“Aku dengar kekasih tercintamu itu ulang tahun kemarin. Kenapa kau justru ada di bar sendirian?”
Mendengar ucapan Wilson, Juliet yang memang sudah mengenakan pakaiannya seketika lesu. Setelah meminum segelas air mineral yang tersedia, Juliet mulai mengingat dengan jelas apa yang terjadi semalam. Dia benar-benar menyerang Wilson! Bisa-bisanya Juliet seperti singa betina yang kelaparan mencium Wilson, membuka bajunya, menyentuh tubuh kekar pria itu, bahkan…. “Apa Kau diam karena sedang merasa bersalah sudah mengkhianatinya?” tanya Wilson lagi menyadarkan Juliet dari lamunan. Merasa bersalah? Yang benar saja! Kalau bukan karena pria itu, dia tak akan kehilangan akal, hingga berakhir seperti ini! “Aku ingin memberikan kejutan untuknya, tapi malah aku yang terkejut menemukannya berselingkuh,” jawab Juliet tampak menahan emosi. Di sisi lain, Wilson menyembunyikan senyumnya. Setiap kali dia melihat Argan, dia pasti akan melihat Juliet. Wanita itu selalu mengantar-jemput Argan dari perusahaan. Wilson sampai bingung. Juliet itu kekasihnya Argan atau ibunya pria itu? Rasanya cukup puas juga melihat perempuan bodoh dan gila cinta akhirnya tersadarkan. “Makanya, kalau sudah tahu kau kekasihnya, bersikaplah sebagaimana mestinya jangan bersikap seolah-olah Kau adalah ibunya,” ujar Wilson. Jleb! Juliet hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Bukan hanya satu atau dua orang saja yang mengatakan hal itu, tapi Juliet terlalu mencintai Argan dan menulikan telinganya. Siapa sangka, ucapan mereka justru terbukti…. Tanpa sadar Juliet menjedotkan kepalanya ke bantal, merutuki kebodohan. Wilson sendiri menggelengkan kepalanya melihat tingkah juliet. “Sudahlah. Mengajakmu bicara sekarang ini percuma saja. Kita bertemu lagi malam nanti. Pagi ini, aku ada meeting penting.” Mendengar itu, Juliet seketika menatap Wilson dengan tatapan terkejut. Meeting penting? “PAK!” teriak Juliet tiba-tiba yang membuat Wilson mengangkat alis. “Bisakah kita bicara biasa saja?” tegur pria tampan itu pada Juliet. “Maaf, Pak CEO,” ujar Juliet tak enak, tapi dia sungguh penasaran, “meeting penting hari ini apakah harus melibatkan Argan dan Rania?” Wilson mengerutkan kening. “Kenapa?” Juliet mengatur napasnya. “Pak CEO, sebenarnya... semalam aku...” Ia mendadak ragu untuk menceritakan apa yang ia lakukan, takut itu akan membuatnya menjadi narapidana. “Cepat, Juliet.” Gadis itu menelan ludahnya. “Pak, sebenarnya semalam aku melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Itu ... karena aku sedang kalut, jadi aku memasukkan lem perekat super ke krim pelumas. Mereka berdua pasti sudah menggunakannya. Sepertinya mereka...” “Pak, kalau ketahuan apa aku akan dipenjara?” panik Juliet ketakutan sekarang. “Ehem!” Wilson berdehem guna mengusir rasa ingin tertawanya itu. Dia berusaha mengontrol ekspresinya. “Yah, bisa jadi.” Juliet merasakan tubuhnya semakin lemas. “Ahhh! Bagaimana ini?! Cicilan mobil belum lunas, biaya sekolah adik belum lunas juga, listrik belum bayar, bahan makanan sudah mau habis, belum beli—” “Jika kau tahu susahnya cari uang, kenapa sibuk menghidupi pacarmu juga?” Deg! Ucapan Wilson sedari tadi menyakitkan, tapi nyatanya selalu benar. Mobil yang ia beli dengan sistem kredit itu, bukan dia yang menggunakan. Tapi, Argan! Sedangkan Juliet? Dia pergi ke mana pun harus menggunakan bus. Memang sontoloyo! Kalau buru-buru barulah dia akan pakai taksi. “Sudahlah. Sekarang ini aku harus pergi. Kita bertemu di kafe nanti, ada banyak hal yang perlu aku bicarakan padamu,” ucap Wilson. Juliet pun menganggukkan kepala dengan lesu. Sudahlah... Hilang