Home / Romansa / Mahkota Yang Terenggut / 9.Aku Mau Kau Layani

Share

9.Aku Mau Kau Layani

last update Last Updated: 2025-06-30 12:33:33

Malam itu, suara pintu depan terbuka dengan kasar, menandakan seseorang baru saja masuk. Sabrina yang sedang menidurkan bayinya di kamar langsung menegang.

Sandi pulang.

Langkahnya terdengar mantap saat berjalan melewati lorong rumah. Aroma parfum khasnya segera memenuhi udara, menciptakan perasaan yang tak lagi nyaman di hati Sabrina.

"Sabrina!" panggilnya dengan suara rendah, tetapi penuh ketegasan.

Sabrina menarik napas dalam sebelum akhirnya keluar dari kamar. Di ruang tengah, Sandi sudah berdiri dengan jas yang masih melekat rapi di tubuhnya.

Tatapan pria itu langsung tertuju pada Sabrina, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, nada suaranya terdengar seperti formalitas semata.

Sabrina mengangguk pelan. "Aku baik."

Sandi duduk di sofa dan mengendurkan dasinya. "Aku dengar Andro datang ke sini."

Sabrina menegang. "Ya, dia mampir sebentar."

Sandi mendengus kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Jadi dia akhirnya mau pulang setelah lama menghilang. Kenapa? Merasa bersalah karena meninggalkan keluarganya?"

Sabrina tidak tahu bagaimana harus merespons.

"Apa yang dia lakukan di sini?" tanya Sandi lagi, kali ini nada suaranya lebih tajam.

Sabrina menundukkan kepalanya. "Dia mencarimu dan hanya… melihat bayi kita."

Sandi mendecakkan lidahnya, lalu tertawa kecil. "Menarik. Setelah sekian lama, sekarang dia peduli? Apa dia tidak punya kesibukan lain sebagai idol terkenal?"

Sabrina bisa merasakan sarkasme dalam suara Sandi, tetapi ia tidak ingin memperpanjang masalah.

"Aku lelah," ujar Sandi akhirnya. "Siapkan makan malam untukku."

Sabrina menelan ludah, lalu bergegas ke dapur. Tapi sebelum ia sempat beranjak, Sandi menarik pergelangan tangannya.

"Sabrina," bisiknya, tatapannya menelusuri wajah istrinya. "Aku ingin malam ini kau menemaniku."

Jantung Sabrina berdebar keras. Ia tahu apa maksud Sandi.

Tapi… hatinya terasa hampa.

Ia ingin menolak, tetapi suaminya sudah menariknya lebih dekat, mencium pelipisnya dengan gerakan yang seharusnya terasa intim—tetapi kini hanya membuatnya merasa semakin dingin.

bayi sabrina masih terlelap tanpa mengetahui apa yang terjadi.

Dan jauh di lubuk hatinya, Sabrina bertanya-tanya… apakah hidupnya akan selalu seperti ini?

"Kau harus melayaniku dengan baik dan memuaskan suamimu,"

Sandi melepaskan bajunya, dia bahkan meminta jatah asi milik rani.

"Sandi jangan dihabiskan,nanti rani haus.,"

Ucap sabrina saat sandi menunduk.

"Ah rani kan bisa minum susu formula, kau jangan pelit sabrina!"

Setelah selesai menuntaskan nafkah batinnya, sandi pergi meninggalkan kamar sabrina.

Sabrina duduk di tepi ranjang, menatap bayinya yang tertidur pulas di dalam boksnya. Wajah mungil itu begitu damai, tidak tahu betapa rumitnya kehidupan yang sedang dijalani ibunya.

Malam berikutnya,

Langkah kaki terdengar mendekat. Pintu kamar terbuka, dan Sandi masuk dengan wajah lelah tetapi masih menunjukkan aura wibawanya.

"Kau sudah tidur?" tanyanya, suaranya lembut tapi tetap berwibawa.

Sabrina menggeleng. "Belum. Ada apa?"

