Sabrina merasakan perubahan yang mencolok dalam sikap Sandi. Lelaki itu, yang dulu selalu dingin dan meremehkannya, kini mulai bersikap lebih lembut. Sandi sering bermain dengan rani, anak sabrina.
, bahkan sandi tak segan membelai rambutnya atau menggenggam tangannya saat mereka berbicara. Sandi bahkan menyewa baby sitter untuk sabrina supaya sabrina tidak lelah merawat bayinya dan tentu saja bisa lebih sering melayani sandi diranjang. Di sisi lain, Karina mulai merasa terusik. Ia memperhatikan bagaimana Sandi kini lebih sering berada di sisi Sabrina daripada di sisinya. Jika sebelumnya Karina selalu menjadi pusat perhatian sebagai istri baru, kini ia merasa posisinya perlahan tergeser. Malam itu, saat makan malam, suasana terasa sedikit tegang. Sandi duduk di sebelah Sabrina, membantu menghidangkan makanan untuknya. Karina, yang duduk di seberang mereka, mencengkeram sumpitnya erat-erat. "Sabrina, makan yang banyak. Kau butuh tenaga,"** ujar Sandi lembut sambil menyendokkan lauk ke piring Sabrina. Karina menatapnya dengan tajam. "Aku juga butuh perhatian, Mas. Kenapa sekarang kau lebih sibuk mengurus Sabrina?" tanyanya dengan nada tajam. Sandi menoleh ke arah Karina, terlihat sedikit terkejut. "Aku hanya memastikan dia sehat. Dia masih menyusui dan mungkin akan hamil lagi. Aku harus menjaganya." Mata Karina berkedut. "Jadi, karena aku mandul, aku tidak perlu dijaga? Aku tidak pantas mendapatkan perhatianmu?" Sandi menghela napas. "Bukan begitu maksudku, Karina. Kau tahu aku tetap mencintaimu." "Benarkah?"Karina menyilangkan tangan di dadanya. "Dulu kau menikahiku karena aku lebih baik dari Sabrina. Tapi sekarang? Kau kembali ke wanita yang dulu kau hina sendiri." Sabrina menundukkan kepala, memilih diam. Sandi menatap Karina dengan tenang. "Aku tidak kembali pada siapa pun. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai suami. Kau istri keduaku, dan dia istri pertamaku. Itu tidak akan berubah." Karina tersenyum sinis. "Kau bilang mencintaiku, tapi jelas-jelas kau mulai mengabaikanku." Sandi terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Karina. "Aku tidak mengabaikanmu, Karina. Aku tetap mencintaimu. Hanya saja, aku butuh keturunan. Dan Sabrina satu-satunya yang bisa memberikannya untukku." Mata Karina berkilat marah. "Jadi aku tidak ada gunanya lagi bagimu, begitu? Sandi menghela napas panjang. "Kau masih istriku. Tapi aku harap kau bisa memahami posisiku." Karina berdiri dengan kasar, kursinya bergeser hingga berdecit. Ia menatap Sabrina dengan tatapan penuh kebencian sebelum berbalik dan meninggalkan ruang makan. Sabrina hanya bisa menghela napas, menyadari bahwa badai baru dalam rumah tangga mereka baru saja dimulai. Sandi sering membantunya mengurus anak sabrina, bahkan tak segan membelikan rani mainan dan baju baru,sandi memang menjadi perhatian pada sabrina seolah jatuh cinta lagi dan dia mulai mengabaikan karina, sabrina sering dibawakan oleh oleh, vitamin , perhiasan dan sandi lebih sering meminta jatah sabrina saat malam..itu membuat sandi tidak bisa bersikap adil pada karina Sabrina menundukkan kepala, memilih diam. Sandi menatap Karina dengan tenang. "Aku tidak kembali pada siapa pun. Aku hanya Mata Karina berkilat marah. "Jadi aku tidak ada gunanya lagi bagimu, begitu?" Sabrina merasakan kebahagiaan yang sempat hilang saat mengetahui dirinya kembali hamil dan ini pastinya anak sandi. Sandi menjadi sangat senang dan makin menyayanginya. Sandi yang dulu memperlakukannya dengan dingin, kini berubah menjadi suami yang perhatian. Ia lebih sering di rumah, selalu memastikan Sabrina tidak kelelahan, bahkan sering kali membawakan makanan atau sekadar membantunya mengurus rani. Namun, semua itu menjadi duri dalam hati Karina. Sejak awal, ia sudah merasa posisinya tergeser. Tapi sekarang? Sandi nyaris tak lagi memedulikannya. Semua perhatiannya tercurah pada Sabrina dan anak yang dikandungnya. -- Hari itu, Sandi harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan, sandi mememag sibuk karena jabatannya tinggi dikantor. Karina melihat ini sebagai kesempatan emas. Ia mendekati Sabrina yang sedang berada di taman belakang rumah, menikmati udara segar. "Sabrina, kau tidak bosan di rumah terus?" tanya Karina dengan senyum manis yang dipaksakan. Sabrina mengangguk pelan. "Kadang. Tapi aku harus menjaga kandunganku." "Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Kita