Share

3. Kamar hotel

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-19 08:12:05

"Ada apa, Pak?" tanya salah satu security yang datang berjumlah dua orang, keduanya langsung berjongkok meraih tubuh Kak Calvin.

"Rekanku tiba-tiba pingsan, dia tadi sempat mengeluh sakit kepala, Pak. Tolong sekarang angkat tubuh dia, bawa ke mobilku, aku akan membawanya ke rumah sakit." Pria itu menjelaskan.

"Baik, Pak." Pak Security mengangguk, lalu bersama teman seprofesinya dia mencoba mengangkat tubuh Kak Calvin yang cukup besar, kemudian melangkah cepat membawanya keluar dari restoran dan disusul oleh pria tadi.

"Eh, Pak! Tunggu, Pak!" Aku berteriak seraya berlari mengejar, karena tidak mungkin aku membiarkan mereka membawa Kak Calvin begitu saja, bisa-bisa rencanaku gagal.

Dua pria berseragam yang hendak memasukkan Kak Calvin ke dalam mobil langsung terhenti, saat dimana aku mencoba menghalanginya.

"Nona mau ngapain? Menyingkir dari sini!" Rekan Kak Calvin berusaha menarikku untuk menjauh dari mobilnya, tapi diri ini mencoba menahan diri.

"Biar aku saja yang membawa Kak Calvin, Pak!" pintaku cepat sambil memegangi lengan kanan mantan suamiku.

"Nona memangnya siapa Pak Calvin?"

"A-aku adiknya, adiknya Kak Calvin!" Dengan sedikit terbata, aku melontarkan kebohongan.

Ya Allah maafkan aku.

"Oh ya sudah, kalau begitu Nona ikut naik saja ke dalam mobilku, kita pergi bersama-sama ke rumah sakit," tawar pria itu lalu membukakan pintu mobil bagian depan untukku.

"Ah enggak usah, Pak! Aku bawa mobil!" Aku menolak cepat dengan gelengan kepala, segera kuputar otak untuk mencari sebuah alasan supaya bisa membawa Kak Calvin tanpa mengajak dia. "Eemmm ... kebetulan aku juga sama Omku, Pak. Jadi biar kami yang bawa Kak Calvin."

"Lebih baik rekan Bapak ini dibawa sama keluarganya saja, Pak," usul salah satu security, yang tampaknya percaya dengan kebohonganku.

Rekan Kak Calvin terlihat memandangiku dengan raut curiga, sebelum akhirnya dia bertanya, "Di mana mobilnya Nona? Dan Omnya Nona?"

"Itu! Di sana!" Aku langsung menunjuk kepada mobil berwarna putih, yang berada di paling ujung area parkir. Tak lama, seorang pria dari dalam sana keluar dan melangkah cepat menghampiri kami.

"Ada a—"

"Om, ayok bantu Kak Calvin bawa dia ke rumah sakit!" potongku cepat, saat pria yang adalah sopir taksi onlineku tengah bicara.

Kalah cepat sedikit saja, bisa-bisa aku ketahuan berbohong. Dan untungnya lagi, aku sudah menyewa jasa taksi online untuk rencanaku ini, jadi aku tidak perlu repot-repot mencari taksi lain untuk bisa membawa Kak Calvin ke hotel.

"Ya sudah, bawa Pak Calvin ke mobil adiknya saja, Pak," ucap rekan Kak Calvin, yang akhirnya memberikan izin, dia berbicara kepada dua security.

Setelah berhasil memasukkan Kak Calvin ke dalam mobil dan ikut mendampinginya dikursi belakang, mobil itu pun kini melaju pergi meninggalkan restoran.

"Hhhaaahhh ...." Aku menghela napas panjang, merasa begitu lega sekali sambil mengelus dada.

Sekarang hanya tinggal selangkah lagi, dan rencana ini akan berhasil.

Tapi ... aku masih penasaran, dengan alasan Kak Calvin tiba-tiba pingsan. Apa pengaruh obat yang Nona Agnez berikan? Atau ada sesuatu lain?

Rasa penasaranku membawa tangan ini menyentuh kedua pipinya, dan sontak mataku membulat karena terasa begitu panas seperti pantaat panci.

"Ya Allah... Apa Kakak demam?!" Tanganku turun ke arah dada bidangnya, untuk memastikan denyut jantung. Tapi entah mengapa, tiba-tiba tanganku gemetaran sendiri. Jantungku pun ikut berdebar kencang.

"Sesuai orderan terakhir 'kan, Nona, Hotel Sunflower?" tanya sang sopir taksi, yang langsung membuat aku menoleh.

"Iya, Pak." Aku mengangguk. "Nanti sekalian juga bantu bawa ya, Pak, boleh 'kan?"

"Bawa apa, Nona?"

"Bawa pria ini ke kamar hotel, Pak. Kan Bapak tau sendiri dia pingsan."

"Oke." Sopir itu mengangguk setuju, tanpa bertanya kembali.

Drrriinnggg!!

Hapeku tiba-tiba berdering di dalam kantong celana, segera kuambil dan tertera panggilan masuk dari Nona Agnes.

