Kalau saja Juliet tidak sadar posisinya, dia yakin sudah memelintir usus besar CEO tampan itu!
Hanya saja, Juliet mendadak teringat sesuatu! “Maaf, apakah aku bisa ikut ke kantor Pak CEO saja? Aku mau menemui Argan dan meminta kunci mobil,” ucapnya. Wilson tampak menoleh padanya sebelum menganggukkan kepala. Tidak butuh waktu lama, mereka pun tiba dan berpisah. Wilson langsung menuju ruangannya, meninggalkan Juliet yang menunggu di lobby perusahaan. Menunggu Argan, wanita itu mondar-mandir di dekat pintu lobi perusahaan dengan perasaan gelisah. Juliet bahkan tidak peduli penampilannya masih lusuh ataupun tubuhnya yang seperti tertimpa truk tronton. Selain tidak ingin buang-buang waktu lagi untuk mengambil kembali mobilnya, Juliet juga ingin memastikan keadaan dua pengkhianat itu. Bukan kenapa-kenapa, Juliet hanya takut berakhir dipenjara jika Argan dan Rania gancet! Untungnya, semua sirna kala Juliet akhirnya melihat Argan datang di depan halaman perusahaan. Pria itu tampak sangat kesulitan. Kakinya agak terbuka dan tangannya seperti ingin menahan bagian intinya. Tapi, Juliet tidak peduli akan hal itu. Segera saja, ia mendekati pria itu. “Argan!” panggilnya. Seketika itu Argan langsung memperbaiki ekspresi wajahnya, mencoba untuk berdiri dengan tegak agar Juliet tidak curiga. “Babe, kau datang?” Babe kepalamu pitak? Rasanya, Juliet ingin membalas demikian. Namun, dia memutuskan untuk tidak langsung menunjukkan emosinya. Bagaimanapun, dia harus mengambil kembali semua barang yang ada pada Argan terlebih dahulu. “Babe, aku mau pakai mobil. Mana kuncinya?” ucap Juliet dengan lembut. Argan nampak bingung di balik wajahnya yang menahan sakit. “Tapi, Babe... sore nanti aku mau pakai juga mobilnya.” Melihat wajah Argan yang tidak tahu malu itu, rasanya Juliet ingin sekali ia mencongkel biji matanya. Ah, sudahlah. Semarah apapun Juliet saat ini, dia jelas harus menahan diri dengan baik jika ingin semua berjalan lancar. Juliet kembali tersenyum. “Maaf, Argan. Tapi, hari ini aku ada pekerjaan di luar kota. Kau tahu kan aku belum gajian dan harus menghemat.” Argan terlihat ragu. Tapi, dia ingin melarang lebih keras juga tidak lupa kalau mobil itu adalah miliknya Juliet. Sejak Juliet beli dengan sistem kredit, mobil itu selalu berada di tangannya. “Hanya sesekali saja tidak masalah,” pikir Argan. Ia pun mengambil kunci mobil dari sakunya. Tapi, tentu saja itu belum cukup untuk Juliet. “Suratnya?” Juliet masih menadahkan tangannya, “aku khawatir terkena tilang polisi jika ada pemeriksaan mendadak.” Memaksakan senyumnya, Argan mengeluarkan surat mobil dari tasnya lalu memberikannya kepada Juliet. “Baiklah, terimakasih banyak,” ucap Juliet cukup puas karena bisa mengambil kembali mobilnya yang hanya tinggal dua kali lagi cicilan. Juliet pun melangkah pergi dari sana. Hanya saja, Argan mendadak menghentikannya. “Babe, kau lupa sesuatu, ya?” Lupa? Juliet mengerutkan kening karena bingung. Dia benar-benar tidak paham. “Aku lupa tentang apa memangnya?” tanya wanita itu akhirnya. “Kau lupa kalau aku kemarin ulang tahun? Walaupun kau sudah mengucapkan lewat pesan, apa kau tidak ingin mengucapkan secara langsung?” Argan tersenyum penuh harapan,.tak menyadari kekesalan yang dirasakan oleh Juliet. “Dia pasti sedang menunggu hadiah dariku, kan? Ucapan selamat ulang tahun sebenarnya adalah hal yang tidak dia inginkan. Cih? Bodohnya aku...” gumam Juliet di dalam hati. Selama