“Kenapa Tania?” Rachel menegur Tania yang sejak tadi menunduk di bawah meja.
“Kamu lihat apa?” Rachel ikut menyusul menunduk. Sang manajer yang memang duduk di samping Tania menggantikan Rafael, jadi penasaran. “Tidak ada apa-apa, Bu Rachel,” sahut Tania cepat. Ia memasukkan kembali kotak hadiah ke dalam paper bag dan duduk tegak di kursinya. “Kita sudah siap memesan makanan. Kamu mau pesan apa?” Tanya Rachel. Saat itu, Tania tidak bisa berpikir banyak. Ia hanya meraih buku menu, dan memesan apa pun yang dilihatnya pertama kali. Pikiran Tania penuh dengan dugaan kotak hadiah yang baru saja ia lihat. Kotak hadiah itu, ia mengingatnya. Itu adalah kotak yang sama dengan kotak yang ia lihat di atas meja sang direktur. Kotak hadiah berwarna hitam dengan pita emas. Bahkan ukurannya pun sama persis. Tania sangat yakin. ‘Tapi kenapa Bu Rachel yang memberikannya?’ Tania hanya bisa bertanya dalam hati. ‘Apakah hadiah itu titipan? Atau kebetulan saja kotaknya sama?’ Tak mau terlalu percaya diri, Tania menyimpulkan jika kotaknya mungkin serupa. Untuk apa Rafael memberikan hadiah khusus padanya? “Sebelum makan, ayo kita foto dulu,” ajak Keisha. Keisha meminta izin pada Rachel untuk mengambil foto bersama. Mereka mengambil beberapa foto sebelum duduk kembali. “Nanti kirimkan ke saya, ya.” Rachel menunggu Keisha mengangguk sebelum ia mengucapkan terima kasih. Makanan mereka datang tak lama kemudian. Suara obrolan berubah menjadi denting peralatan makan. Mereka berbincang santai sesaat sebelum akhirnya satu-persatu berpamitan. “Makasih ya, Tania!” Keisha menjadi rekan kerja terakhir yang berpamitan, menyisakan Tania dengan Rachel. “Bu, apa Bu Rachel mau pesan lagi?” Tania bingung harus bertanya atau tidak. Mau mengusir juga tidak mungkin. Jadilah dia memilih untuk menawarkan Rachel memesan. “Tidak,” tolak Rachel. “Ayo kita ke kasir.” Tania kesulitan mengejar langkah Rachel. Dia harus merapikan sisa kue dengan cepat, juga meraih paper bag yang ada di bawah kursi. Saat Tania sudah sampai di kasir, Rachel sudah membayar bill untuk meja mereka. “Bu, harusnya saya yang–” Rachel menyela dengan sebuah senyum. “Tak apa. Saya membuatnya menjadi makan bersama untuk staff room service yang dimasukkan dalam tagihan perusahaan.” Tania jadi tak enak hati. Ia ingin membantah, tapi Rachel tak memberinya kesempatan bicara. “Kamu sudah menjadi bagian dari perusahaan juga. Tidak usah merasa sungkan, cukup bekerja dengan baik seperti biasanya.” Mau tak mau, Tania mengangguk. Kalau sudah begini, dia tak bisa memaksa lagi. “Saya berharap banyak padamu, Tania. Apalagi kamu bukanlah pegawai biasa.” Tania menautkan alis sesaat. ‘Bukan pegawai biasa?’ Ia sedikit bingung. Apakah Rachel sedang membicarakan saat Tania berhasil melayani seorang tamu penting dari Negeri Tiongkok yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik? Atau saat Tania menolong seorang lansia dari Filipina dengan alergi makanannya? “Yang penting kamu betah di Grand Velora.” Rachel menepuk bahu Tania lembut. Ia mengajak Tania berjalan ke luar restoran. “Kamu pulang naik apa?” Tanya Rachel. Keduanya memandang langit yang ternyata sudah berubah gelap. “Mau pulang bersama saya?” Tawaran Rachel membuat Tania canggung. Ia belum pernah ditawari pulang dengan atasan. Bahkan, ia tidak tahu jika rumah mereka searah. “Terima kasih, Bu Rachel. Saya tidak mau merepotkan,” tolak Tania halus. Tania memikirkan alasan yang tidak akan menyinggung Rachel. “Sudah malam. Bu Rachel juga pasti lelah. Saya bisa naik taksi dari sini.” Pandangan