LOGINRasanya, sekujur tubuh Claire seperti dikutuk oleh penyihir salju.
Bagaimana mungkin pria yang tidur dengannya dua hari lalu kini berdiri tepat di hadapannya?!
“Ini area kampus, tak boleh ada kekerasan di sini,” lanjut Devon, dosen baru itu, pada Surya. “Dan saya cukup yakin kalau Anda bukan mahasiswa di sini.”
“Memang, Pak,” sela Marsha. “Dia calon tunangannya Claire, tapi maksa Claire untuk ikut dengannya.”
‘Dosen?!’ Ulang Claire panik. Jadi, dia telah tidur dengan dosennya sendiri?!
“Tunangan?” Mata Devon menyipit, memperhatikan Claire yang masih mematung, dengan senyum tipis yang misterius.
Claire berharap dia mengalami mimpi yang buruk dan segera terbangun. Tapi tidak, cengkraman tangan Surya terasa begitu nyata.
“Kalau dia tak mau ikut dengan Anda, sebaiknya jangan memaksa,” tandas Devon lagi.
“Itu bukan urusan Anda!” Balas Surya.
Devon bersedekap. “Tentu saja itu jadi urusan saya karena dia salah satu mahasiswi saya. Jadi, lepaskan dia sekarang atau saya panggil satpam.” Kali ini nada suara Devon terdengar begitu tegas. Sorot matanya berubah serius.
Namun Surya bergeming, tetap mencengkram lengan Claire.
“Kalau Anda bersikeras, saya pastikan Anda tak akan pernah bisa menginjakkan kaki di sini lagi, selamanya,” ancam Devon.
“Sialan…” Surya terpaksa melepas cengkramannya.
Namun, seketika tubuh Claire ambruk, membentur aspal yang keras.
“Claire!” Pekik Marsha panik.
“Stop!” Jerit Claire, menghentikan gerakan tiga orang itu yang hendak mengerubunginya. “Jangan mendekat.” Dengan bokong yang masih menempel di aspal, Claire merambat mundur.
Dalam hati, dia mulai berhitung. ‘Satu, dua… tiga!’
Claire langsung bangkit dan melarikan diri.
“Claire!” Teriak Marsha dari balik punggungnya.
“Claire, kembali!” Kali ini, Surya yang berteriak.
Namun, Claire terus memacu dirinya secepat mungkin. Dia tak tahu apa ada di antara mereka yang mengejarnya.
Saat menyebrangi jalan, Claire bahkan berharap dirinya tertabrak dan pingsan, lalu amnesia sehingga dia bisa melupakan semua.
“Taksi!” Claire melambaikan tangannya.
Saat akhirnya taksi itu membawa dirinya menjauh dari kampus, Claire bisa bernapas lega. Tetapi kesialan sepertinya sedang bergelayut di atas kepalanya, karena beberapa meter setelahnya, Claire malah terjebak di tengah kemacetan.
***
Walau bagaimanapun, Claire harus menghadapi kenyataan.
Dia tak bisa pindah begitu saja ke kampus lain. Dia sudah menginjak semester enam, tahun depan dirinya bakalan lulus.
Dia hanya perlu bertahan. Toh, melalui info yang dia dapat dari Marsha, Devon hadir sebagai dosen tamu selama dua semester.
“Baguslah,” pikir Claire sebelum masuk ke kelas Devon di keesokan harinya.
Karena telat, Claire mengambil posisi duduk di belakang.
Dadanya langsung berdebar melihat Devon yang berdiri di depan, dengan tubuh tegap dan semakin seksi dengan kacamata yang bertengger di wajahnya.
Dari balik kemeja itu, Claire tahu persis betapa atletisnya tubuh Devon. Bahkan hangat tubuh pria itu seakan masih tertinggal di kulitnya.
Erangan sensual Devon kembali terngiang di otaknya. Bulu-bulu kuduk Claire meremang, mengingat pergulatan panas mereka.
“Kamu, yang duduk di belakang,” suara Devon membuat Claire terkesiap. Matanya mengerjap-ngerjap kaget saat telunjuk Devon mengarah padanya. “Jelaskan perbedaan seni patung modern dan kontemporer.”
Claire gelagapan. Layar proyektor pun sudah padam. Dia bahkan tak mencatat apapun di buku tulisnya.
Devon menyilangkan kedua tangannya di dada dengan sikap otoriter.
‘Dia pasti sengaja,’ rutuk Claire dalam hati.
Bibir Claire mengatup rapat.
“Saya nggak suka mahasiswa berotak kosong seperti kamu,” kalimat itu meluncur datar dari mulut Devon, namun menyakitkan.
Wajah Claire merah padam. Seisi kelas mulai bisik-bisik membicarakannya.
“Temui saya seusai kelas,” titah Devon. Claire tak menjawab. Dia hanya tertunduk dalam.
Setelah kelas usai, Claire dan Devon duduk berhadapan.
Claire lantas memberanikan diri menatap mata Devon.
“Bapak pasti sengaja mempermalukan saya kan?” Tuding Claire.
“Tidak, kamu memang bengong di sepanjang kelas saya.” Devon bersandar santai sambil tersenyum tipis.
Claire berusaha mengendalikan dirinya, setelah dalam hati dia mengakui bahwa wajah Devon memang benar-benar tampan.
‘Tapi dia brengsek karena sudah merendahkanku!’ Claire mencari-cari alasan agar dia tak terjerumus perasaannya sendiri.
“Jadi, Bapak hanya mau mengatakan itu?” Lanjut Claire tegas.
Devon menggeleng seraya menumpukan kedua sikunya di atas meja. “Soal malam itu.”
“Tenang saja, Pak. Saya nggak akan melaporkan Bapak ke rektor. Lagian, saya yang mulai duluan,” balas Claire santai. Dia tak mau ambil pusing.
“Bukan itu maksud saya.”
“Lantas?”
Devon mencondongkan tubuhnya. Wangi khas pria itu menyeruak ke hidung Claire, menggetarkan pertahanannya.
“Saya ingin mengulang malam itu, malam panas kita, Claire…” desis Devon dengan suara beratnya yang seksi.
Claire tersentak. Dia tak menyangka pembicaraan mereka akan mengarah ke sini.
“Ba-Bapak sudah gila,” Claire terbata.
“Yah, kurasa begitu…”
Napas Claire tertahan saat tangan hangat Devon kembali menyentuh punggung tangannya. Claire tak menampiknya.
“Saya nggak bisa melupakanmu…” bisik Devon.
Pria itu lantas bangkit dan berdiri di samping Claire, membelai pundaknya.
Perlahan jari-jari itu naik ke lehernya, membuat Claire menggeliat pelan. Seketika dirinya seperti dihantam serangan gairah.
Dengan berani, Claire menghentikan gerakan tangan Devon. Perempuan itu mendongak, memandang dosen tampannya dengan nakal.
Claire ikutan bangkit, menarik leher itu dan langsung memagut bibir Devon.
Sret…
Salah satu bangku di ruangan itu bergeser, begitu dua tubuh penuh gairah itu menyatu.
Suara lalu-lalang dari luar semakin memompa adrenalin mereka. Tapi Devon tahu, tak ada jadwal kelas di ruangan ini sampai jam makan siang usai.
“Aaah…” Claire melenguh. Punggungnya kini bersandar di tembok yang dingin.
Devon kembali mencium bibir Claire, mendesaknya lebih dekat. Begitu Devon mulai melingkarkan satu kaki Claire di pinggulnya, pintu ruangan berderit membuka.
Terdengar suara buku yang menghantam lantai.
“Astaga, apa yang sedang kalian lakukan?!” Dekan fakultas mereka kini berdiri di ambang pintu dengan mata yang membelalak lebar.
Di luar, hujan mulai turun membasahi kaca mobil Devon.Udara di dalam kabin sekarang terasa pengap karena mesin mobil dalam keadaan mati.Devon bersandar dalam diam. Pandangannya mengarah ke luar dan nampak kosong. Namun, pikirannya berkecamuk. Dia masih coba mencerna cerita masa lalu Claire.“Lantas, di mana anakmu sekarang?” Suara Devon mengalun tenang tapi juga terdengar dingin.Claire terdiam, membiarkan keheningan menyeruak di antara mereka, membiarkan suara hujan yang mengisi kekosongan.“Claire…” sahut Devon pada akhirnya. “Kamu bisa jujur padaku. Apapun yang terjadi aku akan menerimamu dan anakmu...”Bibir Claire bergetar dan tangis perempuan itu kembali pecah. Kepalanya tenggelam pada kedua telapak tangan, terisak.Devon beringsut, membelai pundak Claire. Claire yang nampak ceria dan liar, ternyata menyimpan luka yang dalam.“Menurutmu, apa aku jahat?” Tanya Claire. Suaranya terdengar parau.“Tidak, kamu melakukan tindakan yang tepat dengan mempertahankan bayi itu, Sayang…” b
“Jadi… lo mau aborsi?” Pupil Marsha melebar setelah mengetahui apa yang terjadi pada sahabatnya.Claire mengangguk dalam diam. Wajahnya nampak begitu kuyu dengan kantung mata hitam yang menggantung.“Nggak ada jalan lain. Ini demi masa depan gue dan Rian…”“Tapi ini sama aja dengan pembunuhan,” tandas Marsha.“Lo bisa bilang begitu karena lo nggak mengalaminya,” balas Claire sedikit emosi. Dia pikir sahabatnya itu tak akan menghakiminya seperti ini. “Itu konsekuensi dari apa yang lo lakukan sama Rian. Memangnya apa yang mau lo harapkan setelah tidur bareng? Keluar mobil? Ya pasti bayi-lah,” Marsha melempar kedua tangannya ke udara.Claire hanya bisa terdiam. Rasanya dia ingin menangis sekarang.“Claire, sorrry,” ucap Marsha kemudian, menghampiri sahabatnya begitu menyadari raut Claire yang berubah sendu. “Gue cuma kesel aja lo nggak berhati-hati seperti ini. Maksud gue, kita baru aja mulai perkuliahan, tapi lo malah hamil. Ini seperti mengubur masa depan lo, Claire…”“Gue tau…” Clair
