Pertanyaan Arka masih menggantung di udara yang mulai gelap.“Maukah kamu… memulai segalanya dari awal denganku?”Alya memandang pria di hadapannya. Dulu, ia datang dengan jas mahal dan suara yang selalu terdengar seperti perintah. Kini, Arka berdiri hanya dengan kemeja flanel lusuh, membawa sebuah permohonan, bukan tuntutan. Tak ada lagi amarah, tak ada lagi gengsi. Hanya tatapan takut—takut ditolak oleh perempuan yang telah ia lukai terlalu dalam.Hati Alya bergemuruh. Rasa takut masih tinggal, meski tak seganas dulu. Ia ingat malam-malam yang membuatnya ingin menghilang, ingat bagaimana suara Arka pernah terdengar seperti badai. Tapi ia juga mengingat saat Arka menggenggam tangannya waktu ia gemetar karena nyeri, bagaimana pria itu memasak telur dadar gosong dan bilang itu “resep khusus rumah sakit darurat.”Ia menoleh ke arah ibunya yang berdiri di ambang pintu, menatap mereka tanpa berkata apa-apa. Lalu tangannya turun ke perutnya. Janin yang mulai tumbuh itu diam, tapi kehadiran
Beberapa hari terakhir di Garut berjalan seperti jeda bagi Alya—sunyi tapi berdenyut. Ia bangun pagi dengan suara ayam jantan, sarapan bubur buatan ibunya, dan menatap langit yang jernih dari jendela kamarnya. Tapi di balik semua itu, ada keresahan yang terus menggantung.Setiap kali ponsel bergetar, hatinya mencelos. Setiap suara mobil di kejauhan membuatnya diam dan menunggu. Tapi Arka belum juga muncul.Ia duduk di beranda sore itu, mengaduk teh yang sudah tak lagi panas. Di sebelahnya, Bu Aminah menyiram pot bunga yang daun-daunnya mulai rimbun.“Masih belum ada kabar?” tanya ibunya sambil melirik sekilas.Alya menggeleng, pelan. “Mungkin dia sibuk,” jawabnya, tapi suaranya terdengar seperti meyakinkan diri sendiri.Bu Aminah menarik napas panjang, lalu duduk di sampingnya. “Nak,” katanya pelan. “Ibu pernah lihat pria itu waktu dia datang kemarin. Dia mungkin punya banyak dosa, tapi matanya waktu bicara soal kamu… nggak bisa bohong.”Alya menoleh, sedikit terkejut mendengar ibunya
Arka tidak terburu-buru menemui ibunya. Ia tahu, konfrontasi yang akan terjadi bukan sekadar perdebatan keluarga biasa. Ini adalah pertarungan yang akan menentukan arah hidupnya. Maka ia mempersiapkan diri, bukan dengan senjata fisik, melainkan dengan strategi dan fakta. Hari itu ia habiskan di kantor, tapi bukan untuk bekerja seperti biasa. Ia menutup pintu ruangannya, menyalakan lampu meja, dan membentangkan dokumen merger perusahaan dengan keluarga Dian.Ia membaca tiap baris kontrak, menganalisis tiap klausul, mencatat titik-titik lemah yang bisa digunakan sebagai senjata hukum jika ibunya mencoba menyerang balik. Ia tidak hanya melindungi dirinya—ia juga mempertahankan perusahaan yang telah dibangun oleh kakeknya dengan susah payah. Malam harinya, Arka tidak pulang ke apartemen. Ia tahu Alya sedang hamil, dan ia ingin menjaganya dari beban konflik ini. Ia memesan kamar hotel di sudut Jakarta yang sunyi, tempat ia bisa berpikir jernih. Di sana, ia duduk diam berjam-jam, menata
Arka tiba di Jakarta saat fajar menyapa. Apartemennya yang sunyi tak memanggilnya pulang. Ia memilih kantor, tempat kekosongan hatinya tersamarkan oleh tumpukan pekerjaan. Perjalanan panjang dari Garut tak membuatnya lelah—malah mengasah pikirannya. Keputusasaan yang sempat menggerogotinya mengeras menjadi tekad dingin, namun membara di sudut hatinya.Di kamar mandi pribadinya, air panas membilas sisa keraguan. Ia mengenakan setelan jas baru, menjelma kembali menjadi Arka Arroihan—CEO yang tak kenal ampun, siap melangkah ke medan perang. Dari balik kaca ruangannya, Jakarta terbentang bagai papan catur. Ia telah memilih langkah pertamanya.Pagi itu, ia menghabiskan waktu dengan panggilan singkat. Kepada Seno, kepala keamanannya. Kepada pengacaranya. Kepada tim investigasi swasta yang setia menjalankan perintahnya. Instruksinya pendek, tegas, tak bisa ditawar. Setiap pion diatur dengan cermat, menanti pembukaan permainan.Pukul sepuluh, ia memanggil sekretarisnya.“Sinta, atur pertemuan
Ketenangan yang baru saja mulai menyelimuti rumah sederhana itu pecah seketika. Nama "Dian" yang diucapkan Arka terasa seperti gema dari dunia lain yang kelam, dunia yang Alya coba lupakan. Arka dengan cepat masuk ke kamar tamu untuk mengambil tasnya yang hanya berisi beberapa helai pakaian, wajahnya kembali mengeras menjadi topeng CEO yang dingin dan efisien.Alya dan ibunya hanya bisa berdiri diam di ruang tengah, mengamati pria itu bergerak dengan tergesa-gesa.Dia pergi, batin Alya, hatinya mencelos. Dia kembali ke dunianya. Kembali pada wanita itu. Dan aku… aku akan kembali ditinggalkan di sini.Rasa takut dan tidak aman yang sempat mereda, kini kembali merayap pelan. Apakah semua usahanya di halaman belakang kemarin, semua permohonannya, hanya sebuah sandiwara sesaat?Arka keluar dari kamar, sudah siap untuk pergi. Ia berhenti di hadapan Bu Aminah, menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh hormat dan penyesalan.“Bu, saya mohon maaf sebesar-besarnya harus pergi mendadak
Arka terbangun di kamar depan yang sempit oleh suara kokok ayam jantan yang terdengar begitu dekat, disusul oleh lantunan adzan subuh. Ia membuka mata. Langit-langit kayu yang rendah, kasur kapuk yang sedikit keras, dan udara dingin yang menusuk tulang. Ini sangat jauh dari apartemennya yang mewah dan kedap suara.Ia bangkit dan berjalan keluar. Di dapur, ia melihat Bu Aminah sudah sibuk di depan tungku kayu, mengaduk adonan dalam sebuah baskom besar. Aroma adonan tepung dan bawang putih menguar, memenuhi udara pagi.Melihat Arka yang berdiri canggung di ambang pintu, Bu Aminah menoleh tanpa ekspresi. “Air di bak mandi sudah mau habis. Sumurnya di belakang,” katanya singkat, sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.Ini adalah ujian keduanya. Arka mengangguk dan berjalan ke halaman belakang. Di sana, ada sebuah sumur tua dengan timba dan tali. Pemandangan yang selama ini hanya ia lihat di film. Dengan sedikit ragu, ia mulai menimba air. Gerakannya kaku dan tidak efisien. Beberapa kali