“Buang ponselmu itu. Kenapa kau tidak bisa dihubungi hah?”
Ada kelegaan yang dirasakan Dimas, ia pikir Bram tahu soal perbuatannya tadi malam. Ternyata marah karena Dimas tidak bisa dihubungi. “Maaf, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi.” Bram melangkah menuju kamar. Ia melihat istrinya terbaring dengan tubuhnya dibalut selimut. “Kamu sakit?” “Tidak. Hanya masih mengantuk,” sahutnya. Lelaki itu mengernyit heran karena tidak biasanya istrinya menjadi pemalas seperti ini. Adeline sangat rajin kalau soal mengurus suaminya. Ia selalu menunggu Bram pulang kerja, menyiapkan pakaian dan juga makanan meski bukan Adeline yang memasak. Ia sangat anti dengan peralatan dapur. Saat lahir ia sudah disuapi dengan sendok emas, tidak pernah melakukan pekerjaan rumah sekecil apapun. Dia diratukan oleh keluarganya dan sekarang menunggu diratukan oleh suaminya tapi setelah lima tahun menikah tidak kunjung mendapatkan apa yang menjadi haknya. Perannya sudah sangat mengesankan sebagai seorang istri tapi itu belum bisa mengetuk pintu hati Bram hingga membuat Adeline lelah sendiri. “Jam berapa Mami datang?” “Sebentar lagi. Dimas akan menjemputnya. Kenapa kamu pulang cepat sekali, Mas? Apa pekerjaannya sudah selesai?” “Hm.” Bram menaruh ponselnya di atas nakas lalu melangkah ke kamar mandi. Badannya terasa sangat lengket, ia bahkan masih memakai baju yang kemarin dikenakannya untuk berangkat ke kantor. Mendengar gemericik air dari kamar mandi. Adeline turun dari ranjang, berlari kecil menuju walk in closet sambil menahan perih. Mengganti baju tidur tipisnya dengan baju tidur biasa. Ada sisa-saia percintaannya dengan Dimas di baju dinas malam itu. Jantung Adeline berdebar saat mengingat kejadian tadi malam. Ia yang menginginkannya dan ia sama sekali tidak menyesal. Getar ponsel Bram di atas nakas menarik perhatian Adeline yang keluar dari walk in closet membawa baju di tangannya. Ia melempar baju itu ke keranjang dan beralih untuk melihat ponsel Bram. Berpikir itu adalah telepon penting tapi ternyata dari nomor tidak bernama. Baru saja Adeline menyentuh benda canggih itu, getar ponsel berhenti dan masuk sebuah pesan dari nomor yang sama. Fotonya seorang wanita tapi Adeline tidak mengenalnya. [Kita selesaikan masalah baik-baik, kenapa kamu malah pulang sebelum semuanya jelas!] Kening Adeline berkerut dalam. “Siapa ini?” “Apa ada yang menelepon, Lin?” Suara bariton Bram membuat Adeline tersentak. “Iya, Mas.” Ia menyerahkan ponsel itu pada sang empunya. “Bisa siapkan sarapan untukku?” Adeline mengangguk patuh. “Aku mandi dulu sebentar ya, Mas.” “Ya.” Sebisa mungkin Adeline berjalan biasa agar suaminya tidak curiga. Bram berjalan cepat ke arah balkon saat Adeline sudah berada di dalam kamar mandi. Menghubungi balik orang yang mengirimkan pesan tadi. “Sudah kubilang jangan menelepon atau mengirimkan pesan saat aku di rumah, Sitta!” “Salah kamu sendiri. Masalah kita belum beres kamu malah sudah pulang. Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus kembali kesini, Mas.” Wanita di ujung telepon itu merajuk. “Aku tidak bisa, Sitta. Aku-” “Datang sekarang atau jangan menemuiku tiga bulan kedepan!” Sitta melayangkan ancaman. “Terserah! Aku lelah mendengarmu terus merajuk, menuntut untuk ini dan itu. Lima tahun ini bahkan waktuku lebih banyak untukmu daripada Adeline. Dia saja tidak pernah marah apalagi menuntut banyak dariku, sedangkan kamu? Kamu benar-benar tidak bersyukur. Bisanya hanya membuat kepalaku sakit.” Bram memutuskan sambungan telepon sepihak. Dada lelaki itu naik turun karena emosi. Digenggamnya erat ponsel hitam itu. *** “Kamu sedang apa, Dek?” “Aku menunggu penjual bakso, Mas. Biasanya jam segini sudah lewat, tapi ini belum.” “Anak ayah pasti yang mau makan bakso ya?” Dimas