Botak Penjilat: Tania, cepat balas pesanku!
“Hahaha!” Tania menghapus sudut matanya yang berair karena tertawa. “Nama yang aku berikan cocok sekali.” Ia berhenti setelah puas. Tatapannya kembali tertuju pada layar ponsel. “Apa maksudnya coba mengirim pesan seperti ini?” Dahinya sampai berkerut tujuh lipatan saat membaca isi pesan dari Gilang sekali lagi. ‘Kenapa tiba-tiba Gilang menanyakan tentang Rafael?’ “Padahal sebelum ini kamu berselingkuh, tapi tidak berniat menjelaskan sama sekali. Maumu apa?!” Jari Tania bergerak mengetikkan pesan balasan. Ia terdiam sesaat kemudian. “Kenapa aku harus membalas pesan darinya?” Tania merutuk penuh kemarahan. Untuk apa? Tania merasa tidak memiliki kewajiban untuk membalas pesan Gilang. Ia mematikan kembali layar ponselnya, lalu menyimpan benda pipih itu di dalam tas. ‘Aku tak mau lagi berhubungan dengan Gilang!’ Taksi yang mengantar Tania berhenti perlahan. Rupanya ia sudah sampai di tujuan. “Terima kasih, Pak,” ucap Tania seraya memberikan ongkos. Ia melangkah turun dengan kotak kue dan juga paper bag di tangan. Di depan pintu, Tania disambut oleh sang adik. “Wah, Kakak bawa apa?” Tyo memasang senyum lebar. Tyo sudah SMA, tapi dia masih bertingkah seperti bocah. “Kue,” sahut Tania sambil memberikan kotak itu pada sang adik. Tania membiarkan Tyo membawa lari kuenya, sementara ia sibuk membuka sepatu. “Kamu sudah pulang Tania?” Suara Anggi menyapa Tania. Ibunya itu langsung bergerak menuju ke dapur. “Ibu panaskan makanannya, ya.” Tania langsung menolak. “Enggak usah, Bu. Aku sudah makan di luar. Mau langsung tidur. Capek.” Kaki Tania melangkah cepat menuju kamarnya. Sayang, ia dihentikan oleh Agus–sang ayah. “Tania, kue apa yang kamu bawa?” Agus memicing curiga saat anak bungsunya–Tyo membuka kotak kue itu. Ada tulisan selamat yang terpotong karena kuenya tersisa setengah. “Aku diangkat menjadi pegawai tetap, Yah,” sahut Tania. Ia ingin mencoba terlihat antusias, tapi tak bisa. Tania bahkan sudah tak merasa ingin bekerja lagi. Lebih baik Tania membantu di kedai milik keluarganya. Dia lebih senang melakukan itu daripada bekerja. Tania berkuliah di jurusan yang sama dengan Gilang. Bahkan ia bekerja di tempat Gilang. Semua yang ia lakukan semata agar bisa terus bersama Gilang. Sekarang, setelah Tania tak ingin bersama dengan Gilang lagi, rasanya ia tak mau melakukan apa pun. “Bagus kalau begitu!” Agus menjawab sambil mengangguk senang. Terlihat jelas jika Agus menyukai kabar yang dibawa putrinya. “Kamu bisa terus bekerja. Kejarlah dulu karirmu sebelum menikah.” Tania membisu. Ada dua hal yang tidak ia sukai dalam kalimat sang ayah–karir dan menikah. “Ayahmu benar, Tania. Kamu juga masih 22 tahun. Masih banyak waktu.” Anggi menimpali. “Kalau kamu kesulitan bicara dengan Gilang, biar Ibu yang bicara nanti.” Tania menghela keras. Tawaran dari Anggi tidaklah begitu berguna bagi Tania saat ini. ‘Apa harusnya aku jujur saja sekarang?’ Padahal tadi pagi, Tania masih berusaha menutupinya. Namun, sekarang dia merasa hubungannya dengan Gilang mungkin memang harusnya benar-benar berakhir. “Aku sudah putus, Bu,” ucap Tania, dalam bisikan. Suara Tania pelan, tapi seluruh keluarganya bisa mendengar dengan jelas. “Apa? Kenapa?” Anggi langsung mendekat. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang teramat sangat. “Kalian bertengkar? Dia menyakiti kamu?” Rentetan pertanyaan menyerbu Tania. Anggi terus bertanya kenapa, bagaimana, dan sejak kapan. “Tania lelah, Bu. Bisa bicara besok lagi?” Tania mencoba melarikan diri. Ia melangkah ke kamar, tapi teriakan sang ayah menghentikan Tania. “Apa Gilang selingkuh?” Tania tersentak. Langkahnya terhenti. Seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Ia membatu. “Gilang mengkhianati kamu?” Apa yang Agus katakan sangat tepat, sampai-sampai Tania tidak tahu bagaimana cara mengelak. Benar, Gilang mengkhianatinya. Cowok itu berselingkuh dan menghancurkan hatinya, tanpa sisa. “Tidak,” jawab Tania pelan. “Kita cuma … enggak cocok.” Tania harus memasang wajah meyakinkan di depan orang tuanya. Ia tak mau Agus dan Anggi mencium kebohongan yang ia katakan. “Kita udah coba bicara, tapi memang enggak bisa dilanjutin.” Agus dan Anggi memicing bersamaan. Keduanya seperti menaruh kecurigaan yang sama besar untuk Tania. “Kalian sudah menjalin hubungan selama tujuh tahun. Tidak mungkin bisa berpisah semudah ini,” ujar Anggi. “Coba minta Gilang datang ke sini besok, biar Ayah dan Ibu bicara dengannya.” Kali ini, Tania memekik frustasi. Ia tidak bisa tetap tenang setelah mendapatkan permintaan sulit itu. “Kami sudah putus! Aku tidak mau bertemu dengannya lagi!” Anggi sampai mengelus dada. Pertama kalinya wanita paruh baya itu mendapati putrinya berteriak. Tania tersadar oleh tatapan kaget dari Agus dan Anggi. Segera ia menarik napas dalam untuk mengendalikan diri. “Maaf,” lirih Tania, pelan. “Aku cuma tidak mau berhubungan dengan Gilang lagi.” Tania memikirkan cara tercepat untuk keluar dari keadaan ini. Ia mengucap satu kebohongan. “Aku sudah punya lelaki lain.”“Aku punya bayi di sini!” Tania sengaja menegaskan agar Rafael tidak salah paham.Tania tak ingin Rafael merasa senang karena ia sedang dongkol. Semakin Rafael tersenyum, semakin Tania geram.“Cepat!” gerutu Tania. Rafael bergegas. Tak lama, ia sudah kembali dalam pakaian kering. Tania memicing. Ia ingin mengusir Rafael, tapi di rumah orang tuanya ini, Tania tak mungkin melakukannya. “Aku tidur di luar aja.” Rafael yang peka dengan tatapan tajam Tania, langsung beranjak. Tania berseru memanggil Rafael, tapi suaminya itu sudah terlanjur keluar. Meski enggan, Tania menyusul Rafael. Bisa jadi masalah jika keluarga Tania mendapati Rafael tidur di luar. Tania bisa diceramahi sampai kiamat. Apalagi Tania tidak akan mengucapkan alasannya. “Balik ke kamar,” ucap Tania sambil menyenggol lengan Rafael. Rafael sudah memejamkan mata, terlihat lelah. Namun, mendengar perintah dari Tania, Rafael gegas berdiri. Mereka berjalan beriringan ke kamar. Tepat setelah mereka masuk, Tania meminta Ra
“Kenapa cemberut begitu?” Rafael baru pulang dan ia mendapati Tania sedang mengerutkan dahi. Padahal Tania sudah berusaha untuk biasa saja, tapi jengkel yang ia rasakan tak bisa Tania tahan. Dalam hati, Tania jelas tahu jika Rafael tidak melakukan kesalahan apa pun.Bukan Rafael yang merencanakan itu semua. Itu hanya orang tua Rafael yang sampai sekarang belum menerima Tania. “Apa ada masalah?” Rafael bertanya dengan tatapan menyelidik. Tania memasang wajah datar. Ia tak berniat menjawab sama sekali. Melihat respon Tania, Rafael bertanya lagi. “Apa aku melakukan kesalahan?” Saat itu, ujung hidung Tania bergetar sedetik. Namun, Rafael menyadarinya. “Salahku, ya?” Rafael mulai mengingat-ingat apa yang hari ini ia lakukan. “Aku hanya ada di kantor seharian, memeriksa dokumen. Rasanya aku enggak melakukan apa pun.” Rafael bergumam sendiri. Rafael mulai menjabarkan pada Tania apa saja yang sudah ia lakukan. Tania tak menyahut sama sekali, membuat Rafael stres sendiri. “Aku enggak
