"Ada apa, Pak?" tanya salah satu security yang datang berjumlah dua orang, keduanya langsung berjongkok meraih tubuh Kak Calvin.
"Rekanku tiba-tiba pingsan, dia tadi sempat mengeluh sakit kepala, Pak. Tolong sekarang angkat tubuh dia, bawa ke mobilku, aku akan membawanya ke rumah sakit." Pria itu menjelaskan. "Baik, Pak." Pak Security mengangguk, lalu bersama teman seprofesinya dia mencoba mengangkat tubuh Kak Calvin yang cukup besar, kemudian melangkah cepat membawanya keluar dari restoran dan disusul oleh pria tadi. "Eh, Pak! Tunggu, Pak!" Aku berteriak seraya berlari mengejar, karena tidak mungkin aku membiarkan mereka membawa Kak Calvin begitu saja, bisa-bisa rencanaku gagal. Dua pria berseragam yang hendak memasukkan Kak Calvin ke dalam mobil langsung terhenti, saat dimana aku mencoba menghalanginya. "Nona mau ngapain? Menyingkir dari sini!" Rekan Kak Calvin berusaha menarikku untuk menjauh dari mobilnya, tapi diri ini mencoba menahan diri. "Biar aku saja yang membawa Kak Calvin, Pak!" pintaku cepat sambil memegangi lengan kanan mantan suamiku. "Nona memangnya siapa Pak Calvin?" "A-aku adiknya, adiknya Kak Calvin!" Dengan sedikit terbata, aku melontarkan kebohongan. Ya Allah maafkan aku. "Oh ya sudah, kalau begitu Nona ikut naik saja ke dalam mobilku, kita pergi bersama-sama ke rumah sakit," tawar pria itu lalu membukakan pintu mobil bagian depan untukku. "Ah enggak usah, Pak! Aku bawa mobil!" Aku menolak cepat dengan gelengan kepala, segera kuputar otak untuk mencari sebuah alasan supaya bisa membawa Kak Calvin tanpa mengajak dia. "Eemmm ... kebetulan aku juga sama Omku, Pak. Jadi biar kami yang bawa Kak Calvin." "Lebih baik rekan Bapak ini dibawa sama keluarganya saja, Pak," usul salah satu security, yang tampaknya percaya dengan kebohonganku. Rekan Kak Calvin terlihat memandangiku dengan raut curiga, sebelum akhirnya dia bertanya, "Di mana mobilnya Nona? Dan Omnya Nona?" "Itu! Di sana!" Aku langsung menunjuk kepada mobil berwarna putih, yang berada di paling ujung area parkir. Tak lama, seorang pria dari dalam sana keluar dan melangkah cepat menghampiri kami. "Ada a—" "Om, ayok bantu Kak Calvin bawa dia ke rumah sakit!" potongku cepat, saat pria yang adalah sopir taksi onlineku tengah bicara. Kalah cepat sedikit saja, bisa-bisa aku ketahuan berbohong. Dan untungnya lagi, aku sudah menyewa jasa taksi online untuk rencanaku ini, jadi aku tidak perlu repot-repot mencari taksi lain untuk bisa membawa Kak Calvin ke hotel. "Ya sudah, bawa Pak Calvin ke mobil adiknya saja, Pak," ucap rekan Kak Calvin, yang akhirnya memberikan izin, dia berbicara kepada dua security. Setelah berhasil memasukkan Kak Calvin ke dalam mobil dan ikut mendampinginya dikursi belakang, mobil itu pun kini melaju pergi meninggalkan restoran. "Hhhaaahhh ...." Aku menghela napas panjang, merasa begitu lega sekali sambil mengelus dada. Sekarang hanya tinggal selangkah lagi, dan rencana ini akan berhasil. Tapi ... aku masih penasaran, dengan alasan Kak Calvin tiba-tiba pingsan. Apa pengaruh obat yang Nona Agnez berikan? Atau ada sesuatu lain? Rasa penasaranku membawa tangan ini menyentuh kedua pipinya, dan sontak mataku membulat karena terasa begitu panas seperti pantaat panci. "Ya Allah... Apa Kakak demam?!" Tanganku turun ke arah dada bidangnya, untuk memastikan denyut jantung. Tapi entah mengapa, tiba-tiba tanganku gemetaran sendiri. Jantungku pun ikut berdebar kencang. "Sesuai orderan terakhir 'kan, Nona, Hotel Sunflower?" tanya sang sopir taksi, yang langsung membuat aku menoleh. "Iya, Pak." Aku mengangguk. "Nanti sekalian juga bantu bawa ya, Pak, boleh 'kan?" "Bawa apa, Nona?" "Bawa pria ini ke kamar hotel, Pak. Kan Bapak tau sendiri dia pingsan." "Oke." Sopir itu mengangguk setuju, tanpa bertanya kembali. Drrriinnggg!! Hapeku tiba-tiba berdering di dalam kantong celana, segera kuambil dan tertera panggilan