Koridor kantor Liu Corporation membentang panjang dan mewah, dengan lantai marmer putih mengkilap dan lampu gantung kristal yang memantul sempurna di langit-langit tinggi.
Nathan melangkah keluar dari ruang rapat dengan langkah cepat dan tegas, jas hitamnya jatuh pas di tubuh atletisnya. Di sampingnya, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah serius mengikuti sambil menatap tablet di tangannya—Adrian Alexander, sekretaris pribadinya yang juga dikenal dengan kepiawaiannya menangani jadwal dan emosi Nathan yang tak pernah stabil.
"Proyek ekspansi di Tokyo akan dimulai bulan depan. Tim dari Jepang meminta revisi pada bagian kontrak logistik," jelas Adrian tanpa berhenti berjalan, mata fokus menatap data yang tersaji.
Nathan mengangguk tipis. Di belakang mereka, beberapa staf penting bergegas mencatat instruksi dan arahan dari pria muda itu. Tak ada yang berani bicara jika tidak ditanya, karena mereka tahu betul betapa dingin dan tegasnya CEO muda tersebut.
Namun langkah Nathan terhenti sepersekian detik saat ponselnya bergetar di saku. Ia mengeluarkannya, menekan layar, dan mendapati sebuah pesan dari... Yara.
[Yara: "Nathan, sapunya di mana?"]
Nathan mengerjap, mendengus pelan. Jemarinya langsung mengetik balasan tanpa ekspresi.
[Nathan: "Tidak ada sapu. Pakai vacuum cleaner."]
Baru saja ponsel kembali masuk ke saku, getaran lain menyusul.
[Yara: "Gimana cara makenya?"] Nathan menarik napas dalam, menahan desah frustrasi yang nyaris meluncur. Sambil tetap berjalan, ia membuka platform video dan mengirimkan tautan singkat tentang cara menggunakan vacuum cleaner untuk pemula.
Adrian, yang melihat semua itu dari sudut matanya, sedikit terkejut. Bukan karena Nathan membalas pesan—tapi karena dia benar-benar meladeni. Biasanya, satu pesan tak penting saja cukup untuk membuat ponsel Nathan dibanting ke meja. Tapi kali ini?
"Semua baik-baik saja, Tuan Nathan?" tanya Adrian hati-hati.
"Perempuan itu," jawab Nathan singkat.
Tapi dari cara ia mengusap wajahnya setelah itu, Adrian bisa menebak: tidak ada yang baik-baik saja. Andrian tahu siapa yang Nathan maksud, Yara Jang, pacar yang baru saja teken kontrak dengan Nathan dan hanya mereka yang tahu akan hal ini.
Mereka pun melanjutkan ke lokasi selanjutnya tanpa satu patah kata lagi.
___
Sore hari.
Ruangan kerja Nathan begitu hening hingga bunyi detik jam terdengar jelas. Di balik jendela tinggi, matahari mulai turun, melukis langit London dengan semburat jingga.
Nathan duduk di balik meja besar dari kayu mahoni, kedua sikunya bersandar dan jemarinya memijat pelipisnya pelan. Ia terlihat letih, tapi bukan hanya karena presentasi dan jadwal padat hari ini.
Ponselnya—yang kini tergeletak di meja—telah menyala dan mati beberapa kali karena pesan dari Yara.
["Remote AC di mana?"]
["Kenapa air galon bunyinya kayak mau meledak?"]
["Kulkasnya dingin banget, bisa bekuin tangan, tau!"]
["Ah, aku tidak tahu cara membuka gorden jendela ruang tengah!"]
Nathan melirik layar itu sekali lagi, lalu menggeleng pelan. Apa dia benar-benar bodoh? pikirnya.
Tepat saat itu, pintu diketuk dan terbuka perlahan. Adrian masuk sambil membawa tablet berisi agenda malam hari.
"Tuan, malam ini ada undangan makan malam bersama keluarga besar Anda. Diselenggarakan oleh Tuan Besar Liu sendiri."
Nathan hanya menoleh sekilas.
Adrian menambahkan dengan nada hati-hati, "Beliau berpesan ..., untuk membawa Nyonya Clara."
Suasana langsung menegang. Mata Nathan yang sejak tadi lelah, kini tampak tajam seketika. Rahangnya mengeras.
