ログイン“Happy birthday, Zayne!” Tania memeluk putranya erat. Ia melebarkan senyum saat Zayne balas mengecup pipinya hangat. Rafael ikut serta. Kedua tangannya memeluk istri dan putranya lebih erat. “Zayne sayang Mommy sama Daddy!” seru bocah itu polos. Tania mengangguk mengiyakan. Setelah ucapan selamat dari keluarga Tania, kue ulang tahun pun dipotong. “Katakan bagaimana rasanya.” Anggi bertanya penuh rasa penasaran. Kue yang ia buat khusus untuk sang cucu, harusnya sempurna. “Enak sekali!” Zayne memeluk Anggi erat. “Zayne juga sayang nenek!”Anggi mengangguk puas. Ia membantu Zayne membagikan kue. Tania mendapatkan potongan paling besar dari Zayne. “Habis ini Zayne mau jalan-jalan, ya!” Tania tersentak. Ia melupakan janji yang ia ucapkan pada Zayne. Harusnya mereka pergi ke taman bermain bersama-sama. Hanya saja, hari sudah terlalu sore. Tak akan ada cukup waktu.“Zayne,” panggil Tania lembut. “Bagaimana kalau minggu depan? Hari ini sudah terlalu sore, dan besok Mommy tidak bisa.”
“Daddy, apa Mommy masih lama?”Suara anak kecil terdengar memelas, membuat Rafael memandang tak tega. Ia langsung berjongkok menyamakan tingginya dengan sang anak. “Sebentar lagi, Zayne.” Rafael mencoba memberikan pengertian. Zayne mengangguk. Ia duduk kembali di kursinya, terdiam menunggu. Melihat itu, Anggi tak bisa tetap diam. Ia beranjak dari sofa dan langsung menghampiri cucu pertamanya. Zayne yang masih tampak murung, mencoba tersenyum saat Anggi menghampiri. Cucu lelakinya ini seolah tak ingin Anggi mendapati dirinya mengeluh. “Bagaimana kalau kita buka hadiahnya dulu? Sambil menunggu Ibumu,” ujar Anggi. Tyo pun ikut menimpali. Ia berdiri di depan Zayne sambil menunjukkan kotak berwarna biru yang ia bawa sebagai hadiah. “Coba buka hadiah dari Om. Kamu pasti suka!” Tyo menyodorkan kotak hadiahnya pada Zayne, tapi Zayne menggeleng. “Aku mau tunggu Mommy,” ucap Zayne sambil menunduk. Zayne memainkan ujung bajunya. Ia sering melakukan itu saat sedang bersedih. Rafael yang
“Aku sudah siapkan rumahnya. Apa kamu mau tetap pindah?” Rafael tidak ingin memaksa, tapi ia juga sudah berjanji untuk memenuhi keinginan Tania. Ditawari seperti ini, Tania malah ragu. Apalagi hubungannya dengan Anggi sudah membaik. Bahkan Agus dan Tyo juga sudah meminta maaf padanya. “Apa harusnya aku tetap tinggal di sini?” Tania bertanya hati-hati. Rafael tidak menjawab. Ia hanya memandang Tania tanpa menyiratkan apapun yang ia inginkan. Tania langsung tahu jika Rafael membebaskannya untuk memilih. Sekilas, Tania merasa ingin tinggal. Namun, saat melihat keadaan Rafael yang begitu kurus, ia mungkin harus mengambil pilihan. Rafael butuh tempat yang nyaman untuk memulihkan diri. Pasti suaminya itu tidak akan bebas jika terus tinggal di rumah orang tuanya. “Ayo kita pindah.” Tania sudah memutuskan. Rafael mengangguk dengan senyum di wajah. Saat itu juga, Tania merasa bersyukur karena pilihannya tidak salah. Sepertinya, Rafael menyukai keputusannya. “Aku siapkan barang-barangny
“Duduk dulu.” Rafael meraih tangan Tania. Ia menepikan laptop yang sebelumnya ada di pangkuan. Tania pun menurut. Ia menghampiri Rafael dan duduk di sisi ranjang, tepat di samping sang suami. Dengan satu lirikan dari Rafael, Dika mundur tanpa suara. Ia membiarkan keduanya mengambil waktu untuk bicara. “Apa bisa kamu mengatakan apa yang terjadi biar aku mengerti?” Rafael mengusap punggung Tania lembut. Ia menunggu sampai Tania selesai dengan emosinya sendiri. Tania sulit berhenti. Ia tak tahu kenapa dirinya jadi begitu cengeng sekarang. Apa karena pengaruh bayinya? Atau semua karena perasaan tertekan yang sudah tertimbun sejak lama? “Aku cuma ingin mandiri saja,” sahut Tania beralasan. Ia merasa tak ingin mengucapkan kejujuran. Tak mungkin Tania menjelekkan keluarganya. Ia juga tak berniat membuat segalanya semakin rumit. “Apa kamu melakukan ini untuk membelaku?” Rafael bertanya sambil menatap Tania lekat. Tania langsung mengalihkan pandang. Seketika, Rafael tahu jika dugaannya
“Ada apa?” Tania tak berani bertanya pada Rafael. Ia hanya memandangi Rafael yang sibuk bekerja dengan laptop di atas pangkuannya. Kantong infus menggantung di samping Rafael. Dokter akhirnya berhasil memaksa Rafael untuk menggunakannya. Kesehatan Rafael menurun ketika ia mulai bekerja. “Jangan lupa makan siang. Aku mau ke kedai, bantu Ibu.” Tania malah berpamitan. Ia gagal lagi. Tania berakhir menutup mulut tanpa bertanya. Ia langsung beranjak setelahnya. Saat hendak keluar rumah, Dika datang. Dika memang datang ke rumah Tania setiap hari, menyiapkan keperluan Rafael, juga membawakan pekerjaan. Melihat wajah Dika, Tania jadi tak bisa menahan diri untuk bertanya. Kebetulan Rafael masih di kamar dan belum melihat Dika. Harusnya Rafael tidak akan sadar jika ia bertanya cepat.“Aku mau bertanya.” Namun, Dika langsung menggeleng. Pria itu langsung menolak bahkan sebelum Tania sempat bertanya. “Lebih baik tanya ke Pak Rafael saja. Aku enggak tau jawabannya,” elak Dika. Tania jadi
“Tania,” panggilan itu membuat Tania menoleh. Barusan Anggi mengatakan jika Tania memiliki tamu. Ia bertanya-bertanya siapa yang mencarinya. “Dika?” Tania tak menyangka tamu yang dimaksud Anggi adalah Dika. Terakhir kali Tania menanyakan Dika pada Rafael, pria itu seperti tidak tahu apa-apa. Sekarang, malah Dika sudah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” Dika menolak ajakan untuk duduk di ruang tamu. Pria itu langsung menanyakan keberadaan Rafael. “Sebentar lagi dokter akan datang ke sini,” ujar Dika tanpa menunggu. Karena Dika tak sabaran, Tania jadi membawa Dika menemui Rafael di kamar. Di sana, Dika sempat menahan keterkejutan. Rafael yang dikenalnya sudah jauh berbeda. Badan Rafael tak lagi berisi, tapi kurus kering. Meski wajah Rafael sudah tidak kuyu seperti sebelumnya, Rafael masih terlihat tidak baik. “Bu Sonya yang menghubungi saya dan meminta saya kembali menjadi asisten Pak Rafael.” Dika menyatakan tujuan kedatangannya setelah menyapa Rafael sopan. “Saya juga diminta