masuk dari Nona Agnes. "Halo," ucapku segera mengangkat panggilan. "Bagaimana, Vio? Lancar?" "Lancar, Nona. Saya berada di jalan, ke arah hotel." "Bagus. Langsung saja bawa ke kamar, ya, Vio. Nanti kamu tunjukkan saja kartu namamu ke security depan biar dia bisa mengizinkanmu masuk." "Baik, Nona." * * Sesuai perintah dari Nona Agnes, aku dengan dibantu oleh sopir taksi akhirnya berhasil membawa Kak Calvin masuk ke dalam kamar hotel dan membaringkan tubuhnya di atas kasur. Meski diawal dengan bersusah payah karena tubuhnya cukup berat. Namun, rasanya ada yang membuatku heran, pasalnya sebelum masuk ke dalam kamar, pintu hotel ini justru terlihat sedikit terbuka dan tidak ada sesosok Nona Agnes. Ke man dia? "Nona, kalau begitu saya pamit pergi, ya. Saya ada orderan masuk," ucap sang sopir taksi sambil menunjuk ponsel yang berada dalam genggamannya. "Iya, Pak. Terima kasih," jawabku sambil tersenyum, lalu membiarkannya pergi meninggalkanku dan menutup pintu kamar. "Nona Agnes!" panggilku seraya menatap sekeliling, mencari-cari keberadaan bosku yang entah dimana dia berada. "Apa dia ada di kamar mandi?" Mataku langsung tertuju pada ruangan yang berada disudut kamar. Kakiku baru ingin melangkah, tapi secara tiba-tiba terasa seseorang menarik lenganku hingga membuat tubuhku terjatuh di atas kasur. "Kak Calvin?!" Astaghfirullah! Mataku terbelalak sempurna, melihat secara cepat mantan suamiku itu sudah berada di atas tubuhku, yang bahkan aku sendiri tidak tahu kapan dia terbangun dari pingsannya. "Kakak ... apa, yang ...." Lidahku mendadak kelu dan gemetar, saat Kak Calvin menyentuh bibirku dengan jemarinya. Kedua mata indahnya itu terlihat sayu dan merah memandangiku. Cup~ Sejurus kemudian, sebuah sentuhan bibir tak dapat kuhindari. Dia menciumku. Astaga! Bagaimana ini? Berusaha kudorong dada bidangnya, tapi mengapa begitu sulit rasanya? Dia berat, ditambah kedua kakiku pun terjepit oleh kakinya. Dapat kurasakan ada sesuatu yang keras menindih pahaku. Apa itu? Apa Kak Calvin mengantongi batu? Tapi buat apa?Hari sudah mulai gelap, menjelang magrib.Langit Jakarta berubah warna menjadi oranye kemerahan, namun Ayah Calvin dan Keiko belum juga kembali.Kecemasan mulai menggerogoti Kenzie. Berkali-kali dia mencoba menghubungi mereka, namun tak ada respon.Akhirnya, Kenzie memutuskan untuk pergi ke UGD terdekat. Dia harus mencari tahu sendiri apa yang terjadi.Setibanya di sana, suasana UGD yang ramai dan sedikit berisik malah membuat Kenzie semakin panik. Ditambah dia juga tak menemukan keberadaan orang tuanya di antara orang-orang di sana."Sus... mau nanya, korban anak kecil yang ditabrak mobil itu ke mana ya, sekarang?" Kenzie bertanya pada salah seorang suster yang tak sengaja lewat, suaranya sedikit gemetar. Langkah perempuan berseragam putih itu langsung terhenti."Atas nama siapa ya, Pak? Soalnya hari ini banyak pasien anak kecil yang tertabrak mobil," jawab suster itu dengan nada sopan, namun tetap profesional."Aduh, k
Ayah Calvin, dengan wajah pucat pasi dan mata yang berkaca-kaca, akhirnya bisa menghentikan langkah Jamal. Lengan kekarnya menggenggam erat lengan Jamal."Jamal, jangan laporkan masalah ini ke polisi! Anakmu pasti akan sembuh dan semua biaya aku yang tanggung!" Suaranya bergetar, penuh keputusasaan.Belum sempat Jamal bereaksi, seorang polisi, tinggi besar dengan seragam rapi, tiba-tiba datang menghampiri mereka. Sorot matanya tajam, mengamati situasi dengan tenang."Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?" suara polisi itu terdengar datar, profesional."Saya mau melaporkan seorang perempuan yang telah menabrak anak saya hingga membuatnya lumpuh, Pak," jawab Jamal cepat, suaranya masih bergetar, namun tekadnya bulat."Baik, kalau begitu Bapak bisa ikuti saya." Polisi itu menunjuk ke arah ruang pengaduan, langkahnya pasti. Namun, sebelum Jamal melangkah, Ayah Calvin kembali menghalangi, tubuhnya bergetar hebat. Dia masih berusaha men
