Share

Chapter 8 (Jangan jangan...)

Aku mengendus kesal. "Aku manjat! Biar bisa jumpa kakak!"

Jessen masih menatapku dengan dingin. "Trus kau mau apa?"

Aku menggaruk kepalaku geram. "Kakak... Tadi kan aku yang nanya itu, kenapa jadi kakak tanya balik." Aku menekan kalimat terakhirku.

"Kemarin datang-datang mau jebloskan aku ke penjara, sekarang nanya aku mau apa, besok ngajak aku nikah?" Jessen memiringkan senyumnya menyindirku.

Aku mengelus dadaku. Sabar, sabar, nanti kalau ini semua sudah berakhir kau bisa membacoknya.

"Ya udah aku mau pulang aja." Sambungku singkat sambil membalikkan badan dan berjalan keluar kamar.

Aku memperlambat langkahku. Kenapa dia tidak menghalangiku keluar ya?

Aku menoleh sedikit ke arahnya. Dia kembali duduk di bangku belajarnya dan membaca bukunya.

Aku masih memperlambat langkahku.

"Jalanmu lama ya. Berharap aku menghalangi mu keluar?"

Mataku membulat. Kok dia tau sih?

"Amit-amit!" Sambungku kembali membalikkan badan ke arahnya.

Dia memutar bola matanya malas. "Kalau mau bohongin orang, lihat-lihat orangnya."

Jessen mengarahkan pandangan ke arahku. "Kau pikir aku bodoh?"

Jleb

Rasanya wajahku udah tebal banget karena malu. Aduh Valen, bego banget sih, kau lupa apa dia murid terpintar se-antero sekolah. Aku memukuli jidatku.

Karena sibuk mengutuki diri, aku ngak sadar Jessen dari tadi berjalan ke arahku. Dia menegang tanganku dan mendekatkan wajahnya.

Rasanya wajahku memanas karena deg-degan. Ganteng banget lagi.

"Jangan di pukuli mulu, nanti makin bego."

Jreng... Memang sial kalau mikir Jessen akan berbuat manis padaku.

"Ikuti aku." Jessen menarik tanganku keluar kamar.

Kami keluar rumahnya.

Jessen mengeluarkan kereta dan menggunakan helmnya. "Ikut aku."

"Kau mau bawa aku kemana?"

Aku menggeleng kan kepala. "Aku ngak mau." Aku menolak mentah-mentah ajakan Jessen. Ya akukan ngak tau apa yang di pikirkan Jessen? Kalau dia mau jual aku gimana?

"Tadi kau tanya aku mau apa, aku mau kau naik." Sambungnya.

Dengan terpaksa aku mengikuti nya. Yang penting hari ini harus cepat berlalu.

Aku menaiki kereta nya dan duduk. Jessen masih diam. "Kok ngak jalan."

Jessen melihat ke belakang. "Kalau naik kereta itu harus pegangan."

Aku menaikkan kedua alisku. "Dasar modus! Seharusnya aku udah tau dari awal! Dasar mesum!"

"Terserahmu, kalau kau jatuh jangan salahkan aku." Sambungnya datar kemudian menggas keretanya.

Badanku yang hampir jatuh karena Jessen menggas secara tiba-tiba membuat aku spontan memeluknya.

Pletak.

Kupukul helm Jessen. "Kau gila ya, aku hampir jatuh!"

"Kan udah kubilang, kalau naik kereta pegangan." Jawabnya sambil mengendarai keretanya.

Aku hanya mendehem kesal melihat tingkah laku Jessen yang minim ahlak.

Selama perjalanan terjadi keheningan. Itu karena aku ngak tau apa topik yang harus kubahas.

Aku memandangi tubuh Jessen dari belakang.

Tampak sangat keren saat aku bisa bepergian dengan cowok terkeren di sekolah.

Aku mulai mencondongkan sedikit tubuhku dekat dengan Jessen. Wangi... Apa semua badboy terlihat sangat keren.

"Kenapa? Mulai jatuh cinta?" Perkataan Jessen membuat badanku sontak menjauh.

"Eh jangan kepedean deh. Siapa juga yang suka samamu!"

"Kau kira aku buta ya? Kau mendekat ke arahku sambil tersenyum."

Kenapa tingkahku selalu ketahuan sih?! "Kau cenayang ya?! Ngak usah sok tau deh!" Jerit ku.

Jessen hanya diam dan tanpa kata.

Eh, serius dia cenayang?

"Kau beneran cenayang?" Kataku sambil menekan kalimat terakhirku.

Jessen menepikan keretanya membuka helm dan mengarahkan pandangan ke arahku. "Kau dari tadi sangat berisik, menganggu... "

"Dengar ya, aku ngak cenayang. Dan kau tau, tingkahmu itu sangat mudah di tebak." Jessen menatapku datar.

