Nazwa terkejut kala melihat wajah suaminya tampak tegang. Namun, sedetik kemudian dia menyadari sesuatu. Langsung saja dia mengambil alih laptopnya dan menutupnya. Wajahnya pun terlihat panik. "Kamu baca, Mas?" Nazwa menatap suaminya takut-takut. Dia mengerti Reza pasti tersinggung dan marah jika membaca tulisannya. Wajah tegang Reza perlahan berubah tenang. Pria itu lalu tersenyum menenangkan. "Iya, aku baca. Kamu mau nulis cerita, ya?" Nazwa mengangguk, masih dengan raut takut-takut. "Kamu marah?" "Ya, nggak dong." Reza melebarkan senyumnya, berusaha terlihat semeyakinkan mungkin. "Coba jawab kenapa aku harus marah?" Ditanya demikian, Nazwa malah makin tergugup. Dia menundukkan pandangan. Reza mendekat ke istrinya. "Kamu pasti masih mengira aku selingkuh, ya?" Reza menilik lekat-lekat wajah istrinya yang kini membisu. "Harus berapa kali aku bilang. Aku nggak selingkuh lagi. Aku nggak ada hubungan apa pun lagi sama Nabila. Kamu harus percaya itu. Aku harus lakuin apa supaya kam
Beberapa hari kemudian. "Ini sudah saya resepkan obat buat anaknya, ya, Bu. Bisa ditebus di apotik." Nabila menyerahkan kertas resep obat yang sudah dia tulis pada orang tua pasiennya yang menderita penyakit dendam dan flu. "Terima kasih, Dok," ucap ibu pasien menerima kertas resep itu. "Sama-sama." Nabila lantas memandangi anak laki-laki yang duduk di kursi sebelah ibunya. "Obatnya diminum secara teratur, ya, Dek. Semoga cepat sembuh." Sebagai dokter anak, Nabila menasihati pasiennya. Anak laki-laki itu hanya mengangguk. "Kalau begitu kami permisi dulu, ya, Bu Dokter. Sekali lagi terima kasih." "Sama-sama Ibu." Sepeninggal pasien, Nabila bertanya pada perawat yang membantunya sejak tadi. "Masih ada pasien nggak Sus di luar?" "Yang tadi terakhir, Dok," jawab sang perawat perempuan itu. "Oke." Nabila melirik jam tangan di pergelangan tangannya. "Hari ini aku bisa pulang lebih awal dari biasanya, nih." Perempuan mengenakan snelli putih dan bername tag dr. Nabila Putri itu lanta
"Jadi apa yang mau kamu jelaskan?" tanya Nazwa lagi ketika mereka--Nazwa, Reza, dan Nabila--duduk di sofa ruang tamu. Nabila duduk di kursi tunggal berhadapan dengan Nazwa dan Reza. Akhirnya Nazwa mau memberi kesempatan untuk selingkuhan suaminya itu bicara, walau kini wajahnya masih terlihat kesal. "Sebelumnya saya minta maaf sama kamu atas ucapan saya yang kemarin di kafe," tutur Nabila hati-hati, sesekali memandangi Reza yang diam saja. "Iya, lalu?" Nazwa tak kuasa berbasa-basi. "Saya ke sini mau meralat ucapan saya di kafe waktu itu." "Maksudnya?" "Saya nggak akan ganggu hubungan kamu dan Reza lagi. Saya dan Reza sekarang udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, kok," terang Nabila. Wajah Nazwa masih tampak tenang menatapnya. Wanita itu lantas tertawa. "Lalu kamu pikir aku percaya dengan semua ucapanmu? Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?" "Kamu harus percaya, Nazwa. Kami memang sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Sungguh." Nazwa mengernyit. "Sejak kapan dan kenapa?" Sej
Nazwa telah menyaksikan bagaimana Nabila sungguh-sungguh meminta maaf padanya akan kesalahan-kesalahannya. Nabila bahkan bisa membuktikan kalau dia ingin dijodohkan oleh orang tuanya. Nabila juga menunjukkan perhatian pada bapaknya yang sakit dan menjenguknya. Logikanya jika memang benar Nabila mau menikah, tak mungkin dia masih mengganggu suami orang. Mungkin benar mereka sudah tak ada hubungan apa-apa lagi. Pemikiran itulah yang membuat Nazwa akhirnya mau memaafkan Nabila dan memberinya kepercayaan. Nazwa juga merasa suaminya butuh diberi kesempatan kedua. Lagi pula mana ada di dunia ini manusia yang tidak pernah berbuat salah. Allah saja maha mengampuni, memaafkan kesalahan hamba-hambanya walau dosa manusia sebanyak buih di lautan. Kenapa tidak dengan dirinya yang hanyalah manusia biasa? Ketika Nabila sudah pamit pulang, Nazwa berkata pada suaminya. "Mas, aku mau liat keadaan Bapak dulu." Reza mengangguk saja. Nazwa lantas masuk, menuju kamar bapaknya. Selagi Nazwa mengunjungi