Sandi menutup pintu dan berjalan mendekat. Ia duduk di ranjang, lalu menatap istrinya dengan serius.

"Aku ingin kita punya anak lagi."

Sabrina terdiam. Tangannya yang tadi membelai selimut bayinya perlahan berhenti bergerak.

"Sandi…"Ia ragu untuk merespons.

"Kali ini, aku ingin anak yang benar-benar anakku," lanjut Sandi, tatapannya menajam.

Jantung Sabrina berdegup kencang. Kata-kata itu terasa menusuk ke dalam hatinya.

"Maksudmu…?"

"Aku ingin anak kandungku. Anak yang lahir dari darah dagingku sendiri. Aku ingin kau mengandung anakku, Sabrina."

Sabrina menundukkan kepala. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Sandi ingin membuktikan bahwa ia adalah pria sejati, pria yang bisa meneruskan keturunannya sendiri—bukan membesarkan anak yang ia ragukan.

Tapi bagaimana dengan dirinya?

Ia masih ingat betapa ia disia-siakan selama kehamilan pertamanya. Ia ingat betapa Sandi tidak ada di sisinya saat ia melahirkan.

"Sandi, anakku masih kecil, masih menyusui…" suaranya lirih.

Sandi meraih tangannya. "Aku tahu,tapi dia bukan anakku.aku ingin ini segera terjadi. Aku ingin anak yang benar-benar milikku, Sabrina. Aku ingin keluargaku tetap utuh, dan aku ingin kau tetap menjadi istriku, bukan hanya ibu dari anak yang aku ragukan."

Sabrina menggigit bibirnya. "Apakah ini keinginanmu… atau desakan keluargamu?"

Sandi terdiam sesaat, lalu menghela napas. "Mungkin keduanya. Ibuku ingin aku punya keturunan dari wanita yang sah dalam pernikahan. Aku juga ingin anakku sendiri."

Air mata hampir jatuh dari mata Sabrina, tetapi ia menahannya.

"Kau tidak pernah bertanya… apakah aku ingin ini?"

Sandi menatapnya dalam-dalam. "Aku suamimu, Sabrina. Sudah seharusnya kau memberikan keturunan untukku."

Ia hanya bisa mengangguk pelan, menerima takdirnya dengan hati yang semakin hancur.

"Layani aku malam ini sabrina," ucap sandi yang kembali menuntut haknya.

Sabrina menatap bayinya yang tertidur lelap di dalam boksnya. Hatinya masih terasa nyeri saat mengingat bagaimana ia harus melalui kehamilan pertamanya sendirian. Namun, kini, sebelum luka itu benar-benar sembuh, ia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit lainnya.

"Sabrina, aku harus memberitahumu sesuatu."

Sabrina mengangkat wajahnya, sedikit waspada. "Apa?"

Sandi menghela napas." sebenarnya Karina tidak bisa punya anak."

Jantung Sabrina berdegup lebih kencang. Ia menatap suaminya dengan mata membesar. "Apa maksudmu?"

"Aku sudah membawa Karina ke dokter beberapa kali. Hasilnya selalu sama. Dia mandul."

Sabrina diam, mencoba mencerna informasi itu.

"Lalu?"

Sandi menatapnya penuh harap. "itulah alasannya sebenarnya aku ingin kita punya anak lagi, Sabrina."

Kata-kata itu menghantam hatinya seperti badai. Sabrina merasa kepalanya berputar. Ternyata alasan semalam hanya karena karina mandul.

Sandi menggenggam tangannya. "Aku aku ingin kau tahu, keluargaku sudah menerimamu, dan kau bisa memberikan anak lagi untukku. Mereka ingin memastikan bahwa aku punya keturunan asli milikku."

Sabrina menelan ludah. "Dan Karina?"

Sandi terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Karina menerima ini. Dia juga ingin aku punya anak kandung. Jadi, dia setuju jika kau mengandung lagi."

