LOGIN“Kamu sendiri kenapa, Dek? Kata Ibu kecelakaan? Kondisinya parah? Kok ada di rumah?” Sherly memberondong Sony dengan pertanyaan. Baru kemudian pandangannya jatuh pada pergelangan kaki sang adik yang terbungkus perban.
Selain itu? Hanya lecet biasa di dua tiga tempat.
"Siapa, Son?"
Belum sempat Sony menjawab pertanyaan Sherly, sang ibu muncul dari dalam rumah. Wanita paruh baya itu pun tampak terkejut dengan kepulangan Sherly.
“Kamu kok nggak ngabarin kalau mau pulang?” kata Sari, ibu Sherly, dengan nada setengah menggerutu.
“Aku nunggu kabar dari Ibu, tapi Ibu nggak balas ataupun angkat teleponku. Jelas aku khawatir,” jelas Sherly. “Tapi kata Ibu, kondisi Sony parah. Apa ini yang seperti ini yang Ibu maksud?”
“Apa maksud kamu?” Ibunya tampak tidak terima. Nada suaranya langsung meninggi. “Jadi menurutmu, adikmu bonyok sampe begitu itu nggak parah? Kamu nggak bersyukur adikmu masih hidup? Maumu dia koma, sekarat di rumah sakit, begitu?"
Sherly menghela napas. “Bukan begitu maksud aku, Bu. Tapi–”
"Jangan mentang-mentang kamu dokter, sering lihat kondisi pasien sampai kondisi seperti ini kamu sepelekan," omel Sari memotong kalimat Sherly. “Adikmu ini sampai nggak bisa jalan, Sher!”
“Bu, aku nggak menyepelekan,” balas Sherly, berusaha sabar. “Cuma, aku pikir Sony sampai harus operasi, begitu. Karena Ibu juga minta uang tiga juga minimal–”
“Oh, jadi sekarang kamu mau itung-itungan sama Ibu?”
“Bu, jangan putar semua kata-kataku,” tegas Sherly kemudian. Ia memijit pelipisnya perlahan. Selalu seperti ini kalau mengobrol dengan ibunya.
Mendadak ia pusing. Uang tabungannya untuk bertahan hidup selama PPDS bulan ini sudah sisa sedikit, terpakai biaya rumah sakit dan tiket pulang karena dia impulsif. Ia juga tidak mungkin memintanya kembali ataupun perhitungan dengan sang ibu.
Ia hanya berharap … ibunya lebih bijak.
“Ya sudah, masuk. Bantu adikmu itu jalan,” kata Sari pada akhirnya. “Kapan kamu balik? Jangan lama-lama, sayang uang jasamu dipotong. Kalau bisa, besok aja langsung balik.”
Belum juga Sherly menginjakkan kaki di dalam rumah, ibunya seperti sudah mengusirnya.
“Lagian Ibu kan cuma minta uang buat pengobatan Sony,” imbuh sang ibu kemudian. “Bukan nyuruh kamu pulang.”
Dari semua rasa kecewa dan kesal yang dirasakan Sherly saat ini, kalimat terakhir itu yang benar-benar menusuk hatinya dengan begitu dalam. Mata Sherly memanas, matanya menatap Sari dengan penuh luka dan kecewa.
"Memang Ibu nggak kangen aku?” desis Sherly lirih. “Nggak mau aku pulang?”
“Ngomong apa sih? Jangan drama, Sher.”
“Memang dari dulu, aku ini nggak pernah penting buat Ibu sama Bapak," lanjut Sherly lirih. "Ibu nggak pernah khawatir sama aku, padahal aku perempuan dan sekolah jauh dari kalian."
"Kamu yang keras kepala mau kuliah di luar kota, bukan kami yang suruh."
Ditahan sekuat apapun, air mata Sherly akhirnya jebol juga. Tak peduli air matanya berderai, sang ibu sama sekali tidak menampakkan rasa iba.
"Lagi pula, kami tidak pernah membedakan kalian!" Ibunya menambahkan. “Sony itu butuhnya memang banyak.”