“Maafkan aku!” Tania berujar panik. Ia merasa malu karena mengomentari lukisan tepat di depan sang pelukis. Untung saja Tania mengatakan kalau lukisannya cantik!“Aku tidak tau kalau ini adalah pameran Bu Anna.” Tania masih terus meminta maaf. Sementara Anna membalas dengan tawa kecil. Senyumnya merekah sempurna. Tangannya menepuk lengan Tania lembut. “Kamu enggak melakukan kesalahan apa pun. Kamu malah memujiku,” sahut Anna. “Ah iya, kamu datang ke sini bersama suamimu, kan?” Saat Anna menyebut nama Rafael, tiba-tiba saja Rafael muncul di samping mereka. Tania terkejut sesaat. Rafael bukan hanya memiliki pendengaran super, tapi juga kemampuan berpindah tempat dengan sangat cepat. Sebelum ini, Tania melihat Rafael ada di sudut, sedang mengobrol. Sekarang, Rafael sudah ada di sisinya, menggenggam tangan Tania mesra. “Nah, ini Pak Rafael.” Anna berseru dengan senyum lebar sempurna. “Aku ingat kemarin ada tawaran dari Grand Velora.” Anna meraih tangan Tania lembut. “Aku baru ing
“Kamu bilang apa barusan?” Kedua mata Tania membulat tak percaya. Dika mengangguk. Pria itu meyakinkan Tania jika apa yang dikatakannya benar.“Aku bersumpah apa yang kudengar itu benar.” Dika berucap serius. Namun, Tania masih memicing. Ia menatap Dika curiga, setengah bingung. Semuanya tidak masuk akal. Rafael kan sudah menikah dengannya, semua orang di negeri ini tahu jika mereka adalah suami istri. Lalu kenapa?“Siapa wanita yang dijodohkan dengan Rafael? Beritahu aku namanya.” Tania berusaha berucap tenang. Padahal, ia marah setengah mati. Bisa-bisanya, orang tua Rafael menjodohkan Rafael yang jelas-jelas sudah menikah dengannya?!‘Apa itu bahkan masuk akal?!’Dika mengelus bulu kuduknya yang meremang. Tania memang tidak meneriakkan kemarahan, tapi aura menusuk yang keluar dari dirinya membuat suasana berubah dingin mencekam. “Natasha Marie Tanudibya,” jawab Dika pelan. Tania tertegun sesaat. Ia berusaha mengingat di mana ia pernah mendengar nama itu. “Dia anak pemilik Man
“Buatmu,” ucap Rafael saat masuk ke dalam kamar lama Tania. Rafael membawakan Tania sebuah cake cokelat berukuran sedang. Tania menerimanya dengan antusias. “Yang itu buatmu. Habiskan saja. Untuk yang lain udah aku simpan di luar,” sambung Rafael. Wajah Tania berubah sumringah. Ah, ia harus mengakui jika ucapan ibunya benar. Mungkin ia memang beruntung memiliki seorang suami seperti Rafael. Rafael bahkan pulang tepat waktu. “Apa pekerjaanmu enggak sibuk?” tanya Tania. Rafael hanya mengangkat bahu. Ia menghampiri Tania, membantu Tania memotong kue. “Kamu udah baikan?” Rafael malah mengalihkan pembicaraan. Tania balas memandang tidak senang. Ia ingin pertanyaannya dijawab. “Sedikit.” Rafael menjawab. Namun, ia dengan sengaja menyuapkan kue untuk Tania. Tentu agar Tania tidak bertanya atau mengomel. Tania tak bisa bicara dengan mulut penuh. Dan Rafael berhasil. Di kunyahan pertama, Tania tidak bisa merasa kesal lagi. Kuenya sangat enak, membuat Tania tak mampu menahan senyum.
Tania membelalak. “Ibu tau darimana?!”Otak Tania sempat menuduh Rafael. Namun, hatinya langsung menolak. ‘Enggak mungkin Rafael!’ bantah Tania dalam hati. Tania yakin Rafael bukanlah orang yang akan dengan mudah menceritakan masalah mereka. Apalagi masalah ini akan mempengaruhi penilaian Anggi padanya. “Tak penting Ibu tau dari siapa.” Anggi menolak untuk bicara. “Penting!” Tania menyela. “Dari mana Ibu tau kabar bohong kayak gitu?” Tania sengaja membantah kebenaran. Ia membuat ekspresi wajahnya semeyakinkan mungkin, agar Anggi tidak curiga. “Grand Velora enggak pakai target tamu,” sahut Tania penuh percaya diri. “Lagipula, Tania kan bukan sales. Kenapa harus kejar target?” sambung Tania. Anggi langsung mendelik. Ia menatap Tania penuh rasa curiga. Tania menghadapi tatapan penuh tuduhan dari Anggi tanpa berkedip. Ia tidak akan menunjukkan keraguan sama sekali. “Benarkah?” Anggi sejenak terlihat linglung. Tania memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Kepalanya mengangguk,