Nayla duduk di meja kerjanya, menatap layar ponselnya dengan tatapan bimbang. Nama Kenzo Adinata masih terpampang jelas di layar. Maia sudah mengirimkan beberapa informasi singkat tentang pria itu, termasuk beberapa foto candid yang diambil entah dari mana.
Tapi satu hal yang jelas—Kenzo bukan pria biasa. Dari ekspresi wajahnya yang selalu tenang dan dingin, hingga cara dia berdiri yang memancarkan kepercayaan diri, semuanya menunjukkan bahwa pria ini berbahaya. Maia tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa berurusan dengan Kenzo bisa membawa konsekuensi yang tidak bisa diprediksi. Tapi Nayla butuh dia. Atau setidaknya, butuh seseorang yang bisa membuatnya tidak terlihat menyedihkan saat datang ke pernikahan itu. Tangannya mengetik pesan dengan ragu-ragu. 📩 "Bisakah kita bertemu? Aku ingin membicarakan sesuatu." Pesan terkirim. Tiga menit berlalu. Tidak ada balasan. Lima menit. Masih tidak ada reaksi. Nayla mulai berpikir ulang. Mungkin ini ide buruk. Mungkin aku harus mencari pria lain saja. Namun tepat ketika ia akan meletakkan ponselnya, layar menyala. 📩 Kenzo Adinata: "Di mana?" Nayla menggigit bibirnya. Cepat sekali. 📩 "Cafe Le Vaux, jam tujuh?" Tidak butuh waktu lama sebelum ia mendapatkan balasan. 📩 Kenzo Adinata: "Oke." Sesederhana itu. Tidak ada basa-basi, tidak ada pertanyaan tambahan. Nayla menarik napas dalam. Sekarang tidak ada jalan untuk mundur. Cafe Le Vaux – 19:00 Nayla tiba lima belas menit lebih awal, tapi pria yang ia tunggu sudah ada di sana. Duduk di sudut ruangan dengan satu cangkir kopi di hadapannya, Kenzo tampak seperti seseorang yang tidak perlu menunggu siapa pun. Tatapannya terangkat saat melihat Nayla mendekat, matanya tajam mengamati setiap gerak-geriknya. "Lewat sini," katanya datar. Nayla melangkah ke meja dengan hati-hati. Entah kenapa, duduk di hadapan pria ini terasa seperti duduk di depan seorang hakim yang siap memberikan vonis. "Apa yang bisa kulakukan untukmu?" Kenzo bertanya, suaranya rendah dan tenang, tapi ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Nayla merasakan tekanan tersendiri. Nayla menelan ludah. Baiklah, langsung saja. "Aku ingin kamu menemaniku ke pernikahan mantan pacarku," katanya, berusaha terdengar percaya diri. Kenzo tidak langsung merespons. Dia hanya mengangkat alis sedikit, lalu mengambil cangkirnya dan menyesap kopinya dengan santai. "Lalu?" Nayla mengerjapkan mata. "Lalu... Aku ingin semua orang berpikir kalau aku sudah move on. Aku ingin mereka melihat bahwa aku baik-baik saja." Senyuman kecil muncul di sudut bibir Kenzo, tapi bukan senyum ramah—lebih seperti senyum seseorang yang baru saja mendengar sesuatu yang menghibur. "Jadi kau ingin menyewa seseorang agar mantanmu menyesal?" Nada suaranya membuat pipi Nayla memanas. "Bukan begitu—aku hanya tidak ingin terlihat menyedihkan di depan mereka." Kenzo menatapnya lama, seolah sedang menilai apakah permintaan ini cukup menarik baginya atau tidak. "Kenapa aku?" tanyanya akhirnya. Nayla menghela napas. "Karena Maia bilang kamu orang yang tepat untuk ini." Kenzo menyandarkan tubuhnya ke kursi, jari-jarinya mengetuk permukaan meja dengan ritme pelan. "Aku bukan pria yang bisa kau bayar untuk pura-pura menjadi pasanganmu, Nayla." Nayla merasakan dadanya menegang. "Aku tidak bilang aku akan membayarmu." Kenzo menyeringai. "Lalu apa yang akan kudapatkan dari ini?" Nayla terdiam. Ia tidak memikirkan sejauh itu. Pria seperti Kenzo pasti bukan tipe yang melakukan sesuatu tanpa alasan. "Aku bisa membantumu dalam sesuatu..." katanya ragu-ragu. "Entah apa yang kamu butuhkan, mungkin aku bisa membalas