"Halo," ucapku segera mengangkat panggilan.

"Bagaimana, Vio? Lancar?"

"Lancar, Nona. Saya berada di jalan, ke arah hotel."

"Bagus. Langsung saja bawa ke kamar, ya, Vio. Nanti kamu tunjukkan saja kartu namamu ke security depan biar dia bisa mengizinkanmu masuk."

"Baik, Nona."

*

*

Sesuai perintah dari Nona Agnes, aku dengan dibantu oleh sopir taksi akhirnya berhasil membawa Kak Calvin masuk ke dalam kamar hotel dan membaringkan tubuhnya di atas kasur. Meski diawal dengan bersusah payah karena tubuhnya cukup berat.

Namun, rasanya ada yang membuatku heran, pasalnya sebelum masuk ke dalam kamar, pintu hotel ini justru terlihat sedikit terbuka dan tidak ada sesosok Nona Agnes. Ke man dia?

"Nona, kalau begitu saya pamit pergi, ya. Saya ada orderan masuk," ucap sang sopir taksi sambil menunjuk ponsel yang berada dalam genggamannya.

"Iya, Pak. Terima kasih," jawabku sambil tersenyum, lalu membiarkannya pergi meninggalkanku dan menutup pintu kamar.

"Nona Agnes!" panggilku seraya menatap sekeliling, mencari-cari keberadaan bosku yang entah dimana dia berada.

"Apa dia ada di kamar mandi?" Mataku langsung tertuju pada ruangan yang berada disudut kamar.

Kakiku baru ingin melangkah, tapi secara tiba-tiba terasa seseorang menarik lenganku hingga membuat tubuhku terjatuh di atas kasur.

"Kak Calvin?!"

Astaghfirullah! Mataku terbelalak sempurna, melihat secara cepat mantan suamiku itu sudah berada di atas tubuhku, yang bahkan aku sendiri tidak tahu kapan dia terbangun dari pingsannya.

"Kakak ... apa, yang ...." Lidahku mendadak kelu dan gemetar, saat Kak Calvin menyentuh bibirku dengan jemarinya. Kedua mata indahnya itu terlihat sayu dan merah memandangiku.

Cup~

Sejurus kemudian, sebuah sentuhan bibir tak dapat kuhindari.

Dia menciumku. Astaga! Bagaimana ini? Berusaha kudorong dada bidangnya, tapi mengapa begitu sulit rasanya? Dia berat, ditambah kedua kakiku pun terjepit oleh kakinya.

Dapat kurasakan ada sesuatu yang keras menindih pahaku. Apa itu? Apa Kak Calvin mengantongi batu? Tapi buat apa?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
NL Fahrur
mengantongi batu???? sungguh membagongkang
goodnovel comment avatar
Elios EliosBengkulu
Lanjut Thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 76. Semvak keramat

    "Baik, sekarang Pak Kenzie memeluk perut istri dari belakang, lalu kalian berdua saling memandangi satu sama lain." Instruksi fotografer itu membuatku tidak nyaman. Cekrek! Cekrek! Dua jepretan berhasil diabadikan. Kemudian kami melakukan pose yang lain.Namun, semua pose rasanya terlalu intim sekali, membuatku semakin tak nyaman. Apalagi saat diminta pose untuk berciuman. Aku merasa seperti dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bukan kemauan hatiku.Ini benar-benar menyiksa batinku, tapi menyenangkan batin Pak Kenzie. Aku bisa merasakannya."Kamu wangi banget, Zea," bisiknya lembut di telingaku, suaranya membuat sekujur tubuhku meremmang.Aku langsung mengalihkan pandangan, tak berani menatap matanya yang sudah sayu. Sorot mata itu sama persis seperti saat dimana dia ingin mengajak bercinta. Aku yakin sekarang keinginan itu semakin menggebu.Ah, aku ingin cepat-cepat menyelesaikan foto-foto ini lalu menikmati makan siangku!***(POV Kenzie)"Permisi, Pak... Nona ... M

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 75. Duduk dipangkuan

    "Oma sih maunya laki-laki. Tapi kalau perempuan juga nggak masalah, yang penting dia lahir sehat dan sempurna tanpa kekurangan satupun." Jawaban Oma Selly terdengar bijak. Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Kenzie berpindah ke panggung pelaminan. Sebuah panggung yang terasa begitu luas dan indah dengan dekorasi yang mewah. Satu persatu kami menyalami para tamu undangan yang terlihat asing bagiku, namun Pak Kenzie mengenal mereka semua. Tak lama, seorang fotografer dengan kamera yang besar dan mengkilap, melangkah menghampiri kami. Dia, yang juga telah mengabadikan momen sakral ijab kabul, kini sepertinya akan mengabadikan momen berikutnya. "Mau foto keluarga dulu apa foto berdua dulu nih, Pak?" tanyanya kepada Pak Kenzie. Pak Kenzie langsung mencari-cari keluarganya yang telah larut di tengah kerumunan. Ayah dan Bunda juga terlihat sibuk menyalami para tamu undangan. "Foto berdua dulu deh, Pak. Tapi nanti dulu, masih banyak tamu," jawab Pak Kenzie. "Ya sudah,