beli perlengkapan bayi yang kurang, kan anakmu laki laki, jadi dia tidak bisa pakai barang barang putrimu. Sabrina sedikit ragu, tapi akhirnya setuju. Karina menggenggam tangannya dan menuntunnya ke mobil. Sepanjang perjalanan, Sabrina merasa ada yang aneh, tetapi ia berusaha berpikir positif. Saat mereka sampai di jembatan yang sepi, Karina menghentikan mobil. "Kenapa kita berhenti di sini?" tanya Sabrina bingung. Karina menoleh padanya, senyum di wajahnya menghilang, berganti dengan tatapan penuh kebencian. "Karena kau harus pergi, Sabrina." Sebelum Sabrina bisa merespons, Karina mendorongnya dengan kasar keluar dari mobil. Sabrina terhuyung ke belakang, nyaris jatuh ke tepi jembatan. "Karina! Apa yang kau lakukan?" Sabrina berusaha menjaga keseimbangan, tangannya memegangi perutnya yang membesar. Karina mendekat dengan langkah perlahan. "Aku tidak akan membiarkanmu merebut Sandi dariku. Kau pikir kau bisa terus membuatnya berpaling dariku hanya karena kau bisa memberinya anak?" Sabrina menggeleng, air matanya mulai menggenang. "Aku tidak pernah berniat merebutnya. Aku hanya menjalani takdirku." "Bohong!" Karina menjerit, lalu mendorong Sabrina dengan kuat. Tubuh Sabrina jatuh ke belakang, perutnya menghantam keras tepi trotoar sebelum tubuhnya terguling ke jalan. Rasa sakit yang luar biasa menjalar dari perutnya. "A-AAKH!"Sabrina menjerit kesakitan, tangannya berusaha melindungi perutnya. Karina terdiam, napasnya memburu saat melihat darah mulai menggenang di bawah tubuh Sabrina. Rasa puas dan bahagia sempat menyelimuti hatinya, tapi perlahan ketakutan mulai merayapi pikirannya. Sabrina menggigit bibirnya menahan sakit. *"Tolong… bayi…ku…" Namun, Karina hanya menatapnya dengan dingin sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Sabrina sendirian dalam kesakitan yang luar biasa. --- Ketika Sandi mendapat kabar bahwa Sabrina mengalami keguguran akibat kecelakaan, ia langsung kembali dengan panik. Ia menemukan Sabrina terbaring lemah di rumah sakit, wajahnya pucat, matanya kosong. "Sabrina…," suara Sandi lirih, penuh penyesalan. Sabrina hanya diam, air matanya jatuh tanpa suara. Tangannya yang lemah menyentuh perutnya yang kini kosong. "Anak kita… sudah pergi, Sandi…,"bisiknya dengan suara bergetar. Sandi mengepalkan tangannya, matanya merah menahan amarah. Ia merasa bersalah karena tidak ada di sisi Sabrina saat semua ini terjadi. Saat itu, ia belum tahu siapa dalang di balik kecelakaan ini. Tapi satu hal yang pasti—Sabrina sudah kehilangan bagian dari dirinya yang paling berharga, dan hatinya hancur tak tersisa.Tanpa sadar sandi berjalan kearah jembatan, tatapannya kosong...ingatan terakhirnya adalah saat dia melamar sabrinaWaktu itu Sabrina berdiri dan tersenyum. "Kak Sandi? Tumben datang ke sini." Sandi melirik ke arah dalam rumah, memastikan suasana sepi. "Aku ingin bicara serius denganmu. Boleh?" Sabrina mengangguk, sedikit penasaran. Mereka pun duduk di bangku teras. Sandi terlihat tenang, tetapi ada ketegangan samar di sorot matanya. "Aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan posisiku di kantor semakin baik. Aku punya rumah sendiri, tabungan cukup, dan hidup yang stabil," katanya, seolah membaca daftar pencapaian. Sabrina mengangguk, masih belum menangkap maksudnya. "Aku ingin menikah," lanjut Sandi, tatapannya menusuk langsung ke mata Sabrina. Sabrina mengerjap. "Oh. Selamat ya, Kak." Sandi tersenyum kecil. "Maksudku... aku ingin menikah denganmu, Sabrina." Jantung Sabrina berdetak lebih cepat. "Apa?" Sandi menyesap napas sebelum melanjutkan, suaranya semakin ma
Sandi terduduk di kursi tua ruang tamu. Bu Rina menatapnya dengan prihatin dari dapur.“Kamu masih belum bisa merelakan, ya?” suara ibunya lembut, tapi langsung menusuk ke dalam hatinya.Sandi tidak menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya yang terasa panas.“Dulu kamu memilih Karina, memilih Nadine, San. Sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Sabrina juga sudah memilih jalannya sendiri.”Sandi menghela napas panjang. “Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, Ma… Aku cuma… aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir begini.”Bu Rina duduk di sampingnya. “Hidup nggak bisa ditebak. Tapi satu hal yang pasti, kalau kamu terus melihat ke belakang, kamu nggak akan pernah maju. Andro memang keterlaluan tapi dia juga anak ibu, ”Sandi diam. Kata-kata ibunya benar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?Dunia sudah berubah. Semua orang sudah bergerak maju.Hanya ia yang masih tertinggal di tempat yang sama.-Malam itu, Sandi tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di atas kasurnya, pikirannya dipen
