Aku mengendus kesal. "Aku manjat! Biar bisa jumpa kakak!"
Jessen masih menatapku dengan dingin. "Trus kau mau apa?"
Aku menggaruk kepalaku geram. "Kakak... Tadi kan aku yang nanya itu, kenapa jadi kakak tanya balik." Aku menekan kalimat terakhirku.
"Kemarin datang-datang mau jebloskan aku ke penjara, sekarang nanya aku mau apa, besok ngajak aku nikah?" Jessen memiringkan senyumnya menyindirku.
Aku mengelus dadaku. Sabar, sabar, nanti kalau ini semua sudah berakhir kau bisa membacoknya.
"Ya udah aku mau pulang aja." Sambungku singkat sambil membalikkan badan dan berjalan keluar kamar.
Aku memperlambat langkahku. Kenapa dia tidak menghalangiku keluar ya?
Aku menoleh sedikit ke arahnya. Dia kembali duduk di bangku belajarnya dan membaca bukunya.
Aku masih memperlambat langkahku.
"Jalanmu lama ya. Berharap aku menghalangi mu keluar?"
Mataku membulat. Kok dia tau sih?
"Amit-amit!" Sambungku kembali membalikkan badan ke arahnya.
Dia memutar bola matanya malas. "Kalau mau bohongin orang, lihat-lihat orangnya."
Jessen mengarahkan pandangan ke arahku. "Kau pikir aku bodoh?"
Jleb
Rasanya wajahku udah tebal banget karena malu. Aduh Valen, bego banget sih, kau lupa apa dia murid terpintar se-antero sekolah. Aku memukuli jidatku.
Karena sibuk mengutuki diri, aku ngak sadar Jessen dari tadi berjalan ke arahku. Dia menegang tanganku dan mendekatkan wajahnya.
Rasanya wajahku memanas karena deg-degan. Ganteng banget lagi.
"Jangan di pukuli mulu, nanti makin bego."
Jreng... Memang sial kalau mikir Jessen akan berbuat manis padaku.
"Ikuti aku." Jessen menarik tanganku keluar kamar.
Kami keluar rumahnya.
Jessen mengeluarkan kereta dan menggunakan helmnya. "Ikut aku."
"Kau mau bawa aku kemana?"
Aku menggeleng kan kepala. "Aku ngak mau." Aku menolak mentah-mentah ajakan Jessen. Ya akukan ngak tau apa yang di pikirkan Jessen? Kalau dia mau jual aku gimana?
"Tadi kau tanya aku mau apa, aku mau kau naik." Sambungnya.
Dengan terpaksa aku mengikuti nya. Yang penting hari ini harus cepat berlalu.
Aku menaiki kereta nya dan duduk. Jessen masih diam. "Kok ngak jalan."
Jessen melihat ke belakang. "Kalau naik kereta itu harus pegangan."
Aku menaikkan kedua alisku. "Dasar modus! Seharusnya aku udah tau dari awal! Dasar mesum!"
"Terserahmu, kalau kau jatuh jangan salahkan aku." Sambungnya datar kemudian menggas keretanya.
Badanku yang hampir jatuh karena Jessen menggas secara tiba-tiba membuat aku spontan memeluknya.
Pletak.
Kupukul helm Jessen. "Kau gila ya, aku hampir jatuh!"
"Kan udah kubilang, kalau naik kereta pegangan." Jawabnya sambil mengendarai keretanya.
Aku hanya mendehem kesal melihat tingkah laku Jessen yang minim ahlak.
Selama perjalanan terjadi keheningan. Itu karena aku ngak tau apa topik yang harus kubahas.
Aku memandangi tubuh Jessen dari belakang.
Tampak sangat keren saat aku bisa bepergian dengan cowok terkeren di sekolah.
Aku mulai mencondongkan sedikit tubuhku dekat dengan Jessen. Wangi... Apa semua badboy terlihat sangat keren.
"Kenapa? Mulai jatuh cinta?" Perkataan Jessen membuat badanku sontak menjauh.
"Eh jangan kepedean deh. Siapa juga yang suka samamu!"
"Kau kira aku buta ya? Kau mendekat ke arahku sambil tersenyum."
Kenapa tingkahku selalu ketahuan sih?! "Kau cenayang ya?! Ngak usah sok tau deh!" Jerit ku.
Jessen hanya diam dan tanpa kata.
Eh, serius dia cenayang?
"Kau beneran cenayang?" Kataku sambil menekan kalimat terakhirku.