"Clara?" ulangnya pelan, nyaris seperti bisikan yang dingin.
Adrian mengangguk pelan. "Itu pesan langsung dari beliau, Tuan."
Nathan bersandar ke kursinya dengan ekspresi sulit ditebak. Ia menatap langit-langit sebentar, lalu memejamkan mata.
Makan malam keluarga... bersama para sepupu, paman, bibi, dan tentu saja... Ayahnya, James Liu—si singa tua yang tak segan mencabik siapapun yang membuat malu keluarga. Pasti sudah menunggu untuk menerkam Nathan.
Dia tahu, acara malam ini pasti untuk menyudutkannya. Apalagi, beberapa hari terakhir, nama Nathan Liu menjadi trending topik karena 'Memamerkan pacar barunya kepada publik'. Jelas saja hal ini akan di bahas oleh James, dan Nathan masih enggan menghadapi mereka meskipun tahu hal ini akan terjadi.
Dan sekarang, ia harus mengawasi Yara. Si gadis ceroboh yang bahkan tak bisa memakai vacuum cleaner. Ah, apa dia salah pilih pacar?
Nathan membuka mata, menatap Adrian lurus. "Aku akan pergi jam tujuh malam, kau tidak perlu ikut."
Adrian tampak ingin protes, dia tahu Nathan tidak akan baik-baik saja setelah makan malam bersama keluarganya, dia sangat mengenal Nathan. Namun, Adrian tahu batasannya.
"Baik, Tuan," ucapnya dengan hormat sebelum keluar dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, Nathan menatap ponselnya lagi. Dalam hati, dia mendesah.
"Apa dia baik-baik saja?" gumamnya, karena Yara sudah berhenti menghubunginya sejak setengah jam yang lalu. "Apa dia tidak akan menghancurkan rumahku?"
Tiga bulan, katanya...
Tapi mengapa rasanya baru sehari saja sudah seperti tiga tahun?Dan entah kenapa... satu bagian dalam dirinya yang paling dingin itu, mulai merasa... penasaran akan kelanjutan dari semua ini.
Langit London mulai meredup, cahaya jingga menyelinap perlahan di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang. Jalanan mulai dipenuhi lampu-lampu kota yang menyala satu per satu.Di balik kemudi sebuah mobil hitam mewah, Nathan Liu menyetir dengan tenang tapi penuh tekanan dalam dadanya.Setelan jas hitamnya rapi, dasi abu gelapnya terikat sempurna, dan aroma parfum maskulin mahal menguar samar di dalam kabin mobil. Ia dalam perjalanan untuk menjemput Clara—istri yang secara sah tercatat sebagai pendamping hidupnya. Namun, ada yang berbeda sore ini.Satu tangannya menggenggam setir, tapi matanya sesekali melirik layar ponsel di tempat duduk samping. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan masuk. Adrian belum mengabari soal Yara.Dan itu membuat Nathan semakin gelisah.Namun tiba-tiba, pandangannya menangkap sosok yang tak asing di pinggir jalan, tepat di depan sebuah restoran kecil yang terletak di sudut jalan King’s Cross.Tubuh ramping dengan hoodie abu-abu yang menutupi sebagian wajahnya.
