"Huh..." Aku menghembusakan nafas berat sambil menyandarkan wajah dalam lipatan tanganku di meja.
"Kau kenapa Val?" Tessa bingung melihat perilakuku yang seperti orang yang tak semangat hidup.
Aku mengacak rambutku prustasi. "Aku mau ke UKS dulu."
Aku meninggalkan Tessa yang masih bingung dengan perilakuku.
"Kenapa sih? Apa yang sebenarnya terjadi? Nenek itu sebenarnya siapa sih? Dan kenapa aku harus mengikuti perkataan nya?" Aku terus mengumpat sepanjang perjalananku ke UKS.
Langkah kakiku di jegat. "Mana ponsel dan kunciku?"
Aku memandangi Jessen dengan penuh amanah. "Sabar! Aku ambil dulu di kelas! Tunggu di sini!" Langkah kakiku menghentak setiap kali melangkah.
Kuambil kunci dan ponsel Jessen dan kembali ke hadapannya. "Nih!"
Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung pergi berjalan ke UKS.
***
"Huhh..." Lagi-lagi aku menghembuskan napas tak kalah berat dari hembusan yang sebelumnya.
Aku tak membawa buku kecil yang misterius kemarin. Karena menurutku buku itu sama sekali tak berguna dan akan menjadi beban pikiranku.
Aku membolak-balik kan tubuhku di ranjang UKS untuk menenangkan pikiran.
Ah... Semoga hari ini lebih baik dari pada kemarin.
Petugas UKS datang menghampiriku. "Valen?" Panggilnya memastikan.
Aku terlonjak kaget karena sebelumnya memang di UKS tidak ada orang. Aku mengubah posisiku menjadi duduk.
Wanita itu berjalan ke hadapanku seperti ingin memberikan sesuatu.
"Ini buku mu."Aku syok dan terheran melihat buku mistis itu bisa ada padanya. "B.. bagaimana a.. da pada ibu?"
Ibu itu memandangku dengan senyuman. "Jangan pernah di tinggal lagi ya..." Auranya tampak berbeda, tampak seperti nenek misteri itu.
Aku menggelengkan kepala untuk menyadarkan diriku. Aku kembali melihat ke arah petugas wanita itu. "Maaf Bu ini bukan punya saya." Aku menyangkal kalimatnya sebelumnya sambil memberikan buku itu.
Petugas itu tampak bingung. "Kapan saya memberikanmu buku dik?"
Aku mengernyit heran. "Ibu tadi yang memberikan ini pada saya, masa ibu tidak ingat?"
Kali ini ibu itu yang mengernyit heran. "Saya tidak pernah memberikan apapun pada adik, malahan saya mau bertanya siapa nama adik agar saya catat di buku pasien."
Apa lagi ini...? Sihir lagi...?
Aku tidak mau membahasnya lagi. Aku mau keluar dan membuang buku ini!
"Maaf Bu saya tidak jadi sakit."
Aku berjalan ke luar kelas dan membuka pintu.
Kedebuk
Aku tersandung oleh karena tali sepatuku sendiri yang belum ku ikat. "Aduh."
"Kau tidak apa dik?" Petugas kesehatan UKS mendekatiku hendak menolong.
Aku menoleh ke arahnya. "Tidak apa Bu, hanya lecet sedikit. Saya masih bisa berdiri kok. "
Ibu itu mengangguk namun raut wajahnya tampak masih kuatir.
Aku mengikat erat tali sepatuku dengan benar dan kembali berjalan keluar.
Aku mencari di mana tempat sampah terdekat.
Aku melihat tempat sampah itu berada di sampingku. "Nah itu dia."
Aku membuangnya dan berjalan menuju kelas. Baru dua langkah aku berjalan, aku kembali terjatuh untuk kedua kalinya dengan alasan yang sama... Yaitu sepatu. Huh? Bukannya tadi sudah terikat kencang?
Firasatku berkata ini pasti karena buku itu...
Buku itu membawa kesialan!
Aku tidak menggubrisnya dan melepaskan sepatuku. "Nah tuh! Aku lepas sepatu... Ngak bakal terjatuh lagi!" Tawaku puas.
