LOGINSherly tertegun, ia menatap nanar wajah yang menatapnya dengan pandangan menyalahkan tersebut.
Air mata Sherly menitik, hatinya teramat sakit. Luka dari kebohongan dan ucapan sang ibu tadi belum sembuh, tapi sudah ditimpa rasa sakit lain.
"Pak, selama ini, Sherly nggak pernah ngerepotin Bapak atau Ibu soal biaya sekolah,” ucap Sherly dengan suara bergetar. “Pun, setelah praktek, Sherly selalu kirim uang ke Bapak Ibu. Kenapa kuliah Sony sekarang jadi tanggungan Sherly? Memangnya Sony sendiri minat kuliah?”
Sang ayah menghela napas berat. “Sher, Sony itu anak laki-laki di keluarga kita. Tentunya dia harus sarjana,” jelas Darmono pada sang putri seakan-akan Sherly tidak bisa memahami hal sederhana itu. “Dia bantu tumpuan kita di masa depan.”
“Lalu Sherly ini apa, Pak?” balas Sherly. “Kalau Sony memang niat kuliah, dia nggak bakal main game sehari-hari gitu, Pak. Paling nggak belajar, atau cari uang selama ambil gap year. Bukan bergantung sama Sherly.”
“Sher, kamu ini anak pertama kami,” sahut Pak Darmono. “Kamu memang lebih cepat dewasa. Sher, adikmu itu masih kecil. Kamu seharusnya ngerti. Jangan egois jadi kakak.”
Sherly tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Setiap bulan, sepanjang tahun, ia mengirimi uang ke rumah untuk membantu keperluan. Bahkan jika sewaktu-waktu orang tuanya butuh dana darurat pun, Sherly tidak akan bertanya macam-macam dan mengirimkan uang.
Ia selalu menomorsekiankan kebutuhan dirinya sendiri demi mereka semua.
Namun, ini yang dia dapat?
Lelucon macam apa ini?
“Maaf, Pak. Kali ini, Sherly ingin jadi egois, meski cuma sekali,” ucap Sherly tegas. Ia kemudian berbalik dan berjalan pergi.
“Nak, tunggu dulu. Kalau kamu nggak ada pemasukan, misal Ibu atau Bapak butuh uang gimana? Sherly!”
Tiba-tiba, tangan sang ayah mencekalnya saat dirinya baru beberapa langkah jauhnya dari rumah.
Namun, bersamaan dengan itu, rasa mual mendadak menyerang Sherly. Begitu mual membuat Sherly mengibaskan tangan Darmono dan tergesa-gesa menuju selokan tak jauh dari mereka.
Lagi, Sherly muntah-muntah hebat.
Perut Sherly seperti diaduk, keringat dingin mengucur, saat Sherly beres menumpahkan semua isi perutnya. Mendadak kepala Sherly terasa begitu berat, sementara tubuhnya berbanding terbalik, terasa begitu ringan dan perlahan pandangannya menggelap.
“Sherly! Astaga, Sher!”
Di saat-saat terakhir kesadarannya masih tersisa, Sherly mendengar suara itu, suara riuh lain selain suara ayahnya, suara yang makin lama makin samar dan mendadak semuanya sunyi.
***
Sherly mengerjapkan mata, perlahan-lahan ia mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Mata Sherly mulai terbuka, mengerjap dan menatap sekeliling dengan susah payah. Lampu terang yang ada di langit-langit sama sekali tidak membantu.
Ini … di mana?
Tunggu! Bukankah tadi ia pingsan?
Masih Sherly rasakan kepalanya begitu berat, tapi ia berusaha mengumpulkan nyawanya yang belum penuh terkumpul dengan bangkit untuk duduk.
Sreeek!
Tirai pemisah itu ditarik keras sebelum suara ibunya terdengar.
"Bagus! Sudah sadar kamu?" tanya suara itu ketus dan penuh kemarahan.
Kening Sherly berkerut. Apa ibunya masih marah padanya karena perdebatan mereka tadi?
Tiba-tiba–
PLAK!
Belum sempat Sherly menanggapi, tamparan keras itu mendarat di pipi, dilayangkan oleh ibunya sendiri.
Di hadapan Sherly, Sari menatapnya dengan penuh murka.
"Kamu bilang susah payah berjuang buat banggain orang tua? Ini yang kamu maksud banggain orang tua?" maki Sari membuat Sherly makin bingung. “Sekarang Ibu jadi ragu kamu ngapain aja di kota. Benar kamu kerja!? Bukan jual diri?”
Sepasang mata Sherly membelalak. “Bu! Kenapa–”
“Kalau bukan begitu, kenapa kamu bisa hamil!?” bentak Sari. “Dokter bilang kalau kamu lagi hamil! Sama siapa kamu hamil, hah!? Jawab!"
Tubuh Sherly menegang. Mulutnya ternganga karena informasi tersebut.
“Nggak,” gumam Sherly. Tubuhnya limbung mengingat malam panas dengan Gerrard itu. “Nggak mungkin … ini pasti salah.”
“Nih!” Sari melemparkan hasil pemeriksaan berikut foto USG dengan keterangan janin berusia 7 minggu. “Mau menyangkal gimana lagi kamu?”
Sherly mengambil berkas itu dan memeriksanya, sementara kepalanya terasa penuh.
Gerrard. Pasti malam panas dengan pria itu yang membuat Sherly hamil. Itu adalah kali pertama serta satu-satunya waktu ketika Sherly membiarkan dirinya disentuh sejauh itu. Namun, ia tidak mungkin mengatakan itu pada orang tuanya, bukan?
Ia malu. Kesalahan ini adalah karena dirinya yang ceroboh dan patah hati. Namun–
Tiba-tiba Sari merebut berkas itu dari tangan Sherly.
“Jawab pertanyaan Ibu tadi, Sher. Kamu hamil dengan siapa?” kata Sari kemudian.
Sherly menggeleng. Ia tidak mungkin mengatakan kalau ia tidur dengan konsulennya sendiri.
“Kamu nggak mau bilang apa nggak bisa bilang?” Sari berucap lagi. “Apa jangan-jangan kamu sudah tidur dengan terlalu banyak pria? Atau dengan suami orang, iya!?”
“Bu!” Sherly akhirnya bereaksi. Ia sudah nyaris menangis mendengar tuduhan ibunya.
“Bu, tenang dulu, Bu.” Darmono yang ada di sebelah Sari mencoba meredakan emosi sang istri. Sementara pada Sherly, beliau berkata, “Sher, jangan diam saja. Jawab ibumu. Jangan buat kami kecewa lebih jauh.”
Ucapan sang ayah lebih menohok Sherly dibanding hujatan sang ibu. Apakah … kedua orang tuanya benar-benar berpikir ia gadis seliar itu?
“Pak, aku benar-benar nggak bisa bilang,” ucap Sherly, nyaris menangis sekarang. “Tapi Sherly akan tanggung jawab. Ini kesalahan Sherly sendiri. Biar Sherly–”
“Memalukan!”
Tangan sang ibu kembali terangkat, membuat Sherly langsung memejamkan mata.
Namun, tidak ada suara tamparan yang terdengar.
Saat Sherly membuka mata, di sanalah pria itu. Berdiri di hadapannya, seakan tengah melindungi Sherly dari amukan ayah dan ibunya. Tatapan mata hitam itu tampak tajam dan tegas, sementara rahangnya mengeras.
Suara pria itu terdengar dingin saat mengatakan, “Sekali lagi Anda menyentuhnya, saya bisa pastikan Anda akan menyesal.”
"Kok ditekuk mukanya, Dok?"Bastian menoleh, mendapati sejawatnya dari bagian bedah syaraf merangsak masuk ke dalam kamar jaga. Nampak wajah itu begitu lelah, membuat Bastian tersenyum dan menerima uluran tangan dari lelaki itu."Sakit keapala aja, Dok." Jawab Bastian apa adanya."Dokter sedang sakit?" Dengan segera Bastian menggeleng, tidak ingin membuat sejawatnya itu panik."Ternyata ... Mau kita nikahin pun perempuan masih meragukan perasaan yang kita punya untuk mereka ya, Dok?" Curhat Bastian sembari tersenyum kecut. "Masa keluarga udah saling ketemu dia bisa-bisanya tanya saya sayang enggak sama dia? Kalau nggak sayang, ngapain saya mau nikahin dia, simplenya kan begitu?"Mendengar itu, dokter Leon terbahak, ia tertawa begitu puas mendengar curahan hati Bastian. Seolah-olah yang dia tanyakan dan katakan ini begitu lucu dan menggelikan. Namun Bastian tidak bisa marah, konsulen bagian bedah syaraf itu tentu bukan lawannya!"Jangankan Dokter yang baru mau nikah, saya yang udah ni
"Kamu sayang sama aku nggak?"Kalau yang ditanyakan Evelyn adalah perihal Lucy dan permintaan gila itu, tentu Bastian tidak akan seterkejut ini! Tapi coba lihat, apa yang ditanyakan Evelyn itu? Apakah usahanya menyakinkan baik orang tuanya dan orang tua Evelyn belum bisa membuat Evelyn percaya bagaimana dalam perasaan yang dimiliki oleh Bastian? Kenapa bisa-bisanya Evelyn bertanya seperti itu? "Yang ... kalau aku nggak sayang sama kamu, terus buat apa kemarin aku ketemu mama sama papa, Yang? Buat apa aku ngajakin kamu nikah coba?" ucap Bastian balik bertanya, nada suaranya berubah gemas bercampur kesal. Jawaban Bastian membuat Evelyn terkekeh, ia makin manja bersandar, dengan tangan memeluk tubuh Bastian dengan begitu posesif. "Kan aku nanya, Yang!" desis Evelyn manja. "Memastikan aja."Bastian mendengus, melirik gemas gadis itu tanpa banyak bergerak. "Masa belum yakin sih? Kudu gimana biar kamu yakin kalo begitu?" meskipun kesal, Bastian sama sekali tidak bisa marah, ia sesayang