Di lantai tertinggi Liu Corporation, di balik dinding kaca yang menyuguhkan panorama kota London yang sibuk, Nathan Liu duduk membungkuk di meja kerjanya. Setelan jas hitamnya masih rapi meski waktu telah menunjukkan pukul dua siang.Tangannya sibuk mengetik di atas keyboard laptop, suara klik-klik terdengar teratur. Tapi tatapannya ..., tidak benar-benar tertuju pada layar.Sesekali, jemarinya berhenti. Matanya menatap kosong ke layar yang kini memunculkan data grafik penjualan. Namun bukan itu yang mengisi pikirannya.Bayangan wajah Yara muncul begitu saja—matanya yang sembab, suara tangisnya yang bergetar, dan tubuh mungilnya yang membelakanginya setelah tahu satu kebenaran besar: Nathan sudah menikah.Suara tangis gadis itu masih terngiang di telinganya. Bahkan meski dia mencoba mengabaikan, tetap saja, rasa bersalah menusuk perlahan. Dan itu membuat Nathan kesal—terutama pada dirinya sendiri.Tok. Tok.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.Pintu terbuka perlahan dan Adrian,
Di sebuah rumah megah yang berdiri anggun di tengah kota London. Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai-tirai panjang, menari di atas lantai marmer putih yang mengilat.Ruang makan besar itu sunyi, hanya terdengar detik jam antik di sudut ruangan. Meja makan panjang yang penuh dengan sentuhan kemewahan dipenuhi sajian sarapan lengkap—croissant hangat, omelet lembut, potongan buah segar, dan teko teh porselen yang mengepulkan aroma harum melati.Clara Zhang duduk anggun di ujung meja. Gaun satin berwarna krem membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, riasan tipis mempercantik wajahnya yang sudah menawan secara alami.Matanya yang tajam menatap ke arah pintu, penuh kesabaran. Ia tampak tenang, namun jelas sedang menunggu seseorang.Langkah kaki terdengar mendekat. Tegas, rapi, dan penuh wibawa. Nathan Liu muncul di ambang pintu.Setelan jasnya sempurna, dasinya terikat rapi, dan rambutnya tertata tanpa cela. Wajahnya dingin, tidak menunjukkan emosi apapun. Begitu ia memasu
Yara tidak tidur semalaman. Mata sembapnya menjadi saksi bagaimana air mata turun begitu deras tanpa aba-aba.Isakan lirih sering kali terdengar meski ia berusaha menyumpalnya dengan bantal. Dada Yara seperti dilubangi sesuatu yang tajam dan tak henti-henti menyayat.Dia tidak tahu, sebenarnya apa yang paling menyakitkan—fakta bahwa Nathan adalah suami orang, atau fakta bahwa ia benar-benar merasa kehilangan saat membaca tulisan itu.Pagi menjelang, mentari London hanya menyinari kamar lewat celah tirai, tanpa menghangatkan. Yara terbangun dari posisi meringkuk, rambutnya acak-acakan, gaun tidurnya kusut.Dia keluar dari kamar. Matanya langsung menoleh ke arah pintu kamar Nathan."Apa dia sudah pergi kerja ya? Huh ..., siapa yang peduli?" gumamnya lirih.Tapi hatinya menolak keras ucapan itu. Ada bagian kecil di sana yang justru bertanya-tanya, apa Nathan sudah lebih baik? Apa demamnya sudah turun?Yara menggeleng cepat, seperti menepis bisikan hatinya sendiri. Dia kembali menyeret ka
Malam sudah larut. Langit di luar jendela apartemen berwarna kelabu gelap, diterangi kelap-kelip lampu kota yang terlihat seperti bintang-bintang palsu.Yara baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih agak basah, namun tubuhnya sudah bersih dan harum. Ia mengenakan gaun tidur panjang bermotif bunga-bunga kecil berwarna pastel. Lembut, seperti dirinya yang saat itu sedang rapuh.Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang sunyi. Tapi pikirannya justru ramai. Ingatan itu datang seperti badai, menyapu habis ketenangan yang sempat ia rasakan sejak Nathan memutuskan pulang dari rumah sakit."Perebut suami orang."Kalimat itu terngiang lagi dan lagi. Perempuan itu, siapa namanya? Yara bahkan tidak tahu. Tapi dia begitu yakin dan menatap Yara seolah Yara adalah penjahat dalam drama murahan.Dan sekarang ..., entah mengapa, Yara baru benar-benar berpikir. Sejak pesta itu, dia tak pernah tahu siapa Nathan sebenarnya. Lelaki itu muncul tiba-tiba, menyelamatk
