Alya menatap wajah Arka yang sabar dan penuh penantian. Kepercayaan yang suaminya berikan terasa seperti angin yang mendorong layarnya, memberinya keberanian untuk berlayar ke lautan yang tidak ia kenal. Ia sudah lelah merasa takut. Ia sudah lelah merasa bergantung. Nasihat Nindya yang pragmatis dan dukungan tulus Arka bertemu di satu titik di dalam hatinya, membentuk sebuah keputusan yang solid.
Ia menarik napas dalam-dalam.
“Aku akan mengambil pekerjaan itu.”
Alya memperhatikan wajah suaminya dengan saksama saat ia mengucapkan kalimat itu. Tidak ada kemarahan. Tidak ada kekecewaan. Ia hanya melihat Arka mengangguk pelan, sebuah ekspresi yang rumit di matanya—campuran antara kebanggaan yang tulus atas keberanian istrinya, dan kekhawatiran yang mendalam akan jalan yang akan istrinya itu tempuh.
Keesokan paginya, suasana di rumah terasa berbeda. Ada sebuah energi baru, sebuah antisipasi. Sambil duduk di teras dengan secangkir kopi, A
Perjalanan pulang dari Puncak diselimuti oleh keheningan yang tebal dan berat. Raka, yang mengerti bahwa kedua sahabatnya itu butuh ruang, mengambil alih kemudi, membiarkan Arka duduk di kursi penumpang depan dan Alya di belakang. Bara tertidur pulas, tidak menyadari beban sejarah yang baru saja diletakkan di pundak kedua orang tuanya.Alya menatap punggung suaminya. Arka hanya duduk diam, menatap kosong ke jalanan gelap di depan. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang CEO yang marah atau seorang ahli strategi yang dingin. Ia terlihat… hancur. Pria yang seumur hidupnya bertarung demi nama keluarga dan kehormatan ibunya, baru saja mengetahui bahwa ibunya sendiri adalah arsitek dari potensi kehancurannya.Rasa benci Alya pada Sandra kini terasa berbeda. Dulu ia membenci wanita itu karena kesombongan dan kekejamannya. Sekarang, ia membencinya dengan tingkat yang baru, karena Sandra tidak hanya menyakitinya, tapi telah mengkhianati dan merusak putranya sendiri dengan cara yan
Perjalanan menuju Puncak terasa seperti sebuah pelarian menembus kegelapan. Alya menatap ke luar jendela, lampu-lampu kota yang tadinya terasa mengancam kini perlahan menghilang, digantikan oleh pepohonan gelap dan jalanan yang menanjak. Udara di dalam mobil terasa begitu tegang, hanya diisi oleh suara napas mereka yang teratur dan deru mesin.Mereka tiba di Panti Wreda Kasih Ibu lewat tengah malam. Tempat itu sunyi senyap, diselimuti oleh kabut tipis khas pegunungan. Di dekat gerbang yang tertutup, sebuah mobil yang familier terparkir di bawah lampu jalan yang remang. Raka sedang bersandar di kap mobil, menunggu mereka.Saat Alya dan Arka turun, hawa dingin Puncak langsung menyergap mereka.“Kalian akhirnya sampai,” sapa Raka, nada bercandanya hilang, digantikan oleh keseriusan. “Gue udah di sini dari sejam yang lalu.”“Bagaimana situasinya?” tanya Arka cepat. “Apa ada yang aneh?”“Aman. Sepi banget,” jawab Raka. “Gue udah ‘mengobrol’ sama satpam yang jaga
