Setelah kepergian Nathan, Yara masih berdiri di tengah kamar, menatap sekeliling dengan mata berbinar. Sebesar apa pun kekesalannya tadi, dia tidak bisa memungkiri bahwa kamar ini adalah surga kecil. Tempat tidur besar dengan seprai lembut, lemari berisi pakaian mewah, dan fasilitas lengkap yang bahkan belum pernah ia impikan sebelumnya.
"Gila ..., ini beneran kamar aku?" Yara bergumam sendiri, lalu tersenyum puas.
Tanpa ragu, dia menjatuhkan diri ke kasur empuk itu. Begitu tubuhnya menyentuh permukaan kasur, ia langsung terbenam dalam kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Astaga, ini kasur atau awan?" ucapnya sambil menggelinding ke kanan dan kiri, menikmati setiap detiknya.
Setelah puas dengan kasur empuk itu, Yara pun segera berdiri. Dia membuka lemari dan mendapati berbagai koleksi pakaian mahal tergantung rapi.
Tangannya menyentuh satu per satu bahan baju itu dengan kagum. "Wow ..., kalau aku jual satu aja, bisa buat hidup sebulan." Dia tertawa kecil, merasa beruntung meskipun situasi ini tetap terasa absurd.
Namun, setelah puas mengagumi kamar dan barang-barangnya, tubuhnya mulai merasa lengket. "Oke, waktunya mandi."
Di kamar mandi, dia semakin dibuat terpukau. Bathtub mewah, shower modern, bahkan ada penghangat lantai. Tanpa pikir panjang, Yara berendam, menikmati setiap detik seperti ratu yang sedang menikmati spa pribadi.
"Ahh, kalau setiap hari kayak gini, aku bisa lupa kalau aku lagi dikontrak sama pria menyebalkan itu," ucapnya sambil memainkan busa di tangannya.
Setelah lebih dari setengah jam, Yara akhirnya selesai mandi dan mulai memilih baju. Dia sengaja memilih pakaian santai tapi tetap stylish—lagipula, kapan lagi dia bisa memakai pakaian mahal tanpa perlu membelinya sendiri?
Saat dia bercermin, senyum di wajahnya makin lebar. "Oke, Yara, kamu bisa menikmatinya. Tiga bulan aja kok. Santai."
Tapi kemudian perutnya berbunyi keras. Dia baru sadar bahwa dia belum makan malam.
"Wah, lapar banget. Ada makanan nggak ya? Dia pasti punya makanan kan? Tinggal cari dapurnya dimana."
Dengan rasa penasaran, dia keluar dari kamar, berjalan perlahan melewati ruangan besar itu. Apartemen ini luas, tanpa banyak sekat, dan begitu mewah. Bau harum makanan tiba-tiba menyapa hidungnya.
"Hmm, bau apa ini? Masakan?"
Yara mengikuti aroma lezat itu hingga sampai di dapur terbuka yang menghadap ke ruang makan. Matanya membesar ketika melihat pemandangan di depannya—Nathan, mengenakan celemek, dengan lengan kemeja putih yang tergulung rapi, sedang menyusun makanan di atas meja makan dengan ekspresi serius.
Yara hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Astaga ..., dia masak sendiri?" gumamnya pelan.
Nathan, yang menyadari keberadaan Yara, tetap fokus pada pekerjaannya dan hanya melirik sekilas. "Duduk."
Nada suaranya datar seperti biasa, tapi Yara masih terlalu terkejut untuk bereaksi cepat. Baru setelah beberapa detik, dia tersadar dan berjalan ke meja makan, duduk dengan sedikit kikuk.
"Kamu masak?" tanyanya, matanya berbinar penasaran.
"Hmm." Nathan hanya menggumam tanpa menoleh lalu melepaskan celemeknya dan duduk di hadapan Yara.
Yara semakin bersemangat. "Wah, aku kira kamu tipe orang yang tinggal di apartemen mahal tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Ini kelihatan enak banget. Kamu jago masak, ya?"
Nathan tidak menjawab. Dia fokus dengan makanannya.
"Tapi kenapa sih nggak pakai pembantu? Kan kamu tajir, masa harus masak sendiri?"
Nathan mendesah pelan, tampak mulai kehabisan kesabaran. "Makan aja."
Yara tersenyum kecil, merasa sedikit puas karena berhasil membuat Nathan bereaksi. Namun, dia tidak mau melewatkan kesempatan ini. Dengan riang, dia mulai menyantap makanan yang tersaji di hadapannya.
Begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, matanya melebar. "Ya ampun, ini enak banget!" katanya dengan mulut masih penuh. "Serius, ini lebih enak dari restoran mahal!" Yara menggoyang-goyangkan kakinya layaknya anak kecil.
Nathan tetap diam, hanya menatap piringnya sendiri.
Yara melanjutkan makannya dengan lahap, sesekali menggumamkan pujian tanpa berharap Nathan akan menanggapi. Tapi kemudian, Nathan membuka suara.
"Malam ini aku akan bekerja di ruang kerja. Itu di ujung sana." Ia menunjuk sebuah pintu kaca yang tidak jauh dari ruang makan. "Di apartemen ini tidak ada pembantu, jadi kalau lapar, cari sendiri di dapur."
Yara mengangguk ringan, tetap fokus pada makanannya. "Oke."
Nathan menyipitkan mata, merasa heran dengan sikap santai Yara. "Dan satu hal lagi," lanjutnya. "Saat aku ada di ruang kerja, aku tidak mau diganggu. Mengerti?"
Yara meneguk air putihnya dengan tenang, lalu mengangguk lagi. "Iya, iya. Tenang aja, aku bukan anak kecil."
Nathan hanya menatapnya sebentar, lalu berdiri dan berjalan ke ruang kerjanya tanpa berkata apa-apa lagi.
Begitu Nathan menghilang di balik pintu, Yara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menepuk perutnya yang kenyang.
"Gila, dia keren juga sih kalau lagi masak. Tapi tetep aja nyebelin."
Dia tertawa kecil sendiri, lalu berdiri untuk membereskan piringnya. Meskipun Nathan bilang dia bisa mencari makan sendiri, Yara tahu dia harus berhati-hati agar tidak terlalu mengandalkan kenyamanan ini. Bagaimanapun juga, ini semua hanyalah bagian dari kesepakatan.
Tiga bulan di bawah satu atap dengan Nathan?
Yara menghela napas panjang. "Kayaknya bakal jadi tiga bulan yang seru ...."
Udara dingin menyelimuti kota London, menembus kaca-kaca rumah sakit yang berkabut oleh suhu rendah. Di sebuah ruangan bernuansa putih kehijauan, dengan bau antiseptik yang tajam menusuk hidung.Clara membuka matanya perlahan. Kelopak matanya terasa berat, dan dunia di sekelilingnya tampak buram sebelum akhirnya fokus secara perlahan.Dia mengerjapkan mata, menatap langit-langit putih yang asing, lalu menoleh ke kanan dan kiri. Aroma rumah sakit begitu khas hingga menusuk kenangan."Sejak kapan aku ada di sini?"Tubuhnya terasa lemas. Tangannya yang dingin merasakan nyeri kecil dari infus yang menusuk punggung tangannya. Dia mencoba bangun, namun kepalanya berdenyut ringan dan memaksanya kembali bersandar.Saat Clara mencoba mengingat, potongan memori mulai datang. Malam sebelumnya—hotel Savoy, makan malam keluarga besar, nyeri mendadak di perutnya, lalu… wajah seseorang.Zhen.Ya, Zhen Chu. Wajah itu yang terakhir kali ia lihat sebelum semuanya gelap.Tiba-tiba pintu ruangan terbuka.
Di pagi yang sama, saat kabut tipis masih menyelimuti jendela rumah sakit pusat kota London, di dalam sebuah kamar perawatan VIP, seorang perempuan dengan wajah pucat dan tubuh lemah terbaring diam.Selang infus menancap di punggung tangannya, membentuk kontras yang tajam dengan kulit putih bersihnya. Wajahnya tenang, hampir seperti tidur damai, tapi jika ditatap lebih lama, ada bekas kelelahan yang tertinggal di bawah mata.Gaun pesta mewah yang dikenakannya semalam telah diganti dengan pakaian pasien yang longgar, seakan menyapu semua kemegahan malam sebelumnya.Tepat di sisi ranjang, seorang pria berdiri. Tegak, diam, dan penuh penyesalan. Zhen Chu menatap Clara dengan sorot mata yang sulit dijelaskan—perpaduan antara sayang, bingung, dan kehilangan.Semalam, saat Clara jatuh ke dalam pelukannya di Hotel Savoy, Zhen segera mmebawanya ke rumah sakit. Dia menungginya di sana, tanpa beranjak sedikitpun.Wajah cantik yang terbiasa tenang itu, sesekali merintih kesakitan sejak semalam.