budi?" Kenzo tertawa kecil. "Menarik." Tatapannya berubah sedikit lebih serius. "Baiklah. Aku akan menemanimu ke pernikahan itu." Nayla membelalakkan mata. "Serius?" "Tapi ada syarat." Jantung Nayla berdebar. Tentu saja ada. "Aku tidak melakukan hal setengah-setengah," kata Kenzo sambil menyandarkan tubuhnya ke depan. "Jika kita akan pergi sebagai pasangan, maka kita harus benar-benar terlihat seperti pasangan." Nayla meneguk ludah. "Maksudmu...?" Kenzo tersenyum. "Kau harus siap dengan semua yang menyertainya. Sentuhan, perhatian, tatapan. Semua harus terlihat nyata." Nayla terdiam. Ia tahu kalau ini mungkin bukan ide terbaik, tapi sudah terlambat untuk mundur. Jadi ia mengangguk. "Oke." Kenzo menatapnya lama sebelum akhirnya menyeringai. "Kita akan bersenang-senang, Nayla." ——— Di apartemennya yang masih gelap. Nayla menggulir ipad melihat-lihat produk di aplikasi belanja. Nayla merebahkan tubuhnya ke atas kasur setelah menyelesaikan pembayaran. Layar iPad-nya masih menyala, menampilkan daftar barang yang baru saja ia beli—gaun elegan, heels berwarna nude dengan aksen glitter, perhiasan minimalis, parfum dengan aroma khas, serta produk makeup yang akan membuatnya terlihat memukau. Ia menatap langit-langit kamar. Keputusan untuk datang ke pernikahan ini adalah sesuatu yang awalnya terasa mustahil. Ia sempat berpikir untuk mengabaikannya, pura-pura tidak peduli. Tapi kemudian ia sadar, jika ia tidak hadir, maka ia akan dianggap kalah. Dan Nayla tidak mau kalah. Ponselnya bergetar di sampingnya. Sebuah pesan masuk dari Maia. 📩 Maia: "Lo udah ketemu Kenzo? Gimana?" Nayla menghela napas sebelum membalas. 📩 "Udah. Dia setuju buat datang bareng gue." Balasannya datang secepat kilat. 📩 Maia: "Serius?! Gimana lo bisa ngerayu dia?!" Nayla menggigit bibir, mengingat syarat yang diberikan Kenzo. 📩 "Nggak ngerayu. Dia cuma bilang kalau kita harus benar-benar terlihat seperti pasangan. Gue nggak tahu apa yang dia pikirin, tapi gue udah nggak bisa mundur." Maia mengirimkan beberapa stiker kaget sebelum akhirnya membalas. 📩 Maia: "Gila, ini makin menarik! Lo siap kan? Kenzo itu bukan tipe orang yang bisa ditebak." Nayla membuang napas. Ia tahu. Tanpa membalas lagi, ia meletakkan ponselnya dan kembali menatap layar iPad. Tangannya secara refleks menyentuh foto gaun yang baru saja ia beli. Mereka akan melihatku berbeda. Tidak ada lagi Nayla yang lemah. Tidak ada lagi Nayla yang bisa diremehkan. Saat datang ke pernikahan itu nanti, ia akan berdiri dengan kepala tegak. Dan dengan Kenzo Adinata di sisinya, ia akan memastikan bahwa tidak ada satu pun orang yang bisa mengasihani atau meremehkannya lagi. Kenzo Adinata... Nama itu terus terngiang di kepala Nayla. Wajah pria itu cukup untuk membungkam siapapun yang ingin meremehkannya di acara pernikahan nanti. Rahangnya yang tegas, mata tajam yang seolah bisa membaca isi pikirannya, serta postur tubuhnya yang tinggi dan atletis membuatnya terlihat seperti tokoh utama dalam novel romantis. Nayla menghela napas sambil menggulir layar iPad-nya lagi. Satu hal yang ia sadari selama pertemuan tadi, Kenzo bukan hanya sekadar pria tampan dengan aura misterius. Dia tahu cara membawa diri. Setiap gerakan yang dilakukan pria itu terasa terukur—dari cara ia duduk dengan santai namun tetap mengintimidasi, hingga cara ia berbicara dengan suara tenang yang memiliki efek lebih besar daripada teriakan. Dan fashion? Jangan ditanya. Nayla mengingat dengan jelas setelan yang dikenakan Kenzo tadi. Kemeja hitam yang digulung hingga siku, memperlihatkan otot lengannya, dipadukan dengan jam tangan mahal yang terlihat