Keheningan di ruang kerja itu terasa berat, dipenuhi oleh kengerian dari kebenaran yang baru saja terungkap. Alya menatap layar ponsel di tangan Arka, nama ‘Yayasan Larasati’ dan ‘Seraphina Wijoyo’ seolah menari-nari mengejeknya.“Dia tahu,” bisik Alya, suaranya bergetar. “Dia tidak hanya tahu kita sudah bertemu dengan Ibu Melati. Dia tahu setiap langkah kita, Mas. Dia mengawasi kita.”Perasaan diawasi, perasaan bahwa benteng aman di rumah mereka hanyalah sebuah ilusi, membuat Alya bergidik. ‘Habislah sudah,’ batinnya putus asa. ‘Dia mengendalikan semuanya. Kita tidak akan pernah bisa menang.’Arka tidak panik. Alya memperhatikan bagaimana suaminya itu memproses keterkejutan. Wajahnya yang tadinya pucat pasi, kini perlahan mengeras menjadi sebuah topeng baja yang dingin. Ia mulai berjalan mondar-mandir, bukan karena cemas, tapi karena otaknya yang tajam sedang bekerja dengan kecepatan kilat.“Ini bukan sekadar untuk mengisolasi Melati,” kata Arka, lebih pada dir
Pertanyaan terakhir Alya menggantung di udara ruang kerja yang sunyi. “Apa hubungan sebenarnya antara ayahku… dan kakakmu?”Arka menatap dokumen digital di hadapannya, lalu menatap Alya. Wajahnya dipenuhi oleh kebingungan dan rasa sakit yang sama besarnya dengan yang Alya rasakan. Semua yang ia pikir ia tahu tentang ayahnya, tentang keluarganya, kini terasa seperti tumpukan kebohongan.“Aku tidak tahu, Sayang,” jawab Arka jujur, suaranya terdengar berat. “Aku sama sekali tidak tahu. Ayahmu… dia tidak hanya melindungi Melati. Dia secara aktif terlibat dalam kehidupan Saphira. Memberikan nama keluarganya… itu bukan hal kecil. Itu adalah sebuah deklarasi. Sebuah bentuk tanggung jawab.”Alya mencoba mencerna implikasi dari semua ini. Ayahnya, yang selama ini ia kenal sebagai pria sederhana dari Garut, ternyata memainkan peran kunci dalam salah satu drama keluarga paling rahasia di Jakarta. Ia bukan sekadar korban, ia adalah salah satu pemain utamanya.“Tapi kenapa?”
Panggilan telepon itu berakhir, namun gema dari tekad Alya masih tertinggal di udara. Arka menatap layar televisi yang masih menampilkan wajah Seraphina, namun kini tatapannya tidak lagi dipenuhi amarah, melainkan kekaguman pada istrinya. Alya benar. Panik adalah jebakan Seraphina. Dan mereka tidak akan masuk ke dalamnya.Dengan ketenangan yang baru ditemukan, Arka kembali meraih ponselnya. Alya, yang masih berdiri di dekat televisi, memperhatikannya. Ia mendengar suaminya berbicara di telepon, bukan lagi dengan nada frustrasi, melainkan dengan suara dingin dan penuh wibawa sang komandan.“Vir, kau lihat beritanya,” kata Arka pada Vira. “Aku mau kau yang pegang kendali penuh atas respons media dan investor. Strategi kita bertahan, beli waktu. Jangan panik, jangan defensif. Rilis siaran pers yang menyatakan kita ‘menyambut baik semua proposal yang bertujuan untuk kemajuan’ dan sedang ‘mengkajinya secara internal’. Buat mereka
Senin pagi, 8 September 2025, dimulai dengan ketenangan yang terasa palsu. Kehangatan intim dari akhir pekan masih tersisa, namun kini dibalut dengan lapisan energi yang tegang. Di meja makan, Arka sudah rapi, namun matanya tak lepas dari tablet yang menampilkan data pasar saham.“Aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata terakhirnya, Mas,” kata Alya sambil meletakkan secangkir kopi di samping suaminya. “‘Adikku’. Dia mengatakannya dengan begitu santai, seolah itu bukan apa-apa.”Arka mendongak, meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat. “Itu adalah gayanya, Sayang. Menjatuhkan bom seolah itu hanya kerikil. Dia ingin kita kehilangan keseimbangan dan terus memikirkannya. Jangan berikan kepuasan itu padanya. Hari ini kita fokus, tetap pada rencana kita.”Setelah sarapan, Alya bersiap mengantar Bara. Arka menahannya di depan pintu, menangkup wajahnya dengan kedua tangan.“Apapun yang terjadi hari