerasa udah malem aja, nih. Besok pagi Tante harus ke bandara lagi. Flight ke Milan jam tujuh pagi.”

Aku langsung menoleh. “Wah, tante mau balik lagi ke luar negeri?” ujarku tak percaya.

Dia tersenyum lembut padaku. “Iya, Sayang. Ada beberapa galeri seni yang harus diurus. Tapi nanti Tante pasti balik lagi, terutama kalau kalian ada acara khusus. Eh, atau nambah anggota baru, siapa tahu?” ujarnya menatapku dan Rayhan bergantian.

Rayhan langsung terbatuk kecil—entah karena tersedak air putih atau tersedak omongan tantenya sendiri.

 “A-amin, Tante…,” ujarku tersenyum kaku.

Tante Nara bangkit dari duduknya lalu meraih tanganku. “Senang banget bisa ketemu sama kamu. Tante titip Rayhan, ya. Anak itu dingin di luar doang, dalemnya tuh kayak mochi—lembek dan manis kalau udah sayang.”

“Tan, jangan buka rahasia negara, dong.”

Sebelum pamit, Tante Nara mencium pipiku singkat dan memeluk Rayhan erat. “Jaga istrimu baik-baik. Tante seneng kamu akhirnya bisa nemu yang cocok.”

Rayhan hanya mengangguk dengan senyum tipis di bibirnya. Tapi matanya sempat melirikku sekilas, dan entah kenapa... senyumnya tak sedingin biasanya.

Sebelum benar-benar beranjak, Tante Nara berhenti sejenak dan membuka tas mahalnya yang elegan. Ia mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru tua, kecil tapi terlihat mewah. Ia menatapku sambil tersenyum hangat.

“Hampir aja Tante lupa. Ini ada sedikit hadiah dari Tante buat kamu, Kayla.”

Aku menerima kotak itu dengan kedua tangan, tetapi wajahku masih bingung. Aku membukanya dengan perlahan, mataku langsung membelalak. Di dalamnya ada satu set perhiasan berlian—kalung, anting, dan cincin. Semuanya berkilau indah, dengan desain elegan yang nggak norak tapi jelas bukan barang murah.

“Ta … Tante?” suaraku nyaris berbisik. “Ini … buat aku?”

Tante Nara mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu cantik, sopan, dan punya aura ceria yang segar banget. Tante suka kamu dari pertama Tante lihat. Dan perhiasan ini memang udah Tante simpan lama buat istri Rayhan, siapa pun dia nanti. Ternyata, kamu yang jadi isterinya,” ujarnya mengusap tanganku.

Aku melongo tak percaya. Antara terharu, bingung, dan... panik. Karena ini beneran berlian asli, bukan aksesoris pasar malam yang biasa aku beli.

Rayhan berdiri di sampingku, ia menatap kotak itu sekilas lalu berkata datar, “Kalau nggak suka, bisa tuker ke butik langganan Tante. Ada cabangnya di Singapura, Paris, sama Dubai ... tinggal pilih mau yang mana."

Aku melirik ke arahnya dengan tatapan ‘ya Tuhan ini orang serius banget’. Tapi bibirku justru membentuk senyum kaku—lagi-lagi. “Terima kasih banyak, Tante… Ini mewah banget buat aku,” ujarku tulus.

Tante Nara menepuk tanganku pelan. “Nggak ada yang terlalu mewah buat istri keponakan kesayangan Tante. Pakai ya, nanti kalau dinner resmi atau ada event perusahaan. Biar semua orang tahu Rayhan Alvaro istrinya bukan cuma cantik, tapi juga menawan.”

“Terima kasih, Tante. Tante hati-hati, ya?” ujarku melambaikan tangan padanya.

Begitu keluar dari restoran, udara malam kota Jakarta menyambut dengan semilir angin yang entah kenapa terasa dramatis. Atau mungkin karena aku masih syok habis dikasih berlian beneran sama tante ipar CEO—bukan boneka panda, bukan cokelat batangan, tapi berlian.

Rayhan membuka pintu mobil hitamnya, lalu menoleh sambil menyandarkan tangan di atap mobil. Gayanya kayak model iklan parfum mahal. “Ayo ... atau mau nginep?” tanyanya santai, dagunya mengarah ke hotel bintang lima di belakang kami. “Suite paling atas kosong. Kalau mau, gadaiin aja satu berlian dari Tante Nara.”