Aku mengerucutkan bibirku. "Ya udah deh, lanjut aja jalannya."

"Udah sampai."

Aku menatap di hadapanku. Perpustakaan umum.

"Ku lihat kau sangat payah dalam berfikir."

Jadi dia bawa aku ke sini biar... Dia pikir aku beneran bodoh banget, sial.

***

Aku memandangi dia yang sedang belajar.

Karena memang feeling Jessen sangat sensitif dia langsung menatap ku.

Aku terkekeh kecil sambil menopang daguku dengan tangan kanan. "Kak, feeling kakak sensitif banget sih."

"Risih."

Nyut-nyutan memang selalu jantungku karena selalu di jawab sinis olehnya.

"Kak, kenapa kakak nembak aku di UKS?" Aku kepo.

Aku menyelipkan sedikit rambutku ke kuping. Aku tau aku sangat mempesona. Sampai-sampai dia menembakku.

"Karena awalnya kupikir kau pintar. Taunya bobrok."

Perih nya. Seperti ngasih cuka di luka kalau ngomong sama ni orang.

"Kalau aku pintar kakak bakal suka samaku?"

"Ngak juga, kau menyusahkan."

Arh... Aku mengepal tangan geram.

Jessen menutup bukunya. "Benerkan dugaan ku, kau suka samaku."

"Ish.. tolong ya kak. Kakak terlalu kepedean. Aku ngak pernah suka sama kakak... Pahammm!" Ujarku dengan tegas pada Jessen.

"Hm" Jessen berdehem.

Aku menatap Jessen dengan serius. Apakah aku harus memberitahu tentang kejadian yang ku alami ya? Siapa tau dia jadi paham kenapa aku selalu muncul di kamar nya, ntar dia malah pikir pula aku yang mesum.

"Kak."

"Hm"

Aku menarik nafas dalam dalam. "Aku ini utusan peri." Aku mengatakannya tanpa melihat Jessen.

Waktuku lihat dia, badannya bergetar menahan tawa.

See... Apa ku bilang, dia ngak bakal percaya.

Baiklah kalau begitu. Aku akan memberikan buku misteri itu.

Aku merogoh tasku. "Aku akan menunjukkan buku yang di berikan oleh peri yang mengutusku."

Shit... Mana bukunya? Padahal aku yakin tadiku taruh di dalam.

Dan kenapa di saat seperti ini dia menghilang.

"Apa kau meninggalkannya utusan peri? Atau bukunya kasat mata?" Jessen melihatku dengan tatapan tidak percaya sama sekali. Dia pikir aku mengarang apa?

"Ta.. tadi ada. Isss." Kenapa sih buku... Kenapa waktu aku membutuhkanmu kau menghilang?

"Bodo ah, aku mau pulang."

Jessen bangkit berdiri.

Aku mencegahnya karena berpikir bahwa dia ingin mengantarku pulang.  "Udah, kakak di sini aja. Aku pulang sendiri."

Dia sedikit memiringkan  kepalanya. "Siapa yang peduli?" dia mengambil buku yang ada di rak tak jauh dari posisiku berdiri. "Aku mau ambil buku yang lain."

Dan aku kepedean lagi.

Aku berjalan pulang.

***

Di perjalanan aku menelepon Tessa. "Tes."

"Iya"

"Si Jessen ngak percaya samaku. Tadi aku mau coba jelasin ke dia mengenai buku mistis itu dan bilang aku ini utusan peri. Tapi dia malah ketawa."

Terdengar suara tawa Tessa yang sangat kencang. "Apaan sih Val. Kau utusan peri? Jangan ngaco Val."

Aku bingung sama Tessa, kenapa dia jadi ikut ikutan ngak percaya? "Bukannya aku udah bilang ke kau tentang buku mistis dan peri nenek-nenek?"

Tessa kembali tertawa. "Kau bodoh ya? Kapan kau cerita itu. Dan, Val... Kau udah tua... Masih aja percaya sama peri."

Ya Tuhan ini apa lagi coba.

Aku mematikan ponselku dan memasukkannya dalam tas ku.

"Ini kan buku mistis itu?!" Aku menjumpai bukunya. "Kenapa sih waktu ada Jessen kau menghilang?!"

Aku membuka buku itu. Tertulis 0/15, huh, kok nambah, dan juga kenapa misi terselesaikan ku berkurang?

Aku mencoba menenangkan pikiranku dan mencari tempat duduk terdekat. Kebetulan di dekatku ini ada taman, dan ada kursi taman di sana.

Aku duduk dan coba merenungkan apa yang terjadi.

Aku memijati kepalaku.

"Jangan-jangan, kalau aku ngasih tau orang tentang buku ini, misiku akan bertambah... Dan orang yangku beritahukan kejadian yang terjadi denganku juga akan hilang ingatan mengenai ceritaku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status