Share

99+

Penulis: Soju Kimchizz
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-22 21:17:13

Pagi itu, Nayla terbangun bukan karena dering alarm atau sinar matahari yang menyusup dari balik tirai jendelanya. Ia terbangun karena ponselnya bergetar tanpa henti seperti ada gempa kecil yang menjalar di meja nakas. Dengan mata setengah terbuka dan kepala berat, ia meraih ponselnya.

99+ notifikasi.

Begitu membuka layar, matanya langsung disambut dengan rentetan pesan dari grup kantor, obrolan kuliah lama, bahkan dari grup sekolah menengah atas yang biasanya sepi. Berbagai artikel dari sumber berbeda dikirimkan oleh teman-temannya dan semuanya mengarah pada Kenzo dan Nayla. Judul-judul artikel yang tengah memenuhi portal berita memenuhi layar ponsel Nayla:

“Nayla Hwang dan Kenzo Kingsley — Romansa Tak Terduga di Pernikahan Mantan?”

“Siapa Sebenarnya Wanita Misterius di Samping Ahli Waris Kingsley Group?”

Nayla menghela napas panjang.

“Sudah dimulai rupanya,” gumamnya lirih sebelum melempar ponsel ke tempat tidur.

Tidurnya tadi malam memang tak bisa disebut istirahat. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran mulai dari kemungkinan terburuk, reaksi Reza dan Cindy, sampai… ciuman dadakan dari seorang pria yang bahkan belum sepenuhnya ia kenal.

Dengan lesu ia berjalan ke kamar mandi, mencuci muka, dan menatap pantulan dirinya di cermin. Kantong mata gelap menghiasi wajahnya—tanda nyata dari malam tanpa tidur.

“Tampilan selebritas semalam. Zombie pagi ini,” katanya sarkas pada dirinya sendiri sambil memutar mata.

Setelah mengenakan blazer hitam dan celana bahan senada, ia melangkah ke kantor. Setidaknya, di sana ia bisa mencoba menjalani hidup normal. Atau begitulah pikirnya.

Tapi semua berubah saat ia sampai di perusahaan tampatnya bekerja.

Beberapa atasan—yang biasanya tak pernah menginjak lantai divisinya—tengah berdiri di sana, seperti sedang menunggu selebritas datang. Salah satunya, Direktur Kim, langsung mendekat dengan senyum paling sok akrab yang pernah Nayla lihat.

“Nayla-ssi! Wah, kamu kelihatan segar hari ini,” sapanya dengan senyum yang terlalu lebar untuk pagi hari.

Nayla membalas dengan anggukan sopan, meskipun nalurinya sudah berteriak ada yang tidak beres.

“Jadi begini…” Direktur Kim mulai, “Kami semua melihat berita kemarin. Dan kami pikir, dengan hubungan spesial kamu dengan Tuan Kenzo, mungkin… ada peluang kerja sama. Yah, kalau dia mau berinvestasi sedikit ke bisnis kita, itu akan jadi angin segar, bukan?”

Nayla mengerjapkan mata, “…Maaf, Pak? Bapak minta saya—?”

“Cuma bicara, santai aja. Bilang ke dia secara pribadi. Dari pacar ke pacar,” tambah salah satu manajer lain dengan nada penuh harap.

Nayla terdiam sejenak lalu tersenyum kecut.

“Pak, maaf ya,” ucapnya tegas namun tenang, “Itu ranah pribadi saya. Kalau perusahaan ini memang ingin kerja sama dengan Kingsley Group, ya kirim saja proposal resminya.”

Ruangan langsung sunyi. Beberapa atasan saling pandang. Ketegasan Nayla—yang biasanya santun dan patuh—kali ini terasa seperti tamparan elegan di pagi hari.

Nayla segera melangkah masuk menuju ruangan pribadinya. Ia membuka pintu dan menutup pintu ruangannya dengan pelan, meninggalkan mereka semua di luar dengan tatapan bingung.

Begitu duduk di kursinya, Nayla mendesah panjang, menatap langit-langit.

“Ini baru permulaan…”

Tiba-tiba notifikasi pesan muncul lagi. Dari satu orang yang justru paling ingin ia hindari hari ini.

Kenzo Kingsley:

“Kamu sibuk? Kita harus bicara.”

Nayla memutar matanya malas setelah melihat pesan dari Kenzo. Jemari Nayla kemudian menari di atas layar ponsel untuk menuliskan balasan pesan kepada Kenzo.

“Ayo bertemu di jam makan siang. Kamu harus bertanggung jawab soal semua berita yang muncul.”

