Hari pernikahan Sandi dan Sabrina akhirnya tiba.
Sabrina duduk di depan cermin di ruang rias, mengenakan gaun pengantin putih dengan veil tipis yang menjuntai. Riasannya sederhana, tetapi cukup untuk menonjolkan kecantikannya. Jantungnya berdegup kencang, menyadari bahwa hari ini ia akan resmi menjadi istri Sandi. “Gugup?” tanya seorang sahabatnya, tersenyum menggodanya. Sabrina tersenyum kecil. “Sedikit,” akunya. Di sisi lain, Sandi mengenakan setelan jas abu-abu tua, tampak tenang seperti biasanya. Meskipun tidak menunjukkan banyak ekspresi, dari sorot matanya terlihat bahwa hari ini adalah hari yang sangat penting baginya. Setelah akad selesai, resepsi pernikahan digelar dengan meriah. Aula besar telah dihiasi dengan lampu-lampu gantung, bunga putih, dan meja-meja bundar untuk para tamu. Sebuah panggung kecil telah disiapkan untuk pasangan pengantin, tempat Sandi dan Sabrina duduk berdampingan menerima ucapan selamat dari para tamu. Sabrina yang kini duduk di pelaminan sesekali melirik Sandi di sampingnya. “Aku masih merasa seperti mimpi,” bisiknya. Sandi menoleh, matanya menatap dalam. “Ini bukan mimpi, Sabrina. Mulai sekarang, kita akan menjalani hidup bersama.” Sabrina tersenyum kecil, meski ada sedikit kegugupan dalam dirinya. Di antara kerumunan tamu, Andro berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, matanya tidak bisa lepas dari sosok Sabrina, sosok sahabat yang kini telah menjadi istri kakaknya. Seharusnya itu aku. Namun, Andro hanya bisa menelan perasaannya sendiri, menyadari bahwa kini semuanya sudah terlambat. Malam itu, perayaan berlangsung dengan hangat dan penuh kebahagiaan. Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada satu hati yang remuk dalam diam. --- Kamar hotel tempat mereka menginap untuk bulan madu dipenuhi cahaya temaram dari lampu gantung kristal. Kelopak mawar merah tersebar di atas tempat tidur putih yang luas, menciptakan suasana romantis yang seharusnya menjadi awal indah bagi pernikahan mereka. Sandi duduk di tepi tempat tidur, melepaskan dasinya dengan perlahan. Dia menatap Sabrina yang berdiri di dekat cermin, masih dalam balutan gaun malam berbahan satin yang membuatnya terlihat begitu anggun. “Sabrina…” Sandi memanggilnya dengan suara lembut. Sabrina menoleh, sedikit gugup. Ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri, dan meskipun Sandi adalah pria yang baik dan lembut, ia tahu bahwa momen ini akan terasa canggung. Sandi berdiri, berjalan mendekati Sabrina, lalu menyentuh pipinya dengan penuh kasih. “Aku bahagia kita akhirnya menikah,” bisiknya. Sabrina tersenyum kecil, tapi ada kegelisahan yang ia sembunyikan. Malam berjalan sebagaimana mestinya,sandi mencium sabrina dan membimbingnya dengan lembut hingga akhirnya… Sandi terdiam. Dia menatap Sabrina dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mata pria itu awalnya penuh cinta, tetapi kemudian berubah menjadi keterkejutan, lalu perlahan menjadi kekecewaan yang dalam. “Sabrina…” suara Sandi terdengar berat, seolah menahan sesuatu. Sabrina menelan ludah, tubuhnya menegang. Dia tahu ini akan terjadi. Sandi mundur, menatap Sabrina dengan tatapan tajam. “Kau…” Sabrina memejamkan mata, air matanya mulai menggenang. “Kenapa?” Sandi mengucapkan satu kata itu dengan suara yang nyaris bergetar. Sabrina menggigit bibirnya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Sandi, aku bisa menjelaskan…” “Tolong jelaskan,” potong Sandi cepat. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada kekecewaan yang jelas terlihat di matanya. Sabrina menunduk, air matanya jatuh setetes demi setetes. “Itu… sesuatu yang terjadi di masa lalu. Aku tidak bisa mengubahnya, Sandi.” Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal yang indah, penuh kebahagiaan. Namun, segalanya berubah dalam sekejap. Sandi duduk di tepi ranjang dengan rahang mengatup rapat, matanya menatap tajam ke arah Sabrina yang masih membelakanginya. Suasana kamar yang tadinya hangat kini terasa begitu dingin dan penuh ketegangan. “Kau bohong padaku, Sabrina,” suaranya terdengar rendah, tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan. Sabrina menggigit bibirnya. Tangannya meremas selimut, mencoba mengendalikan emosinya. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan, meskipun ia sudah tahu apa yang sedang dibicarakan Sandi. Sandi menghela napas berat, lalu berdiri. “Kau bilang padaku, kau sama sepertiku. Tidak pernah pacaran. Tapi kenyataannya?” Sabrina menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. “Dulu… saat awal SMA, aku pernah punya pacar,” ucapnya akhirnya. “Tapi itu sudah lama.” Sandi tertawa pendek, penuh sinisme. “Kau bilang tak pernah pacaran. Sekarang kau mengaku punya pacar saat SMA. Apa lagi yang kau sembunyikan dariku?” Sabrina menunduk, menggigit bibirnya lebih kuat. Semua sudah terjadi. Tidak ada gunanya membuka luka lama. “Kau tahu, Sabrina?” Sandi melanjutkan, suaranya penuh kekecewaan. “Aku memilihmu karena kupikir kita sama. Aku menjaga diriku untuk istri yang juga menjaga dirinya. Tapi ternyata…” Sabrina menelan ludah, menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Bukankah kalau aib itu harus ditutup-tutupi?” tanyanya pelan. “Tuhan saja menutupi aib manusia…” Sandi menatapnya lama, rahangnya mengeras. “Tapi kau istriku. Aku berhak tahu semuanya.” Sabrina mengalihkan pandangannya. Ia tidak ingin menjelaskan lebih jauh. Tidak ingin Sandi tahu bahwa yang terjadi padanya bukan karena cinta pertama, tapi karena seseorang yang bahkan tak bisa ia benci sepenuhnya. “Kau benar,” lanjut Sandi dingin. “Tuhan menutupi aib manusia. Tapi bagaimana jika manusia itu sendiri yang hidup dalam kebohongan?” Sabrina meremas tangannya di atas pangkuan, menahan tangis yang hampir pecah. “Aku tidak ingin berdebat, Sandi. Jika kau kecewa, aku mengerti. Tapi… bisakah kita tidak membahas ini lagi?” Sandi menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah jendela, menatap gelapnya malam. “Aku butuh waktu,” katanya akhirnya. Sabrina hanya bisa diam, merasakan hatinya semakin remuk. Malam pertama mereka telah berubah menjadi malam yang penuh luka. Dan ia tidak tahu apakah luka ini bisa sembuh. Sandi menghela napas panjang, melangkah menjauh dari Sabrina. Dia meremas rambutnya dengan frustrasi, lalu menatap istrinya dengan tatapan kosong. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku sebelumnya?” Sabrina mengusap air matanya, suaranya hampir berbisik. “Karena aku takut… Aku takut kau akan meninggalkanku… Aku takut kau tidak akan menerimaku.” Sandi terdiam. Sabrina berjalan mendekat, ingin meraih tangan Sandi, tapi pria itu mundur selangkah. “Aku tidak tahu harus berkata apa sekarang,” ucap Sandi pelan. Sabrina merasa dadanya sesak. “Sandi… aku mencintaimu. Aku sudah menyerahkan hidupku padamu. Tolong… jangan menilaiku hanya karena masa laluku.” Sandi menutup matanya, mengambil napas dalam. Dia tahu bahwa marah tidak akan mengubah apapun, tetapi perasaan kecewa itu begitu menusuk. Setelah beberapa saat, dia membuka mata dan menatap Sabrina dengan dingin. “Aku butuh waktu.” Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Sandi mengambil bantal dan selimutnya, lalu berjalan menuju sofa di sudut kamar. Sabrina hanya bisa berdiri terpaku, air mata mengalir di pipinya. Malam yang seharusnya penuh kebahagiaan kini dipenuhi dengan luka dan kesedihan.Tanpa sadar sandi berjalan kearah jembatan, tatapannya kosong...ingatan terakhirnya adalah saat dia melamar sabrinaWaktu itu Sabrina berdiri dan tersenyum. "Kak Sandi? Tumben datang ke sini." Sandi melirik ke arah dalam rumah, memastikan suasana sepi. "Aku ingin bicara serius denganmu. Boleh?" Sabrina mengangguk, sedikit penasaran. Mereka pun duduk di bangku teras. Sandi terlihat tenang, tetapi ada ketegangan samar di sorot matanya. "Aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan posisiku di kantor semakin baik. Aku punya rumah sendiri, tabungan cukup, dan hidup yang stabil," katanya, seolah membaca daftar pencapaian. Sabrina mengangguk, masih belum menangkap maksudnya. "Aku ingin menikah," lanjut Sandi, tatapannya menusuk langsung ke mata Sabrina. Sabrina mengerjap. "Oh. Selamat ya, Kak." Sandi tersenyum kecil. "Maksudku... aku ingin menikah denganmu, Sabrina." Jantung Sabrina berdetak lebih cepat. "Apa?" Sandi menyesap napas sebelum melanjutkan, suaranya semakin ma
Sandi terduduk di kursi tua ruang tamu. Bu Rina menatapnya dengan prihatin dari dapur.“Kamu masih belum bisa merelakan, ya?” suara ibunya lembut, tapi langsung menusuk ke dalam hatinya.Sandi tidak menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya yang terasa panas.“Dulu kamu memilih Karina, memilih Nadine, San. Sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Sabrina juga sudah memilih jalannya sendiri.”Sandi menghela napas panjang. “Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, Ma… Aku cuma… aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir begini.”Bu Rina duduk di sampingnya. “Hidup nggak bisa ditebak. Tapi satu hal yang pasti, kalau kamu terus melihat ke belakang, kamu nggak akan pernah maju. Andro memang keterlaluan tapi dia juga anak ibu, ”Sandi diam. Kata-kata ibunya benar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?Dunia sudah berubah. Semua orang sudah bergerak maju.Hanya ia yang masih tertinggal di tempat yang sama.-Malam itu, Sandi tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di atas kasurnya, pikirannya dipen
