Share

4.

Author: Poepoe
last update Last Updated: 2025-10-13 16:51:59

Rasanya, sekujur tubuh Claire seperti dikutuk oleh penyihir salju.

Bagaimana mungkin pria yang tidur dengannya dua hari lalu kini berdiri tepat di hadapannya?!

“Ini area kampus, tak boleh ada kekerasan di sini,” lanjut Devon, dosen baru itu, pada Surya. “Dan saya cukup yakin kalau Anda bukan mahasiswa di sini.”

“Memang, Pak,” sela Marsha. “Dia calon tunangannya Claire, tapi maksa Claire untuk ikut dengannya.”

‘Dosen?!’ Ulang Claire panik. Jadi, dia telah tidur dengan dosennya sendiri?! 

“Tunangan?” Mata Devon menyipit, memperhatikan Claire yang masih mematung, dengan senyum tipis yang misterius.

Claire berharap dia mengalami mimpi yang buruk dan segera terbangun. Tapi tidak, cengkraman tangan Surya terasa begitu nyata.

“Kalau dia tak mau ikut dengan Anda, sebaiknya jangan memaksa,” tandas Devon lagi.

“Itu bukan urusan Anda!” Balas Surya.

Devon bersedekap. “Tentu saja itu jadi urusan saya karena dia salah satu mahasiswi saya. Jadi, lepaskan dia sekarang atau saya panggil satpam.” Kali ini nada suara Devon terdengar begitu tegas. Sorot matanya berubah serius.

Namun Surya bergeming, tetap mencengkram lengan Claire. 

“Kalau Anda bersikeras, saya pastikan Anda tak akan pernah bisa menginjakkan kaki di sini lagi, selamanya,” ancam Devon.

“Sialan…” Surya terpaksa melepas cengkramannya.

Namun, seketika tubuh Claire ambruk, membentur aspal yang keras.

“Claire!” Pekik Marsha panik.

“Stop!” Jerit Claire, menghentikan gerakan tiga orang itu yang hendak mengerubunginya. “Jangan mendekat.” Dengan bokong yang masih menempel di aspal, Claire merambat mundur.

Dalam hati, dia mulai berhitung. ‘Satu, dua… tiga!’

Claire langsung bangkit dan melarikan diri.

“Claire!” Teriak Marsha dari balik punggungnya.

“Claire, kembali!” Kali ini, Surya yang berteriak.

Namun, Claire terus memacu dirinya secepat mungkin. Dia tak tahu apa ada di antara mereka yang mengejarnya.

Saat menyebrangi jalan, Claire bahkan berharap dirinya tertabrak dan pingsan, lalu amnesia sehingga dia bisa melupakan semua.

“Taksi!” Claire melambaikan tangannya.

Saat akhirnya taksi itu membawa dirinya menjauh dari kampus, Claire bisa bernapas lega. Tetapi kesialan sepertinya sedang bergelayut di atas kepalanya, karena beberapa meter setelahnya, Claire malah terjebak di tengah kemacetan.

***

Walau bagaimanapun, Claire harus menghadapi kenyataan.

Dia tak bisa pindah begitu saja ke kampus lain. Dia sudah menginjak semester enam, tahun depan dirinya bakalan lulus.

Dia hanya perlu bertahan. Toh, melalui info yang dia dapat dari Marsha, Devon hadir sebagai dosen tamu selama dua semester.

“Baguslah,” pikir Claire sebelum masuk ke kelas Devon di keesokan harinya.

Karena telat, Claire mengambil posisi duduk di belakang.

Dadanya langsung berdebar melihat Devon yang berdiri di depan, dengan tubuh tegap dan semakin seksi dengan kacamata yang bertengger di wajahnya.

Dari balik kemeja itu, Claire tahu persis betapa atletisnya tubuh Devon. Bahkan hangat tubuh pria itu seakan masih tertinggal di kulitnya.

Erangan sensual Devon kembali terngiang di otaknya. Bulu-bulu kuduk Claire meremang, mengingat pergulatan panas mereka.

“Kamu, yang duduk di belakang,” suara Devon membuat Claire terkesiap. Matanya mengerjap-ngerjap kaget saat telunjuk Devon mengarah padanya. “Jelaskan perbedaan seni patung modern dan kontemporer.”

Claire gelagapan. Layar proyektor pun sudah padam. Dia bahkan tak mencatat apapun di buku tulisnya.

Devon menyilangkan kedua tangannya di dada dengan sikap otoriter.

‘Dia pasti sengaja,’ rutuk Claire dalam hati.

Bibir Claire mengatup rapat.

“Saya nggak suka mahasiswa berotak kosong seperti kamu,” kalimat itu meluncur datar dari mulut Devon, namun menyakitkan.

Wajah Claire merah padam. Seisi kelas mulai bisik-bisik membicarakannya.

“Temui saya seusai kelas,” titah Devon. Claire tak menjawab. Dia hanya tertunduk dalam.

Setelah kelas usai, Claire dan Devon duduk berhadapan.

Claire lantas memberanikan diri menatap mata Devon.

“Bapak pasti sengaja mempermalukan saya kan?” Tuding Claire.

“Tidak, kamu memang bengong di sepanjang kelas saya.” Devon bersandar santai sambil tersenyum tipis. 

Claire berusaha mengendalikan dirinya, setelah dalam hati dia mengakui bahwa wajah Devon memang benar-benar tampan.

‘Tapi dia brengsek karena sudah merendahkanku!’ Claire mencari-cari alasan agar dia tak terjerumus perasaannya sendiri.

“Jadi, Bapak hanya mau mengatakan itu?” Lanjut Claire tegas. 

Devon menggeleng seraya menumpukan kedua sikunya di atas meja. “Soal malam itu.”

“Tenang saja, Pak. Saya nggak akan melaporkan Bapak ke rektor. Lagian, saya yang mulai duluan,” balas Claire santai. Dia tak mau ambil pusing.

“Bukan itu maksud saya.”

“Lantas?”

Devon mencondongkan tubuhnya. Wangi khas pria itu menyeruak ke hidung Claire, menggetarkan pertahanannya.

“Saya ingin mengulang malam itu, malam panas kita, Claire…” desis Devon dengan suara beratnya yang seksi.

Claire tersentak. Dia tak menyangka pembicaraan mereka akan mengarah ke sini.

“Ba-Bapak sudah gila,” Claire terbata.

“Yah, kurasa begitu…”

Napas Claire tertahan saat tangan hangat Devon kembali menyentuh punggung tangannya. Claire tak menampiknya.

“Saya nggak bisa melupakanmu…” bisik Devon. 

Pria itu lantas bangkit dan berdiri di samping Claire, membelai pundaknya.

Perlahan jari-jari itu naik ke lehernya, membuat Claire menggeliat pelan. Seketika dirinya seperti dihantam serangan gairah.

Dengan berani, Claire menghentikan gerakan tangan Devon. Perempuan itu mendongak, memandang dosen tampannya dengan nakal.

Claire ikutan bangkit, menarik leher itu dan langsung memagut bibir Devon.

Sret…

Salah satu bangku di ruangan itu bergeser, begitu dua tubuh penuh gairah itu menyatu.

Suara lalu-lalang dari luar semakin memompa adrenalin mereka. Tapi Devon tahu, tak ada jadwal kelas di ruangan ini sampai jam makan siang usai.

“Aaah…” Claire melenguh. Punggungnya kini bersandar di tembok yang dingin.

Devon kembali mencium bibir Claire, mendesaknya lebih dekat. Begitu Devon mulai melingkarkan satu kaki Claire di pinggulnya, pintu ruangan berderit membuka.

Terdengar suara buku yang menghantam lantai.

“Astaga, apa yang sedang kalian lakukan?!” Dekan fakultas mereka kini berdiri di ambang pintu dengan mata yang membelalak lebar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   94.

    Halaman luar Kedai Kopi Kita disulap menjadi lebih romantis dengan hiasan bunga-bunga segar serta lampu-lampu yang menggantung. Deretan kursi berjejer rapi menghadap sebuah panggung kecil tempat kedua pasangan yang berbahagia itu berdiri.Sedari tadi, Rian sibuk memantau semua persiapan. Dia ingin event pertama yang diselenggarakan di kedai ini sukses.Begitu acara dimulai, Rian melihat dari kejauhan. Devon nampak begitu tampan dengan kemeja formal yang dikenakannya. Tubuhnya berdiri tegap di samping Salma, yang juga tampil cantik dengan gaun putih.Sekarang cincin berkilau itu bertengger di jari masing-masing. Mereka lantas memamerkannya ke depan kamera.“Satu, dua, tiga! Senyum!” Titah fotografer itu. Devon dan Salma menyunggingkan bibir mereka. Dan di saat yang bersamaan Rian juga mengarahkan kamera ponselnya ke panggung itu, menangkap momen pertunangan Devon.Rian memperhatikan foto itu. ‘Bagaimana kalau aku kirim ini ke Claire?’ Suara di kepalanya mulai terngiang. Jempol Rian sud

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   93.

    Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui kaca-kaca yang ada di studio itu. Aroma logam, tanah liat dan kimia bercampur jadi satu. Kipas angin di langit-langit ruangan berderik-derik, berusaha mensirkulasi udara agar tak pengap.Dari ambang pintu, muncul sesosok bayangan yang bergerak masuk. Langkahnya nampak mengendap-endap. Matanya memantau ke sekeliling. Di meja kayu itu banyak sketsa yang berserakan. Beberapa spons yang sudah kering dibiarkan begitu saja.Di dinding sebelah, orang itu melihat sebuah rak yang menyimpan model-model cetakan, gulungan kawat, alat-alat pahat serta beberapa benda yang tak dia kenali. Lalu begitu kepalanya menoleh ke sisi dinding yang lain, dia mendapati beberapa patung yang sudah jadi.Di dekat jendela, punggung Devon membelakanginya. Kedua tangan pria itu nampak sibuk mengukir patung tanah liatnya. Lantas, tangan orang itu menjulur, menutup kedua mata Devon.Pria itu sontak terkesiap.“Kejutan!” Suara manis Salma terdengar dari balik bahunya begitu

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   92.

    “Kamu jangan mempermainkan Ibu,” Venny menukas tegas. “Tiba-tiba saja mau menikah?? Dengan Claire??”“Bukannya tadi Ibu sendiri yang mendesakku menjalin hubungan dengan Indah? Kenapa Ibu malah sepertinya menolak saat aku menjalin hubungan dengan Claire?”Venny menarik napasnya terlebih dahulu. “Maksud Ibu PDKT, Rian. Pacaran dulu. Bukannya tiba-tiba langsung menikah! Lagian, sejak kapan kamu dekat dengan Claire? Kamu bahkan nggak pernah menyinggung nama perempuan itu setelah kalian putus beberapa tahun lalu.”“Aku menjalin hubungan dengan dia secara diam-diam, Bu. Yah, kurang lebih setahun ke belakang ini,” dusta Rian. “Itu karena orangtua Claire nggak menyetujui hubungan kami.”Venny mengembuskan napas panjang. “Bukannya ibu menentang hubungan kalian, tapi kalian masih muda. Janganlah menikah dulu. Lagian, bukannya Claire masih kuliah?”Rian menggeleng. “Claire sudah pindah ke kota tempat Mitha kuliah. Dia bekerja di sana juga.”Begitu bibir Venny bergerak, hendak mengajukan pertanya

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   91.

    Wanita setengah baya itu memeluk erat putranya. “Ya ampun, ibu benar-benar kangen sama kamu, Nak.” Satu tangannya mengusap punggung Rian. “Bagaimana keadaan Mitha? Dia baik-baik saja kan? Kuliahnya lancar?”Rian melepas dekapan ibunya, memandangi wajah ibunya sesaat. Ekspresinya nampak letih namun terlihat bahagia karena kedatangannya.“Mitha baik-baik saja dan kuliahnya lancar. Ini, keripik oleh-oleh dari Mitha khusus untuk Ibu.” Rian mengeluarkan keripik-keripik itu dari tasnya. “Mila masih les ya, Bu?”“Iya, dia pulangnya malam. Anak itu benar-benar belajar dengan giat supaya bisa tembus beasiswa untuk masuk universitas favoritnya,” tukas Venny, ibunya Rian.Lantas wanita itu membuka tudung saji meja makan. Sedari pagi dia sibuk menyiapkan hidangan untuk putra satu-satunya itu. Senyum Rian mengembang. Dia sangat rindu dengan masakan ibunya. Rian pun makan dengan lahap. Sementara itu, Venny menatap putranya lekat-lekat. Sorot mata ibunya terlihat iba.“Kamu kurusan,” komentarnya. “

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   90.

    Di ruangan yang terpisah, kepala HRD dan seorang manajer sudah menunggu kedatangan Claire. Udara di ruangan ini terasa jauh lebih menyesakkan dibanding saat dia hanya bersama Farah.Claire kini bisa merasakan darahnya yang mengalir cepat. Jemari tangannya terus bergerak dengan gelisah saat duduk di kursi menghadap ke mereka. Sementara Farah berdiri di belakang Claire sambil bersedekap.“Saya sudah mengkonfirmasi tentang gosip itu, Pak,” terang Farah pada atasannya. “Silakan jelaskan pada mereka,” Farah menepuk pundak Claire.Claire menelan ludahnya sebelum akhirnya angkat bicara.“Ma-maafkan saya, Pak…” suara Claire bergetar. Pandangannya masih terus tertuju ke ujung sepatunya, tak berani menatap kedua atasannya. “Saya memang menutupi kondisi saya yang sedang hamil.”Embusan napas kekecewaan keluar dari dua orang itu. Sementara, Farah tersenyum samar dari balik punggung Claire. Dia benar-benar tak sabar melihat Claire dipecat dan dipermalukan.“Kami cukup kecewa, Claire,” ucap kepala

  • Malam Panas dengan Dosen Tampan   89.

    Stasiun kereta api pagi itu nampak sibuk. Pengumuman keberangkatan kereta terdengar berkali-kali. Orang-orang lalu-lalang membawa barang-barang mereka.Sementara itu di luar stasiun, Rian melepas pelukannya dari Mitha. “Tolong jaga Claire ya, kehamilannya semakin besar,” pinta Rian pada adiknya.“Jangan mengkhawatirkanku berlebihan seperti itu,” sela Claire. “Kamu nggak perlu menjagaku, Mitha,” Claire menoleh ke adiknya Rian yang berdiri di sampingnya. Mitha hanya mengedikkan bahunya santai.“Mas,” Mitha menatap kakaknya. “Salam buat ibu dan Mila ya. Jangan lupa, bilang keripik itu oleh-oleh dariku.”“Iya, tenang saja. Aku nggak akan mengklaim oleh-oleh keripik ini kok,” goda Rian sambil mengacak-acak rambut Mitha. “Kuliah yang bener,” titah pria itu. “Dan Claire, jaga kesehatanmu, oke?”Kedua perempuan itu mengangguk lalu melambai ke arah Rian saat pria itu berada di depan petugas tiket.Lantas, Claire dan Mitha saling bertatapan canggung. Sejak peristiwa itu, mereka jadi tak sedeka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status