“Hamili aku.”
Deg. Tubuh Dimas langsung menegang mendengar permintaan istri majikannya. Permintaan yang terdengar gila di telinga Dimas. Dimas menunduk tak sanggup menatap mata sang nyonya. “Kenapa diam?” “Anda lucu, Nyonya.” Lelaki tampan itu tertawa hambar untuk menutupi kegugupannya. “Dimas, tatap aku. Apa menurutmu aku bercanda?” Jari telunjuknya yang halus mengangkat dagu Dimas hingga mata mereka bertemu. Darah Dimas berdesir hebat, lututnya bahkan langsung lemas. Bagaimana tidak. Ia melihat dengan jarak sangat dekat wanita cantik dengan kulit seputih salju, matanya bulat dan bening, rambutnya hitam bergelombang dan bibirnya yang merekah indah membuat lelaki manapun tertarik untuk mengecupnya. Tubuhnya tinggi semampai, berisi dan terlihat sangat seksi. Fisiknya pasti menjadi impian setiap wanita. Fisiknya hampir tanpa cela. “Nyonya, saya-” “Aku tidak menerima penolakan, Dimas.” Kecupan singkat mendarat di sudut bibir Dimas membuat lelaki itu benar-benar lemas, jantung lelaki itu seperti loncat dari tempatnya. “Dimas. Cepat, Tuan sudah menunggu di mobil.” Suara teriakan Bik Atin membuat Dimas tersentak. Ia buru-buru meninggalkan halaman belakang dan Adeline yang masih belum beranjak. Dimas menggeleng mencoba menepis apa yang baru saja terjadi. Itu pasti hanya halusinasiku saja. Tidak mungkin Nyonya Adel benar-benar melakukannya. Dia tidak buta. “Kalau sakit tidak usah bekerja, Dim.” Bram langsung menegur Dimas yang wajahnya tampak pucat dengan keringat dingin bercucuran di pelipis. “Tidak, Tuan. Saya baik-baik saja.” Tangan Dimas gemetar. Ia takut ketahuan. Bisa-bisa langsung kehilangan pekerjaan. Tapi itu lebih baik daripada disiksa oleh majikannya. Apalagi Bram sosok yang sangat keras, ia paling benci pada penghianat. Dimas sudah tujuh tahun bekerja pada Bram. Sebelumnya Dimas hanya sebagai supir di kantor tapi dialihkan dua tahun lalu saat Pak Sugianto, supir lama Bram berhenti. Meski terlihat arogan, Bram sebenarnya baik. Tak jarang ia memberikan bonus pada karyawannya. Dimas bekerja seperti biasa meski pikirannya tidak tenang. Malamnya setelah Bram selesai bekerja, Dimas langsung mengantarnya ke bandara. Lelaki itu ada pekerjaan di luar kota. Baru kali ini Dimas takut untuk pulang. Takut bertemu dengan Adeline. Mungkin kalau wanita itu bukan istri majikannya, Dimas tidak akan setakut ini. Bisa jadi ia merespon atau mungkin langsung marah dengan kelancangan wanita itu. “Kamu mengantar Mas Bram sampai bandara, Dim?” tanya Adeline yang baru saja mengambil air dari dapur. Dimas memalingkan wajahnya melihat sang majikan hanya mengenakan gaun tidur tipis. Ia merutuki diri sendiri karena berniat untuk mengisi perutnya. Kalau tahu ada sang nyonya di dapur pasti Dimas akan langsung ke kamarnya. “Iya, Nyonya. Saya permisi.” Tanpa disadari oleh Dimas, Adeline mengikutinya dari belakang. Matanya menatap tajam seperti sedang mengintai mangsanya. “Kamu dengar yang tadi pagi aku bilang? Aku tidak menerima penolakan.” * Tubuh Dimas gemetar hebat saat melihat Adeline berbaring di sampingnya. Mereka sama-sama dalam keadaan polos. “Apa yang sudah kulakukan?” Dimas buru-buru turun dari ranjang dan memakai bajunya yang berserakan di lantai kamar yang sempit itu. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia takut akan dipenjarakan karena sudah meniduri istri majikannya. Kalau sampai itu terjadi bagaimana dengan istrinya di kampung? Ibunya juga pasti akan kecewa jika tahu perbuatan tercela Dimas di perantauan ini. “Kamu sudah bangun?” Dimas tersentak. Adeline sudah bangun. Dimas membalikan tubuhnya saat sang majikan menyingkap selimut. “Sa-saya tunggu di luar, Nyonya.” Adeline gegas mengenakan pakaiannya setelah Dimas keluar dari kamar itu. Ia meregangkan tangannya, merasa tubuhnya sangat pegal dan sakit di bagian bawah tubuhnya begitu menyiksa. Senyum tersungging di bibir sensual anak semata wayang keluarga Wirakusuma itu. Pipinya merona. “Aku benar-benar sudah melakukannya?” Tok. Tok. “Nyonya, Tuan sudah pulang.” Terdengar nada panik dari suara Dimas. Tidak biasanya Bram kembali secepat ini bahkan tanpa menghubungi Dimas untuk dijemput. Sambil meringis, Adeline menyeret langkah keluar meninggalkan kondisi kamar yang berantakan setelah pertempuran tadi malam. “Siap-siap. Kamu harus jemput Mami di bandara.” “Tadi malam-” “Kita bahas nanti. Cepat!” Adeline berjalan perlahan dan tampak sedikit melebarkan kakinya sambil menahan sakit. “Apa aku terlalu kasar?” Dimas semakin gelisah. Ia kembali masuk ke dalam kamar. Tertegun melihat noda merah di sprei putih miliknya. “Da-darah?” Dimas mendekat untuk memperhatikan lebih jelas. Kepalanya menggeleng. “Apa aku sangat kasar sampai-” “Pelan-pelan, Dim. Ini pengalaman pertamaku.” Mulut Dimas terbuka lebar. Ingatannya kembali, ia sempat mendengar itu dari Adeline tadi malam sebelum mereka benar-benar melakukan dosa. Lima tahun Nyonya Adeline menikah dan dia ... masih perawan? Pertanyaan itu memenuhi benak Dimas. Ia bukan anak kemarin sore. Dimas juga lelaki yang sudah menikah dan tentu saja bisa membedakan. Rasa bersalahnya semakin dalam, tidak hanya pada pada sang nyonya tapi pada istrinya di kampung. Kondisi rumah yang sepi, di luar hujan deras dan godaan bertubi-tubi dari Adeline membuat setan semakin memperdaya dan akhirnya Dimas terjerumus. Ia mengkhianati janji suci pernikahannya. Dimas lelaki normal apalagi ia sudah berkeluarga. Enam bulan ia tidak pulang. Sudah pasti ada kebutuhan biologis yang harus dicukupi dan ia mendapatkannya dari Adeline. Tuhan, ampuni dosaku. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi setelah ini. “Dimas!” teriakan Bram menyentak Dimas.Hati Bram teriris melihat begitu memprihatinkan kondisi istrinya saat ini. seorang Adeline Putri Wirakusuma yang begitu cantik paripurna sekarang tampak lusuh tak terawat.“Del.” Mata Bram memanas, ada rasa lega setelah lima tahun lamanya mencari keberadaan Adeline, sekarang wanita itu ada di hadapannya tanpa dicari.“Sayang, ayo pulang.” Adeline menghampiri Batari dan menggendongnya.Ia sama sekali tidak memperdulikan keberadaan Bram yang terus memperhatikannya.“Kamu mau kemana? Kita pulang, sayang.” Bram menahan langkah Adeline.“Maaf, Anda mungkin salah orang, Pak!” Adeline menepis tangan Bram.Ya, mungkin kalau dilihat sekilas tentu tidak akan ada yang percaya kalau wanita ini adalah Adeline, pewaris tunggal keluarga Wirakusuma.“Jangan begini, Del. Sudah cukup lima tahun ini aku tersiksa setelah kepergianmu. Mami juga merindukanmu.”Adeline menyeringai, ia terus saja melangkah. Aku dikhawatirkan karena takut tidak ada yang meneruskan perusahaan, bukan khawatir orang tua pada ana
5 Tahun Kemudian. “Dek, mau kemana? Sudah kamu di rumah saja, biar aku yang mengantar Tari.” Dimas menahan Erina yang akan bangkit dari tempat tidur. Kondisi Erina memang kurang sehat. Beruntung hari ini Dimas tidak memiliki kesibukan apapun. Sedangkan toko kelontong milik mereka dijaga oleh dua orang karyawan, meski bukan toko besar tapi setiap hari selalu ramai. Rezeki mereka mengalir begitu deras. Mungkin itu dari kelapangan hati Erina yang ikhlas merawat darah daging suaminya dari wanita lain. Karena tidak semua wanita akan kuat melakukan itu. “Tapi, Mas-” “Sayang, kamu sedang tidak sehat. Sudah diam saja di rumah, aku tidak lama. Hanya mengantar Tari setelah itu langsung pulang.” “Ayah, Ayah.” Suara cempreng itu terdengar melengking. “Lihat, putri kita sangat cerewet.” Dimas terkekeh. “Aku berangkat dulu ya.” Dimas mendaratkan kecupan di kening sang istri sebelum keluar kamar. Kehidupan mereka sudah kembali normal semenjak kehadiran Mentari. Erina sudah lama meng