"Tadi ada siapa di luar?" Pak Rahman yang mengenakan syal di leher dan bersandar di tempat tidur, bertanya pada Nazwa. Orang tua itu rupanya juga mendengar ada suara tamu. Nazwa diam sebelum akhirnya menjawab. "Nabila, Pak." "Nabila siapa?" Pak Rahman bertanya sambil terbatuk-batuk. Dengan ragu Nazwa menjawab. "Selingkuhannya Mas Reza." Nazwa lalu menatap bapaknya khawatir, takut juga orang tua itu terkejut. Tapi bapaknya sudah telanjur tahu dan dia tak bisa terus-terusan berbohong pada bapaknya. "Kenapa kamu nggak bilang-bilang Bapak?" Nazwa menatap bapaknya tak mengerti. "Buat apa, Pak?" "Bapak mau ngomong sama dia." Lagi Pak Rahman terbatuk-batuk. Nazwa tersenyum tipis. "Nazwa tahu, Bapak peduli pada keadaan rumah tangga kami. Nazwa sangat berterima kasih dan bersyukur. Tapi sekarang semuanya udah baik-baik aja, kok. Nggak ada yang perlu Bapak bicarakan lagi. Bapak nggak perlu khawatir, ya. Masalahnya udah selesai." Nazwa menggenggam tangan krisut bapaknya, meyakinkan orang t
"Mungkin? Kamu sendiri nggak tahu suamimu di mana? Dia kan baru operasi? Kenapa dibiarin pergi-pergi aja." "Aku juga nggak tahu, Ma. Soalnya--" "Eh, ada Mama." Rissa dan Nazwa menoleh ke sumber suara. Terlihat Reza muncul. "Mas, kamu dari mana aja, Mas?" Nazwa mendatangkan suaminya dengan mimik wajah khawatir. "Aku barusan keliling komplek. Iseng aja cari angin udah lama juga nggak liat pemandangan luar. Tapi tadi aku ketemu mamang bakso di jalan. Ya udah aku beliin buat kamu dan Bapak." Reza meninting dua kantong bakso di hadapan Nazwa dengan tersenyum. Nazwa menghela napas. "Ada-ada aja kamu, Mas. Tapi makasih, ya." Nazwa menerima kantong bakso itu. "Ya ampun, Za. Kamu itu kan belum pulih bener. Kok udah keluyuran aja. Nggak pakai kursi roda lagi." Mama Rissa menyahut. Beliau tampak khawatir memperhatikan anaknya dari ujung kaki hingga kepala. Reza terkekeh. "Tenang aja, Ma. Buktinya nih aku baik-baik aja kan? Aku udah lumayan enakan kok." Mama Rissa menghela napas. "Tadi a
"Memangnya Mama kenapa?" "Mama makin ke sini kayaknya makin nggak senang sama aku." "Kenapa kamu bisa berpikir begitu?" Nazwa menatap Reza. "Iya, Mas. Sejak tahu aku belum bisa kasih kamu keturunan, sikap Mama Rissa dan Papa Galih berubah ke aku. Aku ingat dulu waktu awal-awal kita nikah, Mama dan Papa begitu menyayangiku, menganggapku sebagai menantu kesayangan, selalu mengistimewakan aku, tapi sejak itu ...." Kalimat Nazwa terputus. Wanita itu malah terdiam dan menggeleng. "Dan sampai sekarang sikap mereka berubah ke aku." Reza memegang kedua pundak istrinya erat dan menatap wajah istrinya lekat-lekat "Nggak begitu ... Kamu jangan overthingking dulu, dong. Mungkin sikap Mama begitu tadi karena Mama lagi badmood aja, atau Mama terlampau panik karena nyariin aku. Jadinya imbasnya marah-marah ke kamu, aku paham kok Mama Papa itu gimana orangnya. Mama dan Papa nggak berubah kok. Mereka tetap menganggap kamu menantu kesayangan. Kamu kan istri kesayangan aku ...." "Tapi aku ngerasanya
Reza menatap mamanya dengan tenang, berusaha menahan perasaannya yang kini seperti deburan ombak. "Maksud apa ya, Ma?" Reza pura-pura tak mengerti. Nazwa pun berbalik badan, menatap Mama. Mama Rissa berjalan mendekat. "Nazwa mau memberi kesempatan kedua buat kamu itu apa maksudnya, Reza? Kamu habis melakukan kesalahan apa?" Tatapan Mama Rissa tajam menatap anak dan menantunya, menuntut penjelasan. Nazwa pun tahu, ternyata Mama Rissa tak mendengar semua percakapan mereka. "Eng--" Reza malah gelagapan. "Kesempatan itu, Ma ...." "Kesempatan untuk memperbaiki diri, Ma," sahut Nazwa. Mama Rissa malah mengernyit tak percaya. Nazwa pun meyakinkan. "Iya, itu kan akhir-akhir ini Mas Reza susah kalau dibilangin. Ngajinya masih bolong-bolong mesti tunggu di suruh-suruh gitu, Ma. Kan aku juga ngeluh, nanya ke Mas Reza kapan sih dia bisa benar-benar berubah gitu. Mas Reza bilang beri dia kesempatan waktu buat berubah, gitu, Ma." "Bener?" Mama Rissa menatap keduanya ragu. "Iya, Ma." "Be