Aku berjalan ke kelas dengan santai. Banyak murid yang memperhatikanku seperti orang aneh.
Gimana ngak aneh. Sepatu yang masih bagus malah hanya di gantung di tangan.
Aku tak peduli. Dari pada aku terjatuh lagi dan membuat kakiku tambah lecet, lebih baik aku menahan malu.
Aku masuk ke kelas. Ternyata Tessa masih duduk di sana. "Tes." Panggilku.
Dia menatapku aneh. "Kau, nyeker?"
"Iya." Jawabku bangga.
Tessa hanya acuh melihat tingkahku yang abnormal. Aku memang sering bertingkah aneh di hadapan Tessa, jadi dia sudah terbiasa.
"Oh ya Val, kau bawa buku catatanku kan?"
Aku mengangguk. "Pasti dong."
Aku merogoh isi tasku. Dan alangkah terkejutnya aku melihat buku yang kubuang tadi ada di tasku!
Aku mencampakkan tasku.
Tessa memukul badan ku. "Kaget aku!"
Tessa kembali menatapku. "Kenapa sih Va?!" Pekiknya.
Ini sangat menyeramkan... Sama seperti film Anabelle, tapi bedanya ini adalah buku.
"T... Tes, A... Da buku mistis. "Aku cengap-cengap karena panik.
Tessa menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah memberi arahan untuk bernapas dengan netral. "Bernafas dulu. Tenang dulu Val..."
Aku mengikuti arahan Tessa dan mulai bernafas dengan teratur.
"Udah... Udah mulai tenang?" Tessa mengelus-elus punggungku.
"Fuhh... Iya." Jawabku.
"Nah, coba jelaskan dengan tenang."
Aku mengarahkan badanku ke Tessa. "Kan gini tes, aku pernah membantu nenek-nenek dari terpaan hujan dan mengantarkannya ke halte menggunakan almetku dan membiarkan diriku basah kuyup."
Tessa mengangguk mengerti. "Terus?"
"Jadi nenek itu memberikan aku sebuah keinginan. Karena aku ngak mau nyusahin nenek itu... Dan aku juga ikhlas bantunya, aku cuma minta elus darinya. Dia bilang aku anak baik dan dia menyukaiku."
Aku mulai melipat tanganku di meja sambil mengingat kejadian yang pernah terjadi padaku waktu itu. "Dan kau tau, dia bilang karena aku anaknya baik, dia menginginiku untuk membahagiakan seseorang karena sifat baikku tadi. Dia melentikkan jari dan angin yang cukup kencang menerpaku yang membuat aku menutup mataku dengan tangan. Waktu aku buka mata. Semua kembali normal, seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan bajuku masih kering. Sampai rumah aku langsung tidur karena lelah... Dan gilanya waktu aku bangun aku ada di kamar Jessen."
Tessa yang sangat super duper terkejut sontak berdiri dan menjerit. "Hah!!! Kok bisa!!!"
Seluruh kelas seketika memperhatikan kami karena dari tadi kami yang paling ribut.
"So sorry, lagi cerita film horor. Hehe" Ucapku pada seluruh murid kelas agar tetap tenang.
Mereka kembali pada kesibukan mereka sendiri.
Tessa kembali duduk dengan kaku karena malu.
Aku kembali berbicara dengan berbisik. "Kau aja shock sekarang, gimana lagi aku yang bener-bener ngerasain..."
Tessa menggeleng kepala. "Gila, bener-bener gila."
"Itu belum seberapa. Aku berdebat dengan Jessen. Dan berakhir pada aku pulang jalan kaki dengan modal ponsel yang di berikan Jessen untuk lihat map!"
"Kurang ajar memang tuh anak ya!" Tessa kesal.
"Sampai rumah waktu aku mau bernafas lega. Ntah dari mana dan dari kapan, ada satu buku kecil dalam kantongku." Aku mengambil tasku yang sempat ku lempar tadi dan mengambil buku kecil itu.
"Ini dia." Aku memberikan buku itu ke Tessa.
"1/10?" Tanya Tessa.
"Itu yang tidak aku mengerti." Kembaliku sambung kalimatku.