Tania tertuju pada mobil yang lalu lalang di hadapan mereka. “Ah, itu ada satu!” Kebetulan sekali sebuah taksi melintas di depan Tania. Ia langsung menyetop taksi tersebut dan naik tanpa ragu. “Terima kasih untuk hari ini, Bu Rachel!” Tania berpamitan sopan. Ia melangkah masuk ke dalam taksi, lalu menunduk sopan sekali lagi sebelum taksi berjalan pergi. Di dalam taksi, Tania menghela sesaat. Ia mengeluarkan kembali kotak hadiah yang ada di dalam paper bag. Ia sangat penasaran dengan isinya. “Astaga ….” Tania memandang tak percaya. Di tangannya ada sebuah dress cantik berwarna navy, warna kesukaan Tania. “Kok bisa? Apa Bu Rachel tahu warna favoritku?” Tania merasa tidak pernah mengatakan itu pada Rachel. “Apa ini benar-benar dari Bu Rachel?” Jika Tania mencoba mengingatnya, tak sekali pun Rachel mengatakan jika ia yang memberikan hadiah itu. Rachel hanya membawakan kue dan hadiah, lalu berucap jika keduanya untuk Tania. “Tidak,” ucap Tania seraya menggeleng cepat. “Pasti dari Bu Rachel.” Tania mengembalikan dress itu ke dalam kotak. Ia menyimpannya kembali, sebelum menyadari getaran di handphone miliknya. Tangannya meraih handphone dari dalam dalam tas. Ada sebuah pesan masuk terpampang di layar, dari Gilang. My Love: Kamu dekat dengan Pak Direktur? “My Love apanya?” Tania menggerakkan jarinya kasar. Ia menekan tombol hapus kuat-kuat, mengganti nama kontak Gilang. “Aku punya nama yang lebih cocok untukmu!”“Tenang saja.” Romi malah memberikan Tania sebuah senyuman. Pria itu menenangkan Tania. “Tidak perlu bingung. Bekerja saja seperti biasa,” ucap Romi. Tania menggeleng keras. Ia tidak bisa menerima jawaban Romi. Berulang kali Tania mengucapkan maaf. “Kamu jaga saja dirimu, dan tetap berhati-hati.” Romi menitipkan pesan terakhir. Mobil menurunkan Tania tepat di depan rumah. Sepertinya, Romi sudah tahu alamat Tania sejak awal. “Saya pamit, ya. Jangan lupa kabari Pak Direktur. Dia pasti khawatir,” ujar Romi.Tania tersenyum getir. Ia mengangguk pelan. Tanka menyeret kedua kakinya ke depan rumah. Rumah Tania terkunci. Tangannya mengambil kunci cadangan dari dalam tas. Setelah masuk, Tania menutup pintu rapat. Tubuhnya meluruh ke lantai. “Sekarang … aku harus gimana?” Tania membuat Rafael dalam kesulitan, dan ia juga menyeret Romi bersamanya. Apa benar yang dikatakan oleh Julian?“Aku pembawa
“Tidak akan terjadi apa pun! Jawab saja, Pak!” Tania jadi membentak. Ia sejenak lupa pada jabatan Romi yang lebih tinggi darinya. Bagi Tania, Rafael yang paling penting sekarang. “Saya akan mengantar,” jawab Romi. Setidaknya, jika Romi sudah menjadi pengadu, maka pria itu akan bertanggung jawab. Romi membujuk Tania untuk masuk ke mobil. Tania harus bersabar sampai mobil yang ia tumpangi bersama Romi berhenti di rumah sakit. Romi terus menemani Tania sampai ke depan ruang rawat. Tok. Tok. “Permisi Pak Direktur.” Romi meminta izin masuk. Terdengar jawaban dari dalam ruangan. Karena sudah diiyakan, Romi membuka pintu dan melangkah masuk. Tania berjalan di belakang Romi, tidak sabaran. Namun, langkahnya terhenti sesaat kemudian. “Kamu lagi?!” Teriakan keras dengan suara yang familiar. Saat melihat Tania, darah Julian serasa naik ke kepala. Ia langsung berdiri, napasnya memburu. Tatapannya
