Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
"Sebentar lagi aku akan tahu, apa yang sebenarnya Mas Reza sembunyikan dariku selama ini. Ya Allah semoga dugaan burukku nggak benar." Dengan rasa penasaran, Nazwa terus menatapi mobil suaminya yang dia iringi dengan taksi pesanannya. Jantungnya berdegup kencang sejak tadi. Di tengah kegelisahannya dia masih berusaha berpikir positif tentang kecurigaannya terhadap suaminya. "Apa pun itu semoga aku siap menerimanya Ya Allah." Nazwa meremas jemarinya. Pikiran buruk terus berkelabat di kepala. Namun, dia juga berusaha terus menepisnya. Sayang, sepertinya pikiran buruknya yang benar karena dia melihat mobil suaminya justru memasuki pelataran hotel mewah. "Kok Mas Reza ke hotel? Bukannya tadi izin ke rumah sakit. Ya Allah Mas Reza udah bohong sama aku." Pikiran buruk Nazwa menjadi. Nazwa meminta si supir berhenti agak jauh di seberang jalan hotel. Lalu dia turun seorang diri, dan membuntuti suaminya dengan berjalan kaki. Wanita berpakaian syar'i itu terus mengiringi langkah suaminya ya
Tubuh Reza yang berdarah-darah di atas brangkar di dorong oleh beberapa tenaga medis untuk di bawa ke ruang IGD. Nazwa mengiringi brangkar suaminya sambil menangis sampai ke depan ruang. Setelah bergelut dengan pikirannya, akhirnya Nazwa memutuskan membawa suaminya ke rumah sakit. Dengan tangan gemetar, dia menelepon Mama mertuanya, Rissa. "Assalamu'alaikum, Ma. Halo, Ma ...." Kesedihan Nazwa malah menjadi, bibirnya ikut bergetar. Pikirannya kalut sekarang. "Ada apa, Nazwa? Kenapa kamu menangis?" Suara sang ibu mertua terdengar heran. "Mas Reza, Ma." Suara Nazwa melemah, berasa tak sanggup mengatakannya. Sedih dan takut bercampur satu. "Reza kenapa?" Suara sang ibu mertua lalu berubah khawatir. "Mas Reza kecelakaan. Dan sekarang masuk rumah sakit." Nazwa lalu terduduk di kursi yang ada di depan ruangan itu. "Apa? Bagaimana bisa? Rumah sakit mana? Kamu sendlok di WA ya biar Mama ke sana sekarang." Sambungan telepon terputus. Nazwa mengirimi ibu mertuanya alamat rumah sakit tempat
Seminggu kemudian. Nazwa terpaksa menyudahi kesendiriannya tatkala mendapat telepon dari ibu mertuanya yang mengabarkan bahwa Reza sudah siuman. Wanita berpakaian syar'i itu pun buru-buru kembali ke ruang ICU. "Dari mana saja kamu, Nazwa?" tanya sang ibu mertua ketika dia masuk ruangan dan menutup pintu. Mama Rissa menatapnya sinis. Nazwa tahu sikap Mama Rissa berubah padanya sejak mengetahui dia belum bisa kasih keturunan sampai hari ini. Mama Rissa yang dulu awalnya baik luar biasa lenyap entah kemana. Ditambah lagi ibu mertuanya itu tahu jika Reza kecelakaan karena kesalahannya. Sikap ibu mertuanya jadi makin ketus. Untung saja kini Reza bisa disembuhkan dan sudah siuman. Kalau tidak mungkin mertuanya membencinya seumur hidup. "Aku habis dari mushola, Ma," jawab Nazwa sambil memegangi pipi, berharap wajahnya tak terlihat habis menangis. Ya, hampir seharian ini Nazwa menangis di mushola, mengadu kepada Allah atas sulitnya masalah yang dia hadapi. Dia menatap sang ibu dan bapak m