“Aku juga butuh, Bu.” Lirih, Sherly berucap. Ya, dia butuh kasih sayang dan perhatian sama seperti Sony.
Namun, ibunya justru menghardik, "Oh! Kamu ngajak itung-itungan sama ibumu?" ucap Sari. "Baru kerja dan kasih beberapa uang udah mulai kurang ajar kamu!"
Sherly terhenyak. "Ibu selalu berpikiran negatif kalo sama aku. Maksudku–"
"Cukup, Sher! Cukup!" potong Sari dengan nada tinggi. "Kalau kamu pulang cuma mau ngajak ribut ibu, lebih baik kamu pergi!"
Pergi?
Sherly tersebut getir, kepalanya mengangguk pelan. Ia bahkan belum salim dengan sang ibu sejak pertama kali datang tadi. Agaknya memang benar, ia harus pergi dari sini. Tak peduli ini rumahnya sendiri, namun daripada ia harus makin dalam terluka oleh ucapan ibunya, lebih baik Sherly angkat kaki.
Tanpa banyak bicara lagi, Sherly membalikkan badannya, melangkah dengan tangis yang dia tahan isaknya.
"Tuh, Son. Perlu dikasih pelajaran mbakmu itu! Dia pikir bisa segede itu siapa yang ngurusin!"
Sherly terus melangkah, tak terasa dia sudah sampai di depan gang. Tidak ada yang menghentikan langkahnya, tidak ada yang memanggil namanya. Sherly menengadahkan kepala, berusaha menerima semua kalimat yang dia dapatkan dari ibunya.
Ia sungguh tidak habis pikir. Bagaimana orang asing justru lebih peduli padanya daripada orang tuanya sendiri?
Mendadak Sherly terbayang wajah Gerrard yang–meski dingin dan kaku–tampak khawatir dan bersimpati saat Sherly kalut mendapatkan kabar kecelakaan beberapa waktu yang lalu.
Jika memang Sherly tidak diinginkan di sini, lebih baik ia kembali.
Sherly hendak merogoh ponsel untuk memesan taksi online, ketika suara familiar itu memanggil namanya.
"Sherly? Kamu balik?"
Ayahnya berdiri di sana. Pria paruh baya itu menghampiri Sherly. “Kenapa di depan rumah? Masuk.”
Sherly menggeleng perlahan, air matanya kembali menitik.
"Ibu suruh Sherly pergi." tolaknya nelangsa.
Darmono menghela napas panjang. Pria itu tampaknya bisa menduga ada perdebatan antara ibu dan anak itu.
"Soal uang? Memang kamu tadi kirim uang berapa sama ibumu? Kenapa kayaknya kamu jadi keberatan begitu?" Darmono berucap.
Keberatan?
Sherly menatap nanar bapaknya, ia pikir akan ada yang berada di pihaknya, tapi sepertinya tidak seindah bayangan Sherly.
"Sherly nggak pernah keberatan kirim uang ke Bapak atau ibu, cuma Sherly nggak suka kenapa ibu harus bohong begitu. Sherly panik, Pak! Sherly nangis denger katanya Sony kondisinya parah." jelas Sherly lirih. "Untung konsulen Sherly baik, jadi Sherly bisa izin nggak masuk, meski masih minggu pertama pendidikan."
“Pendidikan?” Darmono terdengar terkejut. “Kamu kuliah lagi?”
Sherly menatap ayahnya heran. “Kan, Sherly udah bilang ke Bapak kalau Sherly ambil spesialis,” ucap wanita itu. “Waktu pengumuman lolos seleksi, Sherly juga kasih kabar ke Bapak Ibu.”
"Terus biayanya?" kejar Darmono dengan raut serius.
Sherly tersenyum getir, ada ketakutan di mata itu.
"Bapak jangan khawatir. Sama seperti waktu ambil S1 dulu, Sherly dapat beasiswa lagi kok." jawabnya menegaskan. "Sherly nggak bakalan bebanin Bapak buat bayarin kuliah aku."
"Kerjaan kamu gimana? Bisa disambi?" tanya Darmono kemudian.