semuanya. Cintanya, kesuciannya, otaknya, dan harga dirinya. Bahkan... kemana pergi celana dalamnya? Juliet rasanya ingin tertawa dan menangis bersamaan karena kehilangan akal. “Ayo, aku antar kau pulang dulu atau mau langsung ke kantor,” ucap Wilson lagi. Juliet memaksakan diri untuk bangkit. “Langsung ke kantor saja, Pak. Aku kebetulan sudah menyiapkan beberapa setel pakaian di sana karena aku sering lembur.” Wilson menganggukkan kepalanya. “Yah. Kau memang gadis yang pekerja keras. Pacarmu itu memiliki gaya hidup yang tinggi, kau tentu harus lembur lebih banyak daripada yang sebelumnya.” Juliet sontak menatap tak percaya pada Wilson. Kali ini, ia yakin CEO tampan itu memang tengah mengejeknya. Tapi, siapa juga yang tak menertawakan kebodohan Juliet? Dia saja ingin mengatai dirinya sendiri, kok! “Aku benar-benar bodoh,” gumam Juliet dalam hati, lalu mengikuti langkah Wilson ke dalam mobil. Hanya saja, bersebelahan di mobil dengan Wilson membuatnya tak nyaman. Terlalu hening! Tidak ada pembicaraan apapun di sana. “Pak CEO, ini apa tidak akan terjadi masalah kalau pacarnya pak CEO tahu ada wanita lain yang duduk di mobil ini?” ucapnya mencoba mencairkan suasana. Wilson menghela napas. Pria itu nampak fokus mengemudi, tapi juga tertarik untuk menjawab pertanyaan dari Juliet. “Aku tidak punya pacar.” “Kenapa tidak punya pacar, Pak?” iseng Juliet bertanya. “Takut kalau nanti pacarku bodohnya sepertimu,” jawabnya singkat, padat, dan nyelekit pada Juliet.Setelah penantian panjang yang disertai dengan doa, kekhawatiran, dan rasa cinta yang begitu besar, akhirnya hari yang dinantikan tiba juga. Pagi itu, Juliet mulai merasakan kontraksi yang semakin intens. Wilson, yang sudah siaga sejak semalam, langsung membawa Juliet ke rumah sakit ditemani oleh Karina dan Chaterine yang terlihat jauh lebih tegang daripada biasanya. Di ruang bersalin, waktu seakan melambat. Namun setelah beberapa jam yang menegangkan, tangisan pertama bayi perempuan itu terdengar memenuhi ruangan, nyaring, kuat, dan membelah kesunyian dengan begitu menggetarkan hati. Juliet menangis. Wilson, yang menggenggam tangan istrinya erat-erat selama proses persalinan, langsung mencium kening Juliet penuh haru. Dokter menyampaikan bahwa bayi mereka lahir dengan sehat dan sempurna. Juliet juga dalam kondisi baik, tidak ada komplikasi. Perasaan lega langsung menyelimuti semua orang. “Selamat ya, Tuan dan Nyonya. Putri Anda cantik sekali,” ujar perawat sambil menggendong bay
Suatu sore yang mendung, Laura dan Thom duduk di sebuah kafe kecil yang sepi di sudut kota. Suasananya tenang, hanya terdengar rintik hujan yang turun perlahan di luar jendela. Thom terlihat santai, memutar gelas kopinya, sementara Laura tampak gugup, matanya sesekali menatap keluar, lalu menatap Thom lagi. “Thom…” ucap Laura pelan. Thom menoleh cepat, memperhatikan nada suara Laura yang terdengar lebih berat dari biasanya. “Kenapa, Laura?”“Ada yang mau aku ceritakan. Tentang aku, masa laluku… dan siapa aku yang sebenarnya.” Thom mengangguk tenang, memberi ruang tanpa memotong pembicaraan Laura. Laura menarik napas panjang. Lalu, ia mulai bercerita. “Aku bukan pegawai kantor biasa. Aku… anak dari keluarga yang cukup berada. Ayahku seorang pebisnis yang cukup besar, punya koneksi di mana-mana. Selama ini aku menyembunyikannya karena aku ingin mengenalmu sebagai diriku sendiri. Bukan sebagai orang yang semua
