Yara terbangun dengan wajah segar. Untuk pertama kalinya sejak lama, dia merasakan tidur yang benar-benar nyenyak. Kasur empuk, ruangan yang nyaman, dan tidak ada suara berisik seperti di apartemen lamanya.
Dia menggeliat malas, lalu berguling beberapa kali di atas kasur. "Astaga, ini surga," gumamnya sambil tersenyum puas.
Setelah beberapa menit menikmati kenyamanan itu, Yara akhirnya turun dari ranjang, berjalan menuju jendela, dan membukanya. Udara pagi yang masih sejuk menyapa wajahnya, sementara langit mulai terang meskipun matahari belum sepenuhnya muncul. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan pagi ini.
"Tiga bulan kayak gini, aku bisa betah sih," katanya sambil meregangkan tubuhnya.
Dengan rambut masih acak-acakan dan baju tidur yang sedikit berantakan, Yara berjalan keluar kamar dengan langkah malas. Tangannya menggaruk kepala sambil menuju dapur. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah segelas air dingin.
Saat dia sedang membuka kulkas dan meneguk air dari botol, tiba-tiba—
BRAK!
Suara pintu dibanting keras membuat Yara hampir tersedak. Dengan kaget, dia menoleh ke arah sumber suara.
Dari sebuah pintu di sisi apartemen, Nathan keluar dengan langkah tergesa-gesa. Matanya tajam, wajahnya serius, dan tubuhnya sudah berpakaian rapi dengan setelan jas yang tampak mahal.
Yara menyipitkan mata, masih sedikit mengantuk. "Hah? Itu kamar siapa?" gumamnya, "jelas kamar dia sih, bodo amat," potongnya sendiri baru menyadari bahwa mungkin itu kamar Nathan.
Tapi yang lebih membingungkannya adalah ekspresi pria itu—kenapa dia terlihat seperti orang yang dikejar-kejar sesuatu? "Pagi-pagi gini dia udah mau kerja ya? Wow dasar orang kaya."
Saat melintas di dapur, Nathan tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arah Yara. "Kamu sudah bangun?" tanyanya cepat.
Yara menatapnya dengan malas. "Kelihatannya gitu?" jawabnya dengan nada sarkas.
Nathan tidak menggubris nada bicara Yara dan langsung melanjutkan, "Aku ada urusan penting pagi ini. Mungkin baru bisa pulang larut malam nanti."
Sambil masih menggenggam botol air, Yara hanya mengangguk tanpa minat. Tapi kemudian Nathan menambahkan, "Kamu bisa masak sendiri, kan?"
Yara mengerutkan dahi. "Tentu saja! Aku bukan anak kecil."
Nathan mendengus. "Bagus. Jangan keluar rumah kalau nggak mau dikejar wartawan lagi."
Yara menghela napas panjang. "Iya, iya ...."
"Tolong jangan mengacaukan rumah," tambah Nathan lagi.
"Ya."
"Jangan menyentuh barang-barangku."
"Iya."
"Jangan sentuh barang-barang berbahaya."
Yara mendengus, menatap Nathan dengan mata menyipit. "Kamu ini ngomong sama aku atau anak TK?"
Nathan hanya menatapnya sebentar sebelum akhirnya berjalan menuju pintu. Namun, sebelum dia sempat membuka pintu, Yara tiba-tiba berseru, "Tunggu sebentar!"
Nathan menghentikan langkahnya, menoleh dengan tatapan datar. "Apa lagi?"
Tanpa menjawab, Yara berjalan cepat mendekatinya. Nathan mengernyit, bingung dengan gerakan tiba-tiba itu.
Tanpa aba-aba, Yara menarik dasi Nathan, membuat pria itu sedikit terhuyung ke depan. "Astaga, kamu ini nggak bisa membenarkan dasi sendiri atau gimana, sih?" omelnya sambil mulai merapikan dasi Nathan dengan tangan cekatan.
Nathan terdiam.
Dari posisinya, dia bisa melihat wajah Yara dari dekat—kulitnya yang masih segar setelah bangun tidur, rambut yang sedikit berantakan, dan ekspresi kesal yang justru membuatnya terlihat... lebih alami.
Cantik.
Nathan berkedip sekali, lalu meneguk ludah. Dia baru menyadari sesuatu—Yara bukan tipe wanita yang biasa ia temui. Dia bukan perempuan anggun dengan riasan sempurna atau sikap lemah lembut. Tapi anehnya, ada sesuatu dalam ketidakteraturannya yang menarik.
