“Tidur, kan? Ya merem. Emang selama ini kamu tidurnya gimana?”
Aku membulatkan mata, lalu berjalan dan duduk di kasur yang super empuk. “Kita tidur berdua di sini?” tanyaku menepuk kasur, memastikan.
“Saya bisa tidur di sofa kalo kamu nggak nyaman,” ucapnya sambil menyimpan jasnya di hanger. “Atau kita gantian. Nanti malam kamu, besok saya.”
Aku mengangguk cepat. Oke. Oke. Aman. Aman. Ini masih profesional.
“Gampang banget panik. Lucu juga sih,” gumannya yang masih bisa kudengar
Gila. Itu senyum dia barusan… barusan muncul? CEO es batu ini bisa senyum?
Aku berdehem, ingin mengatakan sesuatu tapi sedikit sungkan, “Dapur di mana, ya?” ujarku menatap punggung kekarnya.
“Lurus. Belok kanan, ada pintu, masuk,” jelasnya dengan singkat.
Aku mengangguk walaupun sedikit tak paham, lalu melangkahkan kaki dengan mengamati apartemen ini yang seperti ... hotel bintang lima! Ah bahkan lebih! Duit darimana ya kok bisa punya apartemen semewah ini di usia yang muda?
Aku membuka kulkas empat pintu yang menjulang tinggi. “Wahhh,” ujarku menatap takjub dengan isi kulkas yang sangat lengkap. “Gila! Ini gratis kan ya kalo gue makan? Enak juga ya kalo tiap hari hidup gue kayak gini,” ujarku mengambil dua bungkus snack dan satu kaleng softdrink, lalu menentengnya kembali ke sofa.
“Pak! Eh, Rayhan! Saya ambil ini, boleh?” ujarku menunjukkan makanan, meminta izin.
Rayhan yang tengah bermain ponselnya, menoleh singkat. “Ambil aja.”
Aku mengangguk, “Makasi.” Lalu duduk di sofa tak jauh darinya, membuka tablet dan ... me time dimulai! “Saya mau nonton dulu,” ujarku menatap Rayhan ketika ia akan menutup pintu ruang kerjanya.
“Udah jam tujuh malem. Tante Nara udah di jalan,” kata Rayhan dari balik ruang kerja, suaranya datar tapi tetap mengejutkanku.
“Hah? Sekarang banget?” ujarku setelah menekan tombol pause. “Gue pake baju apa lagi nih?”
“Ada dress di lemari, coba aja mana yang cocok,” ujar Rayhan seolah mengerti kegelisahanku.
Aku bergegas membuang bungkus snack dan berlalu menuju kamar, menelusuri satu per satu dress yang harganya nggak keliatan murah, “Ini sih lebih dari dress,” ujarku menggelengkan kepala.
“Ini?” ujarku menenteng sebuah dress dan membawanya pada Rayhan.
“Boleh,” ujarnya mengangguk. “Jangan sampai gagal, bisa gagal juga warisan saya.”
Oke. Nggak boleh gagal, katanya. Dinner ini kayak ujian nasional—bedanya yang dipertaruhkan bukan ijazah, tapi status jadi istri CEO. Aku berdiri di depan cermin besar di kamar, memakai dress pastel lembut yang jatuh pas di badan. Makeup-ku ringan—BB cream, sedikit blush on, alis dirapihin, dan lip tint warna peach. Natural, tapi cukup buat kelihatan ‘istri CEO yang anggun dan nggak norak’.
“Kayla?” suara Rayhan terdengar dari luar. “Udah siap?”
Aku menelan ludah dengan susah payah, “Bentar. Lagi ngumpulin keberanian di detik-detik terakhir.”
Satu menit kemudian, aku keluar dari kamar dan menemukan Rayhan udah berdiri di ruang tengah. Dia memakai setelan jas berwarna gelap dengan dalaman abu-abu muda, rambut ditata rapi, dan aroma parfum mahal begitu terasa menenangkan.
Dia melirik ke arahku—naik turun—dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Cukup cantik untuk menyelamatkan rencana warisan keluarga,” komentarnya singkat.
Aku mencibir ucapannya. “Dan cukup sopan buat nggak dikira lagi nyari sugar daddy.”
Dia tertawa sekali, hanya sekali. “Yuk, sebelum kamu kebanyakan punchline.”