terkekeh. “Iya, Mas. Dari tadi gerak-gerak terus.” Erina mengarahkan kamera belakang ke arah perutnya yang sudah membuncit. “Kalau Mas sibuk bekerja, aku di sini ditemani Ibu sama Ambu jadi Mas tidak usah khawatir.” Meski mengatakan tidak apa-apa tapi sorot mata Erina tidak bisa berbohong, ia mendambakan sang suami hadir di sampingnya. Bahkan saat awal-awal kehamilan mereka berjauhan. Erina menghadapi ngidamnya seorang diri. Beruntung ibu dan ibu mertuanya selalu ada. “Aku akan usahakan pulang, Dek. Mana mungkin aku tidak ada di sampingmu.” “Mas jangan lupa siapkan namanya ya. Beberapa bulan lagi kita bertemu dengan jagoan kita ini.” Erina mengelus lembut perutnya yang bergerak-gerak. Obrolan santai mereka terus mengalir. Meski dipisahkan oleh jarak tapi dalam sehari saja mereka tidak pernah putus untuk saling memberi kabar. Maafkan aku, Dek. Aku benar-benar khilaf. Perasaan bersalah tiba-tiba menyusup ke dalam hati Dimas. Mengingat kejadian beberapa hari lalu. Setelahnya ia berusaha untuk menghindar dari Adeline karena wanita itu juga terlihat tidak ingin mengatakan apapun. Bram sering di rumah jadi Dimas juga tidak ada kesempatan untuk bicara dan menyelesaikan semuanya. Sepasang mata yang berkaca-kaca memperhatikan Dimas dari kejauhan. Beruntungnya jadi istri Dimas. Kapan aku bisa merasakan kasih sayang dari suamiku sendiri? Untuk menyentuhku saja dia seperti jijik. Sosok itu bergumam pelan dengan gemuruh di dalam dada meratapi kisah pernikahan yang tragis. Ternyata bergelimang harta tidak menjamin bahagia.Hati Bram teriris melihat begitu memprihatinkan kondisi istrinya saat ini. seorang Adeline Putri Wirakusuma yang begitu cantik paripurna sekarang tampak lusuh tak terawat.“Del.” Mata Bram memanas, ada rasa lega setelah lima tahun lamanya mencari keberadaan Adeline, sekarang wanita itu ada di hadapannya tanpa dicari.“Sayang, ayo pulang.” Adeline menghampiri Batari dan menggendongnya.Ia sama sekali tidak memperdulikan keberadaan Bram yang terus memperhatikannya.“Kamu mau kemana? Kita pulang, sayang.” Bram menahan langkah Adeline.“Maaf, Anda mungkin salah orang, Pak!” Adeline menepis tangan Bram.Ya, mungkin kalau dilihat sekilas tentu tidak akan ada yang percaya kalau wanita ini adalah Adeline, pewaris tunggal keluarga Wirakusuma.“Jangan begini, Del. Sudah cukup lima tahun ini aku tersiksa setelah kepergianmu. Mami juga merindukanmu.”Adeline menyeringai, ia terus saja melangkah. Aku dikhawatirkan karena takut tidak ada yang meneruskan perusahaan, bukan khawatir orang tua pada ana
5 Tahun Kemudian. “Dek, mau kemana? Sudah kamu di rumah saja, biar aku yang mengantar Tari.” Dimas menahan Erina yang akan bangkit dari tempat tidur. Kondisi Erina memang kurang sehat. Beruntung hari ini Dimas tidak memiliki kesibukan apapun. Sedangkan toko kelontong milik mereka dijaga oleh dua orang karyawan, meski bukan toko besar tapi setiap hari selalu ramai. Rezeki mereka mengalir begitu deras. Mungkin itu dari kelapangan hati Erina yang ikhlas merawat darah daging suaminya dari wanita lain. Karena tidak semua wanita akan kuat melakukan itu. “Tapi, Mas-” “Sayang, kamu sedang tidak sehat. Sudah diam saja di rumah, aku tidak lama. Hanya mengantar Tari setelah itu langsung pulang.” “Ayah, Ayah.” Suara cempreng itu terdengar melengking. “Lihat, putri kita sangat cerewet.” Dimas terkekeh. “Aku berangkat dulu ya.” Dimas mendaratkan kecupan di kening sang istri sebelum keluar kamar. Kehidupan mereka sudah kembali normal semenjak kehadiran Mentari. Erina sudah lama meng