Aku mendelik kesal. “Ya ampun, kamu pikir aku apa? Cinderella yang naik level jadi Sugar Baby? Segala ngabisin ratusan juta buat nginep semalem gini.”

“Kita udah nikah. Dan kamu istri CEO, bukan lagi sugar baby. Jadi nggak papa kalo mau nginep—asal pakai nama suami.”

Aku ngibrit masuk mobil duluan sebelum dia makin ngawur. “Aku pulang ke apartemen aja. Mau cuci muka, ganti hoodie, terus maraton drakor. Berlian ini nanti aku simpan buat acara award show ... kalau tiba-tiba jadi aktris.”

Begitu mobil melaju meninggalkan restoran mewah itu, aku masih menatap kotak berlian di pangkuanku. Sumpah demi tahu bulat, ini beneran kejadian?

Rayhan melirikku dari sisi kanan. “Ngapain diliatin terus? Kamu pikir isinya bisa ganti jadi nasi padang, gitu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 170 - Pingsan

    Aku nggak tahu sudah berapa lama aku meninggalkan apartemen. Yang aku tahu cuma satu, kakiku terus melangkah tanpa tujuan, sementara pikiranku makin penuh, makin berat, makin berisik. Udara pagi yang harusnya sejuk malah terasa nyelekit di kulitku. Rasanya kayak semua orang punya tempat pulang … kecuali aku. Tadinya aku cuma pengen keluar sebentar biar bisa menghirup udara segar. Tapi makin jauh aku melangkah, makin sesak dada ini. Overthinking itu kayak gelombang, makin aku coba abaikan, makin kencang dia datang. Bayangan foto itu—aku dan Rayhan dari belakang, di depan dokter. Komentar-komentar grup kantor yang membuatku semakin terpojok. Bisik-bisik yang seakan mengambil kesimpulan sendiri. Semua itu muter menerus berputar di kepala. “Aku … harusnya … nggak kayak gini,” gumamku lirih, menggeleng. Langkahku mulai sedikit gontai. Aku berhenti di sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari komplek apartemen. Anginnya sepoi menerbangkan dedaunan, tapi dunia rasanya berputar t

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 169 - Kabur

    Komentar mulai masuk satu per satu. Seakan foto itu menjadi hal yang menarik bagi mereka. Aku menutup mulutku menggunakan tangan, menatap foto itu tak percaya.Reno: “Nah ini nih yang gue bilang! Liat kan??!”Shinta: “ASTAGA. Ini KAYAK APAAN TAU NGGAK SIH?? BENERAN BERDUAAN DONG SAMA PAK RAYHAN??”Tania: “Omg ... ini jelas-jelas bukan hubungan profesional antara CEO sama ANAK MAGANG. Kayla megang perut. Pak Rauhan liat Kayla. Plis.”Lina – Admin HR: “Guys stop dulu ... pembahasan ini udah nggak enak. Tapi ... iya sih ... ini lebih dari mencurigakan dari apapun yang ada di pikiran kita.”Darahku berdesir. Aku menggigit jari telunjukku kencang, sampai aku hampir nggak merasakan sakit apa-apa.Air mataku jatuh lagi. Hatiku kacau. Jantungku berdetak kencang. Rasa sedih dan mual yang kurasakan, menghilang entah kemana.Takut.Malu.Dan ... terpojok.Aku menggeleng kencang. “Aku nggak ... aku nggak ngapa-ngapain ... Rayhan ... cuma nganterin ... cuma nganter doang ...,” suaraku pecah, padah

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 168 - Kok Bisa Kayak Gini

    “Aduh ...,” desisku menekan perut dan dada, ketika rasa pahit naik mulai ke tenggorokan, membuat lidahku kelu.Aku menutup mulutku dan buru-buru bangkit dari tempat tidur. Kakiku goyah, langkahku terseret menuju kamar mandi. Begitu sampai, aku berpegang pada wastafel, mencoba menarik napas ... tapi rasa mual itu kembali menyerang.“A—ah ...,” aku memuntahkan isi perutku yang sebenarnya baru terisi sedikit. Mualnya semakin terasa, sampai mataku pedih dan air mata mengalir di peluuk mataku, bercampur dengan rasa perih di tenggorokan.Kumuntahkan semua yang ada diperut, meskipun hanya tersisa cairan bening. Tanganku gemetar, tubuhku dingin. Napasku tersendat, dadaku naik turun tak karuan.“Kenapa ... mual terus,” gumamku lirih, membasuh wajah dengan air dingin, sedikit menyegarkan. Aku engusap perutku lembut, “Baby, jangan mual terus, ya. Mama capek,” bisikku.Tanganku bergerak menyentuh pipi yang masih basah—campuran antara air mata, keringat dingin dan air.“Lemes banget,” lirihku, ber