"Sebenarnya tadi pagi aku sama sekali tidak membawa buku ini. Dan waktu aku ada di UKS, ibu petugas UKS memberikan aku buku ini, dan waktu aku tanya lagi, dia bahkan bilang bahwa dia sama sekali ngak pernah ngasih apa-apa ke aku. Dan waktu aku mau buang buku itu aku terjatuh tersandung tali sepatu yang aku sangat yakin sekali tadi sebelum aku ke sekolah sudah kuikat. Sudah itu kuikat kembali tali sepatuku, tapi waktu aku berjalan lagi aku tersandung tali sepatu. Makanya aku lepas sepatuku. Dan waktu aku ke kelas dan mencari buku catatanmu..."
"Buku mistis itu ada di tas mu..." Tessa langsung memahami.
"Yup."
"Sumpah serem banget... Aku sampai merinding." Tessa memeluk badannya sendiri.
"Kayanya maksud dari buku itu kau harus nyelesain misi deh." Tessa mencoba menangkap apa yang terjadi.
"Maksudnya?"
"Itu ada tertulis 1/10, berarti kau sudah menyelesaikan 1 tantangannya. Dan masih ada 9 tantangan lagi yang harus kau selesaikan,... Kalau tidak kau akan kena sial, ya... Seperti yang kau alami tadi." Sambung Tessa.
Tessa menatapku serius. "Kau harus buat Jessen bahagia seperti yang di bilang nenek itu."
Tessa menggaruk dagunya berfikir. "Sepertinya nenek itu sebenarnya peri deh... Karena dia menyenangi orang baik sepertimu. Dan kau di minta menjadi tangan kanan si peri itu,... Kerena kau di anggap cocok untuk membawa perubahan pada Jessen."
Tessa memang sangat pintar dalam menangkap setiap perkataan dan hal yang terjadi.
Rasanya mau nangis, bukan karena menyesal menjadi tangan kanan sang peri. Tapi kenapa harus berurusan dengan Jessen lagi dan lagi.
***
Pulang sekolah ini aku tidak pulang bersama Tessa karena Tessa ada urusan keluarga.
Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkan Jessen. Bukan karena aku semakin mencintainya. Melainkan berusaha gimana aku harus nyelesain misi ini dengan cepat dan tuntas, agar tidak perlu lagi berurusan lagi dengan Jessen.
Sewaktu berjalan, kakiku terasa seperti mengambang dan pandanganku menjadi putih silau. Aku menggosok-gosok mataku dan aku kembali ke tempat dimana aku kesasar semalam setelah bangun tidur.
Jessen melihat dengan sorot mata yang dingin "Kau lagi?"
Dalam hati aku bersyukur hal ini tidak terjadi seperti kemarin, di pagi pagi buta tapi di siang hari.
Jessen mendekatiku. "Kau masuk dari mana, huh?"
Aku bingung mau jawab apa. Kalau aku jelasin juga, dia pasti juga ngak bakal percaya. Tapi aku bener-bener mau cepat untuk nyelesain misi ini. "Kakak mau aku ngelakuin apa?"
Kalau aku melakukan keinginannya pasti lebih cepat misi dapat tuntas, bukan?
Dia menaikkan alisnya. "Apa?... Lebih baik kau keluar dari pada aku paksa keluar."
Ini cowok memang ngak ada ahlak ya. Udah bagus mau di bantu.
Aku mau cabut. Tapi nanti akan terjadi hal buruk lagi yang menimpaku.
Jadi aku harus apa dong?!
Aku mengendus kesal. "Aku manjat! Biar bisa jumpa kakak!"Jessen masih menatapku dengan dingin. "Trus kau mau apa?"Aku menggaruk kepalaku geram. "Kakak... Tadi kan aku yang nanya itu, kenapa jadi kakak tanya balik." Aku menekan kalimat terakhirku."Kemarin datang-datang mau jebloskan aku ke penjara, sekarang nanya aku mau apa, besok ngajak aku nikah?" Jessen memiringkan senyumnya menyindirku.Aku mengelus dadaku. Sabar, sabar, nanti kalau ini semua sudah berakhir kau bisa membacoknya."Ya udah aku mau pulang aja." Sambungku singkat sambil membalikkan badan dan berjalan keluar kamar.Aku memperlambat langkahku. Kenapa dia tidak menghalangiku keluar ya?Aku menoleh sedikit ke arahnya. Dia kembali duduk di bangku belajarnya dan membaca bukunya.Aku masih memperlambat langkahku."Jalanmu lama ya. Berharap aku menghalangi mu keluar?"Mataku membulat. Kok dia tau sih?"Amit-amit!" Sambungku kembali membalikkan b
Aku termangu duduk di kelas walaupun guru tengah menjelaskan materi. Kepalaku sudah mulai paham tentang kerja buku mistis ini.Aku memandangi buku ini. Kapan ya aku bisa bicara sama nenek itu lagi?"Valen!"Aku tersentak dari lamunanku dan menatap ke arah depan. "I iya Bu.""Bengang bengong, bengang bengong... Coba kamu jelaskan apa yang saya terangkan tadi!"Sial... Lagi mapel fisika pula...Aku hanya memegangi tengkukku dan tersenyum pasrah."Berdiri di luar!"Hem... Ya sudahlah.Aku melangkahkan kakiku keluar dan duduk di kursi tunggu di seberang kelas.Bu Septi yang memarahiku tadi melihatku dengan amarah. "Siapa yang suruh duduk?!... Berdiri!"Aku langsung berdiri dengan tegap."Angkat kaki satu dan buat kedua tanganmu menjewer kuping!"Aku langsung mengikuti perintah nya."Lakukan sampai jam saya selesai!" Ibu itu masuk ke kelas dan menutup pintu."Iya bawel...
Aku membalikkan badan dan mengusap tengkukku. "Em. Tapi aku harus balik ke sekolah kak. Nanti aku di pikir bolos."Dia menatapku. "Namamu siapa?""Valen kak."Dia menggelengkan kepalanya. "Bukan, nama lengkapmu.""Valentresia kak.""Kelas?""XI MIPA 1 kak."Kakak itu merogoh ponselnya yang ada di saku celananya dan tampak sedang mengetik sesuatu. Kemudian dia menatapku lagi. "Aku udah izinin kamu. Sekarang kamu di sini aja. Temenin aku."Dalam hati sebenarnya aku senang ngak masuk kelas lagi, karena aku sangat bad mood sekarang.Tapi, memangnya kakak ini siapa? Kok bisa ngizinin aku segala.Aku menarik kursi yang berada di dekat kakak itu dan duduk bersebelahan dengan tempat tidur nya. "Kok bisa?"Kakak itu terkekeh kecil. "Bisa dong."Dia menggenggam tanganku menaruh di dadanya dan menutup matanya. "Udah di sini aja."Mataku terbelalak seperti mau copot dari kelopak mataku, pembuluh darahku m
Pagi ini aku sibuk mencari di mana diaryku berada. Bisanya ada di kantong depan tasku dan tertutup rapi. Tapi waktu aku cek, kantong itu udah terbuka. Kapan ini terbuka ya?Aku sangat tidak menyadari itu. Karena dua hari belakangan ini aku ngak nulis apa pun di sana, jadi aku ngak ada ngecek itu.Aku coba mengingat kapan terakhir kali aku membuka kantong depan tasku.Oh aku ingat. Waktu aku terkejut akan kehadiran buku mistis di tasku, waktu itu buku mistis, diary dan buku Tessa ada di sana.Gawat kalau di baca sama orang lain... Bisa-bisa mereka tau kalau aku suka sama Jessen!Aku bergegas ke sekolah."Duh... Apa masih ada di kelas ya? Malah udah lama lagi kejadiannya." Aku panik.Aku berangkat ke sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu masih ada di kelas.Sesampainya aku di sekolah, aku mengecek apakah masih ada di bawah kolong meja.Waktu aku cek, semua kolong meja sudah bersih. Tidak ada buku apapun."Eh kalia
