Share

Permainan Berbalik Arah

Penulis: Nona Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-14 00:24:17

Sejak beberapa hari terakhir, Marlina mulai sadar bahwa Rey selalu punya cara untuk menyentuhnya, entah sengaja atau tidak. Dia memutuskan untuk tidak memberi reaksi. Jika Rey ingin bermain, dia tidak akan menjadi pihak yang kalah.

Pagi ini, saat Rey memanggil ke ruangannya, Marlina hanya berdiri tegak di depan meja. Tidak ada senyum, tidak ada tatapan canggung seperti biasanya.

"Laporan yang kemarin sudah di revisi, Tuan Rey," katanya datar, menaruh berkas di mejanya.

Rey mengamati ekspresinya. "Tidak mau duduk? Atau... mau duduk di tempat lain?"

"Tidak perlu, masih banyak pekerjaan."

Jawaban cepat itu membuatnya terdiam sesaat. Ada nada dingin yang tidak biasa di suara Marlina.

Siang harinya, Rey melewati area kerja Marlina dan melihatnya tertawa bersama salah satu pegawai pria dari divisi lain. Bukan tawa sopan, tapi tawa yang lepas. Sesuatu di dadanya mengeras. Beberapa menit kemudian, dia berdiri di samping meja Marlina.

“Selesai ngobrolnya?” tanyanya pelan, tapi nadanya tajam.

Marlina menoleh, kaget dengan jarak mereka yang begitu dekat.

“Hanya membicarakan pekerjaan,” jawabnya cepat.

Rey tidak langsung pergi. Dia meraih pulpen di meja Marlina, padahal pulpen itu jelas bukan miliknya. Jemarinya sengaja menyentuh jemari wanita itu. Dengan ekspresinya dingin, seperti biasa.

"Aku tidak suka melihat sekretarisku terlalu dekat dengan pegawai lain. Apalagi pria."

Nada suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. Marlina mengerjap, tidak tahu harus marah atau merasa terintimidasi.

"Kalau begitu, Tuan Rey, berhentilah membuat semua orang salah paham dengan sikap Tuan kepada saya," balasnya, mencoba tegas.

Mata Rey menatapnya dalam, bibirnya sedikit terangkat.

"Oh, jadi kau sadar?"

Ucapan itu membuat Marlina tercekat. Rey tidak menunggu jawaban, da berbalik, meninggalkan Marlina yang kini semakin sulit mengendalikan detak jantungnya. Wanita itu kesal, mengacak-ngacak dokumen yang sudah tertata rapi.

"Manusia itu. Awas saja kau!"

Marlina berdiri di tengah taman yang penuh bunga, angin sore berhembus lembut.

Di depannya, Rey dengan jas hitam rapi dan wajah yang biasanya dingin, menatapnya hangat.

"Marlina..." suaranya rendah, hampir bergetar. "Aku menyukaimu."

Marlina membeku. Hatinya berdegup begitu keras, seolah semua udara di dunia menghilang.

"Tuan, jadi sikapmu yang menyebalkan itu. Karena Tuan menyukai wanita sepertiku?"

Senyum lelaki itu melembut, lalu dia meraih tangan Marlina, menggenggamnya erat.

"Mulai sekarang, jangan jauh dariku."

Jantung Marlina nyaris meledak. Dia jngin menjawab, ingin memeluk Rey, ingin mencium bibirnya yang seksi.

"MARLINA!"

Wanita itu tersentak bangun. Pandangannya kabur sesaat sebelum menyadari sesuatu yang membuat darahnya naik ke wajah. Dia masih di meja kerjanya.

Kepala staf dan beberapa pegawai berdiri mengelilinginya. Bahkan Rey ada di sana, memandang dengan tatapan sulit dibaca.

"Kau… mengigau," bisik salah satu rekan kerjanya sambil menahan tawa.

Marlina mengerutkan kening. "Mengigau apa?"

Mereka saling pandang, lalu serempak menjawab, "Tuan Rey, sikapmu menyebalkan..."

Wajah Marlina panas seperti terbakar. Sementara Rey yang biasanya datar mengangkat sebelah alisnya, lalu berjalan kembali ke ruangannya tanpa sepatah kata.

Marlina menunduk, menutupi wajah dengan kedua tangan.

Ya Tuhan... kenapa mimpinya harus berakhir seperti ini?

