LOGINSepanjang perjalanan menuju lokasi meeting, Rey beberapa kali meliriknya dari sudut mata. Setiap kali Marlina menyadarinya dan menoleh, Rey langsung mengalihkan pandangan pura-pura melihat ke luar jendela.
Saat tiba di lobi hotel tempat pertemuan, Rey berjalan sedikit lebih cepat, lalu tiba-tiba berhenti dan berbalik. "Pegang ini." Lelaki itu menyodorkan jasnya pada Marlina. "Kenapa..." "Karena kau terlihat kedinginan," potong Rey singkat, lalu melangkah lagi tanpa menoleh. Marlina hanya bisa memandang punggungnya sambil menahan senyum kecil. Dia tahu, alasan Rey mengajaknya hari ini mungkin hanyalah cari-cari cara untuk bisa dekat. Tapi lelaki itu terlalu pintar menyamarkannya dengan sikap dingin dan kata-kata singkat. Yang Marlina tidak tahu, di dalam kepala Rey hanya ada satu pikiran. Kalau dia tidak menemukannya di kantor hari ini, Rey bisa gila. Pertemuan dengan klien selesai lebih cepat dari perkiraan. Rey dan Marlina berjalan keluar hotel, tapi begitu pintu otomatis terbuka, suara deras hujan menyambut mereka. "Hebat," gumam Marlina sambil menghela napas. "Payung tertinggal di kantor. Rey meliriknya sebentar, lalu menatap langit yang tengah menangis. Nampak senyum kecil terpancar di wajah tampannya, dia senang bisa terjebak di sini, dengan wanita itu. Mereka berdua berdiri di bawah atap hotel, memperhatikan hujan yang seakan tidak berniat berhenti. "Kalau mau, kita tunggu sebentar," kata Marlina, mencoba terdengar santai. Padahal di kepalanya, hujan ini entah kenapa mengingatkannya pada malam itu. Malam ketika Rey memeluknya di mobil, napasnya berat, dan bibirnya nyaris menyentuhnya. Rey, di sisi lain, sedang berpikir sama sekali tidak profesional. Tetesan air hujan di kaca, udara dingin, dan Marlina di sebelahnya. Menghadirkan gambaran yang seharusnya tidak dia pikirkan di tengah jam kerja. "Tuan, kenapa diam saja?" tanya Marlina. Rey mengerjap, lalu menoleh dengan ekspresi datarnya. "Sedang memikirkan… strategi bisnis." Dalam hati, dia memaki dirinya sendiri. Strategi bisnis apanya? Yang ada strategi mencium kaku di bawah hujan. Membawamu lari ke apartemennya. Lalu... Marlina menahan tawa, melihat tingkah aneh lelaki itu. Menyadari Rey memandangnya sedikit lebih lama dari biasanya. Hatinya mulai berdebar. Dia ingin lepas dari situasi menegangkan ini. "Mau berlari ke parkiran?" "Boleh," jawab Rey cepat. "Tapi kau harus masuk di bawah jas ini." Sebelum Marlina sempat protes, Rey sudah menarik jasnya, melingkarkannya di atas kepala mereka berdua. Saat mereka berlari menembus hujan, jarak di antara mereka terlalu dekat. Begitu sampai di mobil, Marlina tertawa kecil, napasnya masih memburu. Namun tawa itu berhenti ketika menyadari Rey masih menatapnya. Basah, berantakan, dan entah kenapa semakin tampan. Rey membuka mulut, nyaris mengatakan sesuatu. Tapi dia malah menoleh cepat, masuk ke mobil, dan berkata datar, "Cepat masuk. Kita bisa masuk angin." Marlina menutup pintu mobil sambil tersenyum kecil. Baik dia maupun Rey tahu, hujan barusan membawa mereka kembali pada ingatan yang sama. Hanya saja, keduanya terlalu jaim untuk mengakuinya. Perjalanan pulang dari meeting berjalan lancar, sampai mobil Rey tiba-tiba mengeluarkan bunyi aneh dan berhenti begitu saja di pinggir jalan. "Apa-apaan ini?" gumam Rey, memutar kunci kontak lagi, tapi mesin hanya berdecit pelan. Marlina melirik keluar jendela, lalu berkata pelan, "Hmm.. ini dekat rumahku. Kalau mau, kita tunggu hujan reda di sana