Hari-hari setelah kabar kehamilan Juliet tersebar, suasana rumah berubah hangat dan penuh perhatian. Tidak hanya dari Wilson yang nyaris tidak pernah meninggalkan sisi istrinya di luar pekerjaannya, tapi juga dari seluruh keluarga besar mereka. Chaterine dan Luis sering datang ke rumah membawa makanan bergizi buatan sendiri. Chaterine bahkan rajin mengecek jadwal makan Juliet, memastikan calon cucu ketiganya tumbuh sehat sejak dalam kandungan. Padahal wanita itu juga sedang sibuk dengan bayinya sendiri. “Kau harus makan teratur, Janetta. Jangan terlalu kelelahan,” kata Chaterine sambil menata sup ayam hangat di meja makan. Juliet tersenyum lembut. “Terima kasih, Ibu mertua... aku benar-benar merasa dimanjakan sejak hamil.” Veronica, yang dulu sempat jauh, kini menjadi sosok ibu yang sangat perhatian. Ia rajin menyarankan ramuan herbal sehat dan sesekali menemani Juliet ke dokter saat Wilson tak bisa. “Waktu Ibu ha
Wilson menginjak pedal gas sedalam mungkin. Suara deru mobil menggema di telinganya, tapi pikirannya hanya dipenuhi satu hal, hanya Juliet. Panggilan telepon dari pelayan rumah masih terngiang di benaknya. “Tuan… Nyonya Juliet pingsan… dia belum sadar sejak tadi. Kami sudah membawanya ke rumah sakit supaya mendapatkan perawatan yang lebih intensif…” Dalam kepanikan, Wilson sempat kehilangan kendali. Mobilnya menabrak pembatas jalan hingga bagian depan penyok, dan darah mengalir dari pelipis kirinya. Tapi dia tidak berhenti. Dengan napas terengah dan tangan gemetar, dia tetap membawa mobilnya hingga sampai di parkiran rumah sakit. Tanpa pikir panjang, dia keluar dan berlari dengan darah masih mengalir di sisi wajahnya. Beberapa orang memperhatikan, beberapa suster bahkan menghampirinya, tapi Wilson hanya mengucap, “Aku baik-baik saja! Istri ku… di mana istriku sekarang?” Sesampainya di depan ruang IGD, matanya mencari-ca
Tangis haru memenuhi ruangan bersalin saat suara tangisan bayi yang nyaring terdengar untuk pertama kalinya. Karina menoleh lemah ke arah Reiner yang menggenggam tangannya erat, dan pria itu tidak bisa menahan air mata saat dokter mengangkat bayi kecil mereka, seorang bayi perempuan mungil yang sehat dan sempurna. Reiner mencium kening Karina sambil terisak, “Terima kasih… terima kasih banyak, Sayang. Semua berkat mu, kau luar biasa hebat, Sayang.” Karina pun menangis pelan, bukan karena sakit lagi, melainkan karena rasa syukur yang luar biasa. “Kita jadi orang tua, Reiner… Dia cantik sekali…” Tak lama kemudian, Veronica dan Juliet yang menunggu di luar langsung bergegas masuk setelah diizinkan. Begitu melihat bayi kecil itu dalam pelukan Karina, Veronica langsung menutup mulutnya, menahan tangis haru. Juliet tidak mampu berkata-kata, hanya air matanya yang jatuh melihat keajaiban hidup yang lahir dari k
Saat Wilson tiba di rumah, suasana terasa hangat seperti biasa. Nathan dan Nathania berlari kecil menyambut ayah mereka, dan Juliet, seperti biasa, menyambut Wilson dengan senyum yang lembut. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang berubah dari sikap Juliet, setidaknya secara lahiriah untuk saat itu. Namun, setelah makan malam dan anak-anak tidur, Juliet pergi ke kamar untuk membereskan koper Wilson. Dengan tangan terampil dan hati yang biasa tenang, dia mengeluarkan satu per satu pakaian suaminya. Tapi saat dia mengangkat salah satu kemeja putih Wilson, pandangannya langsung tertahan pada satu sisi. Ada noda samar berwarna merah muda di bagian kerah kemeja Wilson. Juliet mematung sejenak. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia mendekatkan kain itu ke wajahnya, mengamatinya lebih teliti, dan jelas, itu adalah noda lipstik. Tidak mungkin Wilson menggunakan lipstik. Sejauh ini, Wilson hanya menggunakan lip balm saja. Alis Juliet mengern