“Tidak masalah kalau aku dipecat.”
Tania tidak peduli. Tujuan awalnya bekerja di Grand Velora adalah untuk mendapatkan uang yang akan dipakai sebagai biaya pernikahan. Sekarang, Tania sudah tidak ingin menikah. Siapa juga yang mau menikah dengan seorang lelaki hidung belang? Pastinya bukan Tania! “Tania!” Tania baru saja berdiri, tangannya mengepal, niatnya sudah bulat untuk mendatangi Romi dan mengungkap segalanya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara yang begitu ia kenal. “Maaf, saya datang terlambat!” Rachel melambaikan tangan dari pintu restoran, tersenyum lebar sambil berjalan mendekat. Bersamanya, ada seorang pria yang membuat napas Tania tercekat—Rafael. Direktur baru Grand Velora–juga pria yang semalam tidur dengannya. “Kenapa … dia ada di sini?” Sekelebat ingatan menghantam pikirannya. Sentuhan panas, desahan samar, dan tatapan tajam Rafael di atas ranjang. Bahkan tadi pagi Rafael sudah memanggilnya secara pribadi ke ruang direktur. Kenapa sekarang pria itu muncul lagi? “Kenapa masih di sini? Ayo, kita bergabung dengan yang lain.” Rachel menepuk pundak Tania ringan sebelum mengajaknya melangkah bersama. Tania berusaha mengendalikan ekspresinya, tetapi tubuhnya terasa menegang seketika. Dengan langkah kaku, Tania kembali ke tempatnya. “Pak Direktur ingin bergabung dalam perayaan kita.” Rachel memberikan pengumuman singkat sebelum masuk ke dalam perayaan. Seketika, seisi meja berdiri. Tania dan teman-temannya menyambut Rafael dengan senyum canggung dan ucapan terbata. “Silakan duduk, Pak.” Rachel mempersilakan Rafael. Tania tidak bisa menolak saat Rachel memberikan kursi kosong tepat di sampingnya untuk Rafael. “Divisi kita mendapat kehormatan karena Pak Rafael ikut bergabung.” Rachel memberikan senyum lebar. Saat ini, Rachel menjadi satu-satunya orang yang tersenyum lebar di meja mereka. Rachel mempersilakan Rafael untuk mengucapkan beberapa patah kata sebagai pembuka. Namun, Rafael hanya mengangguk singkat. “Saya hanya mampir sebentar, karena saya sangat sibuk.” Tania mengernyit tak bersuara. Hanya hatinya yang mencela. ‘Kalau sibuk kenapa ikutan?!’ Protesnya dalam hati. “Terima kasih karena sudah menyempatkan diri, Pak Direktur.” Rachel berucap manis. “Saya dan juga staff saya, Tania, sangat berterima kasih.” Lalu, tangan Rachel mendorong kotak kue dan sebuah paper bag besar yang sebelum ini dia bawa. “Selamat, Tania. Kami berharap kamu bisa terus berkontribusi dalam Grand Velora.” Terdengar tepuk tangan riuh. Tania pun mengucapkan terima kasih. Saat kue dipotong untuk dibagikan, Tania jadi bingung harus memberikan potongan pertama pada siapa. Secara hierarki, harusnya Tania memberikannya pada Rafael lebih dulu. Namun, dia begitu enggan melakukannya. “Pak Direktur,” panggilan sopan itu membuat seisi meja menoleh. “Saya tidak menyangka Pak Direktur juga datang ke restoran ini.” Tania menahan napas. Di depannya ada sosok Romi, juga Marcella. Keduanya menyapa Rafael, bahkan ada Gilang di belakang mereka. Tatapan Tania seketika tertuju pada Gilang. Cowok itu–mantan kekasihnya, berpura-pura tidak melihatnya. Seolah mereka tidak pernah menjalin hubungan. Seperti orang yang bahkan tidak saling mengenal. “Apa Pak Direktur juga sedang merayakan pengangkatan pegawai baru?” Tanya Romi, ramah. Saat itu, Rafael tidak langsung menjawab. Ia melirik Tania sesaat sebelum menghela singkat. “Apa ada yang ingin Pak Romi tanyakan sampai menghampiri saya di luar jam kerja seperti ini?” Romi terhenyak sesaat. Raut wajahnya berubah penuh penyesalan. “Maaf, kami sudah mengganggu waktu Bapak.” Tangan Romi menarik lengan istrinya untuk berpamitan. Pasangan itu undur diri, meninggalkan Gilang yang tampak terlalu bodoh karena tidak menyadari ketegangan yang terjadi. “Maaf, Pak Direktur, apa Bapak mau bergabung dengan perayaan di meja saya juga? Saya adalah Manajer Front Office yang baru,” ucap Gilang tanpa tahu malu. Semua orang yang ada di meja Tania menahan napas. Mereka tahu lirikan tajam Rafael untuk Gilang. Namun, Gilang begitu tidak peka sampai terus saja bicara. “Saya akan siapkan kursi khusus