"Aaahhh ... Aahhh."
Di ruangan yang ber-AC dengan pencahayaan yang minim, aku mendesaah kuat dengan hati yang berdesir saat tubuhku berhasil dimasuki oleh seseorang yang dulu pernah menjadi suamiku. Awalnya aku menolak, tetapi Kak Calvin terus memaksaku, dan akhirnya aku terhanyut dalam permainannya. Selama masa pernikahan kami, kami hanya sekali berhubungan badan, dan aku bahkan tidak ingat bagaimana rasanya. Akan tetapi, dengan keanehan yang ada, kali ini aku merasakan kenikmatan yang begitu luar biasa. Ya Allah... aku memohon ampun-Mu, semua ini adalah kesalahan dan dosaku. Seharusnya dari awal aku tidak menuruti permintaan yang konyol dari bosku. Namun, di sisi lain, aku juga takut kehilangan pekerjaan. Mungkin, besok aku akan benar-benar dipecat jika Nona Agnes mengetahui kalau aku dan Kak Calvin telah memadu kasih semalam penuh. *** POV Viona (Flashback On) "Halo ... iya, Pa?" tanyaku dari pada sambungan telepon. Papaku yang bernama Tatang menelepon. "Bundaaaaa ...." Suara isakan tangis justru yang aku dengar memanggilku. Aku mengenal jika itu adalah suara milik Kenzie—anak semata wayangku. "Kenapa, Sayang? Kenapa Kenzie menangis?" Jantung ini langsung berdegup kencang. Kenzie adalah anak yang jarang sekali menangis, jadi wajar kalau aku khawatir. Apalagi saat ini aku berada diluar rumah. "Azzam dan teman-temannya mengatai Kenzie nggak punya Ayaaah, Bundaaaa. Hiks ...," jawabnya sambil menangis tersedu-sedu. Aku tau Azzam, dia ini salah satu teman kelasnya. Kenzie sudah sekolah TK dan usianya saat ini 5 tahun. "Lho ... kok bisa, si Azzam mengataimu begitu, Nak?" "Katanya ... hali ini adalah hali Ayah se-dunia, Bunda. Dan meleka semua sibuk mencali kado untuk Ayahnya. Sedangkan Kenzie sendili nggak tau siapa Ayah Kenzie, telus meleka mengatai Kenzie nggak punya Ayaaah ...," terang Kenzie dengan suara cadelnya yang tak bisa mengucapkan huruf R. Aku pun hanya bisa menghela napas berat. Memang anakku ini begitu sensitif kalau membahas masalah Ayahnya, jadi wajar juga mengapa dia menangis. Pasti dia sangat sedih. Sebetulnya, bukan Kenzie tak punya Ayah. Apalagi anak haram. Tentu bukan! Dia masih punya Ayah, hanya saja aku dan suamiku sudah bercerai. Dia juga tidak tahu kalau dihari setelah kami bercerai—aku ternyata dinyatakan hamil anaknya. Sampai detik ini pun aku tidak pernah memberitahukan dia tentang Kenzie. Bukan bermaksud tega, tapi itu adalah permintaan Papaku. Terlebih aku pun mendapatkan kabar dari mantan Ayah mertua, kalau dia tinggal di Korea sekarang. "Ya udah, nanti besok biar Bunda nasehatin si Azzam, dan teman-temannya, ya ... biar mereka nggak terus meledekmu. Kalau begitu udahan dulu, ini Bunda mau ketemu sama Bos Bunda, Nak." Dari kaca pintu, aku melihat Nona Agnes melangkah menuju ke sini. Aku memang berada di dalam cafe karena ada janji ketemuan dengannya. "Nanti Bunda pulangnya bawa Ayah, ya? Pokoknya Kenzie ingin punya Ayahhh, Bundaaa ...," pinta Kenzie yang kembali terisak. Akhirnya aku langsung mengakhiri panggilan itu tanpa menjawabnya. Sebab aku sendiri bingung. Kalau mengiyakan tapi pulang tanpa membawa ayahnya, itu sama saja seperti memberikannya harapan palsu. Yang ada Kenzie tambah sedih. "Sudah nunggu lama?" tanya Nona Agnes yang