“Sudah waktunya, Nduk.”Suara lembut Bu Aminah menyentak Alya dari lamunannya. Di dalam kamar yang kini penuh sesak oleh kehangatan dari ibu dan sahabatnya, Alya menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdebar kencang, tapi kali ini bukan karena takut. Ini adalah debaran antisipasi yang manis.“Awas lho, jangan pingsan pas ijab kabul. Nggak lucu kalau pengantinnya digotong ke pelaminan,” canda Nindya, mencoba mencairkan suasana haru.Alya tertawa pelan. “Doain aja, ya.”Bu Aminah merapikan juntaian kerudung di kepala Alya, matanya berkaca-kaca. “Mulai hari ini, surgamu ada pada suamimu, Nak. Jadilah istri yang baik dan salehah. Ibu selalu mendoakan kebahagiaanmu.”Dengan diapit oleh ibunya di satu sisi dan Nindya di sisi lain, Alya melangkah keluar dari kamar.Halaman depan rumahnya yang sederhana telah disulap menjadi sebuah pelaminan kecil yang indah. Tenda putih yang dihiasi untaian melati dan bunga sedap malam menciptakan suasana yang khidmat. Para tetangga dan beberapa kerabat dek
Usulan Arka membuat suasana mendadak hening. Alya dan Bu Aminah saling pandang, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.“Minggu depan?” ulang Bu Aminah, suaranya meninggi. “Kamu pikir nikah itu kayak beli tempe di pasar, Nak Arka? Banyak yang harus disiapkan, lho! KUA, penghulu, undangan, masakan buat syukuran…”Arka tidak tampak goyah. Ia tersenyum—bukan senyum angkuh seperti dulu, tapi tenang dan meyakinkan.“Serahkan semua pada saya, Bu. Saya biasa mengatur proyek besar dalam waktu sempit. Yang ini… jauh lebih penting.”Dan ia membuktikan kata-katanya.Keesokan paginya, ponselnya nyaris tak berhenti berdering. Ia duduk di teras rumah Alya yang disulap jadi ‘markas besar pernikahan darurat’, memberi arahan sambil mencoret-coret agenda kecil.Bukan perintah keras, tapi koordinasi efisien. Ia bahkan menerbangkan tim kecil dari EO kepercayaannya di Jakarta. Tapi pesan utama dari Arka jelas:“Acara ini harus sederhana, penuh rasa, dan sesuai tradisi desa. Ibu Aminah
Pertanyaan Arka masih menggantung di udara yang mulai gelap.“Maukah kamu… memulai segalanya dari awal denganku?”Alya memandang pria di hadapannya. Dulu, ia datang dengan jas mahal dan suara yang selalu terdengar seperti perintah. Kini, Arka berdiri hanya dengan kemeja flanel lusuh, membawa sebuah permohonan, bukan tuntutan. Tak ada lagi amarah, tak ada lagi gengsi. Hanya tatapan takut—takut ditolak oleh perempuan yang telah ia lukai terlalu dalam.Hati Alya bergemuruh. Rasa takut masih tinggal, meski tak seganas dulu. Ia ingat malam-malam yang membuatnya ingin menghilang, ingat bagaimana suara Arka pernah terdengar seperti badai. Tapi ia juga mengingat saat Arka menggenggam tangannya waktu ia gemetar karena nyeri, bagaimana pria itu memasak telur dadar gosong dan bilang itu “resep khusus rumah sakit darurat.”Ia menoleh ke arah ibunya yang berdiri di ambang pintu, menatap mereka tanpa berkata apa-apa. Lalu tangannya turun ke perutnya. Janin yang mulai tumbuh itu diam, tapi kehadiran
Beberapa hari terakhir di Garut berjalan seperti jeda bagi Alya—sunyi tapi berdenyut. Ia bangun pagi dengan suara ayam jantan, sarapan bubur buatan ibunya, dan menatap langit yang jernih dari jendela kamarnya. Tapi di balik semua itu, ada keresahan yang terus menggantung.Setiap kali ponsel bergetar, hatinya mencelos. Setiap suara mobil di kejauhan membuatnya diam dan menunggu. Tapi Arka belum juga muncul.Ia duduk di beranda sore itu, mengaduk teh yang sudah tak lagi panas. Di sebelahnya, Bu Aminah menyiram pot bunga yang daun-daunnya mulai rimbun.“Masih belum ada kabar?” tanya ibunya sambil melirik sekilas.Alya menggeleng, pelan. “Mungkin dia sibuk,” jawabnya, tapi suaranya terdengar seperti meyakinkan diri sendiri.Bu Aminah menarik napas panjang, lalu duduk di sampingnya. “Nak,” katanya pelan. “Ibu pernah lihat pria itu waktu dia datang kemarin. Dia mungkin punya banyak dosa, tapi matanya waktu bicara soal kamu… nggak bisa bohong.”Alya menoleh, sedikit terkejut mendengar ibunya
Arka tidak terburu-buru menemui ibunya. Ia tahu, konfrontasi yang akan terjadi bukan sekadar perdebatan keluarga biasa. Ini adalah pertarungan yang akan menentukan arah hidupnya. Maka ia mempersiapkan diri, bukan dengan senjata fisik, melainkan dengan strategi dan fakta. Hari itu ia habiskan di kantor, tapi bukan untuk bekerja seperti biasa. Ia menutup pintu ruangannya, menyalakan lampu meja, dan membentangkan dokumen merger perusahaan dengan keluarga Dian.Ia membaca tiap baris kontrak, menganalisis tiap klausul, mencatat titik-titik lemah yang bisa digunakan sebagai senjata hukum jika ibunya mencoba menyerang balik. Ia tidak hanya melindungi dirinya—ia juga mempertahankan perusahaan yang telah dibangun oleh kakeknya dengan susah payah. Malam harinya, Arka tidak pulang ke apartemen. Ia tahu Alya sedang hamil, dan ia ingin menjaganya dari beban konflik ini. Ia memesan kamar hotel di sudut Jakarta yang sunyi, tempat ia bisa berpikir jernih. Di sana, ia duduk diam berjam-jam, menata
Arka tiba di Jakarta saat fajar menyapa. Apartemennya yang sunyi tak memanggilnya pulang. Ia memilih kantor, tempat kekosongan hatinya tersamarkan oleh tumpukan pekerjaan. Perjalanan panjang dari Garut tak membuatnya lelah—malah mengasah pikirannya. Keputusasaan yang sempat menggerogotinya mengeras menjadi tekad dingin, namun membara di sudut hatinya.Di kamar mandi pribadinya, air panas membilas sisa keraguan. Ia mengenakan setelan jas baru, menjelma kembali menjadi Arka Arroihan—CEO yang tak kenal ampun, siap melangkah ke medan perang. Dari balik kaca ruangannya, Jakarta terbentang bagai papan catur. Ia telah memilih langkah pertamanya.Pagi itu, ia menghabiskan waktu dengan panggilan singkat. Kepada Seno, kepala keamanannya. Kepada pengacaranya. Kepada tim investigasi swasta yang setia menjalankan perintahnya. Instruksinya pendek, tegas, tak bisa ditawar. Setiap pion diatur dengan cermat, menanti pembukaan permainan.Pukul sepuluh, ia memanggil sekretarisnya.“Sinta, atur pertemuan