Itu balasan Nayla pada pesan Kenzo—singkat, tegas, dan dibumbui dengan rasa kesal yang belum reda sejak semalam. Setelah menekan tombol kirim, ia membanting tubuhnya ke sandaran kursi dan memijit pelipis yang mulai berdenyut hebat.

Kepalanya penuh. Bukan cuma soal berita dan gosip yang menyebar lebih cepat daripada flu musim dingin, tapi juga soal masa depannya di kantor. Satu langkah impulsif demi harga diri di depan mantan dan sekarang seluruh hidupnya dipertaruhkan.

Dalam upaya meredakan panik, Nayla membuka laptopnya dan mulai mengetik cepat di mesin pencari:

“Kingsley Group”

Begitu halaman pencarian terbuka, matanya membelalak. Satu per satu artikel dan profil perusahaan muncul dengan detail yang tak terbayangkan.

KINGSLEY GROUP:

Konglomerat lintas sektor terbesar di Asia.

Bergerak di bidang properti, keuangan, media, industri makanan dan minuman, teknologi, dan masih banyak lagi.

Pemilik dari jaringan hotel mewah Kingsley Hotels, restoran bintang Michelin Maison Seoul, hingga saluran berita internasional.

Dan di salah satu artikelnya tertulis:

“Kenzo Kingsley: Si ahli waris yang selalu menolak sorotan kamera. Dingin, misterius, dan tidak pernah terlihat menggandeng wanita… hingga kemarin.”

“Astaga naga…”

Nayla menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap langit-langit ruangan yang terasa semakin menyempit. Ia kemudian memutar kursi, menatap jendela besar di belakang ruangannya, memandangi gedung-gedung tinggi Seoul yang tampak begitu sibuk di luar sana. Dengan suara nyaris tak terdengar, ia bergumam, “Mama… mama pasti sedih di atas sana lihat keputusan hidup aku…”

Wajah ibunya yang lembut terbayang dalam ingatannya. Wanita tangguh yang selalu berkata, “Hidup gak boleh dikendalikan orang lain, apalagi laki-laki yang gak kenal siapa kamu sebenarnya.”

Dan sekarang, ia malah jadi headline sebagai “pacar misterius pewaris Kingsley.”

Padahal baru kenal dua hari.

Padahal itu semua hanya akting di pernikahan Reza.

Padahal hatinya belum siap untuk semua ini.

Nayla membuka ponselnya dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul 11:56, saatnya untuk mengisi perut. Tiba-tiba muncul satu pesan masuk dari Kenzo. Nayla membuka pesan tersebut dan mendengus ketika membacanya.

Kenzo: “Saya jemput. Jangan kabur.”

———

Tentu saja, Kenzo tidak membawa Nayla ke restoran biasa. Lelaki itu menjemput Nayla dengan mobil hitam mewah seperti sebelumnya, tanpa sepatah kata basa-basi.

Lima belas menit kemudian, mereka sudah melangkah masuk ke restoran Prancis bergaya klasik di jantung kota Seoul. Interiornya didominasi marmer putih, lampu gantung kristal yang berkilau, dan pelayan-pelayan berseragam elegan yang membungkuk sopan begitu melihat Kenzo datang.

Restoran itu milik Kenzo. Dengan satu ruang VVIP di lantai dua yang menghadap langsung ke pemandangan sungai Han. Dan di ruangan itulah Nayla kini duduk, menatap secarik kertas di depannya—sebuah perjanjian kontrak.

“Ini perjanjian kerja sama,” ucap Kenzo datar, menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuh di sofa kulit berwarna krem. “Kalau kamu tanda tangani, saya akan minta kantor media milik keluarga saya untuk take down semua berita soal kita.”

Nayla menyipitkan mata, menatap lelaki di hadapannya dengan ekspresi tak percaya.

“Entah kenapa, aku merasa dimanfaatkan,” ucapnya sarkastik sambil menyandarkan punggung.

Kenzo tersenyum tipis, seperti sudah memprediksi reaksi itu. “Tentu saja kita saling memanfaatkan. Kamu juga sudah memanfaatkan saya untuk berpura-pura jadi pacarmu di pernikahan mantanmu. Saya hanya memperpanjang drama itu.”

“Aku gak menyangka kamu akan beneran bikin ini jadi serius,” ungkap Nayla.

“Sebenarnya semua terjadi karena kamu tidak cari tahu latar belakang saya di dating apps,” jawab Kenzo.

Skak.

Nayla tak bisa membalas. Ia menunduk, membuka lembaran kontrak itu dengan tangan sedikit gemetar.

Tertulis jelas beberapa poin penting:

Hubungan ini berlangsung minimal 6 bulan.

Tidak boleh mengencani orang lain selama kontrak berlangsung. Harus hadir di acara keluarga besar Kingsley, acara bisnis, dan pertemuan media bila diminta.

