"Ini kopinya Kak, Pa. Maaf kalau lama, ya?" Kupandang wajah Papa dan Kak Calvin sebelum menaruh nampan di atas meja plastik. Tapi pria itu tak sedikitpun melirikku, dia justru terlihat membuang muka ke arah mobil.
Apakah dia masih marah padaku? Tapi, bukankah dia juga sudah dengar sendiri bahwasanya masalah Kenzie terjadi karena permintaan Papa? Harusnya 'kan dia sudah tidak lagi marah padaku. "Oh ya, Papa kerja apa sekarang? Apa masih nyupir?" tanya Kak Calvin yang kudengar mengganti topik obrolan. "Iya, Papa masih nyupir, Cal," jawab Papa. "Kamu sendiri, apa kesibukannya sekarang? Dan kamu dari kapan di Indonesia? Terakhir kali Papa dengar dari Ayahmu ... kamu tinggal di Korea." "Aku udah semingguan di Indonesia, Pa. Tapi memang kadang sebulan atau dua bulan sekali aku ke Korea, karena masih ada kerjaan di sana. Tapi ya nggak menetap juga karena aku nggak mungkin bisa meninggalkan kantorku di sini," jelas K(POV Kenzie)"Suster! Tolong istriku, dia sakit perut dan pendarahan!" Jeritku memecah kesunyian lorong rumah sakit, suaraku bergetar tak terkendali.Zea terkulai lemas dalam gendonganku, wajahnya pucat pasi. Rasa cemas menggerogoti, mencekik tenggorokanku hingga sesak.Aku takut… takut kehilangan Zea, takut kehilangan calon buah hati kami. Bayangan kehilangan mereka berdua menghantuiku, membuat langkahku terasa berat."Bawa istri Anda ke UGD, Pak. Mari ikuti saya," ucap Suster. Aku langsung mengikuti langkahnya. Di UGD, seorang dokter wanita sudah menunggu. Tatapannya tajam, menilai kondisiku dan Zea sekilas. Aku segera membaringkan Zea di atas tempat tidur, tubuhnya terasa dingin."Tolong istriku, Dok! Dia pendarahan dan sakit perut. Di jalan tadi pingsan karena mengeluh sakit kepala." Aku mencurahkan semua yang terjadi, kata-kataku terburu-buru, didorong oleh rasa panik yang membuncah. Aku ingin Zea segera ditangani, aku tak sanggup melihatnya menderita."Baik, b
"Bagaimana? Apa kata Ibu Panti?"Pertanyaan Bunda Viona terlontar setibanya kami di rumah.Aku ingin sekali bercerita, menuangkan semua yang kurasakan hari ini, tapi tubuhku terasa remuk, berat sekali. Hanya satu yang kupikirkan: kasur yang empuk dan selimut yang hangat. Aku ingin segera berbaring."Ceritanya nanti saja, Bun, biar Zea istirahat dulu." Suara Kak Kenzie, lembut dan penuh pengertian, menyelamatkanku dari pertanyaan Bunda. Dia seolah mengerti kelelahan yang kurasakan."Oh ya sudah, istirahatlah dulu." Bunda mengangguk, suaranya penuh kelembutan.Kami pun melangkah meninggalkan Bunda, langkah kakiku terasa berat, menarik setiap serat tenagaku. Menuju lantai atas."Kamu kepengen apa? Biar aku ambilkan," tawar Kak Kenzie, suaranya terdengar begitu dekat dan hangat. Selimut dia tarik hingga menutupi tubuhku, sentuhannya lembut, menenangkan. Rambutku dia elus penuh kasih sayang"Enggak usah, Kak. Aku nggak kepengen apa-apa." Aku menggeleng lemah, suaraku serak, mencerminkan k
