Pengakuan Arka yang canggung malam sebelumnya—“Saya terlalu menuntut”—memiliki efek yang lebih besar dari yang Alya duga. Kata-kata itu, meski bukan sebuah permintaan maaf yang gamblang, terasa seperti hujan yang turun di hatinya yang kering. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Alya bisa tidur dengan nyenyak.Keesokan paginya, ia turun ke ruang makan dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Dinding es yang ia bangun di sekelilingnya telah mencair. Ia melihat Arka sudah duduk di sana, seperti biasa dengan tabletnya.“Pagi, Pak,” sapa Alya, kali ini dengan senyum kecil yang tulus.Arka mendongak dari tabletnya, dan untuk sesaat, Alya bisa melihat kilatan lega di matanya yang biasanya dingin. “Pagi,” balasnya. “Tidurmu nyenyak?”“Nyenyak, Pak. Terima kasih.” Alya duduk dan mulai menyantap sarapannya. Keheningan di antara mereka tidak lagi terasa berat. Alya bahkan memberanikan diri memulai obrolan ringan. “Pagi ini cerah ya, Pak. Sayang kalau cuma di kantor.”Arka meliri
Pagi harinya, rutinitas sarapan yang dingin kembali berlanjut. Alya makan dalam diam, menjawab seperlunya, bergerak seperti robot yang diprogram untuk kesopanan. Arka memperhatikannya dari seberang meja, merasakan frustrasi yang aneh. Hadiah kue mahal yang ia beli semalam tampaknya tidak memberikan efek apa pun. Kotaknya masih tergeletak di meja pantry, belum tersentuh.Ia berdeham, mencoba memulai percakapan. “Laporan yang kamu buat semalam, saya sudah teruskan ke Vira. Dia akan menggunakannya sebagai dasar untuk rapat strategi selanjutnya.”Ini adalah sebuah pujian besar yang terselubung. Artinya, pekerjaan akhir pekan Alya yang penuh penderitaan itu benar-benar diakui dan digunakan untuk proyek penting. Seharusnya Alya senang.Tapi yang Arka dapatkan hanyalah jawaban datar. “Baik, Pak. Terima kasih informasinya.”Tidak ada binar di mata gadis itu. Tidak ada senyum bangga. Hanya kekosongan. Arka menyadari, memperbaiki kerusakan yang ia sebabkan ternyata lebih sulit daripada menegosi
Hari Senin pagi di meja makan terasa sangat berbeda. Alya duduk dengan punggung lurus, menyantap sarapannya dengan gerakan mekanis. Tidak ada lagi buku catatan di samping piringnya, tidak ada lagi binar semangat di matanya. Yang ada hanyalah kekosongan.Arka, yang duduk di seberangnya, merasakan perubahan itu dengan jelas. Keheningan di antara mereka kini bukan lagi keheningan yang nyaman, melainkan keheningan yang dingin dan berjarak. Gadis yang beberapa hari lalu dengan antusias mendebatnya soal strategi bisnis, kini telah berubah menjadi robot yang pendiam.“Saya sudah baca laporanmu,” ujar Arka, mencoba memecah keheningan. “Analisis pasar Vietnam-nya cukup tajam.”Ia mengharapkan sebuah reaksi. Sebuah senyum kecil, ucapan terima kasih yang bersemangat, atau bahkan sanggahan. Dulu, pujian sekecil apa pun darinya akan membuat wajah gadis itu berseri-seri.Tapi yang ia dapatkan hanyalah jawaban datar. “Terima kasih, Pak,” kata Alya tanpa mengangkat kepalanya dari piring.Hanya itu. T
Alya menatap layar komputernya dengan tatapan kosong. Email dari Arka terasa seperti sebuah vonis yang tidak bisa diganggu gugat. Di sisi lain, ponselnya yang menyala menampilkan pesan ceria dari Dani, sebuah jendela menuju dunia normal yang terasa begitu jauh dan mustahil untuk dijangkau. Ia terjebak. Perasaan marah, dan tidak berdaya bergejolak di dalam dirinya. “Ini tidak adil” lirih aya. Nindya, yang melihat Alya belum juga beranjak dari kursinya padahal kantor sudah sepi, menghampiri dengan raut wajah khawatir. “Ly, lo kenapa? Belum pulang? Muka lo pucet banget.” Tanpa berkata apa-apa, Alya hanya memutar monitor komputernya ke arah Nindya. Mata Nindya membelalak saat membaca email dari Arka. “Gila,” desis Nindya, kali ini nadanya penuh amarah. “Ini sih bukan tugas, ini namanya penyiksaan! Jelas banget dia sengaja biar lo nggak bisa pergi sama Dani. Posesifnya udah level dewa, sumpah!” Nindya menatap Alya dengan prihatin. “Terus lo mau gimana?” “Aku… aku nggak tahu, Nin,” jawa
Semangat Alya yang membara dari hari sebelumnya terus berlanjut. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa tertekan oleh tumpukan pekerjaan. Sebaliknya, ia merasa tertantang. Proposal yang ia susun kini bukan lagi sekadar tugas, melainkan proyek pribadinya yang ia kerjakan dengan sepenuh hati.Pagi itu, di pantry saat mengambil air, ia bertemu Nindya.“Wih, muka lo cerah banget hari ini, Ly. Beda sama kemarin-kemarin yang kusut kayak cucian belum kering,” sapa Nindya ceria.Alya tertawa. “Lagi semangat aja, Nin. Oh iya, soal festival musik akhir pekan ini…”“Kenapa? Jangan bilang lo nggak jadi!” potong Nindya dengan wajah panik yang dibuat-buat.“Jadi, kok! Kak Dani udah ngirim detailnya. Aku cuma mau nanya, enaknya pakai baju apa, ya? Aku nggak punya baju buat nonton konser.”“Gampang itu, mah! Nanti gue bantu pilihin. Yang penting lo siapin mental buat seneng-seneng. Udah lama kan lo nggak refreshing?”Saat mereka sedang asyik tertawa dan membicarakan rencana akhir pekan mereka, Alya t
Alya terbangun bahkan sebelum alarmnya berbunyi. Bukan karena cemas, tapi karena perasaan aneh yang membuncah di dadanya. Semangat. Ia melompat dari tempat tidur, merasa lebih berenergi daripada hari-hari sebelumnya, meskipun ia hanya tidur kurang dari lima jam. Bayangan sesi "les privat" dengan Arka semalam masih terpatri jelas di benaknya. Cara pria itu menjelaskan, cara tangannya membuat sketsa kerangka bisnis dengan begitu percaya diri, semuanya terasa seperti sebuah pencerahan.Dengan perasaan ringan, ia bersiap-siap dan turun untuk sarapan. Seperti yang sudah ia duga, Arka sudah ada di sana, duduk di kursinya yang biasa dengan tablet di tangan. Namun, pagi ini Alya tidak lagi merasa seperti tikus yang berhadapan dengan elang. Ia merasa… setara. Setidaknya, sebagai partner diskusi.“Pagi, Pak,” sapa Alya, suaranya terdengar lebih mantap dan ceria.Arka menurunkan tabletnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Alya pagi ini, ada sedikit rasa ingin tahu. “Pagi. Tidurmu c