Kontak fisik diperbolehkan jika situasi menuntut (berpegangan tangan, pelukan, bahkan ciuman dalam batas wajar).

Mata Nayla melebar.

“Aku tidak setuju dengan ini,” gumamnya, menunjuk bagian kontak fisik.

“Hubungan mana yang tidak berkontak fisik?” Kenzo menaikkan sebelah alis, “Kalau kita terlalu jaga jarak, semua orang akan curiga. Kamu mau hubungan palsu kita ketahuan? Atau kamu mau media menggali lebih jauh dan tahu kamu bukan siapa-siapa?”

Nayla mendesis pelan, “Nada bicaramu nyebelin.”

“Dan kamu nyaris menghancurkan reputasi saya semalam. Anggap saja kita impas.”

Nayla memejamkan mata, mencoba berpikir jernih. Tapi ucapan berikutnya dari Kenzo membuatnya kembali membuka mata.

“Kamu akan menemani saya ke pertemuan keluarga minggu ini. Juga ada acara bisnis besar bulan depan yang akan diliput media. Mungkin kita akan… bersentuhan fisik,” ucap Kenzo datar lalu menatap Nayla lurus-lurus, “Bukan karena saya mau. Tapi karena itu bagian dari skenario.”

“Dan kalau aku gak setuju?” tantang Nayla.

Kenzo mengangkat bahu, “Silakan. Tapi berita soal kita tidak akan hilang dan kamu akan terus dihantui media. Lagipula, kamu sudah berada terlalu jauh untuk mundur.”

Ruangan menjadi sunyi. Hanya suara pelayan yang sesekali terdengar dari balik pintu. Nayla menatap kontrak itu sekali lagi lalu menatap pria di hadapannya. Ia tidak bisa menangkap apa yang ada dipikiran Kenzo.

Nayla menghela napas pelan kemudian secara terpaksa menandatangani perjanjian mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Main Api dengan Mafia   Mencintainya

    Jam dinding berdetak pelan. Di balik tirai putih yang melambai ringan diterpa angin dari ventilasi, cahaya lampu kota menari samar-samar. Di dalam kamar rumah sakit itu, sunyi menyelimuti. Rose tertidur di sofa dengan selimut menyelimuti tubuhnya. Hanya suara mesin monitor yang mengukur detak jantung dan ritme napas yang terus bergema, mengisi kekosongan malam.Namun, Nayla masih terjaga.Ia duduk bersandar di atas ranjangnya, memandangi pria di sebelah ranjangnya. Kenzo. Pria yang dulu menjadi musuh dalam hidupnya, yang ia hindari, benci, dan tolak. Namun kini, hanya ada satu perasaan yang membuncah setiap ia menatap wajah itu: takut kehilangan.Dengan hati-hati, Nayla menyibak selimut, melangkah pelan menuju sisi ranjang Kenzo. Ia duduk di tepi tempat tidur itu, menatap wajah Kenzo yang pucat, dengan luka perban di perutnya, dan lengan yang masih ditancap selang infus. Tangannya terulur, ragu-ragu... lalu akhirnya menggenggam tangan Kenzo erat-erat, seolah takut jika pria itu kembal

  • Main Api dengan Mafia   Tersirat

    Cahaya putih menyilaukan menyelimuti ruang IGD. Aroma antiseptik menusuk tajam, menyatu dengan hiruk-pikuk langkah kaki dan suara peralatan medis yang tak henti-hentinya berbunyi.Di tengah kekacauan itu, Kenzo terbaring lemah dengan wajah pucat dan baju penuh darah. Selang infus menusuk lengannya, monitor jantung menunjukkan detak yang tak stabil, dan perawat bergerak cepat menahan perdarahannya.“Tekanan darah turun drastis!”“Stabilisasi segera, kita kehilangan dia—!”Pintu IGD terbuka keras. Kingsley masuk dengan napas memburu, matanya menyapu ruangan hingga akhirnya menatap tubuh putranya yang hampir tak bernyawa. Wajahnya mengeras. Ia menoleh tajam ke arah pasukan pengawalnya.“Dengar baik-baik,” desisnya. “Jangan ada yang melaporkan ini ke pihak berwajib. Polisi akan tunduk pada keluarga presiden. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun di luar lingkaran ini.”Semua pengawal mengangguk serempak. Ketegangan makin menebal, seolah rumah sakit pun tahu bahwa perang besar sedang diam-