"Selama pendidikan, kami nggak boleh buka praktek, Pak. SIP dibekukan, jadi–"
"Loh, nganggur berarti kamu?" potong suara itu cepat, penuh nada terkejut. Sepasang mata pria baruh baya itu terbelalak.
Kening Sherly berkerut, matanya memanas. "Bukan nganggur, Pak. Sherly tetap kerja di rumah sakit, tapi belum digaji. Nanti–"
"Nah itu! Kamu nggak ada pemasukan berarti selama sekolah lagi?" tanya sang ayah lagi. “Lalu, nasib adikmu kuliah tahun depan gimana?”
"Fix ya, jumat langsung masuk, nanti tindakan sab--.""Nggak bisa jumat sekalian?" potong Gerrard mencoba nego. Yanu nampak serius menatap layar monitor, sesekali ia mengentuk pulpen ke meja, tanpa melepaskan pandangan dari layar monitor. "Jumat full. Kalau mau malam, Ge." jawab Yanu memulai negosiasi. "Malamnya jam berapa?""Sembilan."Gerrard mendesah, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Sungguh pilihan yang sulit! Ia ingin anaknya segera lahir, kekhawatiran Gerrard akan pendarahan yang selama ini berulang terjadi bisa segera usai dan jangan lupa ... Gerrard bisa segera meluapkan semua yang selama ini dia pendam pada ibunya. "Pas kamu udah loyo-loyonya itu!" desis Gerrard dengan mata terpejam dan tubuh bersandar di kursi. "Sabtu pagi jam lima!"Kini obsgyn itu yang nampak memejamkan mata sembari menghela napas panjang. "Jam segitu tindakan, obsgyn-nya nggak boleh tidur, Ge?" protes Yanu dengan wajah memelas. "Kalo ada cito, obsgyn-nya juga masih mau tidur?" Gerrard kekeuh, ia i
Gerrard menatap nanar layar ponsel, ia mendesah panjang dan membiarkan ponsel itu jatuh ke pangkuannya. Room chat itu masih disana, dan Gerrard tidak tahu harus membalas apa. Nirina mengabarkan bahwa besok dia sudah sampai dan minta dijemput di bandara. Pada akhirnya, waktu itu akan tiba! Gerrard sudah mempersiapkan diri, bukan hanya untuk menjadi ayah, tetapi juga untuk membela istrinya dan mempertahankan Sherly agar tetap berada di sisinya. Apakah besok dia akan berhasil? Kenapa dia tanyakan ini? Bukankah Gerrard sudah bertekad bahwa apapun itu akan dia lakukan? "Mas, kenapa?"Gerrard tersentak, entah sejak kapan Sherly duduk di sebelahnya, dia tidak tahu. Yang jelas, akhir-akhir ini gerak Sherly benar-benar terbatas. Ia sudah kesulitan beraktivitas, susah tidur dan masih banyak lagi. "Besok mama udah sampai, nggak apa-apa, kan?"Gerrard bisa lihat wajah itu berubah. Senyum itu terlihat kaku, begitu dipaksa sampai kemudian kepalanya terangguk. "Tentu nggak apa-apa, memang kena
"Istri lahiran sama siapa besok, Ge?"Ibra menyeruput americano miliknya, mereka sedang beristirahat di cafe yang merupakan salah satu fasilitas di lapangan golf langganan mereka. "Yanu, akhir bulan nanti sudah harus operasi." jawab Gerrard ikut menyeruput kopinya. Tiga bapak-bapak ini sebenarnya tidak benar-benar bermain dan bertaruh skor. Mereka hanya datang, bermain sebentar dan berakhir nongkrong di salah satu meja cafe. Efek lelah sepulang praktek dan tentu saja hari yang sudah mulai menggelap. "Banyak pasien dia kulihat." ucap Bastian ikut nimbrung, tentu dia kenal dengan Yanu, mereka satu kampus dulu! "Kamu sih, kenapa dulu nggak ambil obsgyn? Dengan bentukan kamu yang begini, laris kamu!" kelakar Gerrard yang kontan membuat Bastian mencebik. "Kamu tentu tidak lupa aku yang harus mengulang tiga minggu di stase obsgyn dulu, kan? Dan kamu menyuruhku jadi ahli kandungan?" omel Bastian yang entah mengapa begitu payah selama stase itu. Gerrard sontak terbahak-bahak, membuat I
