Brak!Pintu kamar terbuka lebar. Tania terduduk seketika. Ia mendapati Dika di depannya. “Kenapa—” Belum selesai Tania bicara, ada sosok lain yang datang. Orang yang paling ingin Tania hindari saat ini, Rafael. Tania yang panik segera menyembunyikan test pack yang ada di tangannya. Sayang, Rafael terlanjur melihat. “Keluar,” ujar Rafael.Perintah Rafael langsung ditanggapi oleh Dika. Dika berbalik, lalu menarik Tyo bersamanya. Tania mendengar Tyo yang berteriak tidak terima. Ia tentu mengkhawatirkan Tyo di luar sana, tapi keadaannya juga sama saja.“Apa yang kamu sembunyikan, Tania?” Suara Rafael dingin. Tatapan tajam Rafael tertuju lurus pada Tania. Sekali lihat saja, Tania tahu jika Rafael sedang memendam kemarahannya sekarang.“Enggak ada.” Tania menggeleng cepat. Tania tidak boleh terlihat mencurigakan. Rafael bisa mencium kebohongannya. “Tunjukkan padaku sekarang. Jangan buat aku mengambilnya sendiri,” ancam Rafael.Tania tidak bergeming. Ia balas menatap Rafael dengan si
“Beli obat.” Tania menutupi paniknya. Tyo masih belum melepaskan pandangannya dari Tania. Adik Tania itu masih terus penasaran dengan isi kantong plastik yang Tania pegang. “Enggak ada obat di rumah! Kakak sampai beli obat sendiri!” Tania mengeluh keras. Ia mendorong Tyo. Tubuh Tyo yang besar menghalangi jalan. “Eh! Tunggu!” Tyo menarik tangan Tania. Tania langsung menepisnya. Ia berbalik, menatap Tyo kesal. “Mau apalagi?! Kakak mau istirahat!” Tania berniat untuk langsung masuk ke kamarnya dan sembunyi di sana. Tyo jadi berdecak. Adik Tania itu melengos sambil mendelik.“Aku tuh habis dari tempat servis handphone tau!” Tyo meraih handphone Tania dari saku. “Udah nyala nih!” seru Tyo sambil menyodorkan handphone Tania.“Dari tadi pacar Kakak telepon terus! Udah aku jawab kalau Kakak lagi sakit di rumah. Enggak perlu bilang makasih,” sindir Tyo. Tania tidak merasa senang sekarang. Ia melotot penuh kemarahan. “Ngapain kamu jawab teleponnya?!” berang Tania. Tangannya menjambak
“Ngelantur, anak ini!” Anggi menepuk lengan Tania kesal.Tania sampai mengaduh. Ia menoleh mendapati Anggi yang sedang melotot padanya. “Telepon kantormu! Pakai handphone Ibu!” Anggi berjalan keluar kamar, lalu kembali dengan handphone di tangannya. “Cepat!” Anggi menarik piring di tangan Tania. Ia menukarnya dengan handphone. “Ayo!” seru Anggi sekali lagi.Anggi tidak beranjak sampai Tania menghubungi Grand Velora. Berat hati, Tania mengabari HRD, meminta izin sakit. ‘Padahal aku ingin keluar!’ rutuk Tania dalam hati. Tania mengembalikan handphone milik Anggi. Ia pikir Anggi akan langsung pergi, tapi ibunya tetap diam di dalam kamar. Anggi malah mengambil tempat duduk di samping Tania. Tangannya memegang sendok. Anggi menyuapi Tania paksa. “Udah, Bu!” Tania merasa mual.Ia susah payah menelan. Perutnya seperti teraduk. Tania menggeleng, melarang Anggi untuk menyuapinya lagi.“Ya sudah. Minum obatnya, terus istirahat!” Anggi mengalah. Tania meminum obatnya diawasi Anggi. Setel
“Aku yang akan menyelesaikan semuanya,” sahut Rafael datar. Meski hanya lewat telepon, Tania bisa merasakan dingin suara Rafael. Pria itu memberikan perintah yang tak mungkin dibantah. “Jangan lakukan apa pun.” Rafael mengakhiri panggilan sepihak. Tania menarik napas dalam. Ia menyimpan kembali handphone miliknya. Tatapan Tania tertuju keluar jendela. Di sudut kursi bus, ia meratap sendirian. Air matanya meleleh tanpa bisa ia tahan. ‘Menyebalkan!’ Tania mengabaikan tatapan orang-orang yang tertuju padanya. Beberapa orang berbisik saat ia menangis. Bahkan seorang wanita hampir mendekat, menawarkan tisu padanya. Namun, Tania tak menginginkan itu. Ia hanya menginginkan waktu sendiri. Tania menyetop bus. Ia langsung turun saat bus berhenti. Tania tahu jika tujuannya masih jauh, tapi ia tak keberatan. “Aku enggak peduli lagi!” Tania menghentakkan kak
“Maaf, saya jadi ikut bergabung.” ucap Rachel sambil berdiri, menyapa Tania. Tania menggeleng sungkan. Ia mempersilakan Rachel duduk kembali. Ada satu kursi kosong yang tersisa di meja itu. Tania segera duduk disana. “Saya … tidak tahu kalau Bu Rachel juga datang,” lirih Tania pelan. Rasa bersalah Tania semakin lama semakin menumpuk tinggi. Ia sampai tidak sanggup menanggungnya. “Maafkan saya untuk semua yang terjadi pada Bu Rachel!” Tania meminta maaf tanpa ragu. Rachel pastinya juga disingkirkan karena Tania. Julian tidak bermain-main dengan ucapannya. “Tidak apa-apa, Tania.” Rachel menyahut lembut. “Saya sengaja meminta Lia dan Keisha untuk ikut. Saya ingin bertemu denganmu. Nico sudah mengatakan semuanya pada saya.” ungkap Rachel. Rachel menceritakan bagaimana Nico mengabarinya tentang pembicaraan mereka. Ia jadi merasa harus bicara langsun
“Tania, kamu sakit?” Anggi khawatir melihat wajah Tania yang kuyu. Tania tidak bisa menyembunyikan lingkar hitam di bawah matanya. Ia terus memikirkan tentang apa yang terjadi di Grand Velora. Beberapa hari berlalu dan Tania semakin tidak tenang. Peringatan dari Nico membuat Tania jadi semakin cemas. Rafael juga tidak menjelaskan apa pun. Tania jadi membenci dirinya sendiri. Ia harusnya tidak lemah begini. “Sarapan dulu,” ajak Anggi. Tania terpaksa duduk karena Anggi menyeretnya ke ruang makan. Di meja, sudah ada Agus, ayah Tania.“Kamu mau kerja?” Agus sampai bertanya. Tania ditatap dengan pandangan khawatir oleh kedua orang tuanya. Ia langsung berpura-pura baik.“Iya, Ayah. Aku cuma enggak bisa tidur semalam,” ujar Tania. Takut ditanya lebih banyak, Tania jadi menghabiskan sarapannya cepat. Ia beralasan takut terlambat jadi pamit berangkat lebih awal.Di Grand Velora, Tania menjauhi Fe