kontras dengan kulitnya yang sedikit tanned. Pria itu bukan sekadar menarik. Dia adalah bahaya yang berjalan dalam bentuk manusia. Dan sekarang, pria itu adalah senjata rahasianya. Nayla menutup iPad-nya dan memijat pelipis. Semuanya terasa begitu gila. Dua hari lalu, ia bahkan tidak berniat menghadiri pernikahan ini. Sekarang, ia sudah punya rencana penuh dengan seorang pria yang bahkan baru ia temui. Pikirannya melayang ke syarat yang diajukan Kenzo. "Jika kita akan pergi sebagai pasangan, maka kita harus benar-benar terlihat seperti pasangan." Itu berarti... ada kemungkinan ia harus menerima kontak fisik, perhatian, dan segala hal yang membuatnya terlihat memiliki hubungan sungguhan dengan pria itu. Jantung Nayla berdetak lebih cepat. Ia tidak pernah membayangkan dirinya berakting menjadi pasangan seseorang, apalagi dengan pria seperti Kenzo. Tapi ini adalah satu-satunya cara. Ia menarik napas dalam dan berbisik pada dirinya sendiri, "Gue bisa melewati ini." Namun jauh di dalam hatinya, ia sadar satu hal... Kenzo Adinata bukan pria yang bisa ditebak. Dan semakin ia memikirkannya, semakin ia menyadari bahwa mungkin, dialah yang akan terjebak dalam permainan ini.Setelah Kenzo mengantarnya pulang, Nayla tidak langsung tidur. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian tadi malam—wajah-wajah misterius yang terlihat mengenal Kenzo, cara mereka berbicara dengan bahasa terselubung, serta bagaimana Kenzo seolah memiliki kendali penuh di dalam ruangan itu.Duduk di tepi ranjang, Nayla meraih iPad-nya. Jarinya mengetik nama Kenzo Adinata di kolom pencarian Google. Namun, hasilnya nihil."Mustahil orang seperti dia gak punya jejak digital," gumamnya.Dia mencoba mencari dengan kata kunci lain: Kenzo Adinata perusahaan, Kenzo Adinata CEO, Kenzo Adinata media, namun hasilnya tetap samar. Nama itu memang muncul di beberapa berita bisnis, tapi hanya sebagai investor misterius yang jarang tersorot kamera.Nayla semakin curiga. Bagaimana mungkin pria sekharismatik Kenzo, yang jelas memiliki kekuasaan, hampir tidak memiliki eksistensi di internet?Merasa tidak puas, Nayla membuka aplikasi chat dan menghubungi Maia.Nayla: "Mai, lo lagi sibuk?"Maia: "Kalau lo na
Nayla mengernyit menatap layar ponselnya. Sebuah undangan digital muncul di sana, menampilkan acara eksklusif yang bahkan nggak pernah terpikirkan olehnya untuk dihadiri."Datang ke acara ini. Gue jemput jam tujuh."Itu pesan dari Kenzo. Singkat, padat, dan nggak membuka ruang untuk penolakan.Nayla mengetik balasan cepat. "Kenapa lo tiba-tiba ngajakin gue?"Ceklis dua. Dibaca. Tapi nggak ada balasan.Sialan.Pukul 19.00Sebuah mobil hitam mengilap berhenti tepat di depan apartemen Nayla. Dia melirik ke luar jendela dan, tentu saja, Kenzo ada di sana. Pria itu keluar dari mobil, mengenakan kemeja hitam yang menggulung di lengan, memperlihatkan jam tangan mahal yang melekat di pergelangannya."Lo udah turun atau harus gue jemput langsung ke atas?" Suaranya terdengar santai, tapi ada nada menekan di dalamnya.Nayla menghela napas panjang, lalu mengambil clutch bag-nya dan berjalan keluar. Begitu dia sampai di depan mobil, Kenzo membukakan pintu untuknya."Lo belum jawab pertanyaan gue,"