Setelah seminggu di opname di rumah sakit, Reza akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter. Kedua orang tuanya pun ikut serta mengantarnya ke rumah. Selama proses rawat jalan di rumah, pria itu menggunakan kursi roda. Kepalanya dibalut perban. Dan selama di depan orang tua mereka, Reza dan Nazwa berusaha terlihat baik-baik saja. "Kamu mau baring ke kasur, Mas?" Nazwa bertanya pada Reza kala mereka sudah di kamar. "Sini aku bantu." Nazwa membantu suaminya berdiri dari kursi roda dengan melingkarkan tangan sang suami di bahu sempitnya, lantas dia berjalan pelan-pelan ke arah tempat tidur. "Badanku berat, ya, Sayang." Pria itu tersenyum. Mencoba bergurau sejenak, menepikan masalah yang ada. Nazwa membalas dengan tersenyum kaku. Kalau dulu hati Nazwa selalu berbunga-bunga tiap kali mendengar panggilan istimewa itu. Tapi kali ini perasannya justru muak. Walau pun kemarin Reza sudah menjelaskan bahwa alasannya berselingkuh hanya khilaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Reza jug
Raut wajah Nazwa spontan berubah kecut. "Nabila." Reza membelalak, tapi enggan untuk mengangkat telepon itu. Nazwa langsung berdiri. Meletakkan mangkok ke atas nakas. Lantas bergegas keluar kamar. "Nazwa! Nazwa!" Tanpa memedulikan rasa sakit di kepalanya, Reza beringsut dari tempat tidur. Nekat mengejar Nazwa. Susah payah dia berdiri dan berjalan. Baru sampai ambang pintu, pusing di kepalanya menjadi hingga kepalanya terasa berdenyut-denyut, tubuhnya pun ambruk. Dia terduduk di lantai, bokongnya nyeri menghantam lantai ubin. Pasrah memanggil nama Nazwa. Baru saja tadi dia merasa senang karena sikap Nazwa kembali manis, kini rasa bahagia itu sirna secepat kedipan mata. "Nazwa!" *** Nazwa menangis sejadi-jadinya sambil duduk di sofa tamu. Luka ini belum sepenuhnya sembuh. Dia hanya berusaha mengabaikan sakitnya untuk merawat suaminya yang sakit. Belum sembuh luka itu, justru ditambah lagi. Nazwa berusaha untuk sabar dan coba menerima tapi juga tidak bisa. Sakit itu spontan menya
Kalau begini Nazwa sendiri bingung harus menjelaskan apa? Apa dia tetap memberitahu bapaknya bahwa Reza sudah berselingkuh? Lalu bagaimana reaksi bapak jika tahu yang sebenarnya? Apa bapak sanggup menerimanya? Rasanya Nazwa tak tega memberitahu bapak yang sebenarnya. Tapi berbohong rasanya juga tak mungkin. Sudah banyak dosa berbohong yang dia lakukan. Apalagi tadi bapak sepertinya mendengar kalimatnya dengan jelas. "Aku bilang jangan mendekat, Mas! Aku jijik sama kamu! Kamu udah menyentuh perempuan yang bukan mahrammu. Apa aja yang udah kalian lakukan selama ini, hah?!" Alasan masuk akal apa yang bisa dia berikan untuk kalimat semacam itu selain perselingkuhan? Nazwa sekali lagi menatap Reza yang memberi isyarat melalui tatapan mata kalau Nazwa jangan sampai memberitahu yang sebenarnya. "Jujur saja ceritakan masalah kalian yang sebenarnya," ucap Bapak lagi. Nazwa sontak menatap bapaknya kembali. "Iya, Pak. Nazwa akan jujur." 'Baiklah, aku akan bongkar semuanya, Mas. Aku akan ka
"Apa maksud kamu ngomong begitu di depan Bapak, Mas?" Setelah berdiskusi dengan bapak, akhirnya disepakatilah Nazwa memaafkan suaminya dan Pak Rahman meminta mereka menyelesaikan masalah secara baik-baik. Dan Pak Rahman terus menasihati anaknya tentang hakikat pernikahan. Juga menasihati Reza bahwa sang menantu harus banyak-banyak memahami agama lagi. Banyak-banyak membaca Al-Qur'an dan bermuhasabah diri serta bertobat pada Allah atas dosa yang dia perbuat. Dan serentetan ceramah lainnya yang membuat Reza jengah mendengarnya. Tapi beruntunglah dia, bapak mertuanya itu baik dan bijaksana. Tidak memarahi dan menyudutkannya yang sudah berselingkuh. Kini suami-istri itu berdiskusi dalam kamar. Nazwa tidak bisa lagi leluasa marah pada suaminya karena takut di dengar bapak yang menginap di rumah mereka selama beberapa hari ke depan. "Yang mana?" Reza bertanya balik dengan santai. Nazwa yang sedang menatap cermin sambil melepas kerudungnya, berbalik menghadap suaminya yang baring di k