“Kamu kenapa?” Fera menyapa Tania yang baru datang. Bibir Tania cemberut. Wajahnya masam karena kesal. Apalagi alasannya kalau bukan Rafael. Rafael belum juga membalas pesannya sampai sekarang. Sudah lima hari berlalu, dan pesannya terbaca tanpa dibalas!“Enggak apa-apa,” sahut Tania tak bersemangat. Ia menanyakan Tasya kemudian, untuk sekedar mengalihkan pembicaraan. Tania tak mau Fera bertanya lebih banyak. “Tasya shift siang,” jawab Fera singkat. Tidak ada pembicaraan lagi karena Nico datang tak lama kemudian. Manajer itu memberitahukan reservasi grup untuk besok. “Pastikan kalian melayani dengan baik karena mereka adalah tamu-tamu VIP,” ujar Nico. Tania dan Fera mengangguk bersamaan. Tania mengucap syukur dalam hati. Romi memintanya datang ke pengadilan hari ini. Kalau jadwalnya besok, mungkin Tania harus mengucapkan maaf pada pria itu. Tak lama setelah Tania menyebutkan nama Romi dalam hati
“Bapak mau bicara apa?” Tania langsung bertanya saat mereka duduk di dalam kafe. Tania melirik ke arah jendela yang ada di sampingnya. Ia memang sengaja memilih tempat yang terlihat. Rasanya akan mencurigakan jika Tania memilih tempat duduk di pojok saat duduk dengan seorang lelaki. Apalagi ia tidak tahu status Romi yang sekarang. ‘Apa masih suami orang? Atau sudah duda?’Tania tidak ingin ikut campur. Jadi, ia hanya menyimpan pertanyaan itu dalam hati saja. Ia juga tak mau menjadi orang yang kurang ajar. “Saya mau mengucapkan terima kasih.” Romi memulai kalimatnya. Tania mengangguk pelan. “Sama-sama, Pak,” jawab Tania. “Saya juga membantu karena dulu pacar saya terlibat,” sambung Tania. Keadaan hening sesaat. Tania yakin Romi ingin mengatakan hal yang lain. Tidak mungkin hanya ucapan terima kasih saja. “Silakan minumannya.” Pegawai kafe meletakkan dua cangkir kopi di depan Romi dan Tania.
‘Loh?’ Tania memandang heran. Ia memasang senyum canggung. Tania melirik sekilas ke arah cucu sang nenek. Anehnya, pria itu terlihat tidak salah tingkah sama sekali. “Namaku Enzo,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Tania membalas uluran tangan Enzo sopan. Lalu, Tania memperkenalkan dirinya sendiri. “Aku Tania.” Tania berusaha menjawab senatural mungkin. Ia bahkan menyisipkan senyum. Setelahnya, Tania mulai mengalihkan pembicaraan. Ia berusaha sebaik mungkin agar tidak melukai nenek dan cucu di hadapannya ini. “Nenek dan Enzo akan liburan ke mana kali ini?” Tania bertanya dengan nada lembut. “Sebenarnya, aku mau mengajak Nenek ke pantai,” jawab Enzo. Tania mengangguk. “Itu bagus! Jangan lupa memakai sunscreen. Di sini sangat panas.”Enzo menatap Tania lama, dan Tania sungguh merasa tidak nyaman. Ia memilih untuk nekat menadahkan tangan.“Boleh lihat paspornya untuk check in?” Tania akhirnya bicara. Enzo yang memberikan paspor pada Tania. Pria itu memberanikan diri untuk bert
“Kenapa aku masuk pagi terus?” Tania mengeluh mendapati gedung Grand Velora di depannya. Ia melangkah masuk dengan hati berat. Tania tidak bisa bolos. Ia bukan orang yang tak bertanggung jawab. Tania juga … ingin melihat wajah Rafael. Apa yang terjadi setelah ia pergi? Tania sungguh penasaran. Rafael tidak menghubunginya setelah itu. Tania juga tidak memiliki keberanian dan alasan yang cukup untuk memulai. “Dia pasti baik-baik saja,” lirih Tania pelan. Tania mencoba menepikan kalut dalam hatinya sejenak. Di lobi Grand Velora, ia melihat Fera dan Tasya yang sudah siap di belakang meja resepsionis. “Selamat pagi!” Tania menyapa duluan. Ia memberikan sebuah senyum lebar. Masalah hatinya, biarlah hanya Tania yang tahu. “Pagi!” Fera dan Tasya menjawab bersamaan. Tania pamit berganti seragam sebelum bersiap di depan meja resepsionis. Ia langsung melayani tamu karena lobi tiba-tiba saja ramai. “Satu malam di kamar suite ….” Kalimat Tania terhenti. Pandangannya tertuju pada sosok y