Share

Kamu Harus Pasrah!

Reaksi Zia mengejutkan seluruh ruangan itu. Risma bahkan sampai memukul lengan Zia keras. Menurutnya reaksi penulisnya bereaksi berlebihan. Tentu saja, gadis itu protes.

“Kak, aku tidak mau tinggal satu rumah dengan laki-laki yang tidak aku kenal,” suara Zia tegas, kemudian ia menatap tajam pada CEO di hadapannya. “Jangan mentang-mentang Tuan Sean ini CEO! Anda kira saya wanita murahan!”

Sean yang mendapatkan cercaan Zia hanya tersenyum dan tertawa kecil. Ekspresi marahnya makin terlihat  menggemaskan di matanya. Cepat-cepat ia mengakhiri tawanya, gadis itu makin membulatkan matanya dan menggertakkan giginya.

“Tenanglah, Penulis Zia! Anda pikir saya ini lelaki cab*l?” Sean berusaha keras menahan tawanya.

Gadis itu kebingungan. Emosi Zia mendadak turun, ia menoleh pada Risma yang sama kebingungan dengannya. Lantas, ia menatap kembali pada Sean.

“Alasan saya kenapa meminta Penulis Zia untuk tinggal di rumah saya, agar mempermudah proses interview dengan saya. Pastinya Anda tahu kalau saya adalah orang yang sibuk? Jika Anda ada di rumah, kita bisa melakukan interview saat saya sedang bersantai di rumah. Bukankah itu ide lebih baik?” terang Sean detail. “Lagi pula rumah saya ini memiliki dua lantai dan ada empat pembantu di rumah saya, serta banyak kamar kosong yang memang selalu saya sediakan untuk kolega saya jika berkunjung ke sini.”

Wajah Zia langsung berubah merah. Ia bahkan langsung  menundukkan wajahnya menyadari kecerobohannya. Bahkan Risma mendesis kesal padanya. Zia menoleh pada wanita di sampingnya, meminta bantuan agar ia tak terlalu malu.

“Maafkan penulis saya, Tuan Sean. Penulis saya mempunyai masalah jika berhadapan dengan laki-laki. Apalagi laki-lakinya pria tampan seperti Tuan Sean, jadi gampang groginya,” Risma membela penulisnya.

Zia terkejut. Ia langsung menatap penuh amarah mendengar penjelasan Risma. “Kak Risma!” sentak Zia kesal. Penjelasan Risma justru makin membuatnya bertambah malu.

 “Tidak apa-apa, Zia! Tuan Sean pasti paham kalau kamu grogi, fokus saja dengan isi kontraknya!” pinta Zia seraya menarik lengan Zia agar tatapannya kembali fokus membaca rincian perjanjian selanjutnya.

**

Zia tidak punya pilihan lain untuk menandatangani perjanjian tersebut. Gadis itu memang sedang butuh uang banyak. Penghasilannya dari novel online dan buku cetaknya tidak cukup. Ia membutuhkannya untuk biaya operasi ayahnya.

Akhrinya Zia menemukan ayahnya setelah terpisah hampir 10 tahun. Namun, kondisi Darul, ayahnya sangat mengenaskan. Darul mengidap jantung koroner dan harus segera dioperasi.

“Baiklah, Zia, hanya 30 hari kamu tinggal bersama Pak Sean. Kamu pasti bisa!” Zia memberi perintah pada dirinya sendiri, saat ia sudah mengemasi baju-bajunya dalam koper yang diberikan Pak Sadin. “Tapi, bagaimana jika paman itu berbuat macam-macam? Bukankan Tuan Sean itu adalah paman itu?”

Tubuh Zia jatuh dengan sendirinya di atas kasurnya yang sudah menipis. Wajahnya terlihat frustasi dan tak berdaya. Ia tak hanya akan berhadapan dengan lelaki yang sudah merenggut kesuciannya lima tahun lalu, tetapi akan tinggal satu atap dengan lelaki itu. Tunggu, harusnya diralat! Bukan merenggutnya, bukankah dirinya sendiri yang memasrahkan tubuhnya pada lelaki itu.

“Tenanglah, Zia. Aku yakin paman itu sudah berbeda, sekarang dia adalah Tuan Sean. Seorang CEO, bukankah CEO sering gunti pasangan dengan mudah,”

“Lihatlah! Kemarin paman itu tidak mengenalimu kan?” Zia berdialog kembali dengan dirinya memastikan diri untuk yakin. “Benar! Kalau paman itu bersikap tidak mengenaliku, aku hanya perlu bersikap tidak mengenalinya. Hubungan kita saat ini adalah penulis dan tokoh biografi. Semangat Zia!”

Setelah Zia memberikan semangat pada dirinya, ia pun langsung menarik kopernya ke luar rumahnya. Rupanya pak Sadin sudah sabar menunggunya di depan rumah. Semangat gadis itu mendadak lenyap saat melihat senyuman ramah pak Sadin. Pak Sadin seperti algojo yang bertugas mengantar nyawanya pada Sean.

“Silahkan, Nona Zia! Saya akan antarkan Nona ke rumah Tuan Sean,” Pak Sadin membukakan pintu mobil mempersilahkan Zia masuk ke dalam.

“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Zia seraya melangkah masuk ke dalam mobil.

Zia memandangi rumahnya yang mulai bergerak menjauh. “Kenapa aku merasa  akan berpisah selamanya dengan rumahku?” Zia bertanya dalam hatinya. Matanya ingin menangis, tetapi air matanya tidak mau ke luar.

“Nona, di samping Nona ada ponsel baru. Tuan Sean meminta Nona untuk menggunakan ponsel tersebut. Nona Zia tidak diperkenankan membawa masuk ponsel pribadi milik Nona. Itu adalah syarat susulan dan sudah di setujui oleh editor Nona,” jelas Pak Sadin ramah seraya menatap gadis itu dari cermin yang berada di atas kepalanya.

Wajah Zia terlihat terkejut dan kebingungan. “Sepertinya aku tidak hanya berpisah dengan rumahku tetapi berpisah dengan kehidupanku juga. Ponsel ini adalah hidupku,” Zia benar-benar menangis, tetapi kenapa air matanya tidak kunjung keluar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status