[Maaf, maaf, maaf. Aku benar-benar menyesal sudah menjerumuskan Dimas. Perbuatanku sudah sangat melukaimu. Aku mohon jangan tinggalkan Dimas, dia tidak salah. Aku yang salah, aku yang menggodanya. Sesuai permintaanmu. Rawatlah bayi ini dengan baik, kamu juga ibunya. Sekali lagi maafkan aku, aku harap kalian bahagia. Adeline.]Tidak mudah bagi seorang ibu menyerahkan anaknya untuk dirawat orang lain, namun Adeline merelakannya. Ia ingin menebus dosa yang pernah dilakukan.“Ja-jadi ... bayi ini ....” Erina benar-benar tidak menyangka kalau Adeline menyerahkan bayi itu padanya.Sebelumnya Erina bahkan sudah berpikir buruk, sekarang malah anak yang dimintanya sudah ada di depan mata.“Bawa masuk dulu, Dek. Kasihan di luar dingin.”“Iya, Mas.”Sebelum masuk. Dimas mengarahkan pandangannya ke seluruh arah untuk mencari keberadaan Adeline tapi nihil, tidak ada siapapun di sana.“Ini benar-benar anak yang Mbak Adel lahirkan.” Erina menatap gelang yang bertuliskan tanggal lahir di lengan mungi
“Kita bisa punya anak sendiri, sayang. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan untuk memberikannya lagi. Kalaupun takdir kita hanya berdua, aku tidak masalah. Mbak Adel lebih berhak atas anak itu, bahkan nasabnya pun bukan padaku.”Erina menyeringai. “Sekarang saja kamu bicara begitu, Mas. Tidak ada yang menjamin nantinya kamu bosan dan meninggalkanku.”Dimas meraih tangan Erina, digenggamnya erat. “Dengarkan aku baik-baik, sayang. Aku tidak hanya berjanji padamu, orang tuamu dan orang tuaku. Aku berjanji pada Tuhan untuk selalu ada disampingmu seberat apapun masalah yang kita jalani. Aku tahu kamu terluka karena perbuatanku tapi aku minta satu kesempatan. Apa tidak bisa?” Matanya sudah berembun.Kilasan momen kebahagiaan tiba-tiba melintas dalam benak Erina. Selama ini Dimas memperlakukannya dengan baik, menjadikan Erina seperti istri yang sangat beruntung. Bahkan Dimas yang selalu mengalah saat ada masalah meskipun masalah itu timbul karena Erina.“Maafkan aku, maafkan aku.” Tubuh D
“Aku-”“Tidak perlu dijawab. Kamu pasti tidak bisa memilih. Mungkin di hatimu kamu memilih anak itu tapi di mulut kamu memilihku.”“Bukan-”“Kamu urus saja sendiri. Aku juga nanti punya kesibukan, aku mau mulai bekerja.”“Kamu tidak usah bekerja, biar aku yang bekerja. Kamu di rumah saja dan-”“Dan duduk diam, melamun, meratapi nasib malang yang menimpaku,” sambungnya.Berada di rumah, Erina akan terus berlarut dalam kesedihan. Sebelum bertemu Dimas ia juga bekerja di salah satu toko pakaian. Sekarang ia juga ingin punya kegiatan lagi.Seharusnya kesibukannya bersama dengan bayi mungil yang baru ia lahirkan, tapi semua itu hanya sebatas mimpi saat Tuhan mengambil kembali malaikat kecil yang dititipkan di rahim Erina.“Memangnya mau kerja dimana? Kamu baru selesai operasi, jangan dulu banyak gerak, tidak boleh mengangkat yang berat-berat.”“Nanti setelah kondisiku memungkinkan, aku akan bekerja di toko sembangko Bu Ema.”“Tapi janji harus pulih dulu ya.”“Hm.”Sebenarnya Dimas ingin se
“Kamu marah padaku, sakiti aku, jangan sakiti dirimu sendiri.” Bram ingat saat Bi Atin mengatakan Adeline melukai tangannya sendiri dengan pisau dan ia yakin itu adalah kali pertama Adeline tahu perselingkuhannya.Adeline tidak merespon apapun, ia berdiri mematung, fokusnya pada pelipis Bram yang berdarah.Susah payah wanita hamil itu mengendalikan emosi dan mengelola stres, sekarang Bram datang dan membuat semuanya jadi kacau.Lelaki itu berjongkok untuk memungut pecahan vas bunga dengan tangan kosong, takut kalau Adeline tak sengaja menginjaknya. Rasa sakit karena istrinya dihamili lelaki lain tidak sebanding dengan besarnya cinta pada wanita itu.Waktu yang begitu singkat tapi Adeline berhasil memenuhi relung hati Bram. Sebenarnya Bram saja yang baru menyadari jika istrinya sangat berharga, ia sudah punya rasa dan tersentuh dengan pengabdian Adeline sebagai istri tapi selalu ditepisnya jauh-jauh. Karena apa? Tentu saja pengaruh dari Sitta.“Tenangkan dirimu, aku akan pulang.”Sete