"Kalau ada yang ingin kamu tanyakan, jangan sungkan. Oke?"Evelyn tersenyum, mengangguk pelan tanda bahwa dia mengerti dan paham dengan pesan yang Bastian berikan. "Aku benar-benar berharap kamu yang bakalan temenin aku sampai akhir hayat, Lyn."Evelyn tertegun, jujur dia masih belum bisa menerima semua itu. Meskipun beberapa kali meminta bahwa ia ingin Bastian untuk seumur hidupnya, namun bagaimana pun ia tetap syok dan terkejut Bastian akan secepatnya ini mengajaknya menikah! "Aku pun sama, semoga Tuhan dan semesta merestui ya, Mas." jawab Evelyn sembari tersenyum. "Terimakasih untuk hari ini, aku pamit pulang, ya?"Bastian menarik tangan Evelyn, mencegah tangan itu membuka pintu mobil, toh ia belum membuka kuncinya, namun ia melakukan itu bukan hanya agar Evelyn tidak membuka kunci pintu, namun juga untuk mendekatkan wajah Evelyn agar ia bisa kembali meraup bibirnya. Dengan sedikit liar, Bastian melumat bibir itu. Suhu tubuhnya meningkat seketika, ciuman itu bahkan bisa membangu
"Apa ini, Mas?" tanya Evelyn ketika Bastian menyodorkan ponsel ke depan wajahnya. "Liat dulu!" paksa Bastian sembari menjejalkan ponsel ke tangan Evelyn. Evelyn menatap ponsel Bastian, sebuah katalog tapi .... "List wedding dream kamu!" titah Bastian yang sukses membuat Evelyn membelalak terkejut. "Kurang beberapa bulan aja, kan? Kita bahas mulai sekarang!"Astaga! Evelyn tertegun, pacaran dengan duda apakah memang sedramatis ini? Langsung sat-set diajak menikah? Evelyn benar-benar syok, Bastian benar-benar tidak membiarkan dia beristirahat barang sebentar. "Ta-tapi kita belum bahas sama keluarga, Mas!" desis Evelyn lirih. "Yaudah ayo kita bahas!" sahutnya santai, "Besok ketemu orang tua kamu, ya? Kita bahas!"Evelyn terkesiap, ia begitu gemas pada Bastian. Segampang itukah? Apakah dia tidak tahu bagaimana peragai ibunya? Kemungkinan apa yang terjadi jika Evelyn membawa Bastian pulang dan meminta izin hendak menikah? "Mas!" desis Evelyn lemas. "Buru-buru amat sih?"Bastian meng
"Mbak duluan, ya!" pamit Evelyn pada para perawat IGD, lirikannya berubah sinis pada lelaki itu, siapa lagi kalau bukan Fendi? Bahkan Evelyn tidak menyalami lelaki itu, melengos dan melewatinya begitu saja tak peduli sejak masuk tadi, tatapan Fendi sudah tertuju kepadanya. Dari sudut mata, Evelyn bisa melihat dia bangkit dan hendak mengejar langkah Evelyn, namun secara tidak terduga, ada pasien datang dibopong masuk ke dalam. Evelyn tersenyum lebar, agaknya semesta memang benar-benar tidak merestui mereka. Dengan santai, Evelyn melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Satu tangannya merogoh ponsel, baru akan menelepon Bastian ketika panggilan lembut itu sudah lebih dulu menyapanya. "Jadi ngopi, Yang?" Ah! Hampir Evelyn melonjak ketika tangan itu meraih dan menggenggam tangannya, matanya membelalak, membuat Bastian tertawa dan menyeret Evelyn dengan segera sebelum ada yang memergoki mereka. Bukan ke tempat sepi, Bastian membawa Evelyn ke tempat parkir. Segera membuka