Air mata hampir jatuh dari mata Sabrina. "Jadi… aku hanya alat untuk melahirkan keturunan bagimu?"

"Bukan begitu, Sabrina. Aku tetap mencintaimu. Kau ibu dari anakku. Tapi aku juga harus memikirkan masa depan. Aku butuh pewaris dari darahku sendiri."

Sabrina tercekat, kata cinta itu datang lagi hanya karena sandi menginginkan anak darinya.

Sabrina menggigit bibirnya, menahan isak yang ingin pecah. "Kau tidak pernah menanyakan bagaimana perasaanku, Sandi. Kau hanya berpikir tentang keluargamu, tentang dirimu sendiri."

Sandi meraih wajahnya, menatapnya dengan dalam. "Aku tahu ini sulit, tapi kau istri pertamaku. Kau satu-satunya yang bisa melahirkan anak-anakku, Sabrina. Aku butuh kau dan aku akan menerima rani juga memaafkan masa lalumu, kalau kamu setuju."

Sabrina menutup matanya, merasakan air mata akhirnya jatuh. Ia tahu, pada akhirnya, ia tidak punya pilihan. Lagi-lagi, ia harus menyerahkan dirinya demi suami yang tak pernah benar-benar menghargainya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahkota Yang Terenggut   42.Maafkan Aku Sabrina

    Tanpa sadar sandi berjalan kearah jembatan, tatapannya kosong...ingatan terakhirnya adalah saat dia melamar sabrinaWaktu itu Sabrina berdiri dan tersenyum. "Kak Sandi? Tumben datang ke sini." Sandi melirik ke arah dalam rumah, memastikan suasana sepi. "Aku ingin bicara serius denganmu. Boleh?" Sabrina mengangguk, sedikit penasaran. Mereka pun duduk di bangku teras. Sandi terlihat tenang, tetapi ada ketegangan samar di sorot matanya. "Aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan posisiku di kantor semakin baik. Aku punya rumah sendiri, tabungan cukup, dan hidup yang stabil," katanya, seolah membaca daftar pencapaian. Sabrina mengangguk, masih belum menangkap maksudnya. "Aku ingin menikah," lanjut Sandi, tatapannya menusuk langsung ke mata Sabrina. Sabrina mengerjap. "Oh. Selamat ya, Kak." Sandi tersenyum kecil. "Maksudku... aku ingin menikah denganmu, Sabrina." Jantung Sabrina berdetak lebih cepat. "Apa?" Sandi menyesap napas sebelum melanjutkan, suaranya semakin ma

  • Mahkota Yang Terenggut   41.Penyesalan

    Sandi terduduk di kursi tua ruang tamu. Bu Rina menatapnya dengan prihatin dari dapur.“Kamu masih belum bisa merelakan, ya?” suara ibunya lembut, tapi langsung menusuk ke dalam hatinya.Sandi tidak menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya yang terasa panas.“Dulu kamu memilih Karina, memilih Nadine, San. Sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Sabrina juga sudah memilih jalannya sendiri.”Sandi menghela napas panjang. “Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, Ma… Aku cuma… aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir begini.”Bu Rina duduk di sampingnya. “Hidup nggak bisa ditebak. Tapi satu hal yang pasti, kalau kamu terus melihat ke belakang, kamu nggak akan pernah maju. Andro memang keterlaluan tapi dia juga anak ibu, ”Sandi diam. Kata-kata ibunya benar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?Dunia sudah berubah. Semua orang sudah bergerak maju.Hanya ia yang masih tertinggal di tempat yang sama.-Malam itu, Sandi tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di atas kasurnya, pikirannya dipen

