Share

Ch. 5 Pulang

last update Huling Na-update: 2025-09-17 14:49:27

“Kamu sendiri kenapa, Dek? Kata Ibu kecelakaan? Kondisinya parah? Kok ada di rumah?” Sherly memberondong Sony dengan pertanyaan. Baru kemudian pandangannya jatuh pada pergelangan kaki sang adik yang terbungkus perban.

Selain itu? Hanya lecet biasa di dua tiga tempat.

"Siapa, Son?"

Belum sempat Sony menjawab pertanyaan Sherly, sang ibu muncul dari dalam rumah. Wanita paruh baya itu pun tampak terkejut dengan kepulangan Sherly.

“Kamu kok nggak ngabarin kalau mau pulang?” kata Sari, ibu Sherly, dengan nada setengah menggerutu.

“Aku nunggu kabar dari Ibu, tapi Ibu nggak balas ataupun angkat teleponku. Jelas aku khawatir,” jelas Sherly. “Tapi kata Ibu, kondisi Sony parah. Apa ini yang seperti ini yang Ibu maksud?”

“Apa maksud kamu?” Ibunya tampak tidak terima. Nada suaranya langsung meninggi. “Jadi menurutmu, adikmu bonyok sampe begitu itu nggak parah? Kamu nggak bersyukur adikmu masih hidup? Maumu dia koma, sekarat di rumah sakit, begitu?"

Sherly menghela napas. “Bukan begitu maksud aku, Bu. Tapi–”

"Jangan mentang-mentang kamu dokter, sering lihat kondisi pasien sampai kondisi seperti ini kamu sepelekan," omel Sari memotong kalimat Sherly. “Adikmu ini sampai nggak bisa jalan, Sher!”

“Bu, aku nggak menyepelekan,” balas Sherly, berusaha sabar. “Cuma, aku pikir Sony sampai harus operasi, begitu. Karena Ibu juga minta uang tiga juga minimal–”

“Oh, jadi sekarang kamu mau itung-itungan sama Ibu?”

“Bu, jangan putar semua kata-kataku,” tegas Sherly kemudian. Ia memijit pelipisnya perlahan. Selalu seperti ini kalau mengobrol dengan ibunya. 

Mendadak ia pusing. Uang tabungannya untuk bertahan hidup selama PPDS bulan ini sudah sisa sedikit, terpakai biaya rumah sakit dan tiket pulang karena dia impulsif. Ia juga tidak mungkin memintanya kembali ataupun perhitungan dengan sang ibu.

Ia hanya berharap … ibunya lebih bijak.

“Ya sudah, masuk. Bantu adikmu itu jalan,” kata Sari pada akhirnya. “Kapan kamu balik? Jangan lama-lama, sayang uang jasamu dipotong. Kalau bisa, besok aja langsung balik.”

Belum juga Sherly menginjakkan kaki di dalam rumah, ibunya seperti sudah mengusirnya.

“Lagian Ibu kan cuma minta uang buat pengobatan Sony,” imbuh sang ibu kemudian. “Bukan nyuruh kamu pulang.”

Dari semua rasa kecewa dan kesal yang dirasakan Sherly saat ini, kalimat terakhir itu yang benar-benar menusuk hatinya dengan begitu dalam. Mata Sherly memanas, matanya menatap Sari dengan penuh luka dan kecewa. 

"Memang Ibu nggak kangen aku?” desis Sherly lirih. “Nggak mau aku pulang?”

“Ngomong apa sih? Jangan drama, Sher.”

“Memang dari dulu, aku ini nggak pernah penting buat Ibu sama Bapak," lanjut Sherly lirih. "Ibu nggak pernah khawatir sama aku, padahal aku perempuan dan sekolah jauh dari kalian."

"Kamu yang keras kepala mau kuliah di luar kota, bukan kami yang suruh."

Ditahan sekuat apapun, air mata Sherly akhirnya jebol juga. Tak peduli air matanya berderai, sang ibu sama sekali tidak menampakkan rasa iba. 

"Lagipun kami tidak pernah membedakan kalian!"