Sandi melemparkan tubuhnya ke atas kasur tua, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembab. Hari ini sama seperti kemarin—panas, melelahkan, dan penuh dengan rasa kecewa. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk bangkit, tapi dunia seolah tak lagi menginginkannya. Tiba-tiba, suara dari televisi di ruang tamu menarik perhatiannya. Suara riuh penggemar, teriakan histeris, dan dentuman musik memenuhi rumah kecil itu. Sandi bangkit perlahan, berjalan menuju ruang tamu dengan rasa penasaran. Di layar, sebuah konser besar sedang disiarkan secara langsung. Lampu sorot berkedip, dan di tengah panggung, seorang pria muda berdiri dengan penuh percaya diri. Seorang pria yang sangat ia kenal. Andro. Adiknya yang dulu selalu tertinggal di sekolah. Yang dulu sering dihina karena tidak secerdas Sandi. Yang dulu selalu berlindung di balik bayangannya. Kini, Andro berdiri di atas panggung megah, dikelilingi oleh ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Dengan jaket kulit, rambut
Langit sore memancarkan warna jingga yang suram ketika Sandi melangkahkan kakinya ke halaman rumah orang tuanya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini, pulang dalam keadaan seperti ini terasa seperti kekalahan. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarga. Si jenius yang selalu menjadi nomor satu di sekolah, yang membangun bisnisnya sendiri dari nol dan pernah masuk dalam jajaran pengusaha muda paling berpengaruh. Sekarang? Ia hanya seorang mantan narapidana yang bahkan tidak bisa mencari pekerjaan. Sandi mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah ibunya—Bu Rina. Mata perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. "Sandi..." suaranya bergetar. Sandi menunduk, merasa terlalu malu untuk menatap ibunya. "Ma... Boleh aku tinggal di sini sebentar?" Bu Rina menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya Allah, anakku..." Tanpa banyak tanya, ia langsung menarik Sandi ke dalam pelukan
Sandi melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah berat. Matahari menyengat kulitnya, mengingatkan bahwa dunia di luar masih berjalan tanpa dirinya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Di dalam sana, hari-harinya berlalu lambat, dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan yang ia telan sendiri. Kini ia bebas. Tapi kebebasan ini terasa kosong. Tak ada siapa pun yang menjemput. Tak ada sahabat, keluarga, atau bahkan Nadine, mantan istrinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah menuju halte bus terdekat. Tangannya merogoh saku jaket tua yang ia bawa sejak masuk ke dalam penjara. Isinya hanya beberapa lembar uang yang diberikan petugas sebelum ia keluar. Cukup untuk ongkos bus dan mungkin sebungkus rokok. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke saat-saat di mana ia masih punya segalanya—keluarga, bisnis, dan kehormatan. Semua itu hancur karena satu kesalahan. Perusahaannya bangkrut, lalu kasus hukum menjeratnya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kehil
Di sebuah jalan sepi yang diterangi lampu jalan temaram, Sandi melaju dengan mobil hitamnya yang tersisa. Hatinya berdegup kencang saat ia menuju sebuah vila kecil yang pernah menjadi tempat Karina menghabiskan waktu bersama. Setiap tikungan jalan diiringi dengan bisikan amarah dan dendam yang telah lama terpendam.Sesampainya di depan pintu gerbang vila, Sandi keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh tekad. Ia menyelinap ke pekarangan, mendekati pintu utama dengan hati-hati. Di balik jendela, terlihat sosok Karina yang sedang membaca di ruang tamu dengan lampu meja menyinari wajahnya.Dengan napas tercekik, Sandi menekan pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan tanpa sempat Karina berteriak, Sandi sudah mendekat dengan pisau terhunus di tangannya."Karina!" teriak Sandi, suaranya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan terus terpuruk karena ulahmu?"Karina terkejut, segera bangkit dan melangkah mundur. "Sandi, apa yang kau lakukan? Tenanglah!" serunya, berusaha menjauh dari ancama