Share

2.Kehamilan

last update Last Updated: 2025-06-30 10:27:49

Malam itu, Sandi memilih tidur di sofa, membiarkan Sabrina terjaga sendirian di ranjang mereka. Udara di kamar terasa lebih dingin daripada biasanya, meskipun pendingin ruangan tidak terlalu rendah.

Sabrina tidak bisa tidur. Matanya tetap terbuka, menatap langit-langit, pikirannya kacau. Sejak malam itu, semuanya berubah. Sandi bukan lagi pria yang hangat dan perhatian seperti sebelum pernikahan mereka.

Pagi harinya, Sabrina bangun lebih dulu. Dengan perasaan berat, ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia berharap Sandi mau berbicara dengannya dengan lebih tenang, mungkin setelah semalam berpikir, suaminya akan melunak.

Namun harapannya hancur ketika Sandi turun dengan wajah datar, bahkan tidak menatapnya saat mengambil secangkir kopi yang sudah disiapkan di meja makan.

"Kau tidak perlu repot-repot membuat sarapan untukku," katanya dingin, menyeruput kopinya.

Sabrina menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang muncul di hatinya. "Aku hanya ingin melakukan tugasku sebagai istri."

Sandi tertawa kecil, nada sinis terdengar jelas di sana. "Istri, ya?" Ia meletakkan cangkirnya dengan sedikit kasar di atas meja. "Dari awal kau sudah menipuku, dan sekarang kau ingin berperan sebagai istri yang baik?"

Sabrina mengepalkan tangannya di pangkuannya, mencoba tetap tenang. "Aku sudah minta maaf, Sandi."

Sandi menatapnya tajam. "Permintaan maaf tidak mengubah fakta bahwa kau telah menipuku. Aku menikahimu dengan keyakinan bahwa kau seseorang yang menjaga dirinya, sama sepertiku. Tapi ternyata aku salah."

Sabrina mengalihkan pandangannya ke meja, hatinya terasa semakin hancur. "Aku tidak pernah ingin menipumu…"

"Benarkah?" Sandi menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kau bahkan sempat bilang tidak pernah pacaran. Tapi malam itu kau bilang punya pacar saat SMA. Apa lagi kebohongan yang kau sembunyikan?"

Sabrina terdiam, berusaha menelan kepedihan yang mencekiknya.

"Aku punya hak untuk membatalkan pernikahan ini, kau tahu?" lanjut Sandi, suaranya terdengar lebih rendah, tetapi penuh tekanan.

Sabrina membelalakkan mata, tubuhnya menegang. "Sandi…"

"Bukankah dalam hukum pernikahan, menipu pasangan adalah alasan yang sah untuk pembatalan?" Sandi menatapnya tanpa ekspresi. "Kalau aku mengajukan pembatalan, keluargaku akan berpihak padaku. Dan keluargamu? Apa mereka mau menanggung malu jika pernikahan ini dibatalkan?"

Sabrina menggeleng cepat, air matanya mulai menggenang. "Tolong jangan lakukan itu, Sandi… Aku mencintaimu. Aku akan menjadi istri yang baik… Aku akan menebus kesalahanku dimasa lalu…"

Sandi menyeringai tipis. "Menebus kesalahan? Bagaimana caranya, Sabrina? Kau tidak bisa mengembalikan sesuatu yang sudah hilang."

Sabrina menundukkan kepala, air matanya menetes di pangkuannya. "Aku akan melakukan apa pun agar kau bisa memaafkanku…"

Sandi menghela napas panjang. Ia menatap istrinya yang kini terlihat begitu rapuh. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kita akan tetap menikah. Tapi jangan berharap aku akan memperlakukanmu seperti sebelumnya."

Sabrina mengangkat kepalanya perlahan, matanya berkaca-kaca. "Aku akan bersabar… Aku akan menunggumu… Sampai kau bisa memaafkanku dan menerimaku lagi."

Sandi bangkit dari kursinya, mengambil tas kerjanya. "Jangan terlalu berharap, Sabrina," katanya sebelum melangkah pergi.

Sabrina hanya bisa menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, meninggalkannya dengan luka yang semakin dalam.

Ia tidak tahu apakah waktu bisa menyembuhkan segalanya, tapi ia bertekad untuk tetap bertahan.

Untuk cinta yang ia yakini… dan untuk rumah tangga yang baru saja ia mulai.

--

beberapa hari kemudian,

Sabrina menatap dua garis merah di test pack yang digenggamnya erat. Tangannya gemetar, dan dadanya terasa sesak. Ia hamil.

Harusnya ini kabar bahagia. Tapi bagaimana ia bisa bahagia jika suaminya sendiri selalu bersikap dingin dan meremehkannya?

Dengan napas berat, ia keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju dapur. Ia harus memberi tahu Sandi, bagaimana pun reaksinya nanti.

Sore itu, Sandi baru saja pulang kerja. Sabrina menunggunya di ruang makan, duduk dengan gelisah. Saat Sandi melangkah masuk, ia meletakkan tasnya di meja dan langsung mengambil gelas air, seolah mengabaikan keberadaan istrinya.