"Lama sekali, kamu nggak lagi nyoba ngehindari mama kan, Wil?" Cecar Nirina begitu Wilson muncul di meja makan seperti janji mereka tadi."Tadi mas Ge ngajak ngobrol dulu, Ma. Masa ya aku tinggal gitu aja sih?" Kilah Wilson sembari duduk di kursi yang ada di depan Nirina.Nirina menyesap teh yang hampir dingin itu, meletakkan cangkir itu di atas meja dan menatap Wilson dengan saksama. Wilson hanya berani membalas tatapan mata itu selama sepersekian detik, selanjutnya Wilson mendukkan wajah, tidak berani menatap mata ibunya,"Sudah tahu kenapa mama ngajak kamu bicaranya, kan?" Ucap Nirina mengabaikan jawaban dari Wilson barusan."Tentu sudah, Ma. Jadi bagaimana?" Balas Wilson dengan penuh percaya diri, tak peduli jantungnya berdegup dua kali lebih cepat."Mama pengen tahu siapa dia, Wil. Nggak salah, kan?"Wilson tersenyum, kepalanya menggeleng cepat. Memang tidak salah, sebagai orang tua tentu Nirina ingin tahu siapa yang akan menjadi pendamping seumur hidup anaknya ini. Namun dengan
Pertanyaan itu diikuti oleh tatapan yang membuat hati Bastian rasanya seperti diremas-remas. Meskipun agak pecicilan dan slengean, ternyata Evelyn cukup peka. Ia bisa menyadarinya! Bastian tersenyum, ia sedikit lega karena pertanyaan Evelyn bukan seperti yang dia takutkan. Tetapi bagaimanapun, ia tetap harus berhati-hati menjawabnya. Bastian tentu tidak ingin menyakiti hati Evelyn! "Aku jawab jujur, janji jangan punya pikiran yang neko-neko. Gimana?" tawar Bastian sembari tersenyum. "Deal!"Evelyn mengulurkan tangan, langsung disambut oleh Bastian dan digenggamnya erat. "Jadi gimana? Bener kalo mama nggak suka sama aku?" kejar Evelyn nampak tidak sabar. "Bukan nggak suka, cuma ...." Bastian menghentikan kalimatnya, berusaha mencari susunan kata yang tepat. "Jujur mama itu ragu, takut dan trauma dengan apa yang terjadi padaku kemarin, Yang ... dan melihat umurmu ... mama sedikit ragu."Ah! Rasanya sungguh berat mengatakan hal ini. "Mama takut aku cuma main-main sama kamu?" cecar E
"Wil, mama mau ngomong."Wilson yang tengah menurunkan barang bawaan dari bagasi, seketika menengang. Ibunya itu sudah berdiri di sampingnya, dengan raut wajah datar dan sorot penuh penasaran. "Wilson anterin ke kamar mas Ge dulu tapi, Ma." ucapnya yang secara garis besar sudah tahu, apa yang mau dibicarakan oleh ibunya ini. "Mama tunggu di meja makan, oke?"Tanpa menunggu jawaban dan persetujuan Wilson, Nirina segera melangkah pergi meninggalkan Wilson yang masih berdiri mematung dengan tangan penuh barang bawaan. Seketika kepala Wilson pening. Kenapa mulutnya pakai kelepasan bicara? Agaknya ia akan dicecar panjang kali lebar oleh ibunya ini! Untungnya besok sore dia sudah terbang ke Korea, kalau tidak? Bisa-bisa Wilson hipertensi! Dengan lunglai Wilson melangkah masuk ke dalam rumah, ia melangkah menapaki anak tangga, semangatnya lenyap, pikirannya seketika merasa penuh, ia harus jawaba apa dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditujukan padanya nanti. "Wil, kenapa?" tanya She
"Kamu balik kapan sih, Wil?" tanya Gerrard gemas, adiknya itu masih belum ada tanda-tanda akan berangkat ke Korea. Ditanya begitu, Wilson yang melangkaj dengan tas dan beberapa barang bawaan ditangan, kontan menoleh ke belakang, menatap kakaknya dengan tatapan kesal. "Liat, Ma! Mas Ge ngusir aku!" lapornya yang membuat tangan Gerrard terayun menjitak kepala lelaki itu. "Nggak gitu maksudnya, Wil!" salak Gerrard galak. Nirina hanya mendengus, melirik dua kakak-beradik itu saling ribut, sementara Sherly, ia melangkah di sebelah Gerrard sembari menahan tawa. "Besok sore noh aku terbang ke Korea, udah dapet tiket nih. Mau ikut?" jawab Wilson pada akhirnya. "Nggak! Nggak minat aku." jawab Gerrard singkat. "Ceweknya cakep-cakep loh, Mas! Bening!" ucap Wilson mengompori. "Cakep hasil tangan sejawat bedah plastik?" sindir Gerrard tanpa tedeng aling-aling. "Ah! Nggak semua! Yoona SNSD sama Song Hye-kyo itu sample cewek Korea yang cantik tanpa oplas-oplas." jawab Wilson tenang. "Rasio