"Hei, kamu dengerin aku nggak sih?" suara Yara membuyarkan pikirannya.
Nathan segera mengalihkan tatapannya. "Apa?"
Yara mendecak. "Dasi kamu, kalau diikat kayak tadi, bakal bikin leher kamu sakit. Serius deh, gimana bisa orang kaya nggak ngerti cara pakai dasi?"
Nathan mendesah, menutup matanya sejenak. "Aku bisa. Aku cuma buru-buru."
Yara menyeringai puas. "Oh ya? Kedengerannya kayak alasan."
Nathan tidak menanggapi lagi. Begitu Yara selesai membenarkan dasinya, dia langsung mundur selangkah, merapikan jasnya, dan berkata, "Aku pergi."
Tanpa menunggu respons, dia membuka pintu dan pergi begitu saja.
Yara menatap punggungnya yang semakin menjauh, lalu tiba-tiba tertawa kecil. "Hah! Kayaknya tadi dia sempet bengong, deh," gumamnya sambil menyeringai.
Dia kembali ke dapur, menuang air ke dalam gelas, lalu menatap sekeliling apartemen dengan mata berbinar.
"Kalau Nathan pergi seharian ...." Yara menatap sofa empuk, TV layar besar, dan balkon dengan pemandangan indah. Dia lalu menepuk pipinya sendiri dengan semangat. "Berarti aku bisa menikmati semua ini sendirian!"
Dia tertawa senang dan segera berlari ke ruang tamu, menjatuhkan diri di sofa empuk dengan gaya dramatis.
"Aku bakal nikmatin hari ini sepenuhnya!"
Di luar sana, Nathan yang baru masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba menghela napas panjang.
Sial.
Dia masih memikirkan wajah Yara saat tadi membenarkan dasinya.
Udara malam di Crawley cukup hangat, berbeda dari biasanya. Jalanan kota mulai lengang, hanya tersisa lampu jalan yang berpendar lembut. Mobil Nathan berhenti di parkiran sebuah restoran burger terkenal.“Turunlah. Katamu tadi ingin makan burger,” ucap Nathan sambil membuka pintu mobil untuk Yara.Gadis itu sempat ragu turun, tapi aroma gurih dari restoran membuat perutnya berteriak pelan. Ia melirik Nathan sambil meneguk ludah. “Kau yakin aku boleh makan sebanyak yang aku mau?”Nathan mengangkat alisnya. “Kalau kau sanggup habiskan semua, ya silakan.”Yara langsung nyengir dan meloncat turun. “Jangan menyesal nanti, Tuan Liu. Aku bisa jadi monster saat lapar.”Nathan tersenyum tipis sambil menutup pintu mobil.Di dalam restoran, Yara seperti anak kecil di toko permen. Matanya berbinar saat melihat pilihan burger, kentang goreng, chicken wings, dan milkshake warna-warni. Ia menunjuk semuanya sambil berkomentar seperti komentator acara kuliner.“Yang ini kayaknya enak, tapi yang itu ju
Langit malam London berpendar kelabu, dan lampu kota menyala temaram seolah memahami kegelisahan seseorang di lantai tiga Hotel Crawley Hilton.Yara duduk di ujung ranjang, mata menatap layar televisi yang menayangkan liputan berita langsung dari rumah sakit Crawley. Wajah Nathan muncul di sana, berdiri tegap di samping seorang perempuan cantik bergaun krem elegan—Clara Zhang, sang istri.Kamera menyorot keduanya dari berbagai sudut, memperlihatkan Clara yang memegang tangan salah satu keluarga korban dan Nathan yang memberikan pernyataan resmi kepada pers.“Pasangan suami istri ini tampak serasi, saling mendukung di tengah tragedi kebakaran yang menimpa Liu Corporation.”Komentar reporter di layar membuat dada Yara makin sesak. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu mematikan televisi dengan remote yang sempat ia lempar asal ke atas kasur.“Hah…” helanya panjang.Yara menunduk, menarik lutut ke dadanya. “Yara, kamu tuh apa sih?” ocehnya pada diri sendiri. “Baru tadi pagi deg-degan liat di
Langkah kaki bergema di sepanjang lorong rumah sakit kota Crawley. Aroma disinfektan menyengat di udara, bercampur dengan ketegangan yang nyaris bisa disentuh.Nathan berjalan dengan langkah panjang dan mantap, setelan hitamnya rapi sempurna seperti biasa. Di belakangnya, Adrian mengikuti dengan cepat sambil memegang tablet di tangan, dan beberapa staf rumah sakit serta pengawal pribadi mengikuti dari kejauhan."Korban luka ringan ada delapan orang, semuanya sudah mendapatkan perawatan. Tapi satu korban luka bakar cukup serius, dia masih dirawat intensif di ruang ICU, dan keluarganya baru tiba pagi ini." Laporan Adrian cepat dan efisien, seolah sudah terbiasa mengikuti ritme kerja Nathan yang nyaris tanpa jeda.Nathan hanya mengangguk pelan, matanya tajam menatap ke depan. "Dokumen kompensasi?""Sudah disiapkan. Tim legal juga standby untuk verifikasi dokumen."Mereka semakin mendekati ruang perawatan korban. Namun langkah Nathan tiba-tiba terhenti. Matanya menyipit, ekspresi wajahnya
Sinar matahari pagi menyelinap pelan melalui celah tirai, membentuk garis-garis cahaya keemasan di atas ranjang berseprai putih bersih itu. Udara di dalam kamar masih dingin, membuat Yara meringkuk lebih dalam di bawah selimut tebal. Kepalanya tenggelam di antara bantal empuk, dan tubuhnya terasa berat untuk bergerak.Ia mengeluarkan suara gumaman malas seperti anak kucing, menggeliat pelan dengan mata masih terpejam.Namun, saat ia membuka mata perlahan, bayangan tinggi besar yang bergerak di sudut kamar membuat jantungnya langsung melonjak.Nathan.Pria itu sedang berdiri di depan lemari pakaian, punggungnya menghadap ke arah Yara, hanya mengenakan celana panjang kain gelap. Otot-otot punggungnya tampak jelas, mengalir kuat dan simetris.Ia sedang mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan. Yara menelan ludah, matanya otomatis mengikuti gerakan tangan Nathan yang dengan santai merapikan lengan bajunya.Astaga... ini bukan mimpi, kan? pikir Yara gugup. Tadi malam itu... beneran
Lorong rumah sakit London terasa sunyi, hanya sesekali terdengar langkah kaki perawat atau suara roda ranjang yang didorong pelan. Di dekat vending machine, seorang pria berdiri menyender malas pada tembok putih dingin.Kemeja putihnya digulung hingga siku, dengan dua kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit kulit lehernya yang berkeringat tipis. Zhen menarik napas panjang, matanya sayu menatap mesin minuman seolah waktu melambat.Tangannya dimasukkan ke saku celana, satu lagi memegang ponsel yang sesekali dilirik, tapi tidak ada pesan masuk dari siapa pun, terutama dari Clara yang tadi siang meminta nomor teleponnya untuk membalas budi."Dia keras kepala sekali," gumamnya sambil menghela napas pelan. "Padahal aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."Ia melangkah maju satu baris saat antrean menyusut. Pandangannya kemudian tertarik ke layar televisi yang tergantung di dinding seberang.Saluran berita lokal sedang menayangkan liputan kebakaran hebat di gudang milik Liu Corpo
"Mhh! Nathan? Apa yang kau lakukan?"Yara terkejut saat benda hangat menyentuh tulang selangkanya. Dia sedikit mundur tapi Nathan menahan punggungnya.Yara terdiam, tubuhnya kaku sesaat. Tapi ketika Nathan menunduk dan mengecup pelan dadanya—lewat kain tipis kaos yang ia kenakan—napas Yara tertahan."Nath- eungh!" gumamnya pelan, hampir tak terdengar, antara gugup dan tak yakin dengan apa yang baru saja ia rasakan.Namun Nathan tidak menjawab dengan kata-kata. Kecupan itu bukan dorongan nafsu semata, ada kelembutan yang mengusik. Lalu bibirnya naik, menyapu pelan ke arah leher Yara. Sentuhannya seperti bayangan hangat yang menelusuri kulit, membuat bulu kuduk Yara berdiri dan jantungnya berdetak tak beraturan."Nathan ...." Suara Yara terdengar seperti bisikan putus-putus. Entah ingin menegur atau hanya karena ia kehilangan kata.Nathan membisikkan sesuatu, suaranya berat dan rendah, menyentuh seperti gelombang hangat di telinga Yara. "Tenang saja ...," katanya, "aku hanya ..., merind