“Pegang saja ucapanmu,” jawab Tania singkat.Tania kembali mengingatkan Rafael akan rapuhnya hubungan mereka. Rafael yang menyadari hal itu, hanya mengangguk patuh. “Ayo pergi.” Tania yang memulai langkah. Semua barang sudah siap. Mereka pun berjalan untuk menghampiri taksi yang telah dipesan. Di dalam taksi, Rafael duduk di samping Tania. Mereka terdiam canggung, sebelum akhirnya Tania meminta taksi untuk menepi saat ia melihat sebuah toko baju. Tania membelikan Rafael beberapa potong baju dan taksi berjalan kembali tak lama kemudian. Saat Tania mengira keadaan akan kembali hening, Rafael malah menyenggol lengannya pelan. “Aku boleh pinjam handphonemu?” tanya Rafael sedikit berbisik. Rafael terlihat ragu, membuat Tania curiga. “Buat apa? Handphonemu ke mana?” Tania balas bertanya penuh selidik.Ia mengamati perubahan wajah Rafael, berusaha mencari sedikit kepanikan. Namun, wajah Rafael lurus kayaknya jalan tol. “Hilang. Aku mau mengabari Dika. Dia harus cari pekerjaan baru.”
Tania terdiam. Kedua matanya menatap Rafael lekat. Tania ingin menolak. Bibirnya siap mengatakan tidak. “Aku tidak mau–”Kalimat Tania terhenti saat suara keras terdengar. Tubuh Rafael meluruh ke lantai. Suaminya itu menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku … minta maaf.” Rafael berucap lirih. Padahal, sebelum ini Tania bisa melihat Rafael yang bersikap tenang. Tania tidak mengira Rafael akan begitu terpuruk sekarang. “A-aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal. Aku berjanji tidak akan pernah terulang lagi.” Suara Rafael tersendat, seolah-olah ada seonggok batu besar menyumbat tenggorokannya. Tania bahkan sempat mendengar Rafael terisak pelan. Ia semakin yakin saat melihat sudut mata Rafael yang basah.‘Apa Rafael sedang menangis? Untuknya?’ “Aku berbohong, Tania. Aku enggak bisa jauh darimu.” Kali ini Rafael memohon. “Aku sudah meninggalkan semuanya. Apa aku harus kehilangan kamu juga?” Suara Rafael terdengar memilukan. Tania merasa tak sanggup terus menatap wajah Rafael. Seor
“Itu … barang-barangmu,” sahut Rafael. Plak! Suara tamparan keras menggema dalam ruangan. Rafael terpaku. Tidak pernah menyangka jika Tania akan menamparnya. “Kamu mengusirku?!” Kedua mata Tania terasa panas. Tania tidak pernah merasa begitu sakit hati. Ia memberikan Rafael kesempatan. Namun, pria itu malah membalasnya seperti ini. “Apa kamu begitu ingin menyingkirkan aku? Segitu enggak sabar mau sama wanita itu?!” Tania menunjuk penuh kemarahan. Tania mendorong Rafael keras, tapi pria itu malah memasang wajah bingung. Rafael akhirnya menangkap tangan Tania, mencoba menjelaskan. “Kamu salah paham!” Rafael menenangkan. Namun, Tania sudah terlanjur emosi.Dengan kakinya, Tania menendang Rafael tepat di tulang kering. Rafael mengaduh dan langsung melepaskan Tania. “Tanpa kamu usir pun, aku akan pergi!” Tania tidak bisa menahan air mata yang mendesak keluar.Ia berlari cepat menuju ke kamar, menarik koper yang sudah disiapkan Rafael. Dalam hati, Tania mengomel keras. ‘Ternyata di
“Tania!” Dika berlari menghampiri Tania di lobi Grand Velora. Peluh membasahi dahinya. Dika seperti habis berlari entah dari mana. “Kamu udah ketemu sama Pak Rafael?” Dika langsung bertanya. Tania tersentak sesaat. “Kamu ketemu sama Rafael?”Kedua mata Tania berbinar. Romi belum memberi kabar lagi, jadi berita dari Dika sungguh sesuatu yang ingin Tania dengar. “Di mana Rafael?” Tania memanjangkan leher, mencoba melihat ke belakang Dika. Namun, Rafael tak ada di sana. “Tadi dia hubungi aku,” sahut Dika. “Aku pikir dia langsung cari kamu.”Tania mengernyit dalam. Ia merasa kesal dengan kenyataan. “Kenapa Rafael menghubungi kamu?” Tania bertanya sinis. “Dia bilang apa?”Dalam hati, Tania memaki. ‘Kenapa hanya Dika? Kenapa Rafael sama sekali tidak mencarinya?’Dika yang merasakan tatapan dingin dan tajam dari Tania, segera menyadari masalah yang ia buat. Sebelum ini, Dika tak berpikir panjang. Ia tidak mengira jika Tania akan merasa tersaingi olehnya. “Apa saja yang kalian bicaraka
“Pak!” Dika masih berteriak saat Rafael mengembalikan handphone kepada pemiliknya. Supir taksi itu menatap Rafael lama, seolah ingin mengatakan jika Rafael boleh menggunakan handphonenya lagi. Namun, Rafael menolak. “Terima kasih,” ucap Rafael seraya beranjak pergi. Rafael meninggalkan urusan pembayaran pada Dika. Sementara dirinya terus melangkah masuk ke dalam kediaman Dharmawan. Seorang satpam membukakan gerbang. Beberapa asisten rumah tangga ikut datang menyambut Rafael.“Apa Ayah dan Ibuku ada di rumah?” Suara Rafael dingin menusuk, membuat para asisten rumah tangga itu menunduk dalam. Salah satu dari para asisten yang berjajar itu menganggukkan kepala, mengiyakan. Melihat jawaban itu, Rafael mengangguk puas. “Aku tunggu di ruang tamu!” Rafael memberikan perintah. Dua orang asisten rumah tangga bergegas pergi. Mereka mengabari Julian dan Sonya. Tak sampai dua menit, kedua orang tua Rafael sudah sampai di ruang tamu. Rafael menyambut keduanya dengan tatapan menusuk.“Apa A
“Kau gila!” Natasha memaki kasar.Rafael tersenyum miring. Apa wanita itu sedang membicarakan dirinya sendiri? “Cepat jalan!” Rafael mendorong Natasha paksa. Rafael menyeret Natasha sampai ke depan pintu. Ia memberi perintah pada Natasha untuk membukanya.“Kamu tau kalau kamu tidak akan bisa lolos dariku meski bisa keluar dari sini,” ejek Natasha. Rafael mendengus. Ia berdecak sambil menekan leher Natasha lebih keras. Wanita itu menjerit, tapi Rafael malah tertawa. “Masih mau terus bicara? Coba saja. Mungkin hari ini terakhir kali kamu bisa menggunakan mulutmu.” Rafael menggeram penuh dendam. Natasha mulai panik karena Rafael tak lagi bisa diajak bicara. Bau amis di lehernya semakin menyengat. Hangat darah yang mengalir, membuat Natasha ketakutan. “Kamu akan membayarnya! Aku akan melapokanmu pada polisi! Aku akan mengadukanmu pada ayahmu! Aku akan minta ganti rugi!” Natasha terus berteriak. Namun, Rafael tetap pada posisinya. Tangannya masih mengepal erat benda tajam itu di leh