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Sebuah celah sempit yang menjanjikan jawaban, namun juga menyimpan ketakutan. Seorang dokter pria, muncul dari baliknya. Pakaiannya serba biru dan tertutup rapat, hanya kedua matanya yang terlihat. Jamal, wajahnya pucat pasi, segera mendekat dengan kepanikan yang tak terbendung. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok? Bagaimana operasinya?" Suaranya bergetar, penuh harap dan cemas. "Operasinya berjalan lancar, Pak. Namun, ada hal yang perlu saya sampaikan ...." "Apa itu, Dok?" tanya Jamal penasaran. Ayah Calvin langsung berdiri dari duduknya, begitu pun dengan Keiko dan Bunda Viona. "Sebelumnya, apakah Anda semua keluarga pasien?" Dokter itu bertanya, tatapannya menyapu wajah Jamal, Ayah Calvin, dan Keiko yang berdiri di sana, terpaku. Dua orang asing yang sebelumnya bersama Keiko telah pergi, karena mereka sudah tak ada urusan
Setelah berhasil mengecek rekaman CCTV, Kenzie menarik napas panjang. Di layar monitor, terlihat jelas saat Papa Bahri turun dari mobilnya di parkiran, Papa Darman tiba-tiba muncul dan melayangkan pukulan tepat mengenai wajahnya. Sebuah serangan yang tiba-tiba dan tanpa peringatan. Namun, yang mengejutkan Kenzie, Papa Bahri tidak langsung membalas. Mereka sempat beradu mulut sebentar, jarak mereka cukup dekat sehingga bibir mereka terlihat bergerak, namun suara tidak terekam. Barulah setelah beberapa saat, Papa Bahri membalas serangan, dan perkelahian pun dimulai. Rekaman hanya menampilkan gambar, tanpa suara, sehingga Kenzie tak tahu isi percakapan mereka. Kekecewaan memenuhi hatinya. Bukti visual memang menunjukkan siapa yang memulai perkelahian, tetapi motivasi di baliknya masih menjadi misteri. "Waktu kamu lihat mereka berkelahi, kamu sempat dengar mereka ada ngomong tentang
“Iya, Pak. Benar,” sahut salah satu dari mereka. Tatapannya mengamati Jamal dengan seksama, mencari kepastian. “Apakah Bapak keluarga dari Nena?” Pertanyaan itu diutarakan dengan nada yang penuh perhatian. “Yaa… aku keluarganya, aku Papanya Nena.” Suara Jamal sedikit bergetar, menunjukkan kecemasan dan kepanikan yang dia rasakan. Dia tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kondisi putrinya. “Papanya?!” Ayah Calvin reflek menyeru, suaranya meninggi karena terkejut. Dia tersentak kaget, tak mampu membayangkan skenario ini. Wajahnya menunjukkan campuran rasa kaget, tak percaya, dan sedikit simpati. Dia tidak pernah menduga bahwa bocah yang ditabrak Keiko adalah anaknya Jamal, sebuah fakta yang mengejutkan dan tak terduga. Selama ini, dia hanya tahu status Jamal yang menduda, itu pun informasi yang diperoleh dari Kenzie, tanpa detail lebih lanjut tentang kehidupan pribadi Jamal. “Bapak ikut saya untuk menemui Suster, dia meminta tanda tangan Bapak segera untuk proses operasi
(POV Author)“APA?! Berkelahi?!” Pekik Zea dan Kenzie serempak, mata mereka melebar tak percaya. Kaget bukan main, mereka sama sekali tak mampu membayangkan apa yang menyebabkan pertengkaran itu.“Iya, Pak. Sebaiknya Bapak ikut saya sebentar,” pinta Akmal, suaranya terdengar sedikit tegang.Opa Andre berdiri dengan sigap, wajahnya mencerminkan kekhawatiran. Tak lama, Oma Dinda, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melilit rambutnya, mendekati mereka.“Cepat ke sana, Ken. Biar Opa saja yang meneruskan menyuapi Zea,” ucap Opa Andre, suaranya lembut namun tegas. Ada keprihatinan yang tersirat di balik kata-katanya.“Iya, Opa.” Kenzie mengangguk, tatapannya tertuju pada Zea sejenak, seolah ingin menyampaikan ketenangan sebelum pergi. “Aku pergi dulu sebentar ya, Zea. Kamu habiskan makanmu.”Zea mengangguk cepat, matanya masih terpaku pada Kenzie yang bergegas pergi. Kenzie bersama Akmal menuju parkiran rumah sakit, langkahnya terasa berat.Di sana, dua sat