sambil nelpon bengkel." Rey sempat diam beberapa detik, mempertimbangkan. "Baik. Tapi aku ikut ke dalam, bukan menunggu di mobil." Hujan masih deras saat mereka sampai di rumah Marlina. Wanita itu buru-buru mengambil handuk untuk Rey, tapi lelaki itu malah mengulurkan tangannya dan berkata, "Kau juga basah. Kemarilah." Sebelum Marlina sempat menolak, Rey sudah mengacak-acak rambutnya dengan handuk, membuatnya terkejut. "Tuan Rey! Biarkan aku melakukannya sendiri..." seru Marlina sambil mundur, pipinya memanas. Rey hanya mengangkat alis, lalu duduk santai di sofa, memandangi ruang tamu yang sederhana tapi hangat. "Buatkan teh. Biar aku menunggu di sini." Marlina menggerutu pelan, tapi menuruti. Saat dia kembali dengan dua cangkir teh, Rey meraih cangkirnya, dan jari mereka bersentuhan. Sekejap, keduanya terdiam, saling menatap. Itulah momen yang benar-benar sial, karena bel rumah tiba-tiba berbunyi. Marlina bergegas membuka pintu. "Firda?!" serunya kaget. Sahabatnya itu berdiri dengan payung basah, menatap masuk ke dalam rumah, lalu melihat Rey duduk di sofa sambil memegang handuk di pangkuannya. "Ehh?" Firda memicingkan mata, bibirnya terangkat nakal. "Apa aku mengganggu kalian?" Marlina langsung panik. "Bukan, bukan! Mobil Tuan Rey mogok, dia cuma ikut menduh." Firda melangkah masuk tanpa diminta, menatap mereka bergantian dengan tatapan menyelidik. "Mogok, hujan deras, masuk rumah… lalu duduk berdua di ruang tamu? Hmm, mencurigakan." Rey, yang biasanya selalu jaim, malah menyandarkan punggung dan berkata tenang, "Kebetulan saja. Tapi kau boleh berpikir apa pun." Nada suaranya terlalu santai, seakan sengaja memancing Firda untuk salah paham. Marlina memutar bola matanya. Dalam hati, ia tahu satu hal. Setelah ini, Firda pasti akan menginterogasinya habis-habisan. Firda mengangkat alis tinggi-tinggi. "Oke, kalau begitu aku ikut duduk di sini. Siapa tahu aku dapat tontonan menarik." Marlina memukul bahu sahabatnya, "Firda!" Tapi sahabatnya itu sudah duduk, menyilangkan kaki, memperhatikan mereka seperti penonton bioskop. Setiap kali Rey mengambil teh, Firda memerhatikan tatapan singkatnya pada Marlina. Setiap kali Marlina berdiri mengambil sesuatu, Rey selalu mengikuti gerakannya. Dia merasa ada sesuatu yang janggal dari kedua orang ini. Hujan di luar semakin deras Di dalam, Firda mulai menyusun skenario liar di kepalanya. Kalau ini drama, hujan akan reda, mereka akan saling pandang, lalu melakukan sesuatu yang seru. Marlina yang menyadari tatapan sahabatnya, menunduk cepat, pura-pura sibuk mengaduk teh. Tapi jantungnya berdegup lebih kencang dari suara hujan. Firda tersenyum nakal. Dia tidak tahu pasti apa yang terjadi antara sahabatnya dan bos dingin itu. Tapi satu yang jelas, Rey tidak bersikap biasa pada Marlina. Lelaki yang sangat sulit di dekati oleh siapapun itu, nampak akrab dengan sahabtanya. Hujan di luar mulai berkurang menjadi rintik-rintik. Suasana di ruang tamu Marlina tetap hangat dan sedikit canggung. Firda duduk menyender santai di sofa, menatap Rey seperti wartawan yang sedang mewawancarai narasumber penting. "Jadi, Tuan Rey…" katanya sambil memutar sendok di dalam cangkir, "Anda sering mampir ke rumah pegawai seperti ini?" Rey, yang tengah menyeruput teh, menoleh santai. "Tidak pernah." Tatapannya beralih ke Marlina, menahan senyum. "Ini pertama kali." Firda mengangkat alis, matanya berbinar-binar. "Oh! Pertama kali, ya? Lalu kenapa mau?" Rey menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar. "Karena mobil mogok." Dia berhenti sebentar, lalu menambahkan, "Dan karena yang menawari tempat berteduh itu, Marlina." Marlina yang sejak tadi mencoba pura-pura fokus pada layar ponselnya, langsung melotot kecil. "Iya karena tidak mungkin membiarkan Tuan di luar sendirian." Rey seakan menikmati kegelisahan wanita itu. Dia cukup menyukai cara Firda bertindak. Wanita itu mendukung rencananya. "Kalau boleh jujur, saya jarang lihat anda setileks ini, Tuan Rey. Biasanya di kantor, anda sangat dingin dan jarang sekali bicara." Firda dan Rey saling menatap dengan senyuman kecil di wajah mereka. Sementara Marlina, gelisah setengah mati karena tingkah sahabatnya. Kenapa dia harus terjebak pada situasi seperti ini? "Jadi Tuan rey, sepertinya anda sangat nyaman dekat dengan sekertaris anda. Bukankah begitu?" goda Firda pada atasannya. Rey menanggapi dengan santai, "Iya. Mungkin begitu..."Suara ketukan di pintu terdengar keras di tengah keheningan malam. Marlina mengerjap pelan, pikirannya masih setengah kabur oleh alkohol. Dia menyeret langkah, membuka pintu dengan kepala yang sedikit berdenyut. Dan di sana, berdiri sosok yang paling tidak ingin xia lihat malam itu. Rey. Dengan kemeja putih yang sudah kusut, wajah serius yang diterangi cahaya lampu luar, dan tatapan tajam yang langsung menyapu ke arah dirinya. Rey terdiam sesaat. Pemandangan di hadapannya membuatnya mengembus napas panjang. Rambut Marlina berantakan, matanya sembab, aroma alkohol tajam menyengat udara, rumahnya penuh kekacauan. Dan yang lebih membuat matanya hampir melompat keluar adalah pemandangan syurgawi. Ketika beberapa kacing kemeja wanita itu terbuka cukup banyak, menunjukkan dadanya yang bulat terekspos.Lelaki tampan itu pura-pura terbatuk, lalu memalingkan pandangannya sebentar."Marlina…" ucapnya pelan namun tegas, "Apa yang terjadi padamu?" Marlina tersentak sadar. Dia buru-buru menund
Jalanan sore itu terasa tenang. Langit mulai berganti warna, jingga tipis menghiasi ufuk barat. Marlina melangkah pelan, membiarkan angin sore membelai rambutnya. Karena Firda memilih menghabiskan waktu dengan kekasihnya, kali ini dia pulang sendirian. Sesekali dia mendesah, mengingat wajah bosnya yang akhir-akhir ini terlalu sering mengganggunya. Mulai dari tatapan jahil penuh rahasia, sikapnya yang suka jaim tapi ternyata cerewet, sampai momen-momen memalukan yang tanpa sadar dia ciptakan sendiri. Bibirnya melengkung tipis. Dasar Tuan Rey menyebalkan. Namun senyum itu perlahan menghilang saat langkahnya terhenti. Di seberang jalan kecil yang dia lalui, seorang lelaki berdiri tegak. Tinggi, bahunya bidang, rambut cokelatnya rapi seolah baru dipangkas. Cahaya lampu jalan yang mulai menyala membuat wajahnya terlihat jelas. Lelaki itu tersenyum ramah, senyum yang pernah membuat Marlina jatuh berkali-kali. Hatinya mencelos. "David…" bisiknya tanpa sadar. Lelaki itu melangkah
Keesokan paginya, Marlina berjalan masuk ke kantor dengan langkah sedikit ragu. Baju rapi, rambut tertata, tapi hatinya berantakan seperti tisu bekas. Begitu melewati meja resepsionis, dia langsung menyadari Rey sudah berada di ruangannya. Duduk tegak dengan laptop terbuka, seolah tidak pernah ada hujan, mati lampu, atau ciuman di kamar semalam. Tenang sekali dia, pikirnya. Marlina menghela napas, berusaha menenangkan diri. Pura-pura normal. Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Tidak ada gunanya heboh sendiri. Toh, dia sendiri yang rugi. "Pagi," sapanya lirih saat melewati meja Rey untuk menyerahkan dokumen. Rey hanya menoleh sebentar, mengangguk singkat, tapi jemarinya berhenti mengetik selama satu detik penuh. Tatapan itu, terlalu singkat untuk dibilang istimewa, tapi cukup untuk membuat Marlina merasa seluruh tubuhnya panas. Dan saat itulah Firda datang. Dengan senyum licik seperti kucing yang baru saja menemukan mainan baru. "Heh kadal mesir! Wajahmu kenapa? Merah b
"Silahkan masuk." Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan sabun cuci piring memenuhi ruangan. Rey masuk, mengamati sekeliling dengan tatapan yang terlalu nyaman untuk orang yang katanya 'sekadar singgah'. Marlina membuka kulkas. "Mau minum apa?" "Terserah," jawabnya singkat. Saat Marlina menuang air, Rey mendekat tanpa suara, berdiri di belakangnya. Dia mencondongkan tubuh sedikit, cukup untuk membuat Marlina sadar bahwa jarak mereka terlalu dekat. "Kau selalu sendirian di rumah sebesar ini?", tanyanya pelan. Marlina mencoba fokus ke gelas di tangannya. "Iya. Kenapa?" "Takutnya, ada orang masuk tanpa kau sadari. Mungkin laki-laki." Nada suaranya terdengar serius, tapi tatapannya jelas mengarah ke dirinya sendiri sebagai laki-laki yang tak di undang. Di tengah suasana kikuk itu, hujan mulai turun deras. Rey duduk di sofa, menyandarkan kepala santai, tapi sesekali melirik Marlina yang mondar-mandir membereskan gelas. Dia seperti menikmati pemandangan itu. Wanita ceroboh
"Heh, kadal mesir! Kau gak niat cerita apapun?" Firda menatap tajam sahabatnya. Jarinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Hati wanita itu penuh kecurigaan, melihat tingkah kakunya di hadapan Rey. Marlina menghela napas panjang. "Karena memang gak ada yang perlu diceritain, Fir. Mobilnya mogok, kebetulan dekat rumahku. Ya udah." Firda tersenyum tipis, tatapannya penuh rasa penasaran. Yakin gak ada? pikirnya. Dia sudah cukup lama jadi sahabat Marlina untuk tahu, kalau wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu. "Baiklah," Firda berpura-pura menyerah, tapi dalam hati sudah menyusun rencana. Rencana untuk menjodohkan mereka. Sabtu pagi, halaman belakang gedung kantor ramai oleh pegawai yang bersiap latihan untuk event olahraga internal. Firda sudah datang lebih awal, memastikan semua rencana berjalan mulus. Begitu Rey muncul dengan kaos hitam polos dan celana training. Semua orang langsung melirik bos dingin itu jarang terlihat santai seperti ini. Marlina, yang baru datang
Sepanjang perjalanan menuju lokasi meeting, Rey beberapa kali meliriknya dari sudut mata. Setiap kali Marlina menyadarinya dan menoleh, Rey langsung mengalihkan pandangan pura-pura melihat ke luar jendela.Saat tiba di lobi hotel tempat pertemuan, Rey berjalan sedikit lebih cepat, lalu tiba-tiba berhenti dan berbalik."Pegang ini." Lelaki itu menyodorkan jasnya pada Marlina."Kenapa...""Karena kau terlihat kedinginan," potong Rey singkat, lalu melangkah lagi tanpa menoleh.Marlina hanya bisa memandang punggungnya sambil menahan senyum kecil. Dia tahu, alasan Rey mengajaknya hari ini mungkin hanyalah cari-cari cara untuk bisa dekat. Tapi lelaki itu terlalu pintar menyamarkannya dengan sikap dingin dan kata-kata singkat.Yang Marlina tidak tahu, di dalam kepala Rey hanya ada satu pikiran. Kalau dia tidak menemukannya di kantor hari ini, Rey bisa gila. Pertemuan dengan klien selesai lebih cepat dari perkiraan. Rey dan Marlina berjalan keluar hotel, tapi begitu pintu otomatis terbuka, su