baru saja menarik kursi di depanku lalu duduk. "Baru saja, Nona," jawabku. "Apa Nona mau pesan minuman? Biar saya panggilkan pelayan." Tangan ini sudah terangkat, hendak memanggil seorang pelayan yang baru saja lewat. Namun, Nona Agnes langsung menahanku. "Enggak usah, Vio. Aku nggak haus, lagian aku juga masih banyak kerjaan habis ini." "Oh ya udah." Kutarik kembali tangan ini. "Sekarang Nona katakan saja apa yang Nona dibutuhkan, biar saya langsung membelinya." Sebelumnya, Nona Agnes ini memang mengajak ketemu karena dia mengatakan ingin meminta bantuan kepadaku. Jadi aku berpikir dia membutuhkan sesuatu yang harus aku beli. "Nanti malam ... aku sudah mantap ingin menjebak pacarku. Dan aku butuh bantuanmu, Vio." "Menjebak?!" Mataku seketika membulat. Bukankah menjebak itu dalam arti seperti melakukan tindakan kejahatan? Ah rasanya aku takut. Jantungku jadi berdebar sekarang. "Iya. Hari ini pacarku pulang ke Indonesia dan nanti malam dia ada janji ketemuan dengan rekan kerjanya di restoran. Aku mau ... nanti kamu ...." Nona Agnes langsung menceritakan detail tentang rencananya, dan sontak diri ini kembali membulatkan mata lantaran terkejut. Tidak! Apa yang dia lakukan salah. Aku pun nanti akan ikut berdosa. "Tapi, Nona, kenapa Nona sampai melakukan hal itu?" tanyaku yang merasa tak habis pikir dengan idenya. Nona Agnes ingin aku membantunya menjebak pacarnya supaya bisa tidur dengannya di hotel. Bukankah itu adalah hal konyol? Bagaimana dengan harga dirinya? Dia 'kan perempuan. "Memang kamu perlu tau, ya, Vio?" Mata perempuan itu terlihat sedikit melotot. Sepertinya dia tidak suka dengan pertanyaanku tadi. "Kamu 'kan kerja hanya jadi asistenku. Kalau memang aku nggak mau cerita, ya kamu nggak perlu tau dong!" pungkasnya kemudian. "Maafkan saya, Nona." Aku menunduk sambil menggerakkan kepala sebentar naik turun. Sepertinya aku salah bicara. "Tapi sepertinya, saya nggak bisa. Saya nggak bisa membantu Nona." "Kenapa?" "Saya takut." "Ngapain takut? Kamu 'kan nggak aku suruh b*nuh orang." "Tapi, Nona, bukankah itu juga termasuk tindakan kejaha—" “Udah mending nurut aja,“ potongnya cepat. "Kalau memang kamu masih ingin kerja denganku." Nona Agnes langsung berdiri sambil menyugar rambutnya ke belakang, lalu perlahan dia merogoh tasnya dan memberikanku sebuah botol obat berbahan kaca. Kecil sekali. "Ambil ini, Vio. Pastikan tiga tetes tercampur diminuman pacarku dan awasi dia untuk benar-benar meminumnya. Kamu juga datang harus lebih awal darinya, lalu membayar pelayan untuk ikut membantumu." "Memang ini obat apa?" Kuperhatikan obat yang berada dalam genggaman lamat-lamat. Botol bening ini polosan, jadi aku tidak tahu obat apa itu. "Itu obat yang akan memperlancar misiku." "Tapi bukan racun 'kan, Nona?" tanyaku memastikan karena ragu dengan jawabannya yang tidak mengatakan secara terang-terangan. "Enggaklah. Gila aja kamu, Vio. Mana mungkin aku memb*nuh pacarku. Kan aku ingin sekali menikah dengannya." Oh ... apakah rencana menjebak ini karena Nona Agnes ingin dinikahi? Kalau memang iya, kenapa tidak memintanya secara langsung? Atau pacarnya memang tidak peka? Ah sayang sekali kalau benar, padahal mereka sudah pacaran lebih dari dua tahun. *** Sekarang, kedua kakiku ini