Liora terdiam cukup lama. Meski ia tahu semua yang dikatakan oleh Kayden itu sepenuhnya adalah kebenaran, tapi rasanya semua itu seperti sebuah penghinaan baginya.
Napas Liora seakan berhenti di tenggorokan, harapan-harapan yang tadi sempat bergema di dalam hatinya bahwa setidaknya akan ada sedikit ‘keadilan’ setelah semalam hampir ditangkap oleh preman bayaran Adrian itu seketika sirna.
Lagipula apa yang ia harapkan sekarang? Adrian adalah keponakannya, bukankah sebagai paman tentu Kayden akan membelanya sekalipun tahu Adrian yang bersalah?
“Semakin cepat kamu meminta maaf, itu akan semakin baik,” ucap Kayden saat sepasang mata Liora telah berair. “Karena jika tidak, agensi bisa memutus kerja sama denganmu kapanpun, Liora Serenity!”
“Putus saja!” jawab Liora tepat setelah Kayden selesai bicara. “Tidak banyak kerja sama yang kita lakukan. Jadi memutus kerja sama dengan saya bukanlah sesuatu yang sulit. Saya tidak akan meminta maaf karena Adrian memang bersalah,” tukasnya bersikeras pada pendapatnya.
Maniknya yang terasa panas menatap Kayden penuh kebencian, tapi pria itu tentu tak peduli.
Ia justru memperdengarkan tawa lirihnya dan menyeringai, “Selain keras kepala, sepertinya kamu juga tidak bisa berpikir cerdas.”
Liora bergeming, bibir gadis itu terbungkam tanpa memberi jawaban pada Kayden.
“Jadi apa yang ingin kamu sampaikan dengan datang menemuiku?” tanyanya setelah beberapa detik kebisuan berlalu. “Katakan!”
Liora menggeleng, “Tidak jadi,” jawabnya singkat.
“Fine. Kamu boleh keluar kalau begitu.”
Liora bengun dari duduknya dengan menahan air mata. Ia pergi meninggalkan Kayden tetapi saat mereka telah dipisahkan oleh beberapa langkah, Liora berhenti.
Ia menoleh pada Kayden dan dengan suaranya yang serak mengatakan, “Jangan karena kita pernah tidur bersama lantas Anda bisa melakukan sesuatu sesuka hati Anda seperti ini, Tuan Kayden,” ucapnya. “Semalam itu tidak berarti apapun bagi saya!”
Liora mendapati ekspresi wajah Kayden yang berubah. Yang meski tak kentara, tapi ia tahu bahwa pria itu pasti tak suka dengan kalimat Liora yang menyinggung soal apa yang mereka lakukan semalam.
Mata Kayden tampak menggelap dengan bibir yang mengatup. Dan sebelum terjadi perdebatan lain yang menguras hatinya, Liora memutuskan untuk pergi dari sana.
Ia keluar dari ruang Presdir dengan dada yang terasa sesak.
Padahal ia sudah berharap agar tak pernah bertemu dengan Kayden lagi.
Namun takdir malah menyeretnya dalam situasi yang lebih pelik karena pria itu muncul sebagai Presdir di tempat ia bekerja, memintanya meminta maaf akan sesuatu yang bukan menjadi salahnya dan bersikap seolah-olah ia memiliki hidup Liora.
‘Aku benci pria itu!’
***
Beberapa hari berlalu, Liora kemudian tahu dari Freya bahwa Kayden adalah presdir baru di Evermore. Tuan Owen yang lanjut usia sepertinya memilih untuk pensiun dan memberikan jabatan itu kepada anak bungsunya.
Alasan kenapa Kayden yang sebelumnya ada di luar negeri tiba-tiba ada di kota ini adalah untuk mewarisi bisnis tersebut.
Tapi lupakan sejenak tentang Kayden, sebab ada hal lain yang membuat Liora tertekan daripada kemunculan pria itu di Evermore.
Ibunya Adrian, kemarin Liora tak sengaja bertemu dengan wanita paruh baya itu dan beliau marah besar kepadanya. Ucapannya yang menusuk membekas di dalam hati Liora.