Malam baru saja tiba, menyelimuti kota dengan sunyi dan remang lampu jalanan yang temaram. Di dalam ruang inap bernuansa netral itu, udara dingin dari pendingin ruangan terasa menusuk kulit, tapi tak seberapa dibandingkan dinginnya suasana hati Yara.Gadis itu duduk menyamping di sofa pojok ruangan sambil mengupas apel. Gerakannya pelan dan penuh kehati-hatian, seolah kulit apel itu bisa pecah jika ia terlalu terburu-buru. Wajahnya datar, tak berseri seperti biasanya. Matanya sayu, dan bibirnya sama sekali tak tertarik untuk sekadar meringis.Sejak pagi, Nathan tidak mengizinkannya keluar ruangan. Semua kebutuhan dikirim langsung ke dalam. Ada saja yang diutus Nathan—perawat, staf rumah sakit, bahkan Adrian pun muncul dua kali hanya untuk menyampaikan hal sepele. Tapi satu hal yang pasti: Nathan tak ingin Yara ke mana-mana.Saat ini, lelaki itu tengah bersandar di ranjang, fokus pada layar ponselnya. Jemarinya sesekali mengetik cepat, mata tajamnya membaca deretan pesan dan laporan da
Langkah kaki Yara terasa berat saat kembali ke ruang inap Nathan. Gelas es coklat yang tadi masih dingin kini mulai mengembun, airnya menetes di jari-jarinya yang gemetar. Pikirannya masih kalut. Wajah wanita tadi, ucapannya, tatapan sinis orang-orang—semuanya seperti terpatri di otaknya.Ketika ia membuka pintu perlahan dan masuk, ruangan itu tampak sepi. Adrian sudah tidak ada.Hanya Nathan di sana, duduk bersandar dengan wajah tenang meski pucat, kabel infus masih menempel di tangannya. Tapi begitu melihat Yara masuk dengan wajah kusut, mata Nathan menyipit. Senyum tipisnya memudar."Yara," panggilnya pelan.Gadis itu menoleh sekilas, lalu berjalan tanpa kata ke kursi di samping ranjang dan duduk. Ia meletakkan gelas es coklat di meja kecil tanpa semangat. Pandangannya kosong, menatap lantai, jemarinya saling meremas satu sama lain.Nathan memperhatikannya. Raut wajahnya ..., tak seperti biasanya. Tak ada celotehan. Tak ada senyum ceria yang biasa membuat ruangan ini terasa hidup.
Langkah kaki Yara terdengar tergesa saat ia keluar dari ruang inap Nathan. Wajahnya masih menyisakan rona merah, entah karena kesal, malu, atau ..., terlalu banyak deg-degan dalam sekali waktu."Ugh!" Yara menggerutu sambil mengepalkan tangan kecilnya, mengabaikan tatapan Nathan saat dia keluar dari ruangan itu. "Kenapa sih dia harus natap aku gitu?! Jantungku barusan kayak ditusuk-tusuk pakai tusuk gigi!" ocehnya lirih.Ia menginjak lantai koridor rumah sakit dengan langkah kesal—atau lebih tepatnya, langkah malu-malu yang coba disamarkan dengan marah-marah."Nyebelin banget .... Padahal lagi sakit, pucat, lemes, tapi kok masih bisa bikin aku meleleh? Gantengnya itu loh, kebangetan. Ih, gangguan hormon ini kayaknya!" gumamnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya ke pipi sendiri yang masih hangat.Yara terus berjalan ke arah kantin rumah sakit, mencoba mengalihkan pikirannya dengan ..., teh hangat? Atau mungkin es coklat? Tapi belum sempat pikirannya tenang, ia menyadari sesuatu yang
Begitu Adrian tiba di apartemen, Yara langsung membuka pintu sebelum pria itu sempat mengetuk. Wajah gadis itu cemas, rambutnya acak-acakan, dan sandal rumah yang ia pakai nyaris terlepas karena terburu-buru. Tanpa menunggu ucapan pembuka, Yara langsung menyerbu dengan kalimat yang membuat Adrian nyaris terbatuk."Aku ikut!" katanya mantap.Adrian sempat tercengang. "Ma—maksud saya .... Nona, saya tidak bisa membawa Anda begitu saja. Tuan Nathan tidak memberi perintah apa pun soal—""Aku tetap ikut!" potong Yara dengan nada keras, membuat Adrian berkedip cepat.Wajah Yara yang biasanya ceria kini begitu serius. "Aku gak peduli soal aturan tidak boleh ke mana-mana atau apalah itu. Nathan pingsan, dan aku harus lihat dia. Kalau tidak, aku bisa gila."Adrian memijat pelipisnya, lalu menghela napas pasrah. Ia tahu akan sulit berargumen dengan seseorang yang keras kepala seperti Nathan, dan ternyata, kekasihnya pun tak kalah keras kepala."Baiklah,”"ucap Adrian pada akhirnya. "Tapi, Anda h