"Dia Bahri, Nak. Sewaktu muda dulu." Jawaban Bu Halimah membuatku menoleh ke arah Pak Bahri. Pandanganku beralih dari foto usang di depanku ke wajah Pak Bahri yang tampak tersenyum padaku.Jadi benar, Mama dan Pak Bahri saling mengenal, dan kemungkinan mereka pernah berpacaran sepertinya memang benar. Seutas senyum tipis mengembang di bibirku, menghilangkan sedikit beban di dadaku. Berarti Pak Bahri tidak berbohong padaku. Setidaknya, dalam hal ini."Wajah Bapak memang beda banget pas muda ya, Zea? Sampai kamu nggak mengenalinya. Lebih ganteng sekarang atau dulu menurutmu?" tanya Pak Bahri, suaranya terdengar sedikit canggung, wajahnya kulihat merona samar di balik kulitnya yang cerah."Enggak dua-duanya." Kak Kenzie tiba-tiba menyela, suaranya datar, namun nadanya tajam dan menusuk. Dia menatap Pak Bahri dengan pandangan yang sulit kutebak."Kok kamu gitu sih sama Bapak, Ken? Menyenangkan hati orang tua 'kan berpahala." Pak Bah
Mobil berhenti setelah tiga jam perjalanan yang melelahkan.Kepalaku terasa berat, sisa-sisa kantuk masih menempel erat setelah tertidur di mobil. Namun, rasa lelah itu sirna seketika begitu kami berempat keluar mobil dan disambut hangat oleh senyum seorang wanita tua di teras rumah panti.Rambut wanita itu sudah memutih, kulitnya keriput, namun sorot matanya masih berbinar, memancarkan kebaikan yang menenangkan. "Dia Ibu panti di sini, Zea. Namanya Ibu Halimah." Pak Bahri memberitahuku, lalu dia melangkah lebih dulu, menyapa beliau dengan ramah."Assalamualaikum, Bu. Ibu masih ingat denganku, kan?" Suaranya lembut, penuh hormat. Dia mencium punggung tangan Ibu Halimah, dan aku pun mengikutinya, merasakan sentuhan lembut kulit keriput itu di pipiku.Jantungku berdebar. Harapanku bercampur baur dengan rasa gugup. Semoga beliau masih mengingat Mama, dan mau berbagi informasi yang kami butuhkan."Walaikumsalam. Jelas kenal, nggak mungkin Ibu lupa denganmu, Ri." Senyum Bu Halimah m
"Kak Kenzie sedang pergi dengan Opanya, Pak," jawabku."Oh pergi. Ya sudah... Bapak tunggu dia sampai pulang saja di sini.""Kalau ditungguin biasanya lama, Pak." Aku tidak enak saja takut Pak Bahri bosan. Menunggu memang menjadi sesuatu hal yang membosankan, apalagi dalam situasi menegangkan seperti ini."Enggak apa-apa. Lama juga nggak mungkin sampai dua hari." Suaranya terdengar lebih lembut, mencoba meyakinkanku, mencoba untuk meredakan kekhawatiran yang tersirat dalam ucapanku."Biar Ayah yang menemani Pak Bahri di sini, Zea," ucap Ayah, suaranya hangat, menawarkan bantuan dengan penuh kelembutan. Lalu menatap Pak Bahri. "Ayok diminum dulu kopinya, Pak.""Iya, Pak." Pak Bahri mengangguk lalu meraih secangkir kopi itu."Kamu balik lagi ke kamar yuk, Zea, istirahat," ucap Bunda, suaranya lembut, menawarkan pelukan tanpa kata. Dia tiba-tiba memegang tanganku, sentuhannya terasa begitu hangat dan menenangkan. Dia seol
"Anak kandung? Apa maksud Bapak?" tanya Ayah, suaranya berat, mencerminkan keterkejutan dan kebingungan yang sama denganku.Dia dengan lembut namun tegas melepaskan pelukan Pak Bahri dariku. Pria itu kembali duduk ke kursinya, wajahnya tampak tegang, bayangan keraguan dan penyesalan samar-samar terlihat di matanya."Iya, Pak. Jadi saya adalah Papa kandungnya Zea," jawab Pak Bahri, suaranya terdengar parau, seperti menahan beban berat yang telah lama dipikulnya."Bagaimana bisa Bapak jadi Papa kandungku?" tanyaku, suaraku bergetar, penasaran membuncah memenuhi dada.Pertanyaan itu seakan terlontar tanpa kendali, mencerminkan kebingungan dan ketidakpercayaan yang menguasai pikiranku.Saat itu juga, Bunda datang dengan membawa nampan berisi minuman; dua cangkir kopi hitam yang mengepulkan aroma harum, dan segelas jus berwarna hijau segar. Seperti jus alpukat. Namun, aroma kopi dan jus itu seakan tak mampu menandingi aroma keteganga