‘Setelah membuat reputasi Adrian hancur, jangan pernah berpikir lagi kamu bisa masuk lagi ke kehidupan anakku atau menjadi keluarga kami,’ ucap beliau kala itu dengan wajah yang mengeras. ‘Kami tidak akan pernah menerima wanita jahat sepertimu sebagai menantu, Liora.’
Kebencian yang ditujukan untuknya datang bertubi-tubi. Tak hanya dari keluarga Adrian saja, tetapi juga dari para penggemar pria itu.
Ujaran kebencian menjamur di dunia maya, mengambil alih kolom komentar. Di mana ada foto Liora, maka bisa dipastikan ratusan—atau bahkan mungkin ribuan—hujatan dialamatkan untuknya.
[Liora sengaja membuat Adrian terlihat buruk karena selama ini tidak ada yang mengenalnya.]
[Makanya dia menuduh Adrian berselingkuh karena dengan begitu namanya akan naik.]
[Foto-foto sekarang bisa saja dimanipulasi, tapi kelicikan Liora itu adalah sesuatu yang asli.]
[Sebaiknya dia mati saja agar tidak mengganggu Adrian lagi!]
Saat membaca semua itu … Liora akhirnya tahu bahwa rasa suka seseorang terhadap sesuatu bisa saja membuat mereka menepis kebenaran.
Padahal foto yang diunggahnya itu jelas menunjukkan Adrian bersama dengan wanita lain, tapi masih belum cukup membuat para penggemar pria itu terbuka matanya.
Semua kalimat itu membuatnya berpikir, ‘Haruskah aku keluar saja dari agensi yang sama dengan Adrian?’
Tapi ia bimbang, sebab jika ia keluar dari agensi ia pasti dituntut untuk membayar denda.
Saat Liora mengatakan hal itu pada Freya, manajernya itu mengatakan, ‘Situasinya akan berbeda jika agensi yang memutuskan hubungan kerja sama, Liora. Mereka bisa berdalih aktris tidak berperilaku baik atau melakukan sesuatu yang merugikan sehingga mereka harus memutus kerja sama.’
Liora tak memiliki uang sebanyak itu untuk membayar denda yang jumlahnya pasti fantastis. Ketimbang membayar denda, ada hal lain yang lebih ia prioritaskan.
Yakni ibunya yang tengah dirawat di rumah sakit jiwa. Ibunya yang malang itu mengalami depresi berat setelah bercerai dengan ayahnya.
Karena beberapa waktu belakangan beliau memburuk dengan lebih sering mengamuk dan melukai dirinya sendiri, Liora terpaksa memasukkannya ke rumah sakit jiwa.
Hal itu membuatnya menyesal, mengapa saat pertemuannya dengan Kayden di ruang Presdir itu bibirnya dengan mudah mengatakan tak apa jika kerja samanya dengan Evermore putus. Ia tak ingin hal itu terjadi sebab ia masih membutuhkan pekerjaan—sekalipun itu dalam skala kecil—untuk terus menyokong pengobatan ibunya.
Ia resah. Bagaimana jika nanti Kayden benar-benar memutus kontrak dengannya?
Apalagi saat Liora menjenguk sang Ibu kemarin, beliau belum menunjukkan kemajuan yang pesat. Yang artinya ... keberadaan sang Ibu di dalam sana masih lama.
Dengan langkah kakinya yang terasa berat, malam hari ini Liora berhenti di dalam sebuah hall.
Dalam balutan gaun berwarna putih mutiara, ia hadir di pesta penyambutan Kayden sebagai presdir baru Evermore.
Tadinya ia tak ingin hadir mengingat situasinya yang tak kondusif. Tapi Freya memintanya untuk datang karena jika tidak, ia bisa dianggap tak menghormatinya.
Di antara keramaian itu Liora berdiri seorang diri, memilih untuk tidak bergabung dengan aktris atau aktor lain di bawah naungan Evermore yang datang. Ia menjadi pengamat, atau sekadar membalas sapaan mereka hingga sepasang matanya menangkap kedatangan seorang pria yang kemunculannya menyita perhatian.
Kayden.
Sejak ia memasuki hall, Liora merasa pria itu seketika bisa menemukannya. Iris gelapnya menerpa Liora padahal mereka dipisahkan oleh sekian meter jarak.