Dan lebih buruk lagi, dia sadar satu hal yang membuatnya makin ingin menghilang dari bumi. Rey tidak mungkin sungguhan menyukainya.

"Mimpi sialan!" Menjambak rambutnya sendiri. "Ah! kenapa harus di kantor. Arghhhh....!"

Marlina selalu mengira hidupnya akan berjalan lurus, rapi, dan aman. Bekerja di perusahaan besar, punya bos yang tegas tapi profesional, dan menjaga jarak agar tidak terjebak urusan pribadi di tempat kerja.

Tapi semua keyakinan itu mulai goyah, sejak malam itu.

Malam ketika lelaki tampan, dingin, dan mustahil untuk tidak diperhatikan itu, menciuminya di antara kesadaran dan mabuk.

Rey. Sosok yang setiap langkahnya memikat perhatian, setiap tatapannya bisa membuat siapa pun merasa diperhitungkan, dan setiap kata-katanya meninggalkan bekas. Terlalu tinggi untuk digapai, terlalu sempurna untuk dimiliki.

Marlina tahu, dia seharusnya menjaga jarak. Namun semakin ketika mencoba, semakin lelaki itu mendekat. Mengganggunya dengan sikap yang pura-pura acuh, tapi tatapannya selalu mengikat. Dia sadar betul, Rey adalah lelaki yang bisa membuat siapa pun jatuh hati.

Sayangnya, dia juga sadar… Rey bukanlah lelaki yang akan memilihnya.

"Kau tidak turun?"

Marlina tersadar dari lamunan panjangnya. Menatap sang bos yang sejak tadi menunggunya di luar mobil. Hari ini terasa sangat berat. Mimpi memalukan, rapat yang penuh tekanan, lalu sekarang dia melamun ketika sang bos menunggunya untuk turun.

"Maaf."

Wanita itu turun dsri mobil, dengan ekspresi tidak biasa. Rey merasakan sesuatu yang berbeda, berusaha menelusurinya. Namun, pikirannya malah tertuju pada lelaki bernama David.

"Apa ini ulahnya?" tanyanya spontan.

Marlina menyipitkan matanya, "Ulah siapa?"

"Lelaki itu. Lelaki yang fotonya masih kau simpan di rumahmu."

Mata lelaki itu nampak gelisah, menunggu jawaban Marlina. Namun dia menanggapinya dengan tawa kecil, yang membuat Rey sedikit kesal.

"Kenapa, Tuan terus melewati batas? Itu... urusan pribadi."

Sebelum Marlina sempat menjauh, Rey menarik pergelangan tangannya kuat-kuat. Marlina tersentak, nyaris kehilangan keseimbangan, dan dalam sekejap dia sudah terperangkap di dada Rey. Jarak mereka begitu dekat, napas Rey hangat di wajahnya, aroma parfumnya membuat kepala Marlina berputar.

"Apa dia masih berarti untukmu?" bisik Rey rendah.

Marlina membeku, tidak tahu harus menjawab apa.

Rey menatap matanya lekat-lekat, jari-jarinya masih mencengkeram lengannya.

Perasaan cemburu, mengendalikan pikiran lelaki itu. Rey ingin menyingkirkan David dari pikiran Marlina. Mereka saling menatap. Kepalanya sedikit miring, mendekat, dan ujung hidungnya hampir menyentuh milik Marlina. Tatapannya berubah menjadi sesuatu yang berbahaya. Bercampuran marah, cemburu, dan sesuatu yang lain.

Namun tepat sebelum bibir mereka bersentuhan, Marlina menahan dadanya.

"Tuan Rey… lepaskan saya!"

Rey terdiam beberapa detik, lalu melepaskannya perlahan, kembali memasang wajah datarnya. Sementara Marlina masih mematung di kursinya, dengan jantung berdegup tak karuan.

Sejak kejadian malam itu di mobil, Marlina tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan Rey yang menariknya begitu dekat, aroma parfum yang samar, dan tatapan matanya yang nyaris membuatnya lupa bernapas. Terus berputar di kepala.

Kenapa dia melakukannya?

Kenapa terlihat seperti cemburu?

Atau… hanya sebuah naluri seorang pria?

Di kantor keesokan harinya, Marlina berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, begitu pintu lift terbuka dan Rey keluar dengan jas hitam rapi, napasnya seperti tertahan.

Lelaki itu berjalan melewatinya tanpa ekspresi, hanya sedikit mengangguk, weolah malam itu tidak pernah terjadi.

