Share

3.

Author: Poepoe
last update Last Updated: 2025-10-13 16:51:09

“Lo kemana sih kemarin?” Tanya Marsha, sahabat Claire di kampus. “Tumben, absen nggak bilang-bilang. Biasanya kita kan selalu bolos bareng. Gue kirim pesan, nggak dibales. Ditelepon, nggak diangkat. Lo sakit?”

Marsha memandangi Claire, yang kali ini tampangnya sedikit masam.

Rambut sebahu Claire bergerak-gerak. “Nggak.”

“Terus, kenapa tiba-tiba nggak ada kabar?” Desak Marsha lagi.

Mereka kini berjalan menelusuri lorong, menuju pelataran parkir setelah selesai kelas Estetika Seni Rupa.

Claire menghela napas berat. Dia masih syok dengan tragedi kemarin. Ya, dia menganggapnya sebagai tragedi di hidupnya. Bisa-bisanya dia nekat tidur dengan orang asing yang malah menganggapnya sebagai pelacur!

Yah, awalnya dia memang tertarik dengan pria itu. Tapi ketertarikannya berubah jadi kebencian setelah malam hebat mereka pria sialan itu malah merendahkan dirinya.

“Lo harus tahu, kita kedatangan dosen baru pengganti Pak Wiryo yang ganteng banget!” Terang Marsha begitu bersemangat.

“Oh, udah masuk dosen barunya,” balas Claire acuh.

Marsha mengangguk. “Devon Atmawidjaya. 31 tahun, lulusan S2 Seni Kontemporer di Belanda. Dan… gue lihat dia nggak pakai cincin, maka gue asumsikan dia single! Setelah lima tahun menetap di sana, akhirnya dia memutuskan balik ke sini dan ngajar. Besok, lo harus masuk karena dia juga ngajar Sejarah Seni Patung Modern dan Kontemporer. Lo harus lihat sendiri betapa gantengnya dia!”

“Gue nggak yakin kalau dosen itu lebih ganteng dari pria sialan itu,” desis Claire.

“Pria sialan?” Kening Marsha mengerut dalam.

Kedua bahu Claire turun saat dia menghela napas panjang penuh penyesalan.

Kedua sahabat itu pun berhenti di depan motor Marsha.

“Sebenarnya, gue mau melakukan semacam… pengakuan dosa.” Tukas Claire pada akhirnya. Kedua alis Marsha bertautan. “Kemarin, gue nggak masuk karena…”

Claire mendadak diam, ragu untuk melanjutkan. Walaupun Marsha sahabatnya, dia tetap bimbang menceritakan kejadiannya. Bagaimana kalau Marsha juga menganggap dirinya sebagai pelacur, sama seperti pria sialan itu?

“Karena apa, Claire?” Desak Marsha penasaran.

“Karena di malam sebelumnya, gue mabuk.”

“Terus, apa masalahnya? Lo kabur karena nggak sanggup bayar bill-nya?”

“Bukan, bukan,” sela Claire. “Karena gue mabuk, jadi gue agak… sinting.” Claire memainkan jemarinya. Sementara Marsha menelengkan kepalanya dengan mata memicing, menuntut penjelasan lebih.

“Gue… berakhir tidur dengan seseorang di sebuah hotel,” tandas Claire setengah berbisik.

Pupil mata Marsha mendadak melebar. “Lo gila, Claire!” desisnya. “Seseorang itu siapa?!”

“Masalahnya, gue juga nggak tahu…” Claire mengedikkan bahunya lemah.

“Terus, kalau lo hamil gimana?”

“Ha-hamil?” Claire tercekat. “Tenang, gue nggak bakalan hamil. Dia pakai pengaman…”

Nampak raut kecewa merebak di wajah Marsha. “Lo nggak belajar dari kesalahan… Dan gimana kalau lo ternyata tidur sama… mafia?!”