Jessen menepikan keretanya membuka helm dan mengarahkan pandangan ke arahku. "Kau dari tadi sangat berisik, menganggu... "
"Dengar ya, aku ngak cenayang. Dan kau tau, tingkahmu itu sangat mudah di tebak." Jessen menatapku datar.
Aku mengerucutkan bibirku. "Ya udah deh, lanjut aja jalannya."
"Udah sampai."
Aku menatap di hadapanku. Perpustakaan umum.
"Ku lihat kau sangat payah dalam berfikir."
Jadi dia bawa aku ke sini biar... Dia pikir aku beneran bodoh banget, sial.
***
Aku memandangi dia yang sedang belajar.
Karena memang feeling Jessen sangat sensitif dia langsung menatap ku.
Aku terkekeh kecil sambil menopang daguku dengan tangan kanan. "Kak, feeling kakak sensitif banget sih."
"Risih."
Nyut-nyutan memang selalu jantungku karena selalu di jawab sinis olehnya.
"Kak, kenapa kakak nembak aku di UKS?" Aku kepo.
Aku menyelipkan sedikit rambutku ke kuping. Aku tau aku sangat mempesona. Sampai-sampai dia menembakku.
"Karena awalnya kupikir kau pintar. Taunya bobrok."
Perih nya. Seperti ngasih cuka di luka kalau ngomong sama ni orang.
"Kalau aku pintar kakak bakal suka samaku?"
"Ngak juga, kau menyusahkan."
Arh... Aku mengepal tangan geram.
Jessen menutup bukunya. "Benerkan dugaan ku, kau suka samaku."
"Ish.. tolong ya kak. Kakak terlalu kepedean. Aku ngak pernah suka sama kakak... Pahammm!" Ujarku dengan tegas pada Jessen.
"Hm" Jessen berdehem.
Aku menatap Jessen dengan serius. Apakah aku harus memberitahu tentang kejadian yang ku alami ya? Siapa tau dia jadi paham kenapa aku selalu muncul di kamar nya, ntar dia malah pikir pula aku yang mesum.
"Kak."
"Hm"
Aku menarik nafas dalam dalam. "Aku ini utusan peri." Aku mengatakannya tanpa melihat Jessen.
Waktuku lihat dia, badannya bergetar menahan tawa.
See... Apa ku bilang, dia ngak bakal percaya.
Baiklah kalau begitu. Aku akan memberikan buku misteri itu.
Aku merogoh tasku. "Aku akan menunjukkan buku yang di berikan oleh peri yang mengutusku."
Shit... Mana bukunya? Padahal aku yakin tadiku taruh di dalam.
Dan kenapa di saat seperti ini dia menghilang.
"Apa kau meninggalkannya utusan peri? Atau bukunya kasat mata?" Jessen melihatku dengan tatapan tidak percaya sama sekali. Dia pikir aku mengarang apa?
"Ta.. tadi ada. Isss." Kenapa sih buku... Kenapa waktu aku membutuhkanmu kau menghilang?
"Bodo ah, aku mau pulang."
Jessen bangkit berdiri.
Aku mencegahnya karena berpikir bahwa dia ingin mengantarku pulang. "Udah, kakak di sini aja. Aku pulang sendiri."
Dia sedikit memiringkan kepalanya. "Siapa yang peduli?" dia mengambil buku yang ada di rak tak jauh dari posisiku berdiri. "Aku mau ambil buku yang lain."
Dan aku kepedean lagi.
Aku berjalan pulang.
***
Di perjalanan aku menelepon Tessa. "Tes."
"Iya"
"Si Jessen ngak percaya samaku. Tadi aku mau coba jelasin ke dia mengenai buku mistis itu dan bilang aku ini utusan peri. Tapi dia malah ketawa."
Terdengar suara tawa Tessa yang sangat kencang. "Apaan sih Val. Kau utusan peri? Jangan ngaco Val."
Aku bingung sama Tessa, kenapa dia jadi ikut ikutan ngak percaya? "Bukannya aku udah bilang ke kau tentang buku mistis dan peri nenek-nenek?"
Tessa kembali tertawa. "Kau bodoh ya? Kapan kau cerita itu. Dan, Val... Kau udah tua... Masih aja percaya sama peri."
Ya Tuhan ini apa lagi coba.
Aku mematikan ponselku dan memasukkannya dalam tas ku.
"Ini kan buku mistis itu?!" Aku menjumpai bukunya. "Kenapa sih waktu ada Jessen kau menghilang?!"
Aku membuka buku itu. Tertulis 0/15, huh, kok nambah, dan juga kenapa misi terselesaikan ku berkurang?
Aku mencoba menenangkan pikiranku dan mencari tempat duduk terdekat. Kebetulan di dekatku ini ada taman, dan ada kursi taman di sana.