Sepanjang hari, Rey sama sekali tidak mengajaknya bicara. Tidak ada godaan kecil, tidak ada komentar sinis yang biasanya selalu dia lontarkan. Hanya diam, dan justru itulah yang membuat Marlina gelisah setengah mati.

Di jam makan siang, Marlina melirik ke arah ruang kaca besar tempat Rey bekerja. Dia sedang berbicara dengan klien, wajahnya serius dan karismatik seperti biasa.

Astaga… dia memang terlalu tampan, gumamnya dalam hati, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan.

Namun, ketika dia kembali ke mejanya, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya.

'Jangan terlalu dekat dengan pegawai pria di kantor ini. Aku tidak suka.'

Marlina membeku. Tangannya gemetar memegang ponsel, dan jantungnya berdetak semakin cepat. Rey ternyata memperhatikan. Tapi kenapa dia masih pura-pura dingin?

Marlina menggigit bibirnya. Satu hal yang dia tahu pasti, lelaki itu bukan sekadar bos.

Ia adalah badai yang perlahan-lahan mengacaukan seluruh pertahanan hatinya.

"Kita pergi ke pertemuan klien siang ini."

Wanita mengernyit, "Bukankah biasanya pak Edo yang mengurus bagian itu?"

"Aku tidak tanya siapa. Aku bilang kau harus ikut ke pertemuan itu"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Kejadian Memalukan Saat Mabuk

    Suara ketukan di pintu terdengar keras di tengah keheningan malam. Marlina mengerjap pelan, pikirannya masih setengah kabur oleh alkohol. Dia menyeret langkah, membuka pintu dengan kepala yang sedikit berdenyut. Dan di sana, berdiri sosok yang paling tidak ingin xia lihat malam itu. Rey. Dengan kemeja putih yang sudah kusut, wajah serius yang diterangi cahaya lampu luar, dan tatapan tajam yang langsung menyapu ke arah dirinya. Rey terdiam sesaat. Pemandangan di hadapannya membuatnya mengembus napas panjang. Rambut Marlina berantakan, matanya sembab, aroma alkohol tajam menyengat udara, rumahnya penuh kekacauan. Dan yang lebih membuat matanya hampir melompat keluar adalah pemandangan syurgawi. Ketika beberapa kacing kemeja wanita itu terbuka cukup banyak, menunjukkan dadanya yang bulat terekspos.Lelaki tampan itu pura-pura terbatuk, lalu memalingkan pandangannya sebentar."Marlina…" ucapnya pelan namun tegas, "Apa yang terjadi padamu?" Marlina tersentak sadar. Dia buru-buru menund

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Bayangan Masa Lalu

    Jalanan sore itu terasa tenang. Langit mulai berganti warna, jingga tipis menghiasi ufuk barat. Marlina melangkah pelan, membiarkan angin sore membelai rambutnya. Karena Firda memilih menghabiskan waktu dengan kekasihnya, kali ini dia pulang sendirian. Sesekali dia mendesah, mengingat wajah bosnya yang akhir-akhir ini terlalu sering mengganggunya. Mulai dari tatapan jahil penuh rahasia, sikapnya yang suka jaim tapi ternyata cerewet, sampai momen-momen memalukan yang tanpa sadar dia ciptakan sendiri. Bibirnya melengkung tipis. Dasar Tuan Rey menyebalkan. Namun senyum itu perlahan menghilang saat langkahnya terhenti. Di seberang jalan kecil yang dia lalui, seorang lelaki berdiri tegak. Tinggi, bahunya bidang, rambut cokelatnya rapi seolah baru dipangkas. Cahaya lampu jalan yang mulai menyala membuat wajahnya terlihat jelas. Lelaki itu tersenyum ramah, senyum yang pernah membuat Marlina jatuh berkali-kali. Hatinya mencelos. "David…" bisiknya tanpa sadar. Lelaki itu melangkah