  • Main Api dengan Mafia   Pertarungan

    Udara di dalam ruangan itu terasa lembap dan menyesakkan. Aroma apek dan debu menyatu menjadi satu, membuat dada Nayla semakin sesak. Ia duduk di kursi kayu tua yang sudah mulai rapuh, tubuhnya lemah terikat erat, pergelangan tangannya membiru karena gesekan tali kasar.Air matanya sudah mengering di pipi. Ia menatap nanar ke langit-langit gelap yang retak dan penuh sarang laba-laba, mencoba menenangkan diri… mencoba berpikir jernih… tapi yang ia rasakan hanya satu—takut“Apa ini jalan satu-satunya agar semuanya aman?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Tangannya bergerak lemah, mencoba lagi melepaskan ikatan, meskipun perihnya seperti ditusuk-tusuk duri. Tapi tak ada yang berhasil. Tidak ada celah, tidak ada harapan.“Apa lebih baik aku mati… daripada harus menyerah dan membuat Kenzo dalam bahaya?” pikirnya lagi. Matanya memejam, menahan rasa bersalah dan keputusasaan yang menyesakkan dada.Sementara itu, jauh di tempat berbeda, Kenzo masih belum berhenti bergerak.Apartemen tempa

  • Main Api dengan Mafia   Habisnya Kesabaran

    Kesadarannya masih kabur ketika Nayla membuka mata. Ruangan itu kosong dan lembap, berbau tanah tua dan kayu lapuk. Dinding-dindingnya retak, jendela ditutup rapat dengan papan kayu, dan hanya cahaya temaram dari satu bola lampu menggantung di langit-langit yang membuat segalanya tampak lebih menyeramkan.Kepalanya berdenyut. Pergelangan tangannya terasa perih, diikat kasar dengan tali yang mengikatnya kuat ke kursi kayu reyot. Nafasnya memburu, tubuhnya mulai gemetar. Namun ketakutan itu bukan hanya karena tempat itu—melainkan karena sosok yang perlahan melangkah dari balik bayangan.Reza.Wajah yang dulu pernah ia percayai, kini berubah menjadi topeng kebencian yang menjijikkan. Matanya memancarkan kesenangan aneh melihat Nayla dalam kondisi tak berdaya.“Selamat datang, Nay.” Suara Reza terdengar ringan, tapi nadanya mengandung racun. “Sudah kubilang ini penting, tapi kamu menolak datang baik-baik. Jadi ya… aku terpaksa.”Nayla mencoba tetap tenang. Tapi air mata sudah menggenang d

  • Main Api dengan Mafia   Nayla Menghilang

    Malam itu langit mendung. Hujan belum turun, tapi udara terasa berat. Nayla memandangi layar ponselnya yang kembali menyala untuk ketiga kalinya malam itu—nama yang muncul di layar bukan nama asing.Reza.Tangannya gemetar ringan saat akhirnya ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang kerja apartemen. Di balik pintu, Kenzo sedang menatap layar laptop dengan ekspresi serius, dikelilingi dokumen dan peta digital.Nayla mengetuk pelan.Kenzo menoleh. “Ada apa?” tanyanya, suaranya tenang, tapi matanya langsung membaca bahwa Nayla tidak datang hanya untuk mengobrol santai.“Reza… dia menghubungiku lagi,” ucap Nayla dengan suara pelan.Seketika rahang Kenzo mengeras. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menyatukan kedua tangannya di bawah dagu. “Apa lagi maksudnya kali ini? Di tengah kekacauan yang belum selesai juga…” gumamnya dengan geram.“Aku juga tidak tahu. Tapi dia bilang ini penting. Dia terus mengirim pesan. Seolah… mendesak,” jelas Nayla, menyerahkan ponselnya.Kenzo me

  • Main Api dengan Mafia   Mawas

    Setelah menghabiskan waktu menelusuri kenangan di rumah masa kecil Nayla, Kenzo membawa Nayla menuju mansion keluarga Kingsley. Bangunan megah yang berdiri kokoh di balik pagar besi hitam itu memancarkan aura keagungan sekaligus misteri yang menyelimuti sejarah keluarga mereka. Ketika mobil berhenti di depan pintu utama, Rose dan Kingsley telah berdiri menyambut mereka di depan pintu, seolah sudah tahu bahwa percakapan malam ini bukanlah percakapan biasa.Setelah duduk di ruang keluarga yang hangat dan tenang, Rose membuka percakapan. Suaranya lembut, tapi mengandung tekanan emosional yang dalam."Nayla... sebelum ibumu menghilang, dia sempat bilang padaku bahwa suatu saat kamu akan menemukan surat wasiat dari mendiang ayahmu. Tapi dia tidak pernah memberitahuku di mana surat itu disimpan. Seolah... dia sengaja membuatmu menemukan sendiri, saat kamu sudah siap."Nayla menelan ludah, pikirannya mulai menghubungkan potongan-potongan mimpi, bisikan dari masa lalu, dan kenyataan yang kini

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status