Aku duduk dan coba merenungkan apa yang terjadi.
Aku memijati kepalaku.
"Jangan-jangan, kalau aku ngasih tau orang tentang buku ini, misiku akan bertambah... Dan orang yangku beritahukan kejadian yang terjadi denganku juga akan hilang ingatan mengenai ceritaku."
Aku termangu duduk di kelas walaupun guru tengah menjelaskan materi. Kepalaku sudah mulai paham tentang kerja buku mistis ini.Aku memandangi buku ini. Kapan ya aku bisa bicara sama nenek itu lagi?"Valen!"Aku tersentak dari lamunanku dan menatap ke arah depan. "I iya Bu.""Bengang bengong, bengang bengong... Coba kamu jelaskan apa yang saya terangkan tadi!"Sial... Lagi mapel fisika pula...Aku hanya memegangi tengkukku dan tersenyum pasrah."Berdiri di luar!"Hem... Ya sudahlah.Aku melangkahkan kakiku keluar dan duduk di kursi tunggu di seberang kelas.Bu Septi yang memarahiku tadi melihatku dengan amarah. "Siapa yang suruh duduk?!... Berdiri!"Aku langsung berdiri dengan tegap."Angkat kaki satu dan buat kedua tanganmu menjewer kuping!"Aku langsung mengikuti perintah nya."Lakukan sampai jam saya selesai!" Ibu itu masuk ke kelas dan menutup pintu."Iya bawel...
Aku membalikkan badan dan mengusap tengkukku. "Em. Tapi aku harus balik ke sekolah kak. Nanti aku di pikir bolos."Dia menatapku. "Namamu siapa?""Valen kak."Dia menggelengkan kepalanya. "Bukan, nama lengkapmu.""Valentresia kak.""Kelas?""XI MIPA 1 kak."Kakak itu merogoh ponselnya yang ada di saku celananya dan tampak sedang mengetik sesuatu. Kemudian dia menatapku lagi. "Aku udah izinin kamu. Sekarang kamu di sini aja. Temenin aku."Dalam hati sebenarnya aku senang ngak masuk kelas lagi, karena aku sangat bad mood sekarang.Tapi, memangnya kakak ini siapa? Kok bisa ngizinin aku segala.Aku menarik kursi yang berada di dekat kakak itu dan duduk bersebelahan dengan tempat tidur nya. "Kok bisa?"Kakak itu terkekeh kecil. "Bisa dong."Dia menggenggam tanganku menaruh di dadanya dan menutup matanya. "Udah di sini aja."Mataku terbelalak seperti mau copot dari kelopak mataku, pembuluh darahku m
Pagi ini aku sibuk mencari di mana diaryku berada. Bisanya ada di kantong depan tasku dan tertutup rapi. Tapi waktu aku cek, kantong itu udah terbuka. Kapan ini terbuka ya?Aku sangat tidak menyadari itu. Karena dua hari belakangan ini aku ngak nulis apa pun di sana, jadi aku ngak ada ngecek itu.Aku coba mengingat kapan terakhir kali aku membuka kantong depan tasku.Oh aku ingat. Waktu aku terkejut akan kehadiran buku mistis di tasku, waktu itu buku mistis, diary dan buku Tessa ada di sana.Gawat kalau di baca sama orang lain... Bisa-bisa mereka tau kalau aku suka sama Jessen!Aku bergegas ke sekolah."Duh... Apa masih ada di kelas ya? Malah udah lama lagi kejadiannya." Aku panik.Aku berangkat ke sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu masih ada di kelas.Sesampainya aku di sekolah, aku mengecek apakah masih ada di bawah kolong meja.Waktu aku cek, semua kolong meja sudah bersih. Tidak ada buku apapun."Eh kalia
Prov Rio"Rio." Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut papa saat bertelepon denganku."Iya pa?""Besok papa jemput, dan kita balik ke Indonesia." Sambungnya."Hah? Tapi pa...""Tidak ada tapi-tapi, kamu di sana tidak ada yang perhatikan. Jadi di sini papa bisa pantau kamu.""Ta tapi pa..."Tut Tut TutArh.. kenapa harus pindah sih?!Drett...Aku langsung mengangkat ponselku yang bergetar.Aku harus komen ke papa, memangnya salahku apa sampai-sampai harus di pantau segala?!"Halo pa.""Haha why you call me pa, beb?"Aku kembali melihat layar ponselku, Anne.Ck kenapa sih selalu di waktu yang tak tepat!"We broke up! Don't call me again!"Pekikku sambil mem
"Dia pacarku."Kalimat Jessen berhasil membuat mulutku ternganga dan menyergitkan dahi. Gimana tidak, pacar? Apa coba maksudnya?Kak Rio menatapku bingung. Dia tampak memikirkan sesuatu, selang beberapa saat dia tersenyum dan merangkul Jessen sambil membisikkan sesuatu.Jessen malah menatap kak Rio datar dengan senyuman. Kemudian menoleh ke arahku.Aku tak mau punya masalah lagi dengan Jessen sekarang. Karena kalau aku bilang ke kak Rio kalau aku bukan pacar Jessen, Jessen akan menjauh dan misiku tak akan pernah selesai, ditambah aku akan selalu tertimpa segala kesialan. Lebih baik aku mengiyakan saja. "Em. Iya, aku pacaran nya."Jessen mengalihkan pandangannya dariku dan menatap Rio. "See."Yang lebih gilanya, Jessen melanjutkan jalan tanpa merasa bersalah.Rio masih menatapku. Aku coba memberi Penjelasan. "Ma maaf kak, aku.""Ngapain berdiri di situ. Cepat." Jessen memotong kalimatku.Sontak aku langsung memaling
Aku menelan ludahku berat.Tuhan selamatkanlah aku dari cobaan ini.Aku membalikkan badanku kaku. Dan mencoba tetap tenang dengan ekspresi datar.Jessen berjalan mendekatiku.Dia semakin dekat dan dekat. "Woy jangan mendekat, aku punya semprotan cabe di kantongku!"Jujur, sebenarnya ngak ada semprotan cabe di kantongku. Aku bilang gitu biar dia berhenti mendekat.Jessen tetap berjalan mendekatiku. Membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke hadapanku. "Celanamu ngak ada kantongnya." Dia menjitak kepalaku.Aku melihat celanaku. Aku langsung cengo karena tampak seperti penipu amatiran yang idiot.Ah, aku tak peduli. Aku menatap Jessen lantang. "Aku mau keluar!""Buka pintunya!" Pekikku.Jessen menegakkan kembali badannya. "Bukannya kau yang datang ke sini.""Ya kau keluar aja dari jalan kau masuki tadi." Sambungnya.Aku menggaruk kepalaku prustasi kemudian menatapnya. "Gini ya Jes, aku udah capek dengan hal
Rasanya begitu gila. Ternyata aku masih suka sama Jessen. Aku memukul lagi kepalaku kemudian mencubit pipiku kasar.Val sadar!!!"Eh bego, kau kenapa?" Kata Jessen.Aku menghentikan tingkah lakuku."Kalau kau pukul terus kepalamu, kau jadi tambah bego." Hina nya.Aku melihat Jessen sambil tersenyum. "Eng... Gak apa."Kami pun berjalan bersama.***Di parkiran.Kak Rio melajukan kereta nya. Ke arahku dan berhenti tepat di sebelahku. Dia membuka penutup helmnya dan mengarahkan pandangan ke arahku. "Naik Val." Ucap kak Rio sambil tersenyum.Aku mengangguk dan hendak naik.Jessen menarik kerah belakang bajuku. "Jangan naik." Jessen lirik tajam Kak Rio.Aku melepaskan tangan Jessen. "Apaan sih Jes, cuma naik kereta doang." Aku kembali naik ke kereta kak Rio. Setelah aku naik Jessen juga ikutan naik.Aku sedikit memutarkan badanku ke belakang melihat Jessen. "Apa sih? Kita udah kaya cabe-cabean tau
Mata ini rasanya berat sekali, ngantuk...Aku berusaha keras membuka mataku yang berat ini. Tapi seberapa kerasnya aku membuka mataku, mata ini terus terpejam.Hari ini pelajaran matematika. Ya, matematika!Rasanya sangat sebal. Udah kemarin belajar matematika di bentak Jessen melulu, sekarang belajar matematika lagi. Ini rasanya ngak adil.Suara guru sudah bergema samar-samar di telingaku, semakin tak jelas. Aku benar-benar tidak konsentrasi lagi. Aku melipat kedua tanganku di meja dan menundukkan kepalaku di sana. Tidur sebentar akan membantu.Posisi ini sebenarnya sangat tidak etis untuk tidur. Tapi ntah kenapa aku tidur begitu lelap.Kedubrak"Eh copot." Latahku keluar seketika sesaat seseorang memukul keras mejaku."Valen! Udah nilai kamu selalu rendah, malah tidur lagi di kelas!" Jerit wanita paruh baya yang sedari tadi mengajar.Aku menundukkan kepala menyesal. "Ma maaf Bu." Kataku pelan.Wanita itu menunju