Nayla duduk di sofa apartemennya, ngelepas high heels yang udah bikin kakinya pegal setengah mati. Dia ngelempengin punggungnya, ngambil bantal, terus meluk itu kayak guling.Di sebelahnya, Maia lagi asik ngemil keripik sambil nonton serial di laptop. Tapi Nayla nggak bisa fokus. Pikirannya masih berkecamuk soal satu orang.Kenzo Adinata.Dia narik napas panjang sebelum akhirnya buka suara. "Gue nggak ngerti, Mai."Maia ngelirik sebentar, terus lanjut ngunyah. "Nggak ngerti apaan?""Kenzo." Nayla ngelus jidatnya, nyoba merangkai kata. "Dia tuh kayak terlalu effort buat sesuatu yang dia nggak dapet untungnya. Maksud gue, dia nggak gue bayar, tapi bener-bener niat bantuin gue. Dari mulai belanja baju, ngajarin cara bersikap, bahkan nyuruh gue latihan pegangan tangan, senyum, segala macem. Kayak... serius banget."Maia langsung nyengir usil. "Jangan-jangan dia beneran suka sama lo?"Nayla mendelik. "Jangan mulai, Mai.""Tapi masuk akal, lho." Maia naruh keripiknya dan ngebalik badan biar
Walaupun Nayla sudah membeli pakaian melalui toko online, tampaknya Kenzo tidak puas dengan pilihannya. Tanpa banyak bicara, pria itu membawanya ke salah satu butik mahal di pusat kota."Kita sudah beres. Gue udah beli semuanya," protes Nayla saat mereka memasuki butik yang dipenuhi koleksi busana eksklusif.Kenzo meliriknya dengan tatapan santai tapi tajam. "Lo pikir dress yang lo beli online cukup buat bikin mereka terdiam?"Nayla mengerutkan kening. "Itu dress branded.""Tapi bukan 'statement piece'," balas Kenzo cepat. "Percaya deh, kalau lo mau datang ke pernikahan mantan pacar dan sahabat lo sendiri, lo butuh sesuatu yang lebih dari sekadar bagus. Lo harus kelihatan luar biasa."Nayla tidak bisa menyangkal kalau pria itu ada benarnya.Maka, di sinilah dia, berdiri di depan cermin butik, mengenakan salah satu gaun yang Kenzo pilihkan untuknya.Gaun malam berwarna emerald membalut tubuhnya dengan sempurna. Potongannya pas, sedikit terbuka di bagian punggung, menonjolkan sisi elega
Nayla duduk di meja kerjanya, menatap layar ponselnya dengan tatapan bimbang. Nama Kenzo Adinata masih terpampang jelas di layar. Maia sudah mengirimkan beberapa informasi singkat tentang pria itu, termasuk beberapa foto candid yang diambil entah dari mana.Tapi satu hal yang jelas—Kenzo bukan pria biasa.Dari ekspresi wajahnya yang selalu tenang dan dingin, hingga cara dia berdiri yang memancarkan kepercayaan diri, semuanya menunjukkan bahwa pria ini berbahaya.Maia tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa berurusan dengan Kenzo bisa membawa konsekuensi yang tidak bisa diprediksi.Tapi Nayla butuh dia.Atau setidaknya, butuh seseorang yang bisa membuatnya tidak terlihat menyedihkan saat datang ke pernikahan itu.Tangannya mengetik pesan dengan ragu-ragu.📩 "Bisakah kita bertemu? Aku ingin membicarakan sesuatu."Pesan terkirim.Tiga menit berlalu.Tidak ada balasan.Lima menit.Masih tidak ada reaksi.Nayla mulai berpikir ulang. Mungkin ini ide buruk. Mungkin aku harus mencari pria l
Suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lorong apartemen saat Nayla berjalan menuju unitnya. Hari itu terasa panjang—terlalu panjang. Presentasi yang melelahkan, atasan yang terlalu banyak menuntut, dan klien yang mendadak berubah pikiran di detik terakhir membuat kepalanya hampir meledak.Saat akhirnya tiba di depan pintu, ia menghela napas panjang sebelum membuka kunci. Begitu pintu terbuka, aroma lembut lilin vanila menyambutnya, memberikan sedikit rasa nyaman setelah hari yang melelahkan.Nayla melepaskan high heels dengan asal, membiarkan tubuhnya terjatuh ke sofa empuk di ruang tengah. Ia menarik karet rambutnya, membiarkan rambut panjangnya tergerai, lalu meraih remote TV. Tapi sebelum sempat menyalakan drama Korea yang sudah menunggu untuk ditonton, ponselnya bergetar di atas meja.Notifikasi email. Satu pesan masuk.📩 "Undangan Pernikahan: Reza & Alana"Mata Nayla membeku di layar. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak sebelum kembali berpacu lebih cepat dari sebe