"Tidak pernah membedakan Ibu bilang?" potong Sherly mulai emosi. "Dari dulu yang selalu Ibu dan bapak utamakan itu Sony, mau minta duit berapapun kalian selalu ada, sedangkan aku? Sejak lulus SMP, pernah ibu-bapak kasih Sherly uang, Bu?"

"Nggak peduli kalian tidak perlu keluar uang untuk biaya aku sekolah sejak SMP, aku minta sedikit uang pun kalian tidak pernah kasih. Aku sampai ikut jualan di sekolah cuma biar bisa jajan, Bu!" 

"Kamu ngajak itung-itungan sama ibumu?" desis Sari masih tidak mau kalah. "Baru kerja dan kasih beberapa uang udah mulai kurang ajar kamu!"

"Ibu selalu berpikiran negatif kalo sama aku. Pernah Ibu--."

"Cukup, Sher! Cukup!" potong Sari dengan nada tinggi. "Kalau kamu pulang cuma mau ngajak ribut ibu, lebih baik kamu pergi!"

Pergi? 

Sherly tersebut getir, kepalanya mengangguk pelan. Ia bahkan belum salim dengan sang ibu sejak pertama kali datang tadi. Agaknya memang benar, ia harus pergi dari sini. Tak peduli ini rumahnya sendiri, namun daripada ia harus makin dalam terluka oleh ucapan ibunya, lebih baik Sherly angkat kaki. 

Tanpa banyak bicara lagi, Sherly membalikkan badannya, melangkah dengan tangis yang dia tahan isaknya. Samar-samar ia mendengar sang adik memprotes sang ibu. 

"Bu, mbak Sherly baru dateng loh. Jauh-jauh dia pulang."

Sherly tersenyum getir dalam tangisnya, meskipun sang adik sering dia bawa-bawa ketika memprotes perlakuan orang tuanya, Sony masih sedikit punya empati kepadanya. 

"Biarin! Perlu dikasih pelajaran mbakmu itu! Dia pikir bisa segede itu siapa yang ngurusin!"

Hati Sherly kembali seperti digores belati. Apakah karena dia anak perempuan yang nanti dibawa pergi suami, jadi perlakuan orang tuanya berbeda dengan Sony yang laki-laki? Yang katanya anak laki-laki milik ibunya seumur hidup? 

Sherly terus melangkah, tak terasa dia sudah sampai di depan gang. Tidak ada yang menghentikan langkahnya, tidak ada yang memanggil namanya. Sherly menengadahkan kepala, berusaha menerima semua kalimat yang dia dapatkan dari ibunya. 

"Seandainya dulu aku lahir laki-laki, apakah aku akan terlihat di mata mereka?"

Sherly hendak merogoh ponsel untuk memesan taksi online, ketika suara familiar itu memanggil namanya. 

"Sherly? Kamu balik?"

***

"Ayo pulang dulu!"

Sherly menggeleng perlahan, air matanya kembali menitik. 

"Buat apa, Pak? Ibu yang nyuruh Sherly pergi." tolaknya nelangsa. 

Darmono menghela napas panjang. 

"Memang kamu tadi kirim uang berapa sama ibumu? Kenapa kayaknya kamu jadi keberatan begitu?"

Keberatan? 

Sherly menatap nanar bapaknya, ia pikir akan ada yang berada di pihaknya, tapi sepertinya tidak seindah bayangan Sherly. 

"Sherly nggak pernah keberatan kirim uang ke Bapak atau ibu, cuma Sherly nggak suka kenapa ibu harus bohong begitu? Sherly panik, Pak! Sherly nangis denger katanya Sony kondisinya parah." jelas Sherly lirih. "Untung konsulen Sherly baik, nggak peduli baru hari pertama masuk pendidikan spe--."

"Kamu jadi lanjut ambil spesialis, Sher?" potong suara itu dengan nada terkejut, matanya membelalak. 

Sherly menatap nanar wajah dan ekspresi ayahnya, ia menarik napas panjang, berusaha menguatkan dirinya sendiri. 