menjalin hubungan, Juliet selalu memberikan hadiah yang cukup mahal, selalu barang yang asli. Tapi jika yang ulang tahun adalah Juliet, Argan hanya akan memberikan barang-barang imitasi. Juliet tidak pernah bertanya kenapa dia diberikan barang imitasi meskipun dia sangat kecewa. Juliet pikir, yang paling penting adalah ketulusan. Argan hanya mampu memberikan itu saja. Bodoh sekali dirinya! Juliet sejenak menatap Argan dengan senyuman yang cerah, tapi dia mendadak mundur selangkah. Argan merasa ada sesuatu yang tidak beres, mulai waspada. Namun, tidak ada kesempatan untuk pria itu menghindar. Juliet sudah berlari dan meloncat pada tubuh Argan. Lututnya dengan sengaja dibenturkan kepada bagian inti Argan. “Akhhhhhhhhh....!!!” Teriakan Argan yang menggelegar itu mengundang keterkejutan dan rasa penasaran dari orang yang dapat melihat serta mendengarnya. “Babe, kau kenapa? Padahal aku cuma ingin memelukmu erat-erat sambil mengucapkan selamat ulang tahun, loh...” ucap Juliet di dekat telinga Argan, namun senyum dan tatapan jahatnya sudah tak terbendung lagi. Melihat Argan tak berdaya, Juliet langsung berpura-pura untuk terlihat panik. “Babe, kau kenapa?” Namun, Argan hanya meringis sementara kedua tangannya memegangi bagian intinya. “Babe, apa yang terjadi? Sini aku periksa!” ucap Juliet meremas bagian inti Argan.. “Akhhhhhhhhhhhh!!!!”Langit sore mulai berubah warna ketika Wilson memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Ia berjalan masuk dengan langkah tenang seperti biasa, menyapa beberapa staf rumah tangga dengan anggukan kecil saat mereka juga menyapa Wilson. Namun, dalam hatinya, ia sedang menyimpan kegelisahan yang belum sempat ia utarakan kepada siapa pun atas apa yang terjadi hari ini. Begitu pintu kamarnya terbuka, Wilson langsung merasakan ada yang berbeda. Sekilas, segalanya tampak seperti biasa, rapih, bersih, tanpa kekacauan. Tapi justru karena terlalu rapih, ia tahu ada yang tidak beres. Wilson menatap tempat tidurnya. Sprei yang tadi pagi ia biarkan kusut karena terburu-buru, kini terlipat rapi seperti belum pernah digunakan. Namun yang paling mencolok adalah lekukan samar di bagian tepi ranjang, bekas seseorang yang duduk di sana belum lama ini. Ia tidak butuh waktu lama untuk menyimpulkan bahwa k
Wilson semakin mencurigai sesuatu ketika menyadari bahwa setiap usaha untuk menelusuri masa lalunya selalu berakhir di jalan buntu. Dokumen-dokumen pribadi, catatan medis, bahkan album foto lamanya, terutama beberapa tahun belakangan di rumah, semuanya tampak terlalu rapi, terlalu bersih. Tidak ada yang terasa alami. Tidak ada jejak atau bukti jelas tentang siapa saja yang pernah dekat dengannya sebelum kecelakaan. Bahkan, jika memang benar dulu dia memiliki hubungan yang sangat dalam dengan Karina, Kenapa tidak ada foto-foto kebersamaan di antara mereka berdua? Ia bahkan mencoba mengakses media sosial lamanya, tapi akun-akun itu sudah lama tidak aktif, sebagian bahkan tidak bisa dibuka kembali. Email pribadinya pun hanya berisi hal-hal formal dan pekerjaan, tanpa jejak komunikasi pribadi yang berarti. “Aneh,” gumamnya sambil menatap layar laptop. “Seolah... seseorang sengaja menghapus semuanya. Apa