Sandi melemparkan tubuhnya ke atas kasur tua, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembab. Hari ini sama seperti kemarin—panas, melelahkan, dan penuh dengan rasa kecewa. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk bangkit, tapi dunia seolah tak lagi menginginkannya. Tiba-tiba, suara dari televisi di ruang tamu menarik perhatiannya. Suara riuh penggemar, teriakan histeris, dan dentuman musik memenuhi rumah kecil itu. Sandi bangkit perlahan, berjalan menuju ruang tamu dengan rasa penasaran. Di layar, sebuah konser besar sedang disiarkan secara langsung. Lampu sorot berkedip, dan di tengah panggung, seorang pria muda berdiri dengan penuh percaya diri. Seorang pria yang sangat ia kenal. Andro. Adiknya yang dulu selalu tertinggal di sekolah. Yang dulu sering dihina karena tidak secerdas Sandi. Yang dulu selalu berlindung di balik bayangannya. Kini, Andro berdiri di atas panggung megah, dikelilingi oleh ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Dengan jaket kulit, rambut
Langit sore memancarkan warna jingga yang suram ketika Sandi melangkahkan kakinya ke halaman rumah orang tuanya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini, pulang dalam keadaan seperti ini terasa seperti kekalahan. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarga. Si jenius yang selalu menjadi nomor satu di sekolah, yang membangun bisnisnya sendiri dari nol dan pernah masuk dalam jajaran pengusaha muda paling berpengaruh. Sekarang? Ia hanya seorang mantan narapidana yang bahkan tidak bisa mencari pekerjaan. Sandi mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah ibunya—Bu Rina. Mata perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. "Sandi..." suaranya bergetar. Sandi menunduk, merasa terlalu malu untuk menatap ibunya. "Ma... Boleh aku tinggal di sini sebentar?" Bu Rina menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya Allah, anakku..." Tanpa banyak tanya, ia langsung menarik Sandi ke dalam pelukan
Sandi melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah berat. Matahari menyengat kulitnya, mengingatkan bahwa dunia di luar masih berjalan tanpa dirinya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Di dalam sana, hari-harinya berlalu lambat, dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan yang ia telan sendiri. Kini ia bebas. Tapi kebebasan ini terasa kosong. Tak ada siapa pun yang menjemput. Tak ada sahabat, keluarga, atau bahkan Nadine, mantan istrinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah menuju halte bus terdekat. Tangannya merogoh saku jaket tua yang ia bawa sejak masuk ke dalam penjara. Isinya hanya beberapa lembar uang yang diberikan petugas sebelum ia keluar. Cukup untuk ongkos bus dan mungkin sebungkus rokok. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke saat-saat di mana ia masih punya segalanya—keluarga, bisnis, dan kehormatan. Semua itu hancur karena satu kesalahan. Perusahaannya bangkrut, lalu kasus hukum menjeratnya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kehil
Di sebuah jalan sepi yang diterangi lampu jalan temaram, Sandi melaju dengan mobil hitamnya yang tersisa. Hatinya berdegup kencang saat ia menuju sebuah vila kecil yang pernah menjadi tempat Karina menghabiskan waktu bersama. Setiap tikungan jalan diiringi dengan bisikan amarah dan dendam yang telah lama terpendam.Sesampainya di depan pintu gerbang vila, Sandi keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh tekad. Ia menyelinap ke pekarangan, mendekati pintu utama dengan hati-hati. Di balik jendela, terlihat sosok Karina yang sedang membaca di ruang tamu dengan lampu meja menyinari wajahnya.Dengan napas tercekik, Sandi menekan pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan tanpa sempat Karina berteriak, Sandi sudah mendekat dengan pisau terhunus di tangannya."Karina!" teriak Sandi, suaranya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan terus terpuruk karena ulahmu?"Karina terkejut, segera bangkit dan melangkah mundur. "Sandi, apa yang kau lakukan? Tenanglah!" serunya, berusaha menjauh dari ancama