“Ha-hamil?” Ulang Devon, berharap itu lelucon belaka. Tapi wajah perempuan itu tak menunjukkan tanda-tanda kalau dia sedang bercanda. “Lalu… bagaimana dengan bayinya?” Tiba-tiba bahu Claire berguncang dan dia mulai terisak.“Claire, kalau memang terasa berat, kamu nggak harus menceritakannya sekarang….” Devon membelai pundak Claire.Namun Claire menggeleng lemah. “Kurasa kamu harus mengetahuinya. Aku mencintaimu. Aku nggak mau bohong soal masa laluku. Tapi… kamu janji nggak akan ninggalin aku setelah tahu semuanya?”Claire menatapnya dengan sorot yang begitu memohon.Devon mengangguk pelan. “Aku nggak akan meninggalkanmu.”Claire tersenyum tipis, merasa lega mendengarnya. Selama ini, dirinya terbebani dengan rahasia masa lalunya yang kelam.Dan firasat Claire benar, Devon memang mencintainya!Lantas, Claire menatap lurus ke depan, membuka kembali ingatannya yang menyakitkan.***“Uh, Claire…” erang Rian.Pria itu terbuai dalam kenikmatan yang dalam. Napas mereka saling memburu di
Tok, tok, tok.Setiap ketukan itu membuat jantung Claire berpacu dua kali lebih cepat.“Apa yang harus kita lakukan?” Bisik Claire lagi.Sementara, satpam itu menyipitkan matanya dari luar jendela. Lehernya menjulur, mendekatkan ujung hidungnya ke permukaan kaca mobil yang gelap. Kepalanya bergerak-gerak curiga.“Tenang, kaca mobil ini gelap. Mustahil dia bisa lihat ke dalam,” suara Devon nyaris tak terdengar. “Sekarang, bersembunyilah di jok belakang.”Claire bergerak pelan ke jok belakang. Lantas, Devon membenarkan pakaiannya. Setelah mengembuskan napas panjang, dia tersenyum sambil menurunkan jendela mobil.“Ada apa, Pak?”“Oh, Pak Devon. Maaf, Pak. Saya menyadari sedari tadi mesin mobil Bapak nyala, tapi mobilnya nggak jalan-jalan. Saya takutnya kenapa-napa,” terang satpam itu.Namun Devon tahu bola mata satpam itu menelusuri bagian dalam mobilnya dengan curiga.“Saya sedang mengerjakan sesuatu, mendadak,” Devon mengangkat ponselnya.“Baik, Pak. Takutnya Bapak keracunan CO2,” satp
“Well, essaimu cukup menarik, Marsha,” Devon menyerahkan kembali lembaran kertas itu ke Marsha. Mendengar pujian itu senyum langsung membingkai di wajahnya.Sementara, Claire diam-diam mendengus kesal. “Pokoknya, gue harus dapat A di mata kuliah ini!” Marsha mengepalkan satu tangannya penuh tekad. “Karena hanya dengan cara inilah Pak Devon menyadari keberadaan gue,” lanjut Marsha, berjalan di selasar.“Memangnya lo yakin Pak Devon masih sendiri?” Nada suara Claire terdengar sinis. “Karena semata-mata dia nggak pakai cincin, bukan berarti dia single.”Marsha mengedikkan bahunya santai. “Lagian, siapa yang peduli sih kalau ternyata dia udah punya pasangan?”“Astaga…” Claire geleng-geleng kepala, membiarkan Marsha berjalan mendahuluinya ke perpustakaan.Mereka menempati meja yang ada di sudut ruangan di lantai tiga. Claire langsung membuka laptopnya.Tiba-tiba saja, Marsha berujar dengan nada rendah. “Ada gosip, Claire…”“Apa?” Balas Claire tanpa mengalihkan pandangannya dari layar lapt
Lenguhan Claire menggema ke setiap sudut kamar. Tangan perempuan itu mencengkram erat permukaan sprei, seiring dengan hentakan pinggul Devon yang semakin cepat dari belakang.Kedua tubuh polos yang berkeringat itu menyatu dalam gejolak nafsu yang membara. Ranjang kayu yang nampak kokoh itu bahkan sampai berdecit, menandakan betapa panasnya pergumulan mereka kali ini.Begitu akhirnya lolongan penuh kenikmatan keluar dari mulut Claire, tubuhnya telungkup di atas ranjang, lemas dan puas. Rasa menggelitik dan hangat itu masih menyeruak dalam diri Claire.“Shit…” desis Devon dengan napas terengah. “Kamu nggak dalam masa subur kan?” Tanyanya cemas.“Hm… entahlah. Nggak tahu…” balas Claire. Dirinya masih mengawang di atas sana.“Sorry, aku nggak bisa mengeluarkannya tepat waktu,” Devon memutar tubuh Claire.Claire nampak terdiam sesaat. Raut cemas merebak di wajahnya, sampai akhirnya dia tersenyum tipis. “Aku bisa minum pil.”Lalu dia beringsut, merebahkan kepalanya di atas dada bidang Devon