  • Mahkota Yang Terenggut   40. Pengangguran

    Sandi melemparkan tubuhnya ke atas kasur tua, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembab. Hari ini sama seperti kemarin—panas, melelahkan, dan penuh dengan rasa kecewa. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk bangkit, tapi dunia seolah tak lagi menginginkannya. Tiba-tiba, suara dari televisi di ruang tamu menarik perhatiannya. Suara riuh penggemar, teriakan histeris, dan dentuman musik memenuhi rumah kecil itu. Sandi bangkit perlahan, berjalan menuju ruang tamu dengan rasa penasaran. Di layar, sebuah konser besar sedang disiarkan secara langsung. Lampu sorot berkedip, dan di tengah panggung, seorang pria muda berdiri dengan penuh percaya diri. Seorang pria yang sangat ia kenal. Andro. Adiknya yang dulu selalu tertinggal di sekolah. Yang dulu sering dihina karena tidak secerdas Sandi. Yang dulu selalu berlindung di balik bayangannya. Kini, Andro berdiri di atas panggung megah, dikelilingi oleh ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Dengan jaket kulit, rambut

  • Mahkota Yang Terenggut   39.Pulang Dengan Rasa Malu

    Langit sore memancarkan warna jingga yang suram ketika Sandi melangkahkan kakinya ke halaman rumah orang tuanya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini, pulang dalam keadaan seperti ini terasa seperti kekalahan. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarga. Si jenius yang selalu menjadi nomor satu di sekolah, yang membangun bisnisnya sendiri dari nol dan pernah masuk dalam jajaran pengusaha muda paling berpengaruh. Sekarang? Ia hanya seorang mantan narapidana yang bahkan tidak bisa mencari pekerjaan. Sandi mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah ibunya—Bu Rina. Mata perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. "Sandi..." suaranya bergetar. Sandi menunduk, merasa terlalu malu untuk menatap ibunya. "Ma... Boleh aku tinggal di sini sebentar?" Bu Rina menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya Allah, anakku..." Tanpa banyak tanya, ia langsung menarik Sandi ke dalam pelukan

  • Mahkota Yang Terenggut   38.Kebangkrutan

    Sandi melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah berat. Matahari menyengat kulitnya, mengingatkan bahwa dunia di luar masih berjalan tanpa dirinya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Di dalam sana, hari-harinya berlalu lambat, dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan yang ia telan sendiri. Kini ia bebas. Tapi kebebasan ini terasa kosong. Tak ada siapa pun yang menjemput. Tak ada sahabat, keluarga, atau bahkan Nadine, mantan istrinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah menuju halte bus terdekat. Tangannya merogoh saku jaket tua yang ia bawa sejak masuk ke dalam penjara. Isinya hanya beberapa lembar uang yang diberikan petugas sebelum ia keluar. Cukup untuk ongkos bus dan mungkin sebungkus rokok. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke saat-saat di mana ia masih punya segalanya—keluarga, bisnis, dan kehormatan. Semua itu hancur karena satu kesalahan. Perusahaannya bangkrut, lalu kasus hukum menjeratnya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kehil

  • Mahkota Yang Terenggut   37.Nasib Yang Tertulis

    Di sebuah jalan sepi yang diterangi lampu jalan temaram, Sandi melaju dengan mobil hitamnya yang tersisa. Hatinya berdegup kencang saat ia menuju sebuah vila kecil yang pernah menjadi tempat Karina menghabiskan waktu bersama. Setiap tikungan jalan diiringi dengan bisikan amarah dan dendam yang telah lama terpendam.Sesampainya di depan pintu gerbang vila, Sandi keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh tekad. Ia menyelinap ke pekarangan, mendekati pintu utama dengan hati-hati. Di balik jendela, terlihat sosok Karina yang sedang membaca di ruang tamu dengan lampu meja menyinari wajahnya.Dengan napas tercekik, Sandi menekan pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan tanpa sempat Karina berteriak, Sandi sudah mendekat dengan pisau terhunus di tangannya."Karina!" teriak Sandi, suaranya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan terus terpuruk karena ulahmu?"Karina terkejut, segera bangkit dan melangkah mundur. "Sandi, apa yang kau lakukan? Tenanglah!" serunya, berusaha menjauh dari ancama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status