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 167 - Ray, Pulanglah

    Aku masih meringkuk di sofa, dengan selimut menutupi setengah tubuhku. Napasku masih tersengal, dada terasa ketarik tiap kali aku mencoba mengatur napas. Mata sudah memanas, tapi masih ada sisa air yang jatuh tanpa izin.Apartemen ini ... senyap.Terlalu senyap, sampai aku bisa mendengar detak jam dinding yang berdenting pelan tapi nyaris menusuk telinga.Dan semakin lama aku terdiam, semakin keras kesunyian itu menampar diriku.Aku akhirnya bangun, berdiri dengan langkah yang goyah. Entah kenapa kakiku membawaku kembali ke dapur—ke meja makan—ke tempat ia ninggalin sarapan tadi.Sticky note kecil itu masih di sana.Tulisan Rayhan yang rapi itu menatapku balik.Love, Rayhan.Aku mendesah pelan, suaraku retak.“Love ...,” ulangku lirih, pahit banget rasanya.Tanganku menyentuh catatan itu, tapi aku cepat-cepat menariknya lagi, takut tambah nangis.“Kenapa kamu ninggalin aku gini, Ray ...?” Suara itu keluar begitu saja. Getir, pecah, tak terhankan.Aku mengambil bubur itu lagi, mencoba

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 166 - Aku Nggak Papa

    “Oh ... yaudah. Aku matiin ya, Sayang.”Aku membuka mulut, ingin menahannya lebih lama—“Tapi nanti aku telepon lagi, ya,” ujar Rayhan tergesa, terdengar suara kursi yang sedikit bbergeser.“Oh ... ya,” sahutku lirih. “Aku—”Klik.Telepon terputus.Tubuhku kaku, jantungku mulai berdebar tak karuan, keringat dingin mulai merasuki badanku. Aku mendekatkan ponsel ke telinga, seolah barangkali tadi cuma salah pencet dan telepon masih tersambung.“... Ray?” bisikku memastikan. Aku menekan telepon lebih dalam, mempertajam pendengaranku.Sunyi.Aku menelan ludah kasar, menekan tombol layar lagi, memastikan nama Rayhan masih tertera di sana.Panggilan sudah berakhir. Nggak ada suaranya yang menenangkan. Nggak ada tarikan napasnya yang terdengar lelah. Nggak ada panggilan “Sayang?” yang biasanya selalu muncul tiap aku terdiam sebentar.“Ray ...?” panggilku sekali lagi, kali ini semakin pelan.Tetap hening, tanpa suara sedikitpun.Dadaku semakin sesak. Tanganku yang memegang ponsel, kini berge

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 165 - Nangis

    Aku terbangun ketika matahari pagi menembus tirai kamar dari sela-sela gorden. Aku mengerjap pelan, rasanya keplaku sedikit berat. Tanganku meraba sisi ranjang di sebelahku.Kosong.Aku menoleh perlahan, mengerutkan dahi sembari mengembalikan kesadaran. “Rayhan,” lirihku setengah sadar. “Kamu dimana?” lanjutku sedikit berteriak.Aku segara bangun dan bersandar, merapikan rambutku yang masih berantakan. Jam di dinding menunjukkan pukul 7 lebih sedikit. Aku kembali mengedarkan pandangan menyapu seluruh penjuru kamar sembari menajamkan pendengaranku, berharap Rayhan hanya keluar kamar. Tapi, nihil. Tas kerja yang biasa ia bawa, sudah hilang, lengkap dengan jam tangan terbarunya.Rayhan ... udah berangkat?“Rayhan?” teriakku lagi. Aku menyibakkan selimut dan mencoba mengingat kejadian semalam. Aku mengingat lagi—saat aku terbangun di tengah malam, lampu kamar masih menyala. Sepertinya dia masih kerja ... atau masih kepikiran sesuatu.Aku melangkah cepat ke kamar mandi, membersihka wajahku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status