[Maaf, maaf, maaf. Aku benar-benar menyesal sudah menjerumuskan Dimas. Perbuatanku sudah sangat melukaimu. Aku mohon jangan tinggalkan Dimas, dia tidak salah. Aku yang salah, aku yang menggodanya. Sesuai permintaanmu. Rawatlah bayi ini dengan baik, kamu juga ibunya. Sekali lagi maafkan aku, aku harap kalian bahagia. Adeline.]Tidak mudah bagi seorang ibu menyerahkan anaknya untuk dirawat orang lain, namun Adeline merelakannya. Ia ingin menebus dosa yang pernah dilakukan.“Ja-jadi ... bayi ini ....” Erina benar-benar tidak menyangka kalau Adeline menyerahkan bayi itu padanya.Sebelumnya Erina bahkan sudah berpikir buruk, sekarang malah anak yang dimintanya sudah ada di depan mata.“Bawa masuk dulu, Dek. Kasihan di luar dingin.”“Iya, Mas.”Sebelum masuk. Dimas mengarahkan pandangannya ke seluruh arah untuk mencari keberadaan Adeline tapi nihil, tidak ada siapapun di sana.“Ini benar-benar anak yang Mbak Adel lahirkan.” Erina menatap gelang yang bertuliskan tanggal lahir di lengan mungi
“Kita bisa punya anak sendiri, sayang. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan untuk memberikannya lagi. Kalaupun takdir kita hanya berdua, aku tidak masalah. Mbak Adel lebih berhak atas anak itu, bahkan nasabnya pun bukan padaku.”Erina menyeringai. “Sekarang saja kamu bicara begitu, Mas. Tidak ada yang menjamin nantinya kamu bosan dan meninggalkanku.”Dimas meraih tangan Erina, digenggamnya erat. “Dengarkan aku baik-baik, sayang. Aku tidak hanya berjanji padamu, orang tuamu dan orang tuaku. Aku berjanji pada Tuhan untuk selalu ada disampingmu seberat apapun masalah yang kita jalani. Aku tahu kamu terluka karena perbuatanku tapi aku minta satu kesempatan. Apa tidak bisa?” Matanya sudah berembun.Kilasan momen kebahagiaan tiba-tiba melintas dalam benak Erina. Selama ini Dimas memperlakukannya dengan baik, menjadikan Erina seperti istri yang sangat beruntung. Bahkan Dimas yang selalu mengalah saat ada masalah meskipun masalah itu timbul karena Erina.“Maafkan aku, maafkan aku.” Tubuh D
“Aku-”“Tidak perlu dijawab. Kamu pasti tidak bisa memilih. Mungkin di hatimu kamu memilih anak itu tapi di mulut kamu memilihku.”“Bukan-”“Kamu urus saja sendiri. Aku juga nanti punya kesibukan, aku mau mulai bekerja.”“Kamu tidak usah bekerja, biar aku yang bekerja. Kamu di rumah saja dan-”“Dan duduk diam, melamun, meratapi nasib malang yang menimpaku,” sambungnya.Berada di rumah, Erina akan terus berlarut dalam kesedihan. Sebelum bertemu Dimas ia juga bekerja di salah satu toko pakaian. Sekarang ia juga ingin punya kegiatan lagi.Seharusnya kesibukannya bersama dengan bayi mungil yang baru ia lahirkan, tapi semua itu hanya sebatas mimpi saat Tuhan mengambil kembali malaikat kecil yang dititipkan di rahim Erina.“Memangnya mau kerja dimana? Kamu baru selesai operasi, jangan dulu banyak gerak, tidak boleh mengangkat yang berat-berat.”“Nanti setelah kondisiku memungkinkan, aku akan bekerja di toko sembangko Bu Ema.”“Tapi janji harus pulih dulu ya.”“Hm.”Sebenarnya Dimas ingin se
“Kamu marah padaku, sakiti aku, jangan sakiti dirimu sendiri.” Bram ingat saat Bi Atin mengatakan Adeline melukai tangannya sendiri dengan pisau dan ia yakin itu adalah kali pertama Adeline tahu perselingkuhannya.Adeline tidak merespon apapun, ia berdiri mematung, fokusnya pada pelipis Bram yang berdarah.Susah payah wanita hamil itu mengendalikan emosi dan mengelola stres, sekarang Bram datang dan membuat semuanya jadi kacau.Lelaki itu berjongkok untuk memungut pecahan vas bunga dengan tangan kosong, takut kalau Adeline tak sengaja menginjaknya. Rasa sakit karena istrinya dihamili lelaki lain tidak sebanding dengan besarnya cinta pada wanita itu.Waktu yang begitu singkat tapi Adeline berhasil memenuhi relung hati Bram. Sebenarnya Bram saja yang baru menyadari jika istrinya sangat berharga, ia sudah punya rasa dan tersentuh dengan pengabdian Adeline sebagai istri tapi selalu ditepisnya jauh-jauh. Karena apa? Tentu saja pengaruh dari Sitta.“Tenangkan dirimu, aku akan pulang.”Sete