untuk Pak Direktur. Pak Romi dan Bu Marcella juga–” “Bu Rachel,” ucap Rafael seraya beranjak dari kursinya. Dia mengabaikan Gilang sempurna, seolah Gilang tak terlihat di depannya. “Saya ucapkan selamat untuk staff baru di divisi Anda.” Rachel ikut berdiri, mengucapkan terima kasih dan mengantar Rafael yang berpamitan. Di saat yang sama, Gilang tanpa putus asa terus mengejar Rafael, membuat semua orang melihatnya muak. “Mantanmu benar-benar seorang penjilat!” Ucapan ketus Keisha mendapat sebuah tepukan teguran dari Lia. “Jaga bicaramu,” bisik Lia pelan. Ia menunjuk Tania yang sekarang masih sibuk menatap Gilang tak percaya. Tania jelas mendengar apa yang Keisha katakan. Ia pun tak membantah, karena apa yang Keisha ucapkan itu benar. Seorang Gilang bukan hanya tukang selingkuh, tapi juga penjilat. Tania merasa jijik, juga bodoh karena baru menyadarinya sekarang. “Maaf, untuk gangguan singkatnya. Ayo kita lanjutkan,” ujar Rachel saat dia kembali ke meja. Tania, Lia, dan Keisha mengangguk dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa pun. Tania melanjutkan pembagian kue. Ia bersyukur karena kali ini dia memberikan potongan pertamanya pada Rachel. Mereka bertepuk tangan lagi. Meja Tania kembali penuh dengan ucapan selamat. “Terima kasih untuk kue dan hadiahnya, Bu Rachel.” ucap Tania. Ia menepikan kue juga hadiah yang diberikan Rachel karena mereka berniat memesan makanan. Saat meletakkan paper bag pemberian Rachel di bawah kursi, Tania tak sengaja menjatuhkan isinya. Ia melihat isi paper bag itu. Kotak hadiah yang tampak tidak asing. “Ini ….”“Kami sudah memberikan kamu kesempatan!” Sonya balas menjerit. Wajahnya memerah, penuh kemarahan. Seolah Tania telah melakukan hal paling buruk padanya. Padahal, Tania hanya menjadi seorang menantu. “Kamu bisa tetap tinggal sampai anak itu lahir!” sambung Sonya. “Jangan terus menuntut dan bersikap kurang ajar!”Brak!Gelas di atas meja bergetar. Isi gelasnya tumpah. Setelahnya, terrdengar gemeletuk keras rahang yang beradu. Agus berdiri dengan sorot mata mematikan. “Yang kamu teriaki itu anakku!” balas Agus tak kalah keras. Tania langsung berdiri. Ia menepuk lembut lengan sang ayah, berusaha menenangkan. Namun, Agus menepis tangan Tania. Agus yang terlampau emosi jadi mengabaikan Tania. Tania yang kebingungan, menoleh pada sang ibu, meminta bantuan. Namun, Anggi diam tak bergerak dari tempatnya. Anggi yang sebelum ini mendukung Tania, jadi kehilangan keinginan untuk terus memberikan suaranya untuk sang putri.“Bu!” Tania menegur Anggi, membuat ibunya terpaksa bergerak. Anggi te
Tania menatap kedua orang di depannya lekat. Ia tertegun sesaat sebelum akhirnya bergeser memberikan jalan. “Siapa, Tania?” Anggi menyusul melihat ke depan pintu. Di sana, sudah berdiri Sonya, dengan Julian yang duduk di kursi roda. “Si-silakan masuk!” Sonya mendorong kursi roda Julian mengikuti langkah Tania. Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu. “Silakan duduk dulu. Saya akan ambilkan minuman.” Anggi bergerak cepat. Kakinya melangkah menuju dapur, menyiapkan teh hangat dan makanan kecil. Tania ditinggalkan di ruang tamu bersama Julian dan Sonya. Hatinya mendadak dipenuhi tanya. Apa kiranya yang Julian dan Sonya inginkan dengan datang ke rumahnya?“Ayah mertua sudah sembuh?” Tania mencoba membuka pembicaraan. Meski canggung setengah mati, ia berusaha untuk membuka mulutnya. “Saya bersyukur kesehatan Ayah mertua sudah lebih baik.”“Cih!” Julian meludah jijik.Dengan keterbatasan ekspresi juga gerakan, Julian tetap meremehkan Tania. Tatapannya sinis, bibirnya menggumam mengeje
“Enggak apa-apa, Bu.” Tania mencoba mengerti. “Nanti Tania coba bicara sama Rafael buat lebih berusaha lagi,” janji Tania. Namun, malam itu, Rafael tidak kembali. Rafael menghubungi Tania lewat handphone Dika. Takut Tania tidak percaya, Rafael berniat melakukan video call sepanjang malam. Namun, Tania menolak. Ia ingin beristirahat. “Aku yakin kamu akan menjaga dengan baik kesempatan yang aku berikan,” ucap Tania pada Rafael. Tania memberikan peringatan lembut yang membuat Rafael langsung terdiