Share

Bab 7

Author: Lee Sizunii
last update Last Updated: 2025-03-29 00:27:00

Yara terbangun dengan wajah segar. Untuk pertama kalinya sejak lama, dia merasakan tidur yang benar-benar nyenyak. Kasur empuk, ruangan yang nyaman, dan tidak ada suara berisik seperti di apartemen lamanya.

Dia menggeliat malas, lalu berguling beberapa kali di atas kasur. "Astaga, ini surga," gumamnya sambil tersenyum puas.

Setelah beberapa menit menikmati kenyamanan itu, Yara akhirnya turun dari ranjang, berjalan menuju jendela, dan membukanya. Udara pagi yang masih sejuk menyapa wajahnya, sementara langit mulai terang meskipun matahari belum sepenuhnya muncul. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan pagi ini.

"Tiga bulan kayak gini, aku bisa betah sih," katanya sambil meregangkan tubuhnya.

Dengan rambut masih acak-acakan dan baju tidur yang sedikit berantakan, Yara berjalan keluar kamar dengan langkah malas. Tangannya menggaruk kepala sambil menuju dapur. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah segelas air dingin.

Saat dia sedang membuka kulkas dan meneguk air dari botol, tiba-tiba—

BRAK!

Suara pintu dibanting keras membuat Yara hampir tersedak. Dengan kaget, dia menoleh ke arah sumber suara.

Dari sebuah pintu di sisi apartemen, Nathan keluar dengan langkah tergesa-gesa. Matanya tajam, wajahnya serius, dan tubuhnya sudah berpakaian rapi dengan setelan jas yang tampak mahal.

Yara menyipitkan mata, masih sedikit mengantuk. "Hah? Itu kamar siapa?" gumamnya, "jelas kamar dia sih, bodo amat," potongnya sendiri baru menyadari bahwa mungkin itu kamar Nathan.

Tapi yang lebih membingungkannya adalah ekspresi pria itu—kenapa dia terlihat seperti orang yang dikejar-kejar sesuatu? "Pagi-pagi gini dia udah mau kerja ya? Wow dasar orang kaya."

Saat melintas di dapur, Nathan tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arah Yara. "Kamu sudah bangun?" tanyanya cepat.

Yara menatapnya dengan malas. "Kelihatannya gitu?" jawabnya dengan nada sarkas.

Nathan tidak menggubris nada bicara Yara dan langsung melanjutkan, "Aku ada urusan penting pagi ini. Mungkin baru bisa pulang larut malam nanti."

Sambil masih menggenggam botol air, Yara hanya mengangguk tanpa minat. Tapi kemudian Nathan menambahkan, "Kamu bisa masak sendiri, kan?"

Yara mengerutkan dahi. "Tentu saja! Aku bukan anak kecil."

Nathan mendengus. "Bagus. Jangan keluar rumah kalau nggak mau dikejar wartawan lagi."

Yara menghela napas panjang. "Iya, iya ...."

"Tolong jangan mengacaukan rumah," tambah Nathan lagi.

"Ya."

"Jangan menyentuh barang-barangku."

"Iya."

"Jangan sentuh barang-barang berbahaya."

Yara mendengus, menatap Nathan dengan mata menyipit. "Kamu ini ngomong sama aku atau anak TK?"

Nathan hanya menatapnya sebentar sebelum akhirnya berjalan menuju pintu. Namun, sebelum dia sempat membuka pintu, Yara tiba-tiba berseru, "Tunggu sebentar!"

Nathan menghentikan langkahnya, menoleh dengan tatapan datar. "Apa lagi?"

Tanpa menjawab, Yara berjalan cepat mendekatinya. Nathan mengernyit, bingung dengan gerakan tiba-tiba itu.

Tanpa aba-aba, Yara menarik dasi Nathan, membuat pria itu sedikit terhuyung ke depan. "Astaga, kamu ini nggak bisa membenarkan dasi sendiri atau gimana, sih?" omelnya sambil mulai merapikan dasi Nathan dengan tangan cekatan.

Nathan terdiam.

Dari posisinya, dia bisa melihat wajah Yara dari dekat—kulitnya yang masih segar setelah bangun tidur, rambut yang sedikit berantakan, dan ekspresi kesal yang justru membuatnya terlihat... lebih alami.

Cantik.

Nathan berkedip sekali, lalu meneguk ludah. Dia baru menyadari sesuatu—Yara bukan tipe wanita yang biasa ia temui. Dia bukan perempuan anggun dengan riasan sempurna atau sikap lemah lembut. Tapi anehnya, ada sesuatu dalam ketidakteraturannya yang menarik.

"Hei, kamu dengerin aku nggak sih?" suara Yara membuyarkan pikirannya.

Nathan segera mengalihkan tatapannya. "Apa?"

Yara mendecak. "Dasi kamu, kalau diikat kayak tadi, bakal bikin leher kamu sakit. Serius deh, gimana bisa orang kaya nggak ngerti cara pakai dasi?"

Nathan mendesah, menutup matanya sejenak. "Aku bisa. Aku cuma buru-buru."

Yara menyeringai puas. "Oh ya? Kedengerannya kayak alasan."

Nathan tidak menanggapi lagi. Begitu Yara selesai membenarkan dasinya, dia langsung mundur selangkah, merapikan jasnya, dan berkata, "Aku pergi."

Tanpa menunggu respons, dia membuka pintu dan pergi begitu saja.

Yara menatap punggungnya yang semakin menjauh, lalu tiba-tiba tertawa kecil. "Hah! Kayaknya tadi dia sempet bengong, deh," gumamnya sambil menyeringai.

Dia kembali ke dapur, menuang air ke dalam gelas, lalu menatap sekeliling apartemen dengan mata berbinar.

"Kalau Nathan pergi seharian ...." Yara menatap sofa empuk, TV layar besar, dan balkon dengan pemandangan indah. Dia lalu menepuk pipinya sendiri dengan semangat. "Berarti aku bisa menikmati semua ini sendirian!"

Dia tertawa senang dan segera berlari ke ruang tamu, menjatuhkan diri di sofa empuk dengan gaya dramatis.

"Aku bakal nikmatin hari ini sepenuhnya!"

Di luar sana, Nathan yang baru masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba menghela napas panjang.

Sial.

Dia masih memikirkan wajah Yara saat tadi membenarkan dasinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 43

    Clara duduk di salah satu sofa mahal berlapis beludru di ruang tamu rumah mewahnya. Gaun panjang berwarna champagne menempel anggun di tubuh rampingnya, menghias keindahan yang sulit untuk tidak dilirik.Rambut panjangnya ditata rapi ke samping, menyisakan leher jenjangnya terbuka untuk kilauan kalung berlian. Kakinya bersilang, sepatu hak tinggi dari rumah mode ternama berkilau di bawah cahaya lampu kristal.Tapi wajah itu...Wajah cantik sempurna yang disiapkan untuk malam istimewa, tak mampu menyembunyikan kekecewaan yang perlahan merembes lewat sorot mata datar dan senyuman yang tak kunjung muncul. Berkali-kali, jemarinya menyentuh layar ponsel. Memanggil nama yang sama: Nathan.Tidak diangkat. Tidak dibalas.Jam tangan Cartier di pergelangan tangannya menunjukkan bahwa Nathan sudah telat setengah jam dari waktu yang mereka sepakati. Clara tidak mengatakan apa-apa, tidak juga meluapkan amarah. Tapi ketika ponselnya kembali menyala, dengan satu pesan singkat dari Nathan bertuliskan

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 42

    Langit London mulai meredup, cahaya jingga menyelinap perlahan di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang. Jalanan mulai dipenuhi lampu-lampu kota yang menyala satu per satu.Di balik kemudi sebuah mobil hitam mewah, Nathan Liu menyetir dengan tenang tapi penuh tekanan dalam dadanya.Setelan jas hitamnya rapi, dasi abu gelapnya terikat sempurna, dan aroma parfum maskulin mahal menguar samar di dalam kabin mobil. Ia dalam perjalanan untuk menjemput Clara—istri yang secara sah tercatat sebagai pendamping hidupnya. Namun, ada yang berbeda sore ini.Satu tangannya menggenggam setir, tapi matanya sesekali melirik layar ponsel di tempat duduk samping. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan masuk. Adrian belum mengabari soal Yara.Dan itu membuat Nathan semakin gelisah.Namun tiba-tiba, pandangannya menangkap sosok yang tak asing di pinggir jalan, tepat di depan sebuah restoran kecil yang terletak di sudut jalan King’s Cross.Tubuh ramping dengan hoodie abu-abu yang menutupi sebagian wajahnya.

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 41

    Di lantai tertinggi Liu Corporation, di balik dinding kaca yang menyuguhkan panorama kota London yang sibuk, Nathan Liu duduk membungkuk di meja kerjanya. Setelan jas hitamnya masih rapi meski waktu telah menunjukkan pukul dua siang.Tangannya sibuk mengetik di atas keyboard laptop, suara klik-klik terdengar teratur. Tapi tatapannya ..., tidak benar-benar tertuju pada layar.Sesekali, jemarinya berhenti. Matanya menatap kosong ke layar yang kini memunculkan data grafik penjualan. Namun bukan itu yang mengisi pikirannya.Bayangan wajah Yara muncul begitu saja—matanya yang sembab, suara tangisnya yang bergetar, dan tubuh mungilnya yang membelakanginya setelah tahu satu kebenaran besar: Nathan sudah menikah.Suara tangis gadis itu masih terngiang di telinganya. Bahkan meski dia mencoba mengabaikan, tetap saja, rasa bersalah menusuk perlahan. Dan itu membuat Nathan kesal—terutama pada dirinya sendiri.Tok. Tok.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.Pintu terbuka perlahan dan Adrian,

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 40

    Di sebuah rumah megah yang berdiri anggun di tengah kota London. Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai-tirai panjang, menari di atas lantai marmer putih yang mengilat.Ruang makan besar itu sunyi, hanya terdengar detik jam antik di sudut ruangan. Meja makan panjang yang penuh dengan sentuhan kemewahan dipenuhi sajian sarapan lengkap—croissant hangat, omelet lembut, potongan buah segar, dan teko teh porselen yang mengepulkan aroma harum melati.Clara Zhang duduk anggun di ujung meja. Gaun satin berwarna krem membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, riasan tipis mempercantik wajahnya yang sudah menawan secara alami.Matanya yang tajam menatap ke arah pintu, penuh kesabaran. Ia tampak tenang, namun jelas sedang menunggu seseorang.Langkah kaki terdengar mendekat. Tegas, rapi, dan penuh wibawa. Nathan Liu muncul di ambang pintu.Setelan jasnya sempurna, dasinya terikat rapi, dan rambutnya tertata tanpa cela. Wajahnya dingin, tidak menunjukkan emosi apapun. Begitu ia memasu

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 39

    Yara tidak tidur semalaman. Mata sembapnya menjadi saksi bagaimana air mata turun begitu deras tanpa aba-aba.Isakan lirih sering kali terdengar meski ia berusaha menyumpalnya dengan bantal. Dada Yara seperti dilubangi sesuatu yang tajam dan tak henti-henti menyayat.Dia tidak tahu, sebenarnya apa yang paling menyakitkan—fakta bahwa Nathan adalah suami orang, atau fakta bahwa ia benar-benar merasa kehilangan saat membaca tulisan itu.Pagi menjelang, mentari London hanya menyinari kamar lewat celah tirai, tanpa menghangatkan. Yara terbangun dari posisi meringkuk, rambutnya acak-acakan, gaun tidurnya kusut.Dia keluar dari kamar. Matanya langsung menoleh ke arah pintu kamar Nathan."Apa dia sudah pergi kerja ya? Huh ..., siapa yang peduli?" gumamnya lirih.Tapi hatinya menolak keras ucapan itu. Ada bagian kecil di sana yang justru bertanya-tanya, apa Nathan sudah lebih baik? Apa demamnya sudah turun?Yara menggeleng cepat, seperti menepis bisikan hatinya sendiri. Dia kembali menyeret ka

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 38

    Malam sudah larut. Langit di luar jendela apartemen berwarna kelabu gelap, diterangi kelap-kelip lampu kota yang terlihat seperti bintang-bintang palsu.Yara baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih agak basah, namun tubuhnya sudah bersih dan harum. Ia mengenakan gaun tidur panjang bermotif bunga-bunga kecil berwarna pastel. Lembut, seperti dirinya yang saat itu sedang rapuh.Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang sunyi. Tapi pikirannya justru ramai. Ingatan itu datang seperti badai, menyapu habis ketenangan yang sempat ia rasakan sejak Nathan memutuskan pulang dari rumah sakit."Perebut suami orang."Kalimat itu terngiang lagi dan lagi. Perempuan itu, siapa namanya? Yara bahkan tidak tahu. Tapi dia begitu yakin dan menatap Yara seolah Yara adalah penjahat dalam drama murahan.Dan sekarang ..., entah mengapa, Yara baru benar-benar berpikir. Sejak pesta itu, dia tak pernah tahu siapa Nathan sebenarnya. Lelaki itu muncul tiba-tiba, menyelamatk

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 37

    Malam baru saja tiba, menyelimuti kota dengan sunyi dan remang lampu jalanan yang temaram. Di dalam ruang inap bernuansa netral itu, udara dingin dari pendingin ruangan terasa menusuk kulit, tapi tak seberapa dibandingkan dinginnya suasana hati Yara.Gadis itu duduk menyamping di sofa pojok ruangan sambil mengupas apel. Gerakannya pelan dan penuh kehati-hatian, seolah kulit apel itu bisa pecah jika ia terlalu terburu-buru. Wajahnya datar, tak berseri seperti biasanya. Matanya sayu, dan bibirnya sama sekali tak tertarik untuk sekadar meringis.Sejak pagi, Nathan tidak mengizinkannya keluar ruangan. Semua kebutuhan dikirim langsung ke dalam. Ada saja yang diutus Nathan—perawat, staf rumah sakit, bahkan Adrian pun muncul dua kali hanya untuk menyampaikan hal sepele. Tapi satu hal yang pasti: Nathan tak ingin Yara ke mana-mana.Saat ini, lelaki itu tengah bersandar di ranjang, fokus pada layar ponselnya. Jemarinya sesekali mengetik cepat, mata tajamnya membaca deretan pesan dan laporan da

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 36

    Langkah kaki Yara terasa berat saat kembali ke ruang inap Nathan. Gelas es coklat yang tadi masih dingin kini mulai mengembun, airnya menetes di jari-jarinya yang gemetar. Pikirannya masih kalut. Wajah wanita tadi, ucapannya, tatapan sinis orang-orang—semuanya seperti terpatri di otaknya.Ketika ia membuka pintu perlahan dan masuk, ruangan itu tampak sepi. Adrian sudah tidak ada.Hanya Nathan di sana, duduk bersandar dengan wajah tenang meski pucat, kabel infus masih menempel di tangannya. Tapi begitu melihat Yara masuk dengan wajah kusut, mata Nathan menyipit. Senyum tipisnya memudar."Yara," panggilnya pelan.Gadis itu menoleh sekilas, lalu berjalan tanpa kata ke kursi di samping ranjang dan duduk. Ia meletakkan gelas es coklat di meja kecil tanpa semangat. Pandangannya kosong, menatap lantai, jemarinya saling meremas satu sama lain.Nathan memperhatikannya. Raut wajahnya ..., tak seperti biasanya. Tak ada celotehan. Tak ada senyum ceria yang biasa membuat ruangan ini terasa hidup.

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 35

    Langkah kaki Yara terdengar tergesa saat ia keluar dari ruang inap Nathan. Wajahnya masih menyisakan rona merah, entah karena kesal, malu, atau ..., terlalu banyak deg-degan dalam sekali waktu."Ugh!" Yara menggerutu sambil mengepalkan tangan kecilnya, mengabaikan tatapan Nathan saat dia keluar dari ruangan itu. "Kenapa sih dia harus natap aku gitu?! Jantungku barusan kayak ditusuk-tusuk pakai tusuk gigi!" ocehnya lirih.Ia menginjak lantai koridor rumah sakit dengan langkah kesal—atau lebih tepatnya, langkah malu-malu yang coba disamarkan dengan marah-marah."Nyebelin banget .... Padahal lagi sakit, pucat, lemes, tapi kok masih bisa bikin aku meleleh? Gantengnya itu loh, kebangetan. Ih, gangguan hormon ini kayaknya!" gumamnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya ke pipi sendiri yang masih hangat.Yara terus berjalan ke arah kantin rumah sakit, mencoba mengalihkan pikirannya dengan ..., teh hangat? Atau mungkin es coklat? Tapi belum sempat pikirannya tenang, ia menyadari sesuatu yang

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status