Aku mengikuti langkahnya dari belakang, sesekali meremas tali tas untuk meredakan debaran di dada yang begitu terasa. Bayangkan ... di bawa cowok buat ketemu sama keluarganya, tiba-tiba? Dengan status ‘isteri’? Sementara selama hidup, jangankan di bawa ke rumah, deket sama cowok aja jarang banget. Paling banter cuma jadi HTS, kalo nggak ya ... second choice, ujungnya sama-sama asing, lagi. Eh ini, sekalinya dibawa malah udah jadi isteri, walaupun kontrak, tapi kan tetep aja isteri.
Di dalam mobil, aku duduk dengan kaki yang rasanya mau kabur sendiri, tapi Rayhan keliatan tenang banget dari balik kemudi, seolah-olah ini cuma makan malam biasa. Padahal, di kepalaku, ini dinner diplomatik yang mempertaruhkan dua hubungan manusia.
“Tenang, Kay. Tante Nara baik, kok. Cuma kadang random aja.”
Aku menoleh padanya, “Kayak lagi wawancara beasiswa?”
“Kayak interview tapi diawasi sama CCTV.”
Detik berikutnya, keheningan melanda di dalam mobil. Hanya suara mesin dan klakson yang beberapa kali berbunyi, menemani perjalanan kita. Tak butuh waktu yang lama, mobil milik Rayhan sampai di sebuah mall mewah yang menyatu dengan hotel dan terletak di jantung Kota Jakarta.
“Ayo,” ajaknya begitu selesai memarkirman mobil.
Aku mengangguk, lalu melangkah tepat di sampngnya, tanpa bergantengan, tentunya. Begitu sampai di tempat yang dituju, aku langsung terpukau dengan lampu lampu kristal yang bergelantungan di atas kepala. Seorang pegawai mengarahkan kami menuju ruangan privat yang sudah dibooking khusus oleh Rayhan.
Aku duduk tepat di samping Rayhan seraya mengatur napas, “Masih lama?” tanyaku sedikit gugup.
“Sudah di bawah,” jawab Rayhan tanpa mlepaskan pandangannya dari ponsel.
Aku mengangguk paham, lalu memperhatikan pelayan yang mulai menyajikan hidangan pembuka satu per satu, “Terima kasih,” ucapku padanya.
Tak lama kemudian, Tante Nara datang dengan aura sosialita sejati—anggun, wangi, dan heels yang menjulan tinggi. Begitu mendudukan badannya, matanya langsung menatapku lekat-lekat.
“Tante,” sapaku menganggukan kepala, sekali.
“Nggak lucu, Dim.”Dimas terkekeh pelan, lalu terdengar tepukan tangan, sekali. “Ayo, Kay, sebentar aja. Nanti kamu bisa balik lagi ke sini kok kalo masih kangen, nggak bakal ilang juga Ayangmu itu.”Aku mengintip dari sela-sela jariku, lalu mulai membuk tangan dan menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan wajahku yang panas. Dalam hati, aku tahu Rayhan pasti masih nyimpen kalimat yang belum sempat keluar tadi. Dan aku ... degup jantungku belum mau tenang.“Saya nggak bakal acc semua cuti yang kamu ajukan,” ancam Rayhan terdengar menyeramkan.“ADUH ... jangan dong, Bos. Nanti Baby Pitha bisa ngamuk-ngamuk, bisa nggak dapet jatah saya,” jawab Dimas terdengar memelas.“Makanya yang sopan sama BOS,” jawab Rayhan menekan kata ‘bos.’“Siap. Ayo, Kay. Daripada riwayat hidupku lebih hancur.”“Oh ... i-iya, Mas,”
“Emang kamu belum sadar juga?” tanya Rayhan lagi.Aku mengangkat sebelah alisku, berusaha mencai jawaban dari pertanyaanku yang dijawab dengan pertanyaan juga olehnya. “Pertemuan ini ... kayaknya emang sengaja direncanain sama mereka, ya?” tanyaku mencoba menebak arah pembicaraan.Ia tertawa sinis, kemudian rautnya kembali berubah menjadi datar. “Bukan ‘kayak’ lagi, Kay,” jawabnya datar. “Emang sengaja.”Mulutku sedikit terbuka, ternyata ini bukan cuma perasaanku aja. “Apa ... maksudnya?” tanyaku pelan, nyaris berbisik.Rayhan mengangkat dagunya, lalu menatapku lekat-lekat. “Ya kita berdua sama-sama dijebak.”Deg!Kata-kata itu seakan menamparku habis-habisan, membuat napasku tercekat. Seolah baru sekarang aku sadar, ada benang merah yang nggak kelihatan ... ta