Prov Rio"Rio." Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut papa saat bertelepon denganku."Iya pa?""Besok papa jemput, dan kita balik ke Indonesia." Sambungnya."Hah? Tapi pa...""Tidak ada tapi-tapi, kamu di sana tidak ada yang perhatikan. Jadi di sini papa bisa pantau kamu.""Ta tapi pa..."Tut Tut TutArh.. kenapa harus pindah sih?!Drett...Aku langsung mengangkat ponselku yang bergetar.Aku harus komen ke papa, memangnya salahku apa sampai-sampai harus di pantau segala?!"Halo pa.""Haha why you call me pa, beb?"Aku kembali melihat layar ponselku, Anne.Ck kenapa sih selalu di waktu yang tak tepat!"We broke up! Don't call me again!"Pekikku sambil mem
"Dia pacarku."Kalimat Jessen berhasil membuat mulutku ternganga dan menyergitkan dahi. Gimana tidak, pacar? Apa coba maksudnya?Kak Rio menatapku bingung. Dia tampak memikirkan sesuatu, selang beberapa saat dia tersenyum dan merangkul Jessen sambil membisikkan sesuatu.Jessen malah menatap kak Rio datar dengan senyuman. Kemudian menoleh ke arahku.Aku tak mau punya masalah lagi dengan Jessen sekarang. Karena kalau aku bilang ke kak Rio kalau aku bukan pacar Jessen, Jessen akan menjauh dan misiku tak akan pernah selesai, ditambah aku akan selalu tertimpa segala kesialan. Lebih baik aku mengiyakan saja. "Em. Iya, aku pacaran nya."Jessen mengalihkan pandangannya dariku dan menatap Rio. "See."Yang lebih gilanya, Jessen melanjutkan jalan tanpa merasa bersalah.Rio masih menatapku. Aku coba memberi Penjelasan. "Ma maaf kak, aku.""Ngapain berdiri di situ. Cepat." Jessen memotong kalimatku.Sontak aku langsung memaling
Aku menelan ludahku berat.Tuhan selamatkanlah aku dari cobaan ini.Aku membalikkan badanku kaku. Dan mencoba tetap tenang dengan ekspresi datar.Jessen berjalan mendekatiku.Dia semakin dekat dan dekat. "Woy jangan mendekat, aku punya semprotan cabe di kantongku!"Jujur, sebenarnya ngak ada semprotan cabe di kantongku. Aku bilang gitu biar dia berhenti mendekat.Jessen tetap berjalan mendekatiku. Membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke hadapanku. "Celanamu ngak ada kantongnya." Dia menjitak kepalaku.Aku melihat celanaku. Aku langsung cengo karena tampak seperti penipu amatiran yang idiot.Ah, aku tak peduli. Aku menatap Jessen lantang. "Aku mau keluar!""Buka pintunya!" Pekikku.Jessen menegakkan kembali badannya. "Bukannya kau yang datang ke sini.""Ya kau keluar aja dari jalan kau masuki tadi." Sambungnya.Aku menggaruk kepalaku prustasi kemudian menatapnya. "Gini ya Jes, aku udah capek dengan hal
Rasanya begitu gila. Ternyata aku masih suka sama Jessen. Aku memukul lagi kepalaku kemudian mencubit pipiku kasar.Val sadar!!!"Eh bego, kau kenapa?" Kata Jessen.Aku menghentikan tingkah lakuku."Kalau kau pukul terus kepalamu, kau jadi tambah bego." Hina nya.Aku melihat Jessen sambil tersenyum. "Eng... Gak apa."Kami pun berjalan bersama.***Di parkiran.Kak Rio melajukan kereta nya. Ke arahku dan berhenti tepat di sebelahku. Dia membuka penutup helmnya dan mengarahkan pandangan ke arahku. "Naik Val." Ucap kak Rio sambil tersenyum.Aku mengangguk dan hendak naik.Jessen menarik kerah belakang bajuku. "Jangan naik." Jessen lirik tajam Kak Rio.Aku melepaskan tangan Jessen. "Apaan sih Jes, cuma naik kereta doang." Aku kembali naik ke kereta kak Rio. Setelah aku naik Jessen juga ikutan naik.Aku sedikit memutarkan badanku ke belakang melihat Jessen. "Apa sih? Kita udah kaya cabe-cabean tau