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 74. Pernikahan terakhir

    Lho… sepertinya pernikahanku dan Pak Kenzie sudah sah, ya? Aku baru tersadar. Sepanjang prosesi tadi, aku terlalu larut dalam pikiran tentang Papa, sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa prosesi pernikahan telah selesai. "Kamu kenapa sih, Zea? Ayok cepat. Orang-orang sudah menunggu." Suara Pak Kenzie sedikit menekan, nada suaranya mulai berubah, tampaknya dia mulai kesal karena lamunanku yang berkepanjangan. "I-iya." Aku menjawab dengan terbata-bata, masih sedikit linglung. Aku langsung mengambil salah satu cincin dari kotak itu, cincin emas yang berkilauan, lalu memakaikannya ke jari manis Pak Kenzie. Setelah itu, gantian Pak Kenzie yang memakaikan cincin padaku. Namun, sebelum itu, dia melepas cincin yang sudah aku pakai saat pernikahan siri dengannya. Dia menyimpan cincin itu di saku jasnya, tanpa penjelasan. Entah maksudnya apa, aku sendiri tidak bertanya. Aku terlalu lelah untuk memikirkan hal itu. Aku segera mencium punggung tangannya, lalu berlanjut dia yang mencium ken

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 73. Menikung dari belakang

    "Pak Kenzie, kenapa Bapak tega merebut Zea dariku?!" Teriakan itu menusuk telingaku seperti sebilah pisau.Mas Jamal… wajahnya merah padam, urat-urat lehernya menegang, mata merahnya melotot tajam, mengintimidasi. Tubuhnya gemetar menahan amarah yang meluap-luap.Baru kali ini kulihat kemarahannya. Tapi… kenapa dia bisa ada di sini?Setahuku, saat Pak Kenzie menikah dengan Nona Helen, dia masih menjaga rumah, setia menjalankan tugasnya. Apa mungkin… ini semua karena aku? Karena akulah yang menikah dengan Pak Kenzie?"Apa-apaan kau Jamal! Berani-beraninya membuat kegaduhan di acara pernikahanku!" Suara Pak Kenzie menggelegar, membuatku tersentak.Dia sudah berdiri, jas hitamnya tampak tegang, mencerminkan amarahnya yang membuncah. Tangannya mengepal kuat. Wajahnya memerah, napasnya memburu.Tentu saja, dengan tabiatnya yang gampang emosi, Pak Kenzie jelas marah besar. Apalagi kejadian ini dilihat bany

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 72. Hari yang ditunggu-tunggu

    "Emm ...," aku menggantung kalimatku, mencari kata-kata yang tepat. "Belum kepikiran, Bun." jawabku akhirnya, sedikit canggung. "Ya udah, nggak perlu dipikirkan sekarang. Santai saja." Bunda mengelus pundakku penuh perhatian. Aku hanya mengangguk. *** "Bundaaa!!" Jeritan bahagia itu memecah hiruk pikuk Bandara Soekarno-Hatta. Gelombang manusia berlalu-lalang, arus deras yang tak pernah berhenti. Suara roda koper beradu dengan derap langkah kaki terburu-buru. Di tengah keramaian itu, seorang perempuan yang kuyakini adalah Keiko berlari menghamburkan pelukan kepada Bunda. Rambut pirangnya yang tergerai berkilauan, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Dua koper besar tergeletak di lantai, tak dihiraukannya. Bunda menyambut pelukan itu dengan erat, tangis haru tertahan di balik senyumnya yang merekah. "Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah sampai Indonesia. Bagaimana kabarmu, Sayang? Baik?" Suara Bunda bergetar, penuh kelembutan. Jemarinya yang lembut menyentuh kedua pip

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 71. Jangan genit

    "Tapi masalahnya masa Ayank sih, Pak? Menurutku itu panggilan alay." Zea masih ragu, menunjukkan keraguannya terhadap pilihan panggilan tersebut. "Alay apanya? Justru itu biar kelihatan kita adalah pasangan romantis. Ah pokoknya mulai sekarang... aku mau kamu memanggilku dengan sebutan itu!" "Nggak ada yang lain apa, Pak, selain Ayank?" Zea bertanya sambil meringis geli. Menurutku, yang alay justru ekspresi dia yang seperti itu. "Kalau nggak mau Ayank, berarti Bebeb." "Ih apalagi kalau Bebeb! Lebih alay, Pak!" Zea menolak dengan tegas, menunjukkan ketidaksukaannya. "Aku nggak peduli mau kamu anggap alay atau apa, intinya aku mau dipanggil Ayank atau Bebeb sama kamu, titik!" tegasku tanpa penolakan. Zea ini kenapa sih, suka sekali membantah. Padahal seharusnya seorang istri itu nurut apa kata suaminya. Sebuah rasa kesal mulai muncul dalam hatiku. "Ya ampun ada apa sih? Kok malam-malam ribut?" Ayah tampak sudah duduk dan memerhatikan kami berdua. Sepertinya perdebatan kami tadi m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status