"Kan pas pengumuman Sherly lolos seleksi, Bapak sama ibu sudah Sherly beri kabar, Pak. Bapak lupa?" ucap Sherly kecewa, ia pikir orangtuanya akan bangga. "Ah aku lupa, sejak kapan aku penting?" imbuhnya mengutarakan kekecewaan hati. 

"Terus biayanya?" kejar Darmono dengan raut serius. 

Sherly tersenyum getir, ada ketakutan di mata itu. 

"Bapak jangan khawatir. Sama seperti waktu ambil S1 dulu, Sherly dapat beasiswa lagi kok." jawabnya menegaskan. "Jangan takut, Sherly nggak bakalan bebanin Bapak buat bayarin kuliah aku."

Sedih. Ada raut lega yang terpancar dari keduanya. Bukan raut bangga karena anaknya calon dokter spesialis yang dapat beasiswa. Sherly hampir menangis, namun dia sekuat tenaga menahannya. 

"Kerjaan kamu gimana? Bisa disambi?" tanya Darmono kemudian. 

"Selama pendidikan, kami nggak boleh buka praktek, Pak. SIP dibekukan, jadi ti--"

"Loh, nganggur berarti kamu?" potong suara itu cepat, penuh nada terkejut. 

Kening Sherly berkerut, matanya memanas. 

"Bukan nganggur, kerjaan nanti malah tambah banyak selama pendidikan, Pak. Ka--"

"Bukan itu maksudnya! Kamu nggak ada pemasukan berarti selama sekolah lagi?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Malam Panas Tak Terlupakan dengan Konsulenku   Ch. 5 Pulang

    “Kamu sendiri kenapa, Dek? Kata Ibu kecelakaan? Kondisinya parah? Kok ada di rumah?” Sherly memberondong Sony dengan pertanyaan. Baru kemudian pandangannya jatuh pada pergelangan kaki sang adik yang terbungkus perban.Selain itu? Hanya lecet biasa di dua tiga tempat."Siapa, Son?"Belum sempat Sony menjawab pertanyaan Sherly, sang ibu muncul dari dalam rumah. Wanita paruh baya itu pun tampak terkejut dengan kepulangan Sherly.“Kamu kok nggak ngabarin kalau mau pulang?” kata Sari, ibu Sherly, dengan nada setengah menggerutu.“Aku nunggu kabar dari Ibu, tapi Ibu nggak balas ataupun angkat teleponku. Jelas aku khawatir,” jelas Sherly. “Tapi kata Ibu, kondisi Sony parah. Apa ini yang seperti ini yang Ibu maksud?”“Apa maksud kamu?” Ibunya tampak tidak terima. Nada suaranya langsung meninggi. “Jadi menurutmu, adikmu bonyok sampe begitu itu nggak parah? Kamu nggak bersyukur adikmu masih hidup? Maumu dia koma, sekarat di rumah sakit, begitu?"Sherly menghela napas. “Bukan begitu maksud aku,

  • Malam Panas Tak Terlupakan dengan Konsulenku   Ch. 4 Khawatir

    Otak Sherly langsung bertanya-tanya apa maksud dari pertanyaan itu. Memang sebelumnya Sherly menangis di depan Gerrard? Pun, matanya mungkin sempat berkaca-kaca, ia tidak menumpahkannya di hadapan pria itu.Akan tetapi, Sherly tidak bertanya lebih jauh.“Maaf, Dok. Tadi saya tidak lihat jalan,” ucapnya kemudian. “Matamu agak sembab,” balas Gerrard kemudian. “Kamu baik-baik saja?”Tanpa sadar, Sherly menggigit bibirnya. Kenapa pria ini terdengar begitu peduli? Apakah ini hanya kedok? Atau Dokter Gerrard murni mencemaskan kondisinya? Sherly akui, setelah satu hari ini, kondisi tubuh dan mentalnya tidak cukup baik. Mungkin itu bisa dilihat dari wajahnya yang kuyu dan lesu.Pendidikannya tahun ini tampaknya penuh cobaan. Tidak hanya dari Reynan dan pihak rumah sakit, melainkan juga dari konsulennya sendiri.“Sherly?” panggil Gerrard lagi saat Sherly tidak kunjung menjawab.“Baik-baik saja, Dok.” Sherly memaksakan sebuah senyum tipis. “Mungkin karena sudah sore, jadi agak capek. Saya per