Claire berdecak. “Marsh, lo kebanyakan nonton film. Sebenernya, gue yang menggoda pria itu duluan. Entahlah, mungkin gue lagi kesel banget malam itu, ditambah gue sedikit mabuk dan bergairah. Tapi, dia ganteng banget! Sumpah! Walau akhirnya gue nyesel… soalnya, dia menganggap gue sebagai pelacur.”

“What?!”

“Iya, dia bahkan ngasih gue duit!” Raut wajah Claire langsung jengkel lagi. “Tapi, ya udahlah… kalau dipikir-pikir, gue nggak bakalan ketemu sama orang itu lagi, bahkan di kehidupan gue selanjutnya.”

Claire lantas mengaduk-aduk tasnya, mencari kunci motor yang dititipkan Marsha padanya.

Tiba-tiba Marsha menyenggol siku sahabatnya. “Claire…”

“Bentar, ini lagu gue cari kuncinya.”

“Claire…”

“Sabar sih!”

“I-Itu… calon tunangan lo dateng.”

“Heh?!” Claire langsung mendongak.

Seorang pria berambut cepak dengan tubuh gempal, keluar dari mobil sedan keluaran eropa. Dengan kemeja batik formal, dia memamerkan deretan giginya saat melihat Claire.

Claire mendengus jengkel begitu Surya, calon tunangannya, kini berdiri tepat di hadapannya.

“Ngapain ke sini?” Tanya Claire ketus.

“Menjemputmu,” balas Surya masih tersenyum.

“Aku mau pergi ke toko buku bareng Marsha. Nih,” Claire menyerahkan kunci motor pada sahabatnya.

Tetapi saat Claire hendak naik ke jok belakang, Surya buru-buru menarik lengan Claire.

“Aku yang akan antar kamu ke sana. Lagian, kamu nggak pakai helm,” ucap Surya.

Claire berusaha melepas cengkraman tangan Surya di pergelangan tangannya. 

“Lepasin nggak? Atau aku teriak,” ancam Claire.

Hidung besar Surya mengerut. “Aku bukan mau melukaimu, Sayang. Jadi, jangan berlebihan begitu. Sebagai tunanganku, kamu harus nurut sama aku. Karena pada akhirnya, aku akan jadi suamimu.”

“Nggak! Kita nggak akan pernah tunangan, apalagi menikah! Argh!” Claire meringis karena Surya memperkuat cengkramannya sambil berusaha menarik tubuh Claire.

“Kita pulang,” tegas Surya.

“Kamu nggak berhak mengaturku!” Pekik Claire, berusaha mempertahankan dirinya.

“U-udah, Pak. Tolong lepasin Claire,” pinta Marsha.

“Pak?!” Surya kini melotot ke arah Marsha. “Aku bukan bapakmu!”

“Aw! Lepasin!” Jerit Claire kesakitan.

“Kalau begitu… Om! Lepasin Claire, Om. Plis…” lanjut Marsha, mengusap-usap kedua telapak tangannya.

“Om! Om! Memangnya mukaku kayak om-om!” Surya menukas kesal.

“Pokoknya, lepasin Claire! Dia kesakitan!” Marsha berujar sungguh-sungguh.

“Kamu harus pulang denganku!” Tegas Surya pada Claire.

Namun, saat Surya hendak menyeret Claire ke mobilnya, sesosok bayangan bergerak mendekat ke arah mereka.

“Aku nggak mau pulang denganmu! Lepaskan!” Claire berusaha menahan lajunya, nyaris menangis.

“Lepaskan dia,” suara berat yang tegas itu menyelinap di antara kekacauan.

Kepala Marsha, Claire dan Surya menoleh bersamaan ke sumber suara itu.

Seorang pria mengenakan polo shirt biru tua sudah berada di dekat mereka.

“Eh, Pak Devon,” ucap Marsha mendadak sumringah.

“Siapa kamu?” Mata Surya melotot sinis ke arah pria itu.

“Dia Pak Devon,” Marsha mengambil alih sambil menengadahkan dagunya dengan berani ke Surya. “Dosen baru kami di fakultas seni rupa.”

Pandangan dosen itu lalu tertumbuk pada Claire yang pucat pasi. Mulut perempuan itu setengah menganga dengan tubuh yang tak bergerak bagai patung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   94.

    Halaman luar Kedai Kopi Kita disulap menjadi lebih romantis dengan hiasan bunga-bunga segar serta lampu-lampu yang menggantung. Deretan kursi berjejer rapi menghadap sebuah panggung kecil tempat kedua pasangan yang berbahagia itu berdiri.Sedari tadi, Rian sibuk memantau semua persiapan. Dia ingin event pertama yang diselenggarakan di kedai ini sukses.Begitu acara dimulai, Rian melihat dari kejauhan. Devon nampak begitu tampan dengan kemeja formal yang dikenakannya. Tubuhnya berdiri tegap di samping Salma, yang juga tampil cantik dengan gaun putih.Sekarang cincin berkilau itu bertengger di jari masing-masing. Mereka lantas memamerkannya ke depan kamera.“Satu, dua, tiga! Senyum!” Titah fotografer itu. Devon dan Salma menyunggingkan bibir mereka. Dan di saat yang bersamaan Rian juga mengarahkan kamera ponselnya ke panggung itu, menangkap momen pertunangan Devon.Rian memperhatikan foto itu. ‘Bagaimana kalau aku kirim ini ke Claire?’ Suara di kepalanya mulai terngiang. Jempol Rian sud

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   93.

    Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui kaca-kaca yang ada di studio itu. Aroma logam, tanah liat dan kimia bercampur jadi satu. Kipas angin di langit-langit ruangan berderik-derik, berusaha mensirkulasi udara agar tak pengap.Dari ambang pintu, muncul sesosok bayangan yang bergerak masuk. Langkahnya nampak mengendap-endap. Matanya memantau ke sekeliling. Di meja kayu itu banyak sketsa yang berserakan. Beberapa spons yang sudah kering dibiarkan begitu saja.Di dinding sebelah, orang itu melihat sebuah rak yang menyimpan model-model cetakan, gulungan kawat, alat-alat pahat serta beberapa benda yang tak dia kenali. Lalu begitu kepalanya menoleh ke sisi dinding yang lain, dia mendapati beberapa patung yang sudah jadi.Di dekat jendela, punggung Devon membelakanginya. Kedua tangan pria itu nampak sibuk mengukir patung tanah liatnya. Lantas, tangan orang itu menjulur, menutup kedua mata Devon.Pria itu sontak terkesiap.“Kejutan!” Suara manis Salma terdengar dari balik bahunya begitu

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   92.

    “Kamu jangan mempermainkan Ibu,” Venny menukas tegas. “Tiba-tiba saja mau menikah?? Dengan Claire??”“Bukannya tadi Ibu sendiri yang mendesakku menjalin hubungan dengan Indah? Kenapa Ibu malah sepertinya menolak saat aku menjalin hubungan dengan Claire?”Venny menarik napasnya terlebih dahulu. “Maksud Ibu PDKT, Rian. Pacaran dulu. Bukannya tiba-tiba langsung menikah! Lagian, sejak kapan kamu dekat dengan Claire? Kamu bahkan nggak pernah menyinggung nama perempuan itu setelah kalian putus beberapa tahun lalu.”“Aku menjalin hubungan dengan dia secara diam-diam, Bu. Yah, kurang lebih setahun ke belakang ini,” dusta Rian. “Itu karena orangtua Claire nggak menyetujui hubungan kami.”Venny mengembuskan napas panjang. “Bukannya ibu menentang hubungan kalian, tapi kalian masih muda. Janganlah menikah dulu. Lagian, bukannya Claire masih kuliah?”Rian menggeleng. “Claire sudah pindah ke kota tempat Mitha kuliah. Dia bekerja di sana juga.”Begitu bibir Venny bergerak, hendak mengajukan pertanya

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   91.

    Wanita setengah baya itu memeluk erat putranya. “Ya ampun, ibu benar-benar kangen sama kamu, Nak.” Satu tangannya mengusap punggung Rian. “Bagaimana keadaan Mitha? Dia baik-baik saja kan? Kuliahnya lancar?”Rian melepas dekapan ibunya, memandangi wajah ibunya sesaat. Ekspresinya nampak letih namun terlihat bahagia karena kedatangannya.“Mitha baik-baik saja dan kuliahnya lancar. Ini, keripik oleh-oleh dari Mitha khusus untuk Ibu.” Rian mengeluarkan keripik-keripik itu dari tasnya. “Mila masih les ya, Bu?”“Iya, dia pulangnya malam. Anak itu benar-benar belajar dengan giat supaya bisa tembus beasiswa untuk masuk universitas favoritnya,” tukas Venny, ibunya Rian.Lantas wanita itu membuka tudung saji meja makan. Sedari pagi dia sibuk menyiapkan hidangan untuk putra satu-satunya itu. Senyum Rian mengembang. Dia sangat rindu dengan masakan ibunya. Rian pun makan dengan lahap. Sementara itu, Venny menatap putranya lekat-lekat. Sorot mata ibunya terlihat iba.“Kamu kurusan,” komentarnya. “

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   90.

    Di ruangan yang terpisah, kepala HRD dan seorang manajer sudah menunggu kedatangan Claire. Udara di ruangan ini terasa jauh lebih menyesakkan dibanding saat dia hanya bersama Farah.Claire kini bisa merasakan darahnya yang mengalir cepat. Jemari tangannya terus bergerak dengan gelisah saat duduk di kursi menghadap ke mereka. Sementara Farah berdiri di belakang Claire sambil bersedekap.“Saya sudah mengkonfirmasi tentang gosip itu, Pak,” terang Farah pada atasannya. “Silakan jelaskan pada mereka,” Farah menepuk pundak Claire.Claire menelan ludahnya sebelum akhirnya angkat bicara.“Ma-maafkan saya, Pak…” suara Claire bergetar. Pandangannya masih terus tertuju ke ujung sepatunya, tak berani menatap kedua atasannya. “Saya memang menutupi kondisi saya yang sedang hamil.”Embusan napas kekecewaan keluar dari dua orang itu. Sementara, Farah tersenyum samar dari balik punggung Claire. Dia benar-benar tak sabar melihat Claire dipecat dan dipermalukan.“Kami cukup kecewa, Claire,” ucap kepala

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   89.

    Stasiun kereta api pagi itu nampak sibuk. Pengumuman keberangkatan kereta terdengar berkali-kali. Orang-orang lalu-lalang membawa barang-barang mereka.Sementara itu di luar stasiun, Rian melepas pelukannya dari Mitha. “Tolong jaga Claire ya, kehamilannya semakin besar,” pinta Rian pada adiknya.“Jangan mengkhawatirkanku berlebihan seperti itu,” sela Claire. “Kamu nggak perlu menjagaku, Mitha,” Claire menoleh ke adiknya Rian yang berdiri di sampingnya. Mitha hanya mengedikkan bahunya santai.“Mas,” Mitha menatap kakaknya. “Salam buat ibu dan Mila ya. Jangan lupa, bilang keripik itu oleh-oleh dariku.”“Iya, tenang saja. Aku nggak akan mengklaim oleh-oleh keripik ini kok,” goda Rian sambil mengacak-acak rambut Mitha. “Kuliah yang bener,” titah pria itu. “Dan Claire, jaga kesehatanmu, oke?”Kedua perempuan itu mengangguk lalu melambai ke arah Rian saat pria itu berada di depan petugas tiket.Lantas, Claire dan Mitha saling bertatapan canggung. Sejak peristiwa itu, mereka jadi tak sedeka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status