Jantungnya berdebar kencang saat Liora menyadari tuxedo yang dikenakan oleh Kayden sangat mirip dengan yang ia ingat malam itu dilucutinya di atas ranjang hotel sebelum mereka menghabiskan satu malam yang panas.
‘Apa dia ingin mengingatkanku dengan yang malam itu kami lakukan?’ tanya Liora dalam hati saat pria itu menoleh ke arah lain.
Bibirnya terlihat merekahkan senyuman saat Kayden menyambut seorang gadis yang kemudian melingkarkan tangannya di lengan pria itu.
‘Siapa perempuan itu?’ Benak Liora mulai dipenuhi tanya.
“Wah! Tuan Kayden membawanya ke sini?” ucap salah seorang wanita dari belakangnya seolah menjawab tanya di dalam hati Liora.
“Aku dengar mereka akan segera menikah. Tunangannya Tuan Kayden sangat cantik.”
Mendengar itu, perut Liora tiba-tiba membeku.
‘Tunangan?’ ulangnya dalam hati. ‘Kayden sudah memiliki tunangan?!’
….
Hujan yang turun pada pagi itu bukan hanya menjatuhkan air, tetapi juga membawa serta ribuan jarum yang menghujam siapapun yang berdiri di bawahnya.Memberi mereka kelukaan yang besar saat menatap mata berair Kayden yang diluluh-lantakkan badai.Ia tidak pernah terlihat sehancur itu, ia selalu membawa dirinya tegas dan tetap mengangkat dagu.Tapi pagi ini, sepertinya ia tak peduli dengan bagaimana orang akan memandangnya. Harga dirinya, egonya, statusnya, bahkan ... hidupnya sendiri.Ia hanya ingin bertemu dengan Liora, Liora seorang.“Berdiri!” desak Tuan Royan. Suaranya sedikit meninggi, mendesak Kayden yang terlihat sangat menyedihkan.“Saya tidak akan berdiri sebelum Anda mempertemukan saya dengan Liora.”Nyonya Jessie terlihat selangkah mendekat, matanya sudah basah saat mengatakan, “Kita bicarakan itu, tapi tolong jangan seperti ini, Nak ....”Nyonya Jessie melihatnya bukan sebagai Kayden Baldwin yang berkuasa, tetapi sebagai anak lelakinya yang sedang patah hati.Beliau menatap
“Perlihatkan padaku fotonya!” pinta Kayden, salah satu tangannya terarah ke depan dengan tidak sabar.Evan menyerahkan ponselnya pada Kayden yang menerimanya sembari berjalan meninggalkan tempat ia berdiri semula.Tanpa bertanya pun Evan tahu akan ke mana mereka pergi. Ke Echelon Health Hospital.Kayden melangkah dengan gegas, sementara matanya terarah ke layar ponsel yang menunjukkan foto seorang perempuan berambut panjang yang diikat dengan pita berwarna putih, perempuan yang sangat cantik meski foto itu hanya diambil dari samping.Liora ... gadis dalam foto itu benar adalah Liora.Ia tampak sempurna dalam balutan dress ibu hamil yang dikenakannya. Terlihat di salah satu lorong rumah sakit tepat seperti yang dikatakan oleh si pengirim pesan.“Ibu itu mengatakan hanya bisa mengambil fotonya dari samping karena takut ketahuan,” ucap Evan saat ia dan Kayden sudah berjalan meninggalkan teras rumah.Kayden tak menjawab, lidah dan bibirnya membeku.Tuhan menjawab doanya dengan memberinya
Seperginya Freya, Julia tidak bisa duduk dengan tenang atau sekadar bersantai.Meski ia telah mengusir perempuan mata duitan itu, tapi tak ada yang menjamin ia akan tetap tutup mulut.‘Akan aku cari cara lain, tapi sementara ini biarkan dulu dia pergi dari hidupku.’ Julia membatin penuh amarah.Semua rencana yang disusunnya dengan rapi bahkan hampir tak bercelah sepertinya akan menemui batu sandungan.‘Perempuan sialan itu sama saja dengan Liora ternyata,’ gumamnya seorang diri.Matanya yang menatap jendela di dalam ruang kerja miliknya di DN Construction terasa perih.‘Liora sudah aku singkirkan dan menghilang tapi anak itu malah membuat ulah.’Dorongan napasnya yang berat mengatakan seberapa muaknya ia pada Freya.“Apa yang dia pikirkan sebenarnya saat mengambil cincin milik Marry?”Setelah Kayden mengetahui ini ... pria itu pasti tidak akan tinggal diam. Posisi semua orang terancam jika Kayden dan tangan kanan iblisnya itu bergerak memburu kebenaran hingga di titik penghabisan.Jul
