Zia memakai dress warna putih gading selutut dengan corak bunga tulip merah muda. Setelah merapikan bajunya, ia berjalan dan duduk ke meja rias sebentar. Gadis itu memoleskan sedikit pelembab pada wajahnya dan melapisinya dengan bedak tipis untuk meratakan warna kulitnya. Zia mengoleskan lip ice, setidaknya bibirnya tidak boleh terlihat pucat di hadapan ayahnya. Benar! Ia berdandan tipis untuk ayahnya bukan untuk Sean. Mungkin akan menjadi kencan terakhirnya dengan ayahnya sebelum ia kembali ke dalam penjara pamannya. Ah, tetapi ia tetap harus bersyukur karena ayahnya bisa segera dioperasi berkat bantuan Sean. “Okeh cukup!” perintah gadis itu pada pantulan wajahnya di cermin setelah puas memandangi wajah manisnya. Gadis itu hampir terkejut saat baru saja membuka pintu kamarnya. Bi Asti sudah berdiri di depan pintunya. “A—ada apa, Bi?” tanya Zia sedikit gagap. “Tuan Sean meminta Nona menunggu sebentar,” jawaban ramah bi Asti membuat kedua bola mata Zia membulat sempurna. “Memangny
“Tu—tuan, beneran mau menjadikan aku sebagai sugar baby dan meminta izin pada ayahku?” tanya Zia dengan tatapan tak percaya dan panik. Sean mengerutkan dahinya, kemudian ia tersenyum nakal. “Ide yang bagus, kita temui ayahmu untuk meminta izin!” Tubuh Zia terlihat lemas, wajahnya pucat. Walaupun sebelumnya ia memilih pasrah menjadi sugar baby-nya Sean, tetap saja ia takut dan tak siap. Ia menarik napas seraya menutup matanya, mempersiapkan diri untuk bertemu ayahnya sebelum memasuki dunia yang mengerikan, pikirnya. “Are you ready?” tanya Sean yang menyadari gadis di hadapannya terlihat lebih tenang. Ya, walaupun Zia belum bisa menghilangkan rasa takutnya pada dirinya. Glek! Salivanya menerobos paksa melewati tenggorokannya. Ia ingin menolak, tetapi pikirannya tertuju pada ayahnya. “Tuan—“ Ucapan Zia terputus, saat Sean sudah membukakan pintu mobil untuknya. Sean kemudian menggerakkan kepalanya ke arah pintu. Isyarat untuk dirinya masuk ke dalam mobil. “Come on, baby! Ah, aku le
Zia terdiam menahan semua rasa yang menyerangnya. Rasa takut, malu, kesal, serba salah dan menyesal karena salah berucap serta bereaksi. Rasa kesal dan malunya makin bertambah saat mendengar tawa lantang Sean. “Tenanglah! Saya tidak akan meminta lagi,” ucap Sean menahan tawanya, seraya melajukan kembali mobilnya. Gadis di sampingnya langsung menoleh curiga. Tentu saja Sean menyadari Zia menatapnya curiga. Ia pun menoleh sebentar. “Tapi jika kamu menawarkannya, saya tidak akan menolak,” godanya. “Tuan Sean!” sentak Zia tak bisa lagi menahan rasa kesalnya. Ia lantas menutupi wajahnya dengan tote bag-nya. Hingga 10 detik berlalu Sean hanya mengukir senyum dan fokus pada kemudi mobilnya. Zia pun menurunkan tote bag dari wajahnya. Setelah lama keheningan menyelimuti mereka, kini rasa canggung dan bingung menyelimuti gadis kecilnya Sean. Zia tahu betul arah yang mereka tuju sekarang. Sean benar membawanya ke rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Berarti dia yang selama ini salah paham pa
“Tu—tuan Sean?” Sean langsung disambut suara parau dan gagap oleh lelaki tua yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rawat. Ya, dia adalah Daru, ayahnya Zia. Cepat-cepat Sean berlari saat menyadari lelaki itu hendak bangkit dari baringnya.“Tidak usah bangun, Pak Darul! Saya tahu Pak Darul sedang lemah,” perintah Sean yang berhasil menahan tubuh Darul.Sean lantas tersenyum pada Darul. Sementara wajah Darul terlihat bingung dan salah tingkah. Perlahan, Darul pun tersenyum membalas senyuman Sean.“Bagaimana Tuan Sean menemukan saya? Dan apakah ruangan ini dari Tuan Sean?” tanyanya dengan suara lemah.“Bukan saya yang memberikan ruangan ini buat Pak Darul, tetapi putri Bapak lah yang memberikannya dan saya berhasil menemukan Pak Darul karena putri Pak Darul juga,” jawab Sean santun.Darul berpikir sejenak. “Zia? Maksud Tuan Sean adalah Zia?” tanyanya seraya membulatkan kedua bola matanya dan langsung dijawab anggukan Sean.“Bukankah Zia mengatakan pada saya kalau dia akan bekerja ke
Sean terdiam mendengar pertanyaan Darul. Wajahnya terlihat berpikir dan mencerna pertanyaan tersebut. “Suka? Maksudnya suka sebagai seorang laki-laki pada perempuan?” tanyanya memperjelas pertanyaan Darul. Lelaki tua yang terbaring di hadapannya mengangguk. Sean tersenyum. Sejujurnya ia sendiri ragu, ia lantas mengingat awal mulai ia betemu dengan Zia. “Setelah kepergian ibu, saya merasa hilang arah. Kemudian ayah saya menikah lagi dan keluarga barunya datang ke rumah. Bahkan Niko, saudara tiri saya mencoba mengambil alih perusahaan yang dibangun oleh ibu dan ayah. Sayangnya, ayah saya menyetujuinya,” ucapan Sean terhenti, ia menatap lelaki tua di hadapannya lagi dan tersenyum. “Saat itu saya sedang putus asa karena merasa diabaikan oleh ayah saya. Lalu saya bertemu dengan Zia. Saat itu juga Zia sedang sama putus asanya dengan saya,” penjelasan Sean terhenti lagi, ia kembali tersenyum. “Zi—zia? Apa yang terjadi dengan Zia hingga ia putus asa?” tanya Darul penasaran. “Saat itu Zia
“Oh tidak!” guman Zia panik diikuti wajahnya yang meringis.Perlahan ia menaikkan tubuhnya, tetapi tidak dengan pandangannya. Ya, sejak Sean meninggalkan dirinya di luar kamar rawat ayahnya, Zia gelisah dan penasaran. Ia tidak bisa menahan dirinya untuk mencari cara untuk menguping pembicaraan Sean dengan ayahnya, walaupun ia tahu kalau ruangan ayahnya kedap suara.“Zia, itukah kamu, Nak?” suara Darul seperti menyelamatkan Zia. Setelah ia menunjukkan barisan giginya pada Sean, Zia menerobos masuk melewati lelaki yang masih membentengi pintu di hadapannya. Gerakan Zia terlalu cepat, hingga Sean refleks terdorong ke belakang. Untunglah lelaki itu masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Sean menarik napas panjang mendapatkan perlakuan tak terduga dari gadis kecilnya. Namun, dua detik kemudian ia mengukir senyuman. Ia melihat wajah haru di antara Darul dan Zia. Kemudian ia memilih meninggalkan ayah dan anak itu untuk melepaskan rindu.“Ayah, bagaimana keadaanmu?” tanya Zia setelah ia
Zia terdiam mendengar permintaan ayahnya. Haruskan ia memenuhi permintaan ayahnya? Berarti ia harus rela menjadi sugar baby-nya Sean agar bisa selalu di dekat Sean dan menjaganya. Haruskah ia ceritakan pada ayahnya kejadian lima tahun yang lalu.Kejadian tersebut yang membuatnya dilema. Ia kira hanya dirinya yang merasa berhutang budi pada Sean. Bukan hutang budi, melainkan Zia mencuri uangnya dulu. Mungkin bisa disebut merampok Sean, karena ia tak menyisahkan satu sen pun di dalam dompet lelaki itu.“Kenapa, Nak?” tanya Darul menyadarkan lamunan anak gadisnya. “Apa ada masalah dengan tuan Sean? Atau kamu keberatan dengan permintaan ayah?”Zia langsung ngulum senyum. Ayahnya tak perlu tahu masalahnya. Tampaknya ia harus memantapkan hatinya untuk menebus kesalahannya pada Sean dan menuruti per
“Tentu saja, Tuan Sean! Tuan Sean, bebas melakukan apapun pada putri saya, Zia,” ucapan santai Darul langsung membuat anak gadisnya membulatkan kedua bola matanya. “Ayah!” pekik Zia dengan tatapan sedikit nanar dan disusul wajahnya yang meringis tak terima. Sean tersenyum puas. Ia lalu tertawa kecil dan disusul tawa Darul. Tentu saja, Darul tahu kalau Sean hanya menggoda anak gadisnya. Ya, Darul dapat melihat wajah Sean yang sangat menyukai putrinya. Darul percaya kalau anak majikannya dulu, adalah orang baik. Ia hanya berharap Sean bisa membahagiakan Zia dan juga Zia bisa bahagia bersama Sean. “Kalau begitu, kami pamit dulu!” ucap Sean setelah ia puas melihat ekspresi kesal Zia. Zia tak punya pilihan lain selain menurut pada Sean. Sean memberikan waktu pada Zia untuk memeluk ayahnya. Darul pun melepas kepergian anak gadisnya bersama Sean. Hatinya terasa lega saat tahu Zia bekerja untuk Sean. Sementara Zia yang mengikuti langkah kaki Sean memilih menundukkan wajahnya. Ia masih