"Sandi…" panggil Sabrina pelan.

Sandi tidak langsung menjawab, hanya menoleh sekilas. "Apa?"

Sabrina menarik napas dalam-dalam. "Aku hamil."

Gelas di tangan Sandi berhenti di udara. Ia menatap Sabrina dengan mata yang sulit ditebak. Lalu perlahan, ia meletakkan gelasnya di meja.

Keheningan yang menyusul begitu menusuk.

Sabrina menunggu, berharap ada sedikit kebahagiaan di mata suaminya. Tapi yang ia lihat hanyalah sorot tajam penuh keraguan.

"Kau yakin itu anakku?"

Dunia Sabrina seakan berhenti berputar.

"Apa maksudmu?" suaranya bergetar.

Sandi menatapnya tajam. "Kau mengerti maksudku. Aku bahkan tidak pernah menyentuhmu setelah malam pertama. Dan sekarang tiba-tiba kau bilang kau hamil?"

Air mata menggenang di pelupuk mata Sabrina. "Sandi… Aku ini istrimu. ."

Sandi mendengus sinis. "Oh, jadi aku harus percaya begitu saja? Setelah kau membohongiku sejak awal tentang masa lalumu?"

Sabrina menggigit bibirnya, menahan tangis. "Aku tidak pernah berbohong. Aku hanya tidak ingin membicarakan masa lalu yang menyakitkan."

Sandi tertawa kecil, penuh sarkasme. "Menyakitkan bagimu atau bagiku? Aku merasa seperti pria bodoh yang menikahi wanita yang tidak jujur padaku."

Sabrina menggenggam ujung gaunnya erat-erat. "Sandi, aku mohon… Aku tidak pernah melakukan apa pun dengan pria lain setelah kita menikah."

Sandi menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Kita lihat saja nanti. Aku akan minta tes DNA begitu anak itu lahir."

Sabrina terperanjat. "Sandi—"

"Sudah," potong Sandi dingin. "Aku lelah. Aku ingin istirahat."

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah pergi, meninggalkan Sabrina yang berdiri kaku dengan air mata yang mulai jatuh di pipinya.

Ia tahu hubungannya dengan Sandi memburuk.

Malam itu, Sabrina memeluk perutnya yang masih datar, berbisik lembut, "Ibu akan melindungimu, Nak… Apa pun yang terjadi."

Malam semakin larut, tetapi Sabrina tidak bisa tidur. Ia duduk di ranjang, memandangi pintu kamar yang tetap tertutup.

Sandi masih tidak mau tidur satu ranjang dengannya. Sudah beberapa malam ia memilih tidur di sofa ruang kerja, seolah menegaskan bahwa hubungan mereka hanya sebatas status suami-istri tanpa keintiman.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi.

dari Andro.

Sabrina menggeser ikon hijau dan mengangkat teleponnya.

"Halo…"

"Apa kabar Sabrina?" tanya Andro.

"Iya baik kau apa kabar..?"

"Sabrina aku cuma mau bilang kalau aku terpilih dalam ajang pencarian bakat jadi aku minta doa kamu ya supaya aku sukses. Mungkin aku tak bisa sukses dipelajaran tapi aku bisa sukses dibidang lain."

" Iya Andro, semoga kamu sukses dan bersinar seperti bintang dilangit sana,"

"Terimakasih Sabrina,"

Sabrina menggigit bibirnya, air matanya akhirnya jatuh.

Sabrina menutup teleponnya, lalu membenamkan wajahnya ke dalam bantal, menangis dalam diam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahkota Yang Terenggut   42.Maafkan Aku Sabrina

    Tanpa sadar sandi berjalan kearah jembatan, tatapannya kosong...ingatan terakhirnya adalah saat dia melamar sabrinaWaktu itu Sabrina berdiri dan tersenyum. "Kak Sandi? Tumben datang ke sini." Sandi melirik ke arah dalam rumah, memastikan suasana sepi. "Aku ingin bicara serius denganmu. Boleh?" Sabrina mengangguk, sedikit penasaran. Mereka pun duduk di bangku teras. Sandi terlihat tenang, tetapi ada ketegangan samar di sorot matanya. "Aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan posisiku di kantor semakin baik. Aku punya rumah sendiri, tabungan cukup, dan hidup yang stabil," katanya, seolah membaca daftar pencapaian. Sabrina mengangguk, masih belum menangkap maksudnya. "Aku ingin menikah," lanjut Sandi, tatapannya menusuk langsung ke mata Sabrina. Sabrina mengerjap. "Oh. Selamat ya, Kak." Sandi tersenyum kecil. "Maksudku... aku ingin menikah denganmu, Sabrina." Jantung Sabrina berdetak lebih cepat. "Apa?" Sandi menyesap napas sebelum melanjutkan, suaranya semakin ma

  • Mahkota Yang Terenggut   41.Penyesalan

    Sandi terduduk di kursi tua ruang tamu. Bu Rina menatapnya dengan prihatin dari dapur.“Kamu masih belum bisa merelakan, ya?” suara ibunya lembut, tapi langsung menusuk ke dalam hatinya.Sandi tidak menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya yang terasa panas.“Dulu kamu memilih Karina, memilih Nadine, San. Sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Sabrina juga sudah memilih jalannya sendiri.”Sandi menghela napas panjang. “Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, Ma… Aku cuma… aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir begini.”Bu Rina duduk di sampingnya. “Hidup nggak bisa ditebak. Tapi satu hal yang pasti, kalau kamu terus melihat ke belakang, kamu nggak akan pernah maju. Andro memang keterlaluan tapi dia juga anak ibu, ”Sandi diam. Kata-kata ibunya benar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?Dunia sudah berubah. Semua orang sudah bergerak maju.Hanya ia yang masih tertinggal di tempat yang sama.-Malam itu, Sandi tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di atas kasurnya, pikirannya dipen

  • Mahkota Yang Terenggut   40. Pengangguran

    Sandi melemparkan tubuhnya ke atas kasur tua, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembab. Hari ini sama seperti kemarin—panas, melelahkan, dan penuh dengan rasa kecewa. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk bangkit, tapi dunia seolah tak lagi menginginkannya. Tiba-tiba, suara dari televisi di ruang tamu menarik perhatiannya. Suara riuh penggemar, teriakan histeris, dan dentuman musik memenuhi rumah kecil itu. Sandi bangkit perlahan, berjalan menuju ruang tamu dengan rasa penasaran. Di layar, sebuah konser besar sedang disiarkan secara langsung. Lampu sorot berkedip, dan di tengah panggung, seorang pria muda berdiri dengan penuh percaya diri. Seorang pria yang sangat ia kenal. Andro. Adiknya yang dulu selalu tertinggal di sekolah. Yang dulu sering dihina karena tidak secerdas Sandi. Yang dulu selalu berlindung di balik bayangannya. Kini, Andro berdiri di atas panggung megah, dikelilingi oleh ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Dengan jaket kulit, rambut

  • Mahkota Yang Terenggut   39.Pulang Dengan Rasa Malu

    Langit sore memancarkan warna jingga yang suram ketika Sandi melangkahkan kakinya ke halaman rumah orang tuanya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini, pulang dalam keadaan seperti ini terasa seperti kekalahan. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarga. Si jenius yang selalu menjadi nomor satu di sekolah, yang membangun bisnisnya sendiri dari nol dan pernah masuk dalam jajaran pengusaha muda paling berpengaruh. Sekarang? Ia hanya seorang mantan narapidana yang bahkan tidak bisa mencari pekerjaan. Sandi mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah ibunya—Bu Rina. Mata perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. "Sandi..." suaranya bergetar. Sandi menunduk, merasa terlalu malu untuk menatap ibunya. "Ma... Boleh aku tinggal di sini sebentar?" Bu Rina menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya Allah, anakku..." Tanpa banyak tanya, ia langsung menarik Sandi ke dalam pelukan

  • Mahkota Yang Terenggut   38.Kebangkrutan

    Sandi melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah berat. Matahari menyengat kulitnya, mengingatkan bahwa dunia di luar masih berjalan tanpa dirinya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Di dalam sana, hari-harinya berlalu lambat, dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan yang ia telan sendiri. Kini ia bebas. Tapi kebebasan ini terasa kosong. Tak ada siapa pun yang menjemput. Tak ada sahabat, keluarga, atau bahkan Nadine, mantan istrinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah menuju halte bus terdekat. Tangannya merogoh saku jaket tua yang ia bawa sejak masuk ke dalam penjara. Isinya hanya beberapa lembar uang yang diberikan petugas sebelum ia keluar. Cukup untuk ongkos bus dan mungkin sebungkus rokok. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke saat-saat di mana ia masih punya segalanya—keluarga, bisnis, dan kehormatan. Semua itu hancur karena satu kesalahan. Perusahaannya bangkrut, lalu kasus hukum menjeratnya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kehil

  • Mahkota Yang Terenggut   37.Nasib Yang Tertulis

    Di sebuah jalan sepi yang diterangi lampu jalan temaram, Sandi melaju dengan mobil hitamnya yang tersisa. Hatinya berdegup kencang saat ia menuju sebuah vila kecil yang pernah menjadi tempat Karina menghabiskan waktu bersama. Setiap tikungan jalan diiringi dengan bisikan amarah dan dendam yang telah lama terpendam.Sesampainya di depan pintu gerbang vila, Sandi keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh tekad. Ia menyelinap ke pekarangan, mendekati pintu utama dengan hati-hati. Di balik jendela, terlihat sosok Karina yang sedang membaca di ruang tamu dengan lampu meja menyinari wajahnya.Dengan napas tercekik, Sandi menekan pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan tanpa sempat Karina berteriak, Sandi sudah mendekat dengan pisau terhunus di tangannya."Karina!" teriak Sandi, suaranya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan terus terpuruk karena ulahmu?"Karina terkejut, segera bangkit dan melangkah mundur. "Sandi, apa yang kau lakukan? Tenanglah!" serunya, berusaha menjauh dari ancama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status