“Pergi kamu dari sini!” Julia menghardik Freya yang bibirnya sudah memutih.Gadis itu memucat, seolah darahnya terserap habis, tenaganya, ketahanan tubuhnya.Saat Julia melepasnya, Freya nyaris jatuh ke lantai. Kedua kakinya seakan tak bisa menopang berat tubuhnya.Sepasang mata Julia menembusnya, membuatnya perlahan mundur dan angkat kaki dari lobi DN Construction.Ia masuk ke dalam mobilnya, sekali lagi ... seperti orang gila yang sedang melarikan diri. Tangannya yang menggigil itu menyalakan mobil dan berkendara pergi dari sana.Ia berusaha menata hatinya, detak jantungnya.Setelah lebih dari seratus meter meninggalkan sekitaran tempat itu, ia berhenti di tepi jalan. Menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tangisnya ini terbendung. Tetapi tidak bisa ... terlalu banyak hal yang membuatnya terkejut hari ini.Ia tidak siap!Freya menunduk, memejamkan matanya yang perih hanya untuk menyesali apa yang ia lakukan di belakang sana.Kegelapan itu membuat ingatannya kembali pada malam ha
Nyawanya seperti akan tercabut, dan sebelum ia benar-benar mati di dalam ruang meeting Evermore lalu keberadaannya tidak dapat ditemukan karena dilenyapkan oleh Kayden, maka Freya dengan gegas meninggalkan tempat itu. Lobinya cukup sibuk pagi ini. Ia harus menerobos beberapa orang yang berkerumun tak tau tempat. Yang pandangan mereka dirasanya mengikuti ke manapun ia pergi. Beberapa bisikan singgah bahwa ia seperti orang gila yang sedang mencari jalan keluar. Pintu yang ada di depan itu seperti begitu sulit dijangkaunya. Seakan membutuhkan waktu lebih lama bagi Freya untuk bisa benar-benar keluar. Ia menyeka air matanya dengan tangannya yang gemetar, langkahnya gamang saat ia menuju ke tempat di mana mobilnya ia parkirkan. Merasa bodoh sebab harus berjalan memutar untuk tiba di sana padahal ia sebelumya bisa langsung ke basement. Kepanikan yang melandanya membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Ia menghubungi Julia sembari mengemudikan mobilnya, mengatakan ingin bertemu dan
Evan yang berdiri di dekat Kayden untuk sesaat tak bisa bergerak. Ia menatap Freya yang kehilangan kata, bukan hanya karena Kayden mencekiknya, tetapi karena ada gelombang kejut yang tak diantisipasinya dari pertanyaan itu. Evan mendengar dari pengacara Hans Mercer yang mengatakan cincin itu bisa saja dibawa sebagai ‘souvenir’ oleh psikopat gila, orang yang malam itu terakhir kali menemui Nyonya Marry—dan menyelundupkan senjata tajam ke dalam kamar rawatnya—itu ia lihat di mana keberadaannya sekarang. Di jari manis Freya. Bukankah itu telah menjelaskan bahwa Freya lah yang bertanggung jawab atas tewasnya Nyonya Marry saat itu? Evan tadinya hendak mencegah Kayden, atau menarik tangannya itu untuk pergi dari leher Freya, tetapi mengingat betapa tragisnya kematian Nyonya Marry, keberadaan Liora yang tak diketahui dan hancurnya Kayden saat badai ini menghantam ... Evan memilih untuk membiarkannya. Gadis itu gemetar di hadapkan pada kemarahan Kayden. Ia berusaha menguraikan tangan Kayd