Indera penglihatan Zia menaik karena panik. Sedetik saja, kedua netranya langsung bertemu dengan Sean. Untung lelaki itu langsung memutuskan kontak mata dengannya. Sean menoleh pada Risma.
Tampaknya lelaki itu khawatir Zia akan mengalami kesulitan bernapas. Memang benar, gadis itu menahan napasnya saat bertatapan langsung dengannya. Bahkan gadis itu merasa bibirnya terasa terkunci.
“Baiklah kalau begitu. Tujuan saya mengundang Nona Zia dan Nona Risma untuk menandatangani kontrak,” ucap Sean diikuti senyuman ramahnya.
Namun, untuk Zia ucapan lelaki itu malah membuat dirinya terkejut dan panik, bahkan tangannya terlihat bergetar. Zia refleks bersuara karena sangat terkejut,
“Secepat itu?” cetusnya hingga membuat Sean dan Risma menatapnya heran. “Maksudku lebih cepat lebih baik.” Zia langsung menjawab asal untuk menutupi rasa paniknya diakhiri tawa garing.
Terdengar pintu ruangan kerja Sean terbuka. Terlihat pak Sadin memasuki ruangan Sean dengan membawa dua buah map. Map tersebut diberikan pada Sean dan Zia.
“Silahkan pelajari dulu isi kontraknya! Di sana juga tertulis syarat, ketentuan dan perjanjian kontrak,” jelas Pak Sadin santun saat Zia mulai membuka isi map tersebut.
Sean pun membuka isi map pemberian asisten pribadinya dan membaca rinciannya dengan sangat teliti. Begitu juga Risma, ikut mendekatkan tubuhnya pada penulisnya dan melihat isi yang tertulis di dalam map tersebut. Zia bahkan mengeja setiap katanya dengan jari telunjuknya, memastikkan tak ada yang terlewatkan.
“Berapa lembar isinya?” guman Zia menyadari isi map itu terlihat sangat tebal.
“Mohon maaf sekali! Kami menulis semua ketentuan secara detail agar tidak membebani kedua belah pihak,” jelas pak Sadin langsung.
Gadis itu hanya bisa melongo mendengar penjelasan Pak Sadin yang duduk di sofa hadapannya. Zia menoleh pada Risma yang duduk di sebelahnya dan langsung dijawab anggukan, isyarat setuju dengan peraturan mereka. Sementara Sean duduk di sofa tunggal tersenyum tipis melihat wajah pasrah Zia.
“Pihak pertama adalah Pak Sean yang akan ditulis biografinya lalu Penulis Zia adalah pihak kedua,” Pak Sadin menjelaskan rinciannya lagi.
“Pihak kedua harus tinggal di tempat yang disediakan oleh pihak pertama selama 30 hari?” Zia menyambung penjelasan pak Sadin.
Gadis itu terlihat ragu-ragu membaca perjanjian tersebut. Tampaknya ia perlu memastikan maksudnya. Zia memberanikan diri melirik Sean yang terlihat masih mengamati map sebelum ia kembali menatap pak Sadin.
“Benar, Bu! Ini adalah fasilitas yang diberikan oleh pihak pertama agar pihak kedua bisa lebih fokus dengan pekerjaanya. Sebuah kamar hotel VIP di hotel ini, tentunya dilengkapi view terbaik! Kami berharap penulis mudah menemukan inspirasi. Kami rasa 30 hari sudah cukup untuk mempersiapkan biografinya,” jelas pak Sean dengan nada bangga seolah tengah mempromosikan hotel milik atasannya.
Sayangnya, penjelasan pak Sean masih membuat Zia kebingungan. Ralat! Bukan bingung, sebenarnya Zia sangat tidak menyangka akan mendapatkan fasilitas yang sangat mewah. Bahkan ia tak menyadari mulutnya yang refleks menganga dan mengatup langsung saat Risma menyikut tubuhnya.
“Ta---tapi, aku---” suara Zia gagap dan langsung terputus, Sean memotong ucapannya.
“Pak Sadin, bagaimana kalau kita ganti tempat tinggal pihak kedua, jangan di hotel VIP?” ucapan Sean sontak langsung membuat Zia dan Risma terkejut, begitu juga dengan pak Sadin.
“Di mana itu, Tuan?”
Pertanyaan Pak Sadin mewakili Zia dan Risma, bahkan Zia terlihat kecewa. Gadis itu sudah menduga pasti akan diberikan fasilitas biasa. Namun dugaanya sepertinya salah, Sean tersenyum nakal saat menatap dirinya.
“Bagaimana kalau di rumah saya saja,” ucap Sean mengejutkan.
Tiba-tiba ingatan Zia langsung terbayang wajah Sean saat menciumnya lima tahun lalu. Bukankah itu adalah tindakan awal sebelum mereka melakukan perbuatan terlarang. Pikiran Zia langsung mengartikan buruk.
“Dasar cab*l, selamanya cab*l!” gerutu Zia dalam hati, tapi ia harus menyuarakan isi hatinya untuk membela harga dirinya.
“Tidak, aku tidak mau!”
Suara Zia lantang. Ia tidak ingin menjadi gadis murahan hanya karena lelaki di hadapannya memberikan penawaran yang menggiurkan. Gadis itu tidak peduli, walaupun ia harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bayaran yang tinggi.
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.