Pagi itu, London tampak lebih kelabu dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti kaca jendela, dan suhu udara seolah mengajak siapa pun untuk tetap berselimut.Di dalam kamar yang hangat, Yara masih meringkuk di bawah selimut tebal berwarna abu-abu. Ranjang empuk yang dia tempati terasa seperti pelukan yang enggan dilepas.Tubuhnya berat. Bahkan kelopak matanya masih lengket karena sisa kantuk yang enggan pergi.Tok tok tok.Suara ketukan lembut terdengar dari balik pintu. Suara yang segera dikenalnya menyusul."Yara," panggil Nathan dari luar. "Sarapan sudah siap. Aku tunggu di meja makan, ya."Yara hanya mendesah pelan, lalu menggulung dirinya lebih dalam ke selimut."Duh, kenapa sih dia harus sepeduli itu ..., menyebalkan," gumamnya lirih, malas.Matanya melirik ke arah pintu, lalu menatap langit-langit kamar. Sudah menjadi bagian dari konsekuensi kontrak bodoh itu. Mau tidak mau, dia harus menghadapi Nathan setiap hari."Kontrak konyol ..., dan aku setuju pula," gerutunya lagi, lali ak
Di ruang tengah apartemen mewah yang tak lagi terasa nyaman, Yara terduduk di ujung sofa berwarna abu-abu lembut. Cahaya kuning keemasan dari lampu gantung menyinari tubuh kecilnya yang terbungkus hoodie kebesaran, lengan panjangnya nyaris menutupi jari-jarinya yang kini meremas ujung kain dengan gemetar.Matanya sembab, merah karena tangis yang tak henti sejak dua jam lalu. Nafasnya berat, seolah setiap hela menuntut keputusan yang tak ingin dia buat.Suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Perlahan dan pasti, Nathan muncul dengan secangkir teh hangat.Asap tipis mengepul dari cangkir porselen itu saat ia menaruhnya di meja di depan Yara. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap gadis itu beberapa detik sebelum duduk di sampingnya."Apa kamu benar-benar ingin mengakhiri kontraknya?" suara Nathan akhirnya memecah keheningan.Yara langsung menggeleng cepat, masih dengan kepala tertunduk. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan."Aku ..., aku tidak bisa bayar dendanya ...."Suara Ya
Clara duduk di salah satu sofa mahal berlapis beludru di ruang tamu rumah mewahnya. Gaun panjang berwarna champagne menempel anggun di tubuh rampingnya, menghias keindahan yang sulit untuk tidak dilirik.Rambut panjangnya ditata rapi ke samping, menyisakan leher jenjangnya terbuka untuk kilauan kalung berlian. Kakinya bersilang, sepatu hak tinggi dari rumah mode ternama berkilau di bawah cahaya lampu kristal.Tapi wajah itu...Wajah cantik sempurna yang disiapkan untuk malam istimewa, tak mampu menyembunyikan kekecewaan yang perlahan merembes lewat sorot mata datar dan senyuman yang tak kunjung muncul. Berkali-kali, jemarinya menyentuh layar ponsel. Memanggil nama yang sama: Nathan.Tidak diangkat. Tidak dibalas.Jam tangan Cartier di pergelangan tangannya menunjukkan bahwa Nathan sudah telat setengah jam dari waktu yang mereka sepakati. Clara tidak mengatakan apa-apa, tidak juga meluapkan amarah. Tapi ketika ponselnya kembali menyala, dengan satu pesan singkat dari Nathan bertuliskan
Langit London mulai meredup, cahaya jingga menyelinap perlahan di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang. Jalanan mulai dipenuhi lampu-lampu kota yang menyala satu per satu.Di balik kemudi sebuah mobil hitam mewah, Nathan Liu menyetir dengan tenang tapi penuh tekanan dalam dadanya.Setelan jas hitamnya rapi, dasi abu gelapnya terikat sempurna, dan aroma parfum maskulin mahal menguar samar di dalam kabin mobil. Ia dalam perjalanan untuk menjemput Clara—istri yang secara sah tercatat sebagai pendamping hidupnya. Namun, ada yang berbeda sore ini.Satu tangannya menggenggam setir, tapi matanya sesekali melirik layar ponsel di tempat duduk samping. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan masuk. Adrian belum mengabari soal Yara.Dan itu membuat Nathan semakin gelisah.Namun tiba-tiba, pandangannya menangkap sosok yang tak asing di pinggir jalan, tepat di depan sebuah restoran kecil yang terletak di sudut jalan King’s Cross.Tubuh ramping dengan hoodie abu-abu yang menutupi sebagian wajahnya.