Larisa menjalankan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab seperti biasa. Setelah proses penyelidikan internal yang dilakukan bersama Roy, akhirnya dalang di balik kecurangan dana administrasi perusahaan berhasil diungkap. Pelaku terbukti telah menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi dan langsung diberhentikan dari perusahaan. Bahkan juga mendapatkan sanksi hukum. Sejak saat itu, Larisa dipercaya penuh untuk menangani seluruh urusan administrasi. Ia kini menjadi penanggung jawab utama, dan kepercayaan itu membuatnya semakin termotivasi untuk bekerja lebih baik lagi. “Terima kasih atas kerja kerasmu, Larisa,” ucap Roy suatu pagi saat menyerahkan laporan terbaru. “Kau benar-benar sudah bekerja keras.” “Kita beruntung punya seseorang yang bisa diandalkan.” Larisa tersenyum tenang. “Saya hanya melakukan tugas saja, Tuan. Tapi saya akan pastikan tidak akan ada kejadian seperti
Seperti yang telah direncanakan, Wilson mulai berusaha menjalin kedekatan kembali dengan Reiner. Ia mengirim pesan singkat, mengajak untuk makan siang atau sekadar bertemu dan mengobrol santai seperti yang biasa mereka lakukan dahulu. Namun, setiap kali ajakan itu disampaikan dengan hangat, Reiner selalu memberikan berbagai alasan untuk menolak. “Maaf, Wilson... minggu ini jadwalku padat sekali di kantor. Aku sudah berjanji kepada orang tuaku untuk fokus dengan pekerjaan ku. Sekali lagi, maaf.” “Aku sedang kurang sehat, mungkin lain waktu saja. Maaf ya...” “Saat ini aku sedang berada di luar kota untuk urusan keluarga. Mungkin akan kembali lusa. Maaf...” Alasannya terus berganti, tetapi satu hal yang tetap sama di pikiran Wilson, Reiner sela
Hari-hari pun berlalu dengan lebih tenang. Wilson mulai bisa bernapas lega karena Chaterine dan Luis tidak lagi terus-menerus menuntutnya soal pernikahan dengan Karina. Meskipun tekanan itu masih terasa di sekelilingnya, setidaknya untuk sementara mereka memberinya ruang untuk bernapas lega. Dengan beban pikiran yang sedikit berkurang, Wilson pun bisa fokus kembali pada pekerjaannya di perusahaan. Ia mulai mengatur ulang jadwal, memimpin rapat-rapat penting, dan mengejar ketertinggalan yang sempat terbengkalai akibat sakitnya beberapa waktu lalu. Di balik meja kerjanya, Wilson kadang masih termenung. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa kosong, seperti ada bagian penting yang hilang dan belum bisa ia pahami bahkan sampai detik ini. Tapi untuk sekarang, bekerja adalah satu-satunya hal yang bisa membuat pikirannya tetap sibuk. Meskipun, anehnya tingkat konsentrasi Wilson seperti menurun. “Aku harus terus maju… meski belum tahu ke mana arah hatiku yang sebenarnya,” guma
Malam itu suasana di ruang tamu kediaman keluarga Andreas terasa begitu tegang. Ibunya Karina, duduk dengan punggung tegak, matanya menatap tajam ke arah Wilson yang duduk di seberangnya. Ia datang tanpa basa-basi, hanya satu tujuan, untuk menuntut kejelasan. “Aku hanya ingin tahu satu hal darimu, Wilson,” ucap Ibunya Karina, nadanya dingin. “Kapan kau akan menikahi Karina? Jangan terus membuang waktu kami. Kesabaranku juga ada batasnya.” Wilson terdiam sesaat. Matanya menatap lantai, lalu menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan yang tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. “Aku... aku tidak bisa terus seperti ini terus,” jawab Wilson pelan tapi tegas. “Yang aku tahu saat ini adalah aku tidak mencintai Karina. Dan aku tidak pernah benar-benar merasa kalau aku mencintainya seperti yang kalian semua katakan selama ini padaku.” Mata Ibunya Karina membelalak. Suaranya langsung meninggi. “Apa maksud ucapan mu, Wilson