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Deja Vu

    Keesokan paginya, Marlina berjalan masuk ke kantor dengan langkah sedikit ragu. Baju rapi, rambut tertata, tapi hatinya berantakan seperti tisu bekas. Begitu melewati meja resepsionis, dia langsung menyadari Rey sudah berada di ruangannya. Duduk tegak dengan laptop terbuka, seolah tidak pernah ada hujan, mati lampu, atau ciuman di kamar semalam. Tenang sekali dia, pikirnya. Marlina menghela napas, berusaha menenangkan diri. Pura-pura normal. Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Tidak ada gunanya heboh sendiri. Toh, dia sendiri yang rugi. "Pagi," sapanya lirih saat melewati meja Rey untuk menyerahkan dokumen. Rey hanya menoleh sebentar, mengangguk singkat, tapi jemarinya berhenti mengetik selama satu detik penuh. Tatapan itu, terlalu singkat untuk dibilang istimewa, tapi cukup untuk membuat Marlina merasa seluruh tubuhnya panas. Dan saat itulah Firda datang. Dengan senyum licik seperti kucing yang baru saja menemukan mainan baru. "Heh kadal mesir! Wajahmu kenapa? Merah b

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Kenangan Dalam Gelap

    "Silahkan masuk." Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan sabun cuci piring memenuhi ruangan. Rey masuk, mengamati sekeliling dengan tatapan yang terlalu nyaman untuk orang yang katanya 'sekadar singgah'. Marlina membuka kulkas. "Mau minum apa?" "Terserah," jawabnya singkat. Saat Marlina menuang air, Rey mendekat tanpa suara, berdiri di belakangnya. Dia mencondongkan tubuh sedikit, cukup untuk membuat Marlina sadar bahwa jarak mereka terlalu dekat. "Kau selalu sendirian di rumah sebesar ini?", tanyanya pelan. Marlina mencoba fokus ke gelas di tangannya. "Iya. Kenapa?" "Takutnya, ada orang masuk tanpa kau sadari. Mungkin laki-laki." Nada suaranya terdengar serius, tapi tatapannya jelas mengarah ke dirinya sendiri sebagai laki-laki yang tak di undang. Di tengah suasana kikuk itu, hujan mulai turun deras. Rey duduk di sofa, menyandarkan kepala santai, tapi sesekali melirik Marlina yang mondar-mandir membereskan gelas. Dia seperti menikmati pemandangan itu. Wanita ceroboh

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Rencana Firda

    "Heh, kadal mesir! Kau gak niat cerita apapun?" Firda menatap tajam sahabatnya. Jarinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Hati wanita itu penuh kecurigaan, melihat tingkah kakunya di hadapan Rey. Marlina menghela napas panjang. "Karena memang gak ada yang perlu diceritain, Fir. Mobilnya mogok, kebetulan dekat rumahku. Ya udah." Firda tersenyum tipis, tatapannya penuh rasa penasaran. Yakin gak ada? pikirnya. Dia sudah cukup lama jadi sahabat Marlina untuk tahu, kalau wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu. "Baiklah," Firda berpura-pura menyerah, tapi dalam hati sudah menyusun rencana. Rencana untuk menjodohkan mereka. Sabtu pagi, halaman belakang gedung kantor ramai oleh pegawai yang bersiap latihan untuk event olahraga internal. Firda sudah datang lebih awal, memastikan semua rencana berjalan mulus. Begitu Rey muncul dengan kaos hitam polos dan celana training. Semua orang langsung melirik bos dingin itu jarang terlihat santai seperti ini. Marlina, yang baru datang

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Kenangan Saat Hujan

    Sepanjang perjalanan menuju lokasi meeting, Rey beberapa kali meliriknya dari sudut mata. Setiap kali Marlina menyadarinya dan menoleh, Rey langsung mengalihkan pandangan pura-pura melihat ke luar jendela.Saat tiba di lobi hotel tempat pertemuan, Rey berjalan sedikit lebih cepat, lalu tiba-tiba berhenti dan berbalik."Pegang ini." Lelaki itu menyodorkan jasnya pada Marlina."Kenapa...""Karena kau terlihat kedinginan," potong Rey singkat, lalu melangkah lagi tanpa menoleh.Marlina hanya bisa memandang punggungnya sambil menahan senyum kecil. Dia tahu, alasan Rey mengajaknya hari ini mungkin hanyalah cari-cari cara untuk bisa dekat. Tapi lelaki itu terlalu pintar menyamarkannya dengan sikap dingin dan kata-kata singkat.Yang Marlina tidak tahu, di dalam kepala Rey hanya ada satu pikiran. Kalau dia tidak menemukannya di kantor hari ini, Rey bisa gila. Pertemuan dengan klien selesai lebih cepat dari perkiraan. Rey dan Marlina berjalan keluar hotel, tapi begitu pintu otomatis terbuka, su

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status