  • Malam Panas Tak Terlupakan dengan Konsulenku   Ch. 3 Dimanfaatkan

    “Kamu bukannya temenan deket sama Sherly, Rey? Kok aku nggak pernah lihat dia lagi bareng kamu?”Usai dari ruangan Gerrard, Sherly hendak menuju ke bangsal poli rawat jalan ketika ia mendengar obrolan tersebut. Saat ia mengintip di persimpangan koridor, Sherly melihat beberapa anak koas dan residen anestesi yang lain–departemen yang dipilih oleh Reynan. Apes betul nasibnya hari ini. Sherly berniat berbalik dan mengambil jalan lain saat ia mendengar suara Reynan menjawab komentar sang kawan.“Cuma temen satu SMA biasa. Nggak begitu deket kok.” Suara familier itu membuat Sherly berhenti melangkah.“Nggak deket gimana, Rey? Aku sering lihat kalian bareng lho. Kadang kalian juga nugas bareng, bukannya?” Suara lain berkomentar. “Sampai kukira, Reynan dan Sherly pacaran.”Reynan terdengar tertawa. "Ah! Pacaran apaan?" kilah suara itu yang seperti menghantam hati Sherly dengan begitu keras. Pria itu benar-benar lupa kalau waktu SMA dulu, justru Reynan-lah yang menyatakan cinta. Namun,

  • Malam Panas Tak Terlupakan dengan Konsulenku   Ch. 2 Sosok Itu ....

    "Ikut ke ruangan saya, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan."DEG! Jantung Sherly rasanya seperti meloncat dari tempat. Tanpa menunggu jawaban Sherly, dokter Gerrard membalikkan badan, melangkah lebih dulu menuju ruangan pribadinya. Sementara Sherly, ia masih membeku di tempatnya berdiri. Ia didera ketakutan yang teramat sangat.Apa yang ingin laki-laki itu bicarakan padanya? Apakah ini tentang apa yang terjadi malam itu antara mereka? Dengan langkah berat, Sherly mulai mengikuti Dokter Gerrard ke ruangan.Jantung Sherly berdegup dua kali lebih cepat. Ia benar-benar tidak tahu, apa yang harus dia katakan nanti ketika benar malam panas itulah yang hendak dibahas Dokter Gerrard. Haruskah Sherly mengaku sebagai wanita itu? Atau dia berpura-pura Dokter Gerrard salah orang supaya hidupnya bisa tenang dan benar-benar melupakan malam laknat efek mabuknya dia kala itu? Tapi apakah lelaki itu akan percaya dan punya pemikiran yang sama dengan Sherly? Bagaimana kalau malah sebaliknya

  • Malam Panas Tak Terlupakan dengan Konsulenku   Ch. 1 Mimpi Buruk

    Tubuh Sherly terhuyung setiap kali dorongan keras itu menghantamnya dari belakang. Tangannya mencengkeram sprei, merasakan kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.“Ahh… hahh…!”Lenguhan terlontar dari bibir Sherly kala tangan kokoh pria itu menahan pinggangnya, menariknya lebih rapat, memaksa tubuhnya mengikuti irama yang kian liar.“Lihat aku…” bisikan berat itu menyusup, rendah namun tegas. Mata Sherly refleks terarah pada pantulan cermin rias di dalam kamar. Dirinya terguncang di sana, rambut berantakan, bibir ternganga, matanya basah oleh kenikmatan yang meluap.Lalu, sosok pria itu terlihat. Otot-ototnya menegang di bawah kulit yang berkilau oleh keringat, wajahnya dipahat tajam, rahang mengeras, dan yang terpenting sepasang mata hitam yang menenggelamkan.Bibir pria itu menempel di telinga Sherly dan berbisik, “Sebut namaku, aku–”TOK! TOK! TOK!“Sherly! Bangun atau aku akan dobrak pintu kamarmu ini!”Mendengar teriakan itu, Sherly langsung terbangun dengan napas t

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status