“Kamu kalo hah heh terus, aku cium lagi!” jawabnya terkesan mengancam.Aku sontak menggeser dudukku, menjauhinya, “Sumpah! Takut banget!” ujarku bergidik ngeri.Ia terkekeh pelan, seolah aku tengah bercanda dengan ucapanku barusan. “Takut kenapa sih?”Aku menahan napas sejenak, lalu menatapnya datar. “Rayhan ... kita kan udah bukan suami istri kontrak lagi. Jadi, ya ... jangan gitu-gitu lagi!” ucapku sambil menepuk mengibaskan tanganku, berusaha mempercayai apa yang kukatakan, padahal aslinya, aku berharap kalimat itu nggak pernah keluar dari bibirku.Rayhan menatapku dengan senyum miring. “Kata siapa kita bukan suami istri, Kay?” tanyanya sambil mencondongkan badan sedikit ke arahku, dan membuat jantungku berdegup kencang.Aku mengerjap cepat, lalu kembali terdiam, tetapi bibirku serasa kaku. “Eh ... maksudmu ... maksudmu gimana?” ujarku tergagap. Aku kebingungan sendiri, rasa
Rayhan masih menatapku dengan senyum miring di bibirnya, dan sebelum sempat aku bereaksi lagi—cup! Bibirnya menempel sebentar di bibirku. Hanya sepersekian detik, cepat, singkat ... tapi cukup untuk membuat seluruh tubuhku membeku.Aku refleks menahan napas, dan mataku membelalak kaget. Rasanya, dunia berhenti berputar dalam detik itu juga. Keringat dingin menyasar di seluruh tubuhku selaras dengan hatiku yang kian berdebar.Lalu ia menjauhkan badannya pelan, terkekeh singkat sambil melangkah mundur. “Heeeh ...,” ujarnya renyah tapi penuh dengan kemenangan. Dan dengan entengnya, ia melangkakan kakinya dan kembali duduk di kursi, “Makan dulu, ah,” ujarnya dengan santai, seolah baru aja nggak ngelakuin sesuatu yang bisa bikin jantungku copot.Aku masih diam mematung di tempatku berdiri. Tanganku terangkat pelan, menyentuh bibirku
Aku buru-buru melepaskan pelukanku dan mendorong tubuh Rayhan agar menjauh begitu mendengar suara Fina, sementara wajahku sudah memanas menahan malu. “F-Fina ... ini bukan ...,” ujarku menatapnya gugup.Sementara Rayhan cuma mendengus pelan, berdeham, berusaha tetap kalem padahal jelas wajahnya sedikit tegang.Fina berkedip-kedip cepat, tetapi gesture tubuhnya menandakan kao dia juga sama gugupnya, “Gue ... sumpah gue cuma mau naro makanan aja buat kalian! Gue nggak ... gue nggak liat apa-apa!!” ujarnya dengan mengacungkan jari telunjuk dan tengah. Ia masih berdiri kaku di ambang pintu, wajahnya campuran antara kaget, salah tingkah, dan berusaha pura-pura nggak lihat apa-apa.Aku menundukkan kepalaku dalam, menahan malu yang nggak bisa lagi aku sembunyiin, kepergok temen pas lagi pelukan tuh, rasanya kayak abis ngelakuin kesalahan yang besar. Jari-jariku saling bertaut satu sama lain, dan aku yakin, setelah ini, Fina pasti bakal ngegodain aku abis-abisan.Fina terdengar berdeham pelan,
“Jadi … masih suka gemetaran tiap kali ngomong di depan umum gitu?” tanyanya menggoda dengan suara rendah. Ia berdiri di seberangku, dengan jas yang sudah dilepas dan hanya menyisakan kemeja yang kini tengah digulung sampai siku. Ruangan ini memang sepi, praktis hanya ada kami berdua setelah acara selesai beberapa menit yang lalu.Aku menelan ludah dengan susah payah, dan mencoba menegakkan punggungku. “Aku nggak ... aku cuma ...,” suaraku kembali tercekat, lalu kututup mulut dengan kedua tanganku, sadar kalo aku malah akan mempermalukan diri sendiri lagi.Rayhan terkekeh pelan melihat tingkahku, lalu ia melangkah pelan ke arahku. “Kamu nggak pernah berubah, Kay. Selalu keliatan tangguh kalo dari luar ... tapi mudah sekali terbaca sama orang yang udah kenal.”Aku refleks mundur, tapi dinding dingin di belakangku seakan membatasi gerakku. Nafasku tercekat ketika jarak kami hanya tersisa beberapa jengkal lagi. “Kenapa harus muncul lagi di hidupku dengan cara kayak gini, Ray?” bisikku li