telah berpijak di sebuah restoran bintang lima. Aku datang sejam lebih awal dari pacarnya Nona Agnes, karena memang ini atas permintaannya. Tapi aku sendiri memilih masih berdiri di dekat pintu kaca, belum ingin masuk karena masih mencari-cari keberadaan pacarnya Nona Agnes. Eh tapi ngomong-ngomong, aku sendiri tidak tahu bagaimana rupanya. Ah bodoh sekali memang aku ini! Bagaimana coba aku mau membantu Nona Agnes, sementara aku sendiri tidak tahu wajahnya. Tapi salah Nona Agnes juga mengapa tidak memberitahukan, padahal dia juga pasti tahu kalau aku belum pernah bertemu dengan pacarnya. Setelah cukup lama berdebat dalam hati, aku pun segera merogoh ke dalam tas untuk mengambil hape. Lalu mengirimkan sebuah chat kepada Nona Agnes. [Nona maaf ... bisa saya minta foto pacar Anda? Karena saya nggak tau wajahnya.] "Viona ...." Tiba-tiba, terdengar seseorang memanggil namaku dari arah belakang. Tapi kenapa suaranya terdengar begitu familiar sekali? Tak menunggu waktu yang lama, aku pun segera berbalik badan dan menatapnya. Namun, sontak mata ini membulat.“Zea, kamu dengar aku, kan?” suara Pak Kenzie meninggi, membuatku tersentak. Degupan jantungku semakin cepat."Enggak, Pak." Aku menggeleng cepat, berusaha agar suaraku terdengar tenang. "Aku nggak pakai pakaian kurang bahan itu. Dan ini juga masih terlalu pagi untuk… untuk itu, Pak. Menurutku lebih baik malam saja."Aku tahu persis ke mana arah pembicaraan ini menuju. Rasa takut mulai merayap di hatiku."Dalam bercinta itu nggak ada aturannya, Zea. Mau pagi, siang, atau malam… asalkan kita sudah sah, kapan pun bisa dilakukan."Lagi-lagi kata 'sah' ditekankan, seolah itu menjadi satu-satunya alasan yang membenarkan semua ini.Memang benar, kami sudah sah, tapi aku belum siap. Belum siap secara mental dan emosional.Hening… hanya deru mobil yang memecah kesunyian. Aku tak menjawab, bingung harus berkata apa. Kata-kata seakan macet di tenggorokan.Akhirnya, kami sampai di tujuan. Sebuah tempat pemakaman umum yang rapi dan elite. Kuburan orang-orang kaya, kurasa.Sebelum ke pusar
“Bunda… Ayah,” panggilku lirih, suara sedikit bergetar. Ayah segera menutup pintu kamar, lalu menunjuk ke arah sofa—isyarat untuk kami duduk bersama. Aku menurut, jantungku berdebar-debar, tak berani bertanya. “Ken… Mana obat yang kamu dapat dari Bunda?” tanya Ayah, suaranya tenang namun tegas, menusuk kalbuku. Dengan tangan gemetar, aku mengambil obat di atas nakas, memberikannya pada Ayah. “Maaf, Yah. Sebenarnya obat itu milikku,” aku langsung mengakui. Lebih baik jujur daripada diinterogasi. Beban berat terasa menindih pundakku. Aku yakin Bunda sudah bicara dengan Ayah, menuduhnya selingkuh, padahal akulah penyebabnya. “Milikmu?” Dahi Ayah berkerut, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. “Apa maksudmu, Ken? Ayah dapat obat ini dari Akmal, tapi dia bilang kamu yang memintanya. Tapi masalahnya …” Ayah menjeda, menoleh ke Bunda yang menatapku dengan tatapan penuh tanya. “Ayah tidak pernah memintamu membelikan obat seperti itu, Kenzie. Ayah yakin.” “Memang tidak pernah, Ya
(POV Kenzie) "Tunggu dulu, Pak!" Zea menahan langkahku, saat bibirku hampir menyentuh bibirnya. Detik-detik yang seharusnya penuh gairah, kini terasa menggantung. Ah, kebiasaan dia ini, selalu jual mahal. "Apa lagi? Kamu nggak boleh menolak lho, Zea. Ini kan sudah kesepakatan kita." Tanpa menunggu jawaban, aku menggendongnya, membawanya ke ranjang. Namun, saat tubuhnya terbaring lembut di kasur, mataku membulat tak percaya. Bunda terbaring di sana, matanya terpejam dalam tidur lelap. "Lho, kok Bunda ada di sini, Zea?" Rasa kecewa memenuhi dada. Jika Bunda ada di sini, rencana indahku pasti gagal. Aku tak mau! "Iya, Pak. Itulah yang ingin kusampaikan tadi. Bunda ada di sini." "Tapi kenapa bisa?" Aku butuh penjelasan, jawaban yang masuk akal. "Jangan bilang kamu sengaja meminta Bunda ke kamarmu, supaya kita nggak jadi bercinta, kan??" Ini pasti strategi Zea, memanfaatkan kebaikan Bunda untuk menggagalkan niatku. Aku tahu itu, tapi aku tak mudah menyerah. "Bapak jangan
Ceklek…Pintu kamar mandi terbuka perlahan, memperlihatkan Ayah Calvin yang baru saja selesai mandi. Hanya berbalut handuk, langkahnya menuju lemari. Namun, pandangannya terhenti. Di ranjang, terhampar tubuh Bunda Viona yang tertidur pulas membelakangi dirinya. Cahaya lampu tidur remang-remang menerangi rambut istrinya yang terurai."Tumben Bunda udah tiduran di kasur?" tanyanya sembari memakai pakaian, suaranya pelan, penuh perhatian.Hening...Tak ada jawaban dari istrinya. Tubuh Bunda Viona juga tak merespon.Merasa penasaran, dan sedikit khawatir, Ayah Calvin pun mendekati kasur. Dia naik ke kasur dengan hati-hati, menatap wajah Bunda Viona yang tenang dalam tidur.Dengkurannya samar-samar terdengar, menandakan lelapnya tidur sang istri. Namun, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya sedikit cemas."Bunda pasti capek, ya, hari ini, mangkanya Ayah ditinggal tidur." Ayah Calvin mendekatkan wajahnya, lalu mencium lembut kening istrinya penuh kasih. "Ya sudah, Ayah mak
(POV Author)Malam telah tiba. Kenzie sudah pulang kerja dan mandi.Karena malam ini malam spesial, Kenzie sampai rela berendam dengan susu— berharap kulitnya akan selembut pan tat bayi saat bersama Zea nanti. Aroma susu masih sedikit tertinggal di tubuhnya, menambah sensasi yang membangkitkan. Namun, obat dari Akmal belum juga datang. Siang tadi, dia bilang belum menemukannya dan berencana mencari ke apotik yang lebih besar.Kecemasan mulai menggerogoti Kenzie. Dia berharap obat itu ada dan ingin meminumnya sekarang juga, sebelum bercinta dengan Zea. Bayangan tubuhnya yang lentur dan aroma tubuhnya yang khas membuat Kenzie semakin gelisah. Kenzie ingin malam ini menjadi malam yang sempurna."Coba telepon deh." Kenzie meraih ponselnya dari saku celana. Sayangnya, nada sambung tak kunjung ada. Nomornya tidak aktif."Ish… ke mana sih si Akmal ini? Ini 'kan sudah malam, tapi nomornya malah nggak aktif, ditungguin juga nggak d
Tapi sejujurnya, obrolanku tidak terlalu penting. Yang terpenting hanya supaya aku bisa menatapnya lama-lama sambil mendengar suaranya. Sekaligus bisa mencuri kesempatan, tapi sayangnya yang terjadi tidak sesuai ekspektasi."Besok aku mau mengajakmu ke makam Kakek. Tapi kamu kira-kira bakal takut nggak?" Aku melontarkan pertanyaan itu, mencoba memulai percakapan. Aku penasaran dengan reaksinya."Enggak kok, Pak. Jam berapa?" Jawaban Zea membuatku sedikit lega.Benar kata Ayah, Zea terlihat tenang saat membahas tentang Kakek. Sepertinya dia memang tidak takut."Pagi saja, sebelum aku berangkat kerja. Kalau siang takut panas.""Iya." Dia mengangguk."Oh ya, Zea. Kamu nggak ada keinginan kabur lagi, kan?" Pertanyaan ini sedikit lebih serius. Aku ingin memastikan. Kejadian sebelumnya masih terngiang di pikiranku."Bapak kepengen aku kabur?" Zea balik bertanya, suaranya terdengar sedikit curiga. Matanya mengama
"Kamu pergilah ke pasar tradisional, terus cari ayam yang masih hidup, Ken, lalu sekalian minta disembelih. Tapi bulunya tidak perlu dicabut dan cari bulunya yang bagus, ya?"Permintaan Bunda membuatku mengerutkan dahi. Ada yang aneh."Kenapa bulunya nggak boleh dicabut dan harus dicari yang bagus?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit ragu, kebingungan memenuhi dada. Ini bukan permintaan yang biasa."Karena bulunya itu yang mau dipakai. Si Zea kepengen makan sup bulu ayam katanya, jadi nanti Bunda mau masakin untuknya." Jawaban Bunda semakin membuatku heran."Sup… bulu ayam?" Nama masakan itu terdengar asing di telingaku, benar-benar aneh. "Memangnya bulu ayam bisa dimakan ya, Bun? Setahuku nggak bisa deh." Aku menggelengkan kepala tak percaya.Bunda terkekeh pelan. "Memang nggak bisa, lagian nggak ada dagingnya juga, Ken." Ternyata Bunda juga menyadari keanehannya."Terus... ngapain juga si Zea kepengen makan bulu ayam? Pakai di sup segala lagi." Keheranan dan kekhawatiran
"Ih enggak!" bantahku dengan gelengan kepala, lalu membuka pintu kamar. "Kalau begitu aku mau mandi dulu deh." "Ya sudah, sana mandi. Ayah tunggu di ruang makan, ya? Jangan lupa cukuran juga biar enak dipandang." Ayah kembali tertawa mengejek, lalu melangkah pergi turun dari anak tangga. Cukuran katanya? Apanya yang perlu dicukur? Rambutku saja masih pendek. Baru kemarin aku potong rambut. * * * "Ken… kamu sudah mendengar dari Zea belum, masalah mahar pernikahanmu?" tanya Ayah, suaranya santai terdengar di antara gemuruh mesin mobil yang kami tumpangi. Hari ini Ayah tidak membawa mobilnya, katanya sedang diservis di bengkel. Kami berangkat kerja bersama. "Sudah, Yah. Kenapa memangnya?" Aku menoleh sebentar, dahiku berkerut, sebelum kembali fokus menyetir. Pertanyaan Ayah membuatku sedikit penasaran. "Masalah rumah dan mobilnya, nanti biar Ayah yang cari. Pak D
Keduanya lalu menatap kembali Zea. "Selain itu, apa lagi yang Kakek sampaikan?" tanya Ayah, suaranya lembut.Zea terdiam sejenak, menunduk, ragu untuk melanjutkan. "Dia ...," bisiknya pelan, "Memintaku untuk memaafkan apa yang Pak Kenzie perbuat.""Lalu, kamu jawab apa?" tanya Ayah lagi, tatapannya penuh perhatian."Belum sempat aku jawab, Yah, tapi Kakek sudah keburu pergi. Dipanggil pun tidak menjawab," jawab Zea lirih."Apakah wajah Kakek menyeramkan? Bagaimana saat kamu melihatnya?" Kali ini Bunda yang bertanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.Aku sendiri sebenarnya ingin bertanya juga, tapi pertanyaan Bunda dan Ayah seakan mewakili semua rasa ingin tahuku."Wajahnya sama seperti di foto, Bun. Cuma... agak glowing saja."Ayah menatapku, lalu mendekat dan menggenggam tanganku erat. Tanpa sepatah kata, dia menarikku berdiri dari tepi kasur."Sekarang kamu istirahat dulu ya, Zea. Nanti Bibi bawakan