Suara dentuman musik yang menggema serta lampu kerlap-kerlip menjadi tujuan Belvina saat ini usai meninggalkan rumahnya. Pengakuan Alethea tentang kehamilannya serta siapa ayah bayi itu membuat hatinya hancur tak berbentuk.
Kisah cinta yang sudah dirajut selama bertahun-tahun lamanya bersama dengan Aldric, tentu meninggalkan banyak kenangan indah. Melupakan dan mengubur semua itu secara tiba-tiba tentu bukan hal yang mudah, terbukti dari tiga gelas Vodka yang sudah ditenggaknya sama sekali tidak membuahkan hasil. Kenangan indah yang mereka lewati justru terus muncul di otaknya, terlebih tentang perjuangan mereka membangun industri hiburan bersama. BELA Entertainment---perusahan itu mereka dirikan mulai dari nol, dari yang tidak memiliki artis serta rumah produksi sampai kini mereka bisa berkembang pesat, bahkan kini BELA Entertainment telah menjelma menjadi perusahaan entertainment yang banyak diperbincangkan. Banyak artis besar serta model dan juga penyanyi yang bernaung di bawah label BELA entertainment. “Brengsek!” umpat Belvina, cukup keras. Belvina bahkan tidak peduli dengan lirikan dari pengunjung yang duduk di sisinya. Wanita itu seolah asik dan larut dalam dunianya sendiri. Belvina kembali meminta minuman pada bartender yang bertugas setelah gelas ketiga berisi cairan bening itu habis. Belvina menatap gelas itu sesaat kemudian langsung meneguknya sekali tandas. Kali ini Belvina minum dengan tergesa hingga sedikit tetesan Vodka terjatuh membasahi lehernya, menimbulkan sensasi sensasional bagi yang melihatnya. Apalagi saat ini Belvina mengenakan strapless dress yang menunjukkan bahu dan juga lehernya. Belvina kemudian menoleh pada pengunjung yang duduk di samping. Pengunjung yang sedari tadi memperhatikannya. Belvina mendengus kasar. “Kenapa? Tertarik padaku?” sergah Belvina pada pengunjung yang duduk di sampingnya. Bukan tidak tahu jika diperhatikan, Belvina hanya pura-pura menutup mata saja. Dia sedang tidak ingin berinteraksi dengan siapapun saat ini. Diam dan hanyut bersama minuman adalah satu-satunya hal yang diinginkannya malam ini. Setidaknya cairan putih yang diminumnya itu bisa mengobati sedikit rasa sakit yang dirasakannya saat ini, meski tidak benar-benar menyembuhkannya. “Sayangnya aku sama sekali tidak tertarik padamu, Tuan!” oceh Belvina. “Lihatlah!” Belvina mengangkat tangannya, menunjukkan jari manisnya yang dilingkari oleh cincin permata seolah menyiratkan bahwa dia sudah memiliki tambatan hati. “Cari wanita lain saja jika ingin bersenang-senang, Tuan! Aku bukan wanita murahan!” oceh Belvina kembali. Jangan tanya dari mana Belvina mendapatkan keberaniannya, tentu dari cairan bening yang sejak tadi ditenggaknya itu. Cairan bening bernama Vodka itu memang tidak benar-benar membuatnya hilang kesadaran. Namun, minuman itu bisa membuat Belvina tidak memiliki rasa takut pada pria yang saat ini ada di sebelahnya. Laki-laki itu hanya menyunggingkan senyum tipisnya, tidak ada niatan untuk membalas ataupun menimpali ucapan Belvina. Laki-laki itu lebih memilih menenggak wine pesanannya. “Berikan aku segelas lagi!” Kata-kata yang keluar dari mulut Belvina kembali menarik atensi sang pria. Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan merebut gelas milik Belvina. Wanita itu sudah terlalu mabuk dan hampir hilang kesadaran. “Apa yang kamu lakukan, Tuan! Kembalikan minumanku!” seru Belvina. Matanya menatap tajam lelaki di sebelahnya. Belvina berdiri dari duduknya, meski tidak benar-benar bisa berdiri dengan tegap, wanita itu mendekatkan diri pada tubuh sang pria yang masih berada atas di kursinya. Tidak banyak yang laki-laki itu lakukan, dia hanya menatap datar tubuh Belvina yang sempoyongan. “Aku bilang kembalikan minumanku!” Kali ini nada Belvina naik beberapa oktaf. “Apa semua yang aku miliki memang harus direbut oleh orang lain, termasuk minuman!” seru wanita itu lagi. Mata Belvina tiba-tiba memanas, air mata yang sejak tadi ditahan olehnya terasa akan berjejal keluar begitu saja melebur bersama rasa sakit yang masih dirasakannya. Padahal selama ini tidak banyak yang diinginkannya. Hidup damai bersama dengan orang-orang yang dicintainya itu sudah lebih dari cukup. Tapi sekarang, ia bahkan tak yakin akan sebuah cinta. Pengkhianatan yang dilakukan oleh Aldric, menoreh banyak luka. Membuat hatinya yang mekar kini mendadak layu. Kali ini tangannya memukul pelan dada laki-laki itu. Menyalurkan rasa kecewa dan sakit yang dirasakannya, meski pada orang yang salah. Bukan marah atau mendorong tubuh Belvina agar wanita itu berhenti memukulinya, laki-laki itu justru diam saja membiarkan wanita itu meluapkan segalanya. Pukulan-pukulan kecil dari Belvina tentu tidak berarti apa pun bagi tubuhnya yang besar. “Kembalikan minumanku, tolong ….” Belvina menatap dalam manik mata laki-laki it yang terlihat dingin dengan tatapan memelas. Sebuah senyuman penuh memohon dilemparkan Belvina pada pria itu. Alkohol yang sudah mempengaruhi separuh dari kesadarannya, membuat Belvina tidak lagi bisa bersikap normal. “Aku sudah meminumnya dan tidak bisa mengembalikannya!” jawab sang pria, masih dengan ekspresi datar. “Sebaiknya kamu pulang! Kamu sudah terlalu banyak minum dan mabuk!” lanjutnya Belvina mengerucutkan bibirnya sebelum menujukkan senyum yang terlihat aneh. “Aku tahu caranya mengambil minumanku kembali!” kata Belvina. Kaki Belvina yang awalnya menapak tanah dengan benar kini mulai berjinjit. Tangannya yang tadi mencengkram mantel sang pria, berangsur naik melingkar ke leher pria itu. Perlahan tapi pasti Belvina mulai mendekatkan wajahnya, mengikis jarak antara dirinya dan pria yang baru ditemuinya. Pria yang bahkan tidak diketahui namanya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya sang pria datar menahan dada Belvina, mencegah wanita itu melakukan keinginannya. Belvina tersenyum, tangan kirinya merambat mengusap lembut tangan sang pria yang saat ini tengah menahannya. Seringai nakal keluar begitu saja menghiasi wajah cantik Belvina, seolah menggoda sang pria. Tidak lagi mendapatkan penolakan, Belvina kembali mendekatkan wajahnya, menempelkan bibirnya pada benda kenyal milik pria di hadapannya, bermain-main di sana. Seolah tak puas, Belvina menyesap benda kenyal nan lembut itu dalam-dalam, menikmati sisa sisa minumnya yang masih tertinggal di antara saliva pria itu. Pria itu menggeram. Ia mencengkram lengan Belvina erat ketika tautan bibir mereka terlepas. “Nona, kamu telah membangunkan singa tidur!”“Aku baik-baik saja, sungguh.” Belvina mengatupkan kedua tangannya, memohon pada Dante untuk pulang. Sungguh demi apapun dia sama sekali tidak suka dengan yang namanya rumah sakit. Bau disinfektan yang menyengat, membuat perutnya mual.“Badanmu masih lemas. Kamu juga belum bisa makan dengan baik. Semua makanan yang kamu telan selalu keluar. Dan satu lagi, kamu sering mengalami sakit kepala. Keadaan seperti itu tentu tidak nyaman bagimu. Dan aku tidak mau kamu mengalami itu terus-menerus.”Belvina hanya bisa menghela napas panjang sambil memutar bola matanya jengah. Entah bagaimana bisa seorang Dante yang awalnya begitu cuek dan dingin, tiba-tiba saja berubah cerewet seperti nenek-nenek.“El…?”Alethea yang duduk di kursi tunggu bagian obgyn, menyapa. Ia tersenyum manis seperti biasanya. Di sisi Alethea ada Aldric yang tengah memainkan ponselnya.“Kamu juga akan periksa?” Belvina tersenyum tipis. Matanya melirik sebentar Aldric yang sama sekali tidak melihatnya. Tentu ini bukan masala
Alis Alethea mendadak berubah mengkerut. Hatinya dibuat panas saat melihat tatapan Aldric yang terpaku pada Belvina dan suaminya yang juga baru turun dari mobil. Kedua pasangan itu terlihat bahagia. Buku-buku tangan Aldric terlihat memutih. Tanpa bertanya tentu dia tahu apa yang dirasakan oleh Aldric. Laki-laki itu pasti merasa cemburu. Siapa yang tidak tahu bagaimana cintanya Aldric pada Belvina. “Kamu tidak masuk?”Alethea menggelengkan kepalanya. “Kamu duluan saja. Aku ingin menelepon ibuku dulu. Mengabarkan kalau kita akan ke sana.”“Baiklah kalau begitu. Aku masuk duluan,” balas Aldric yang kemudian masuk ke dalam kantor.Alethea menarik napas panjang. Kakinya yang berbalut flatshoes, berjalan menghampiri Belvina. “Pagi…,” sapa Alethea. Ia tersenyum manis menyapa Dante dan Belvina. Namun, sayang Dante tidak meresponnya dengan baik. Pria itu memang wajah dingin sama seperti biasanya. Ia rasa senyum dan kebaikan pria itu hanya berlaku untuk Belvina.“Hubungi aku jika kamu merasa
Mata Belvina membulat, dia baru keluar dari kamar mandi dan mendapati Dante sudah duduk berselanjar di atas ranjangnya. Sepertinya laki-laki itu baru selesai mandi. Rambutnya terlihat masih basah. Pemandangan ini membuat Dante terlihat begitu menggoda di mata Belvina.Belvina menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran aneh yang baru saja menghinggapi otaknya. “Duduklah, apa kamu tidak lelah terus berdiri di sana?” Dante menepuk ranjang kosong di sampingnya, memerintah Belvina untuk segera naik.Belvina berdehem, pipinya terasa panas entah kenapa. Akhir-akhir ini bahasa tubuhnya memang suka sekali bereaksi aneh, terlebih jika itu menyangkut tentang Dante.“Aku masih harus mengeringkan rambutku.” Belvina berjalan ke arah meja rias. Tangannya dengan cepat mengambil hairdryer. Sebenarnya ini hanya alasan. Dia hanya tidak siap jika harus berada satu ranjang dengan Dante. Mereka masih tidur di kamar yang berbeda sampai detik ini.Dante menarik sudut bibirnya. Bunyi guncang di atas ranjang
Dante mengetuk-ngetukkan jari-jari tangannya. Wajahnya terlihat tenang, tapi sebenarnya pria itu tengah menahan gelisah. Jam yang berputar terasa begitu lama. Sudah tiga meeting yang dilewatinya hari ini, dan ini adalah meeting terakhir. Jika bukan karena penolakan dari Noah, tentu saat ini dia sudah duduk di atas pesawat, menanti waktu untuk mendarat di Barcelona. Menggeram kesal, dia menatap malas pada sosok pria di sebelahnya—Noah. Pria itu terlihat menjelaskan secara lengkap dan detail kepada klien mereka tentang kerja sama yang akan mereka lakukan. Keuntungan serta pinalti bila ada pelanggaran kontrak yang terjadi.Saat ini dia benar-benar ingin segera mengakhiri semua ini dengan cepat. Apalagi setelah dia mendapatkan lagi pesan teks dari Nora yang mengatakan bahwa Belvina kembali mengalami muntah. Helaan napas panjang menguar begitu saja. Rasa gelisah di dadanya semakin membuncah. Rasanya dia tidak akan tenang jika belum berada di sisi wanita si keras kepala itu.“Baiklah, saya
Belvina menatap hampa ponsel yang ada di depannya. Tepat pukul delapan malam ini, sudah dua belas jam ia berpisah dari Dante. Ada rasa kosong yang tidak bisa dijelaskan dalam hatinya. Menunggu sejak siang tadi, nyatanya tidak ada pesan atau pun panggilan masuk ke dalam ponselnya. Dante seolah pergi meninggalkannya tanpa kata. Hampa, sunyi, senyap, begitulah kiranya.Sekali lagi ia menghela napas panjang. Jari-jarinya yang dipoles dengan cat kuku berwarna merah kembali menyentuh benda pipih miliknya. Seperti sebelumnya, tidak ada notifikasi apa pun dari orang yang diharapkannya. Meski tidak begitu dekat, tapi Dante selalu mengirimkan pesan kepadanya sejak mereka bersama. Tidak adanya pesan serta kehadiran pria itu, kehampaan itu nyata adanya.“Nona, apa makanannya tidak cocok? Saya bisa kembali membuatkan anda menu baru. Sudah hampir satu jam anda berada di meja makan, tapi anda tidak menyentuh sama sekali makanan di meja makan.”Belvina mengulum senyum, selama itukah dia duduk dan ber
“Tuan Dante sudah berangkat pagi-pagi sekali, Nona.”Perkataan Nora, menghentikan gerakan tangan Belvina yang hendak mengetuk pintu kamar tidur Dante. Rencananya pagi ini dia ingin meminta maaf pada pria itu. Semalam Dante pergi begitu saja setelah ditodong pertanyaan yang sama sekali tidak dijawabnya. Pria itu pergi berlalu dan mengabaikannya begitu saja. Kediamannya bahkan terus berlanjut hingga mereka sampai di rumah. Pria itu langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci diri. “Sepertinya aku benar-benar membuatnya marah,” gumam Belvina dengan wajah sendu.Belvina menghela napas panjang. Wanita itu lantas melangkahkan kakinya turun ke lantai satu. Pagi ini dia akan pergi ke kantor, meski enggan. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya hari ini, termasuk mengurus masalah yang ditimbulkan oleh Alethea. Hari ini sepupunya itu akan dimintanya untuk ke kantor menyelesaikan masalahnya.“Nona, tidak makan?” tanya Nora saat melihat Belvina hanya meminum susu yang dibuatkannya.“Aku mak