“Dante! Ibu tahu kamu ada di dalam! Keluar atau Ibu akan masuk ke dalam!”
Suara teriakan dari luar kamar membuat sepasang mata si penghuni kamar mengerjap beberapa kali. Rasa nyeri dan denyutan hebat di kepalanya adalah hal pertama yang ia rasakan ketika membuka mata. Ia menggerakkan kepalanya ke samping, matanya dibuat membulat saat mendapati sosok pria tengah berbaring dengan posisi tengkurap memperlihatkan punggung polosnya. Belvina menyibak selimut di tubuhnya dan seketika membelalak ketika mendapati tubuhnya tak memakai sehelai benang pun kecuali selimut yang menutupi tubuhnya. Belvina merutuki dirinya atas apa yang terjadi saat ini. Ingatkan dia untuk tidak lagi meluapkan segala kekesalan serta rasa sakit yang dialaminya pada alkohol. Alih-alih mendapatkan ketenangan, dia justru jatuh ke dalam masalah baru seperti saat ini, terbangun di kamar pria yang bahkan tak dikenalnya. “Dante! Buka pintunya! Dalam hitungan ke sepuluh jika kamu tidak membuka pintunya, maka Ibu benar-benar akan masuk!” Suara teriakan serta gedoran pada pintu membuat Belvina mau tak mau menggerakkan tangan, membangunkan si pria yang ada di sisinya ini. Entah pura-pura atau benar-benar tidak mendengar, laki-laki itu tidak terlihat terganggu sedikitpun. “Bangun!” lirih Belvina kembali menyentuh bahu Dante yang masih betah terpejam sementara di luar sana berisik sekali. Gerakan halus Dante dari yang tengkurap menjadi terlentang, membuat jantung Belvina berdebar tak berirama. Wajah tampan, hidung mancung, serta alis tebal dan runcing pria di sisinya sukses membuat Belvina terpana pada sosok pria teman one night standnya tersebut untuk sepersekian detik. Wajah tampan pria itu seolah dipahat begitu sempurna tanpa celah sedikitpun. “Bangun!” lirih Belvina kembali menyentuh bahu Dante yang masih betah terpejam sementara di luar sana berisik sekali. “Satu ....” Kepanikan semakin menyerang Belvina tatkala si wanita yang berada di luar sana sudah mulai berhitung sementara Dante sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda ingin bangun dari tidurnya. Tak ingin terlihat buruk, Belvina memilih untuk beranjak dari ranjang dan mengenakan pakaiannya. Namun, belum melakukan apa yang ada di benaknya, ia merasakan cengkeraman pada tangannya. “Ke mana?” Satu pertanyaan yang muncul dari Dante membuat Belvina mengerjapkan matanya beberapa kali. Tubuhnya kembali terpaku saat melihat pria berwajah tampan tersebut membuka matanya. Sungguh pahatan yang sempurna. Wajah tampan itu terlihat semakin menawan dengan mata terbuka. “Dua ....” Teriakan wanita di luar sana kembali menarik kesadaran Belvina. Wanita itu dengan gerakan cepat melilitkan selimut yang menutupi tubuhnya untuk mengambil pakaiannya yang tercecer di lantai. Sementara Dante hanya diam dan menatap datar Belvina yang terlihat kesal mendapati pakaian terkoyak tak berbentuk. “Apa kamu yang melakukannya?” protes Belvina, “Tidak bisakah kamu melakukannya dengan lembut! Pakaian ini sama sekali tidak bersalah. Kenapa kamu harus merobeknya hingga tak berbentuk! Jika sudah seperti ini, aku harus menggunakan apa?” lanjut Belvina, mengomel. Dante tersenyum miring atas omelan Belvina yang ditunjukkan padanya. “Tiga ....” Kembali, teriakan wanita itu membuat dada Belvina berdebar semakin tak karuan. Matanya menatap tajam Dante yang terlihat begitu santai bersandar di sandaran ranjang dengan hanya menggunakan boxer. Laki-laki itu sama sekali tidak terlihat panik atau mencoba untuk mengenakan pakaiannya. Padahal nasib mereka sedang dipertaruhkan saat ini. Tidak, lebih tepatnya nasibnya! Meski tidak saling mengenal, setidaknya dia tetap harus menjaga nama baiknya di depan wanita yang menyebut dirinya sebagai ibu si pria di depannya ini. Dia adalah seorang pimpinan perusahaan yang bergerak di bidang entertainment, berita buruk sedikit saja terdengar, maka nama baiknya akan menjadi taruhan. Belvina mengacak rambutnya frustasi. Wanita itu duduk di sisi ranjang dengan mata menatap ke arah Dante. “Jika kamu tidak ingin menutupi tubuhmu, Setidaknya pinjamkan aku pakaianmu sebagai bentuk tanggung jawab!” kata Belvina. “Tanggung jawab?” ulang Dante. Dante melipat tangannya, masih dalam posisi yang sama, bersandar di sandaran ranjang. Manik matanya menatap lurus Belvina. Sebuah seringai menghiasi wajahnya ketika melihat bercak merah di leher wanita itu. “Apa kamu lupa jika kamu yang melakukannya terlebih dahulu padaku?” Dante bangun dari ranjang, pria itu berdiri tepat di depan Belvina. “Perlu aku mengingatmu kembali atas apa yang terjadi pada kita tadi malam?” ucap Dante dengan sangat tenang. Namun, cukup membuat tubuh Belvina menegang. “Anda yang menggoda saya duluan, nona! Jangan berbicara seolah kamu adalah korban!” imbuh Dante. Belvina berdehem, kepalanya terlihat bergerak ke kanan dan ke kiri secara gelisah. Tubuh tinggi besar Dante dan tatapan dingin pria itu seolah merenggut semua keberanian yang dimilikinya tadi. Nyalinya seketika menciut dan hilang entah ke mana karena merasa tertampar oleh fakta yang ada. “Lima ....” 'Sial!' Satu umpatan lolos begitu saja dari benak Belvina, entah sejak kapan wanita di luar sana mulai kembali berhitung. Percakapannya dengan Dante membuat wanita itu tuli untuk sesaat. “Kalau begitu bantu aku!” Belvina menatap penuh mohon pada Dante yang berdiri di depannya. Bagaimanapun juga dia perlu menyelamatkan nama baiknya. Dante hanya tersenyum miring. Laki-laki itu berjalan menjauh dari Belvina dan mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Jari-jemarinya terlihat sibuk mengetikkan sesuatu, seolah sedang mengabaikan Belvina yang menatapnya dengan tatapan memelas “Aku mohon bantu aku,” pinta Belvina kembali, saat ucapannya tidak mendapatkan respons apa pun. Dante meletakkan ponselnya. Helaan nafas panjang terdengar tat kala melihat kecemasan di wajah Belvina. “Untuk?” balas Dante menyandarkan tubuhnya di nakas. Tangannya ia masukkan ke dalam saku celana yang dikenakannya. “Menjaga nama baikku!” ujar Belvina. “Tidak.” jawab Dante acuh. “Sembilan ....” Belvina terlihat semakin gusar. Penolakan yang diberikan oleh Dante membuat otaknya tidak bisa bekerja dengan baik, sementara dirinya semakin terdesak. Kepalanya bahkan menoleh beberapa kali ke arah pintu, membayangkan sebentar lagi wanita di luar sana akan masuk dan menemukan mereka terkunci di dalam kamar dengan keadaan kamar yang berantakan. “Aku akan melakukan apa pun, jadi aku mohon bantu aku!” pinta Belvina, matanya menatap penuh mohon pada Dante. “Apa pun ...?” Belvina mengangguk-anggukan kepalanya cepat. Ia sudah pasrah apabila Dante menolak permohonannya sekarang. Sebuah seringai tiba-tiba menghiasi wajah Dante. Laki-laki itu lantas menatap Belvina dengan pandangan sulit diartikan. “Baiklah!” jawab Dante. Laki-laki itu melempar sebuah atasan dan bawahan ke Belvina yang segera ditangkap sang wanita. Belvina menatap pakaian di tangannya kemudian menatap Dante yang mulai bergerak melangkah ke arah pintu. Sebelum tangan Dante menyentuh kenop pintu, senyum mencurigakan kembali menghiasi wajah pria tampan itu. “Pakai bajumu dan jangan pernah melupakan kata-katamu! Lakukan apa pun untukku, nanti!”“Aku baik-baik saja, sungguh.” Belvina mengatupkan kedua tangannya, memohon pada Dante untuk pulang. Sungguh demi apapun dia sama sekali tidak suka dengan yang namanya rumah sakit. Bau disinfektan yang menyengat, membuat perutnya mual.“Badanmu masih lemas. Kamu juga belum bisa makan dengan baik. Semua makanan yang kamu telan selalu keluar. Dan satu lagi, kamu sering mengalami sakit kepala. Keadaan seperti itu tentu tidak nyaman bagimu. Dan aku tidak mau kamu mengalami itu terus-menerus.”Belvina hanya bisa menghela napas panjang sambil memutar bola matanya jengah. Entah bagaimana bisa seorang Dante yang awalnya begitu cuek dan dingin, tiba-tiba saja berubah cerewet seperti nenek-nenek.“El…?”Alethea yang duduk di kursi tunggu bagian obgyn, menyapa. Ia tersenyum manis seperti biasanya. Di sisi Alethea ada Aldric yang tengah memainkan ponselnya.“Kamu juga akan periksa?” Belvina tersenyum tipis. Matanya melirik sebentar Aldric yang sama sekali tidak melihatnya. Tentu ini bukan masala
Alis Alethea mendadak berubah mengkerut. Hatinya dibuat panas saat melihat tatapan Aldric yang terpaku pada Belvina dan suaminya yang juga baru turun dari mobil. Kedua pasangan itu terlihat bahagia. Buku-buku tangan Aldric terlihat memutih. Tanpa bertanya tentu dia tahu apa yang dirasakan oleh Aldric. Laki-laki itu pasti merasa cemburu. Siapa yang tidak tahu bagaimana cintanya Aldric pada Belvina. “Kamu tidak masuk?”Alethea menggelengkan kepalanya. “Kamu duluan saja. Aku ingin menelepon ibuku dulu. Mengabarkan kalau kita akan ke sana.”“Baiklah kalau begitu. Aku masuk duluan,” balas Aldric yang kemudian masuk ke dalam kantor.Alethea menarik napas panjang. Kakinya yang berbalut flatshoes, berjalan menghampiri Belvina. “Pagi…,” sapa Alethea. Ia tersenyum manis menyapa Dante dan Belvina. Namun, sayang Dante tidak meresponnya dengan baik. Pria itu memang wajah dingin sama seperti biasanya. Ia rasa senyum dan kebaikan pria itu hanya berlaku untuk Belvina.“Hubungi aku jika kamu merasa
Mata Belvina membulat, dia baru keluar dari kamar mandi dan mendapati Dante sudah duduk berselanjar di atas ranjangnya. Sepertinya laki-laki itu baru selesai mandi. Rambutnya terlihat masih basah. Pemandangan ini membuat Dante terlihat begitu menggoda di mata Belvina.Belvina menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran aneh yang baru saja menghinggapi otaknya. “Duduklah, apa kamu tidak lelah terus berdiri di sana?” Dante menepuk ranjang kosong di sampingnya, memerintah Belvina untuk segera naik.Belvina berdehem, pipinya terasa panas entah kenapa. Akhir-akhir ini bahasa tubuhnya memang suka sekali bereaksi aneh, terlebih jika itu menyangkut tentang Dante.“Aku masih harus mengeringkan rambutku.” Belvina berjalan ke arah meja rias. Tangannya dengan cepat mengambil hairdryer. Sebenarnya ini hanya alasan. Dia hanya tidak siap jika harus berada satu ranjang dengan Dante. Mereka masih tidur di kamar yang berbeda sampai detik ini.Dante menarik sudut bibirnya. Bunyi guncang di atas ranjang
Dante mengetuk-ngetukkan jari-jari tangannya. Wajahnya terlihat tenang, tapi sebenarnya pria itu tengah menahan gelisah. Jam yang berputar terasa begitu lama. Sudah tiga meeting yang dilewatinya hari ini, dan ini adalah meeting terakhir. Jika bukan karena penolakan dari Noah, tentu saat ini dia sudah duduk di atas pesawat, menanti waktu untuk mendarat di Barcelona. Menggeram kesal, dia menatap malas pada sosok pria di sebelahnya—Noah. Pria itu terlihat menjelaskan secara lengkap dan detail kepada klien mereka tentang kerja sama yang akan mereka lakukan. Keuntungan serta pinalti bila ada pelanggaran kontrak yang terjadi.Saat ini dia benar-benar ingin segera mengakhiri semua ini dengan cepat. Apalagi setelah dia mendapatkan lagi pesan teks dari Nora yang mengatakan bahwa Belvina kembali mengalami muntah. Helaan napas panjang menguar begitu saja. Rasa gelisah di dadanya semakin membuncah. Rasanya dia tidak akan tenang jika belum berada di sisi wanita si keras kepala itu.“Baiklah, saya
Belvina menatap hampa ponsel yang ada di depannya. Tepat pukul delapan malam ini, sudah dua belas jam ia berpisah dari Dante. Ada rasa kosong yang tidak bisa dijelaskan dalam hatinya. Menunggu sejak siang tadi, nyatanya tidak ada pesan atau pun panggilan masuk ke dalam ponselnya. Dante seolah pergi meninggalkannya tanpa kata. Hampa, sunyi, senyap, begitulah kiranya.Sekali lagi ia menghela napas panjang. Jari-jarinya yang dipoles dengan cat kuku berwarna merah kembali menyentuh benda pipih miliknya. Seperti sebelumnya, tidak ada notifikasi apa pun dari orang yang diharapkannya. Meski tidak begitu dekat, tapi Dante selalu mengirimkan pesan kepadanya sejak mereka bersama. Tidak adanya pesan serta kehadiran pria itu, kehampaan itu nyata adanya.“Nona, apa makanannya tidak cocok? Saya bisa kembali membuatkan anda menu baru. Sudah hampir satu jam anda berada di meja makan, tapi anda tidak menyentuh sama sekali makanan di meja makan.”Belvina mengulum senyum, selama itukah dia duduk dan ber
“Tuan Dante sudah berangkat pagi-pagi sekali, Nona.”Perkataan Nora, menghentikan gerakan tangan Belvina yang hendak mengetuk pintu kamar tidur Dante. Rencananya pagi ini dia ingin meminta maaf pada pria itu. Semalam Dante pergi begitu saja setelah ditodong pertanyaan yang sama sekali tidak dijawabnya. Pria itu pergi berlalu dan mengabaikannya begitu saja. Kediamannya bahkan terus berlanjut hingga mereka sampai di rumah. Pria itu langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci diri. “Sepertinya aku benar-benar membuatnya marah,” gumam Belvina dengan wajah sendu.Belvina menghela napas panjang. Wanita itu lantas melangkahkan kakinya turun ke lantai satu. Pagi ini dia akan pergi ke kantor, meski enggan. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya hari ini, termasuk mengurus masalah yang ditimbulkan oleh Alethea. Hari ini sepupunya itu akan dimintanya untuk ke kantor menyelesaikan masalahnya.“Nona, tidak makan?” tanya Nora saat melihat Belvina hanya meminum susu yang dibuatkannya.“Aku mak