ini bab yang 1 lagi yahhh akak semuanya đ€đđ» jangan lupa tinggalkan komentar like vote đđ» terima kasih đ„š
Setelah terus saja diterpa badai, akhirnya matahari terlihat. Kayden bisa melihat ayahnya yang pagi itu berdiri di dalam kamar yang ditinggalinya.Beliau sedang berdiri memandangi tanaman dari Liora yang ditempatkannya di dekat jendela, dengan seulas senyum yang penuh kebanggaan karena Juniper itu tumbuh semain cantik.Dan karena mendengar suara langkahnya, Tuan Owen menoleh pada Kayden yang kemudian berdiri di sampingnya.âMau pergi?â tanya Tuan Owen pada anak lelakinya yang masih tampak murung.âIya.ââKe mana kamu akan mencari Liora hari ini, Kayden?ââDi rumah yang disewakan di sekitar lokasi pemakaman Mama Marry,â jawab Kayden. âAku pikir mungkin Liora ingin selalu dekat dengan Mama Marry, jadi dia bisa saja menyewa rumah yang ada di sana, âkan? Terdengar konyol, tetapi tidak ada salahnya mencoba.âTuan Owen mengangguk menyetujuinya. Beliau menghadapkan tubuhnya pada Kayden yang sepasang matanya mengarah lurus pada Juniper yang daun-daun kecilnya yang terlihat berkilauan diterpa
âKenapa kamu setega itu, Kayden?!â tanya Nyonya Rose dengan suaranya yang gemetar. âBagaimana kamu bisa mengatakanââ âKalau memang dia terkena kanker, minta dia menunjukkan bukti pengobatannya selama di Berlin. Dan pastikan pada rumah sakit terkait apakah benar itu hasil diagnosanya, atau hanya sebuah rekayasa.â Kayden memotong kalimat sang Ibu tapa peduli beliau akan mengatakan apa. âKaydenââ âDia bisa memanipulasi kita semua dengan wajah manisnya selama ini, berbohong untuk menarik simpati adalah keahliannya,â tukasnya kemudian merangkul bahu Tuan Owen untuk pergi dari sana. Kayden tak menoleh ke belakang, tak ingin tahu juga apa yang terjadi di lantai ruang keluarga Baldwin itu. Tapi dari kepanikan dan carut-marut yang tiba di indera pendengarnya, sepertinya Julia masih belum bangun. âBagaimana kalau dia betulan sakit, Kayden?â tanya Tuan Owen saat mereka telah tiba di teras. âKalau memang sakit ya berobat, Pa. Tidak perlu bersandiwara,â jawab Kayden dengan tanpa bebannya. T
Julia bergeming, semua kata yang terbiasa diucap dan didapatkannya sepanjang ia hidup seakan meluap begitu saja. âMana mungkin kamu mau mengakui itu, Julia,â kata Kayden, memperdengarkan tawa lirihnya. Kemudian ia menoleh pada orang tuanya Julia dan juga ibunya sendiri yang dari wajah mereka semua masih tak bisa menerima kenyataan bahwa wanita yang mereka puja sebagai wanita paling baik itu menyimpan rahasia gelap. âKamu mengarang semua itu karena sakit hati Liora pergi?â tanya Nyonya Rose. Yang anehnya justru Kayden sama sekali tidak kaget bahwa ibunya masih akan terus membela Julia. Beliau sudah terlalu lama dimanipulasi Julia, disuguhi wajah manis dan tuturnya yang lembut. Ucapan Kayden yang membuat keburukannya terekspos tentu akan ditepisnya dengan seribu alasan. âMengarang? Saat ada saksi hidup yang menyaksikan itu semua?â Sudut mata Kayden mengarah pada Evan yang menunduk sembari menahan senyumnya. Sedetik kemudian barulah pemuda itu mengangkat wajahnya dan memandang Jul
.... Kayden telah mendengar dari Evan yang melaporkan selesainya tugas ia mengusir Julia pada pagi hari berikutnya. Ia tengah duduk di dalam kamar miliknya dengan kepala yang pening, sisa mabuk semalam yang masih belum bisa teratas sekalipun ia meminum pereda mabuk. âSaya sudah mencari tahu tentang pria yang dibawa masuk oleh Julia semalam, Tuan Kayden. Tetapi sepertinya dia ketakutan dengan siapa dia berhadapan dan pergi dari tempat yang dia tinggali,â ucap Evan yang berdiri di dekat Kayden. Kedua tangannya ada di belakang tubuhnya, seolah itu adalah sikap tenang tetapi juga waspada. Ia siap dengan apapun yang diminta oleh Kayden ke depannya. âDia teman kuliahnya Julia, dari informasi yang saya dapatkan dari beberapa teman Julia, mereka dekat sejak satu tahun terakhir. Saya akan mencarinya lagi dan memberi pelajaran padanya.â Kayden tak menjawab. Ia hanya tertunduk, diam, tanpa suara tetapi helaan napasnya membuat Evan justru bisa merasakan kehancuran yang tengah dipikulnya. âTi
âTuan Kayden?!â panggil Evan yang berlari menghampiri Kayden yang berdiri di bawah hujan yang mendadak jatuh di atas langit Bordeaux malam itu. Ia menggigil saat Tuannya itu melepas jas yang ia kenakan, membantingnya ke halaman. Tanpa kata, tetapi riak kemarahannya bisa dirasakan oleh Evan yang lalu meraih lengannya. Setidaknya untuk sementara ini Kayden harus berteduh. âBrengsek,â umpat Kayden sembari melepaskan tangannya dari cengkeraman Evan. âMaaf,â ucap Evan, menundukkan kepalanya di hadapan Kayden yang tubuh dan pakaiannya hampir basah kuyup. âBukan kamu.â Kayden mendorong napasnya dengan kasar. âSeret keluar perempuan yang tinggal di apartemenku itu secepatnya, Evan Lee!â âTiba-tiba saja?!â Keterkejutan Evan membumbung menyentuh lampu chandelier yang bergantung di lobi. âApa yang terjadi, Tuan? Diaââ Evan berhenti bicara, untuk beberapa saat terhening. Mengingat kemarahan Kayden yang seperti akan membunuh orang, sepertinya Evan bisa menebak duduk perkaranya. Ia urung bert
*** Enam bulan yang lalu, anniversary ke-dua Kayden dan Julia.*** .... Untuk merayakan genapnya dua tahun hubungannya dengan Julia, malam hari itu Kayden meminta Evan menepikan mobilnya di sebuah toko bunga yang terkenal di Bordeaux, Prancis. Kota yang sudah beberapa lama ini ia tinggali selama Kayden membangun anak agensi milik Evermore yang menanungi artis kenamaan Kota Mode ini. Sebuah buket bunga mawar merah berukuran besar yang ia bawa dengan hati-hati saat keluar dari Coeur de Roseânama toko bunga tersebutâyang menyaksikannya mendongakkan wajah ke atas, menatap langit Bordeaux yang tampaknya sedikit tidak bersahabat malam itu. âKita pergi sekarang, Evan,â pinta Kayden. âBaik, Tuan.â Evan mengemudikan mobilnya untuk menuju ke apartemen milik keluarga Baldwin yang Kayden pinjamkan pada Julia selama gadis itu menempuh pendidikan lanjutannya. Menengok sedikit lebih jauh, Kayden bertemu dengan Julia karena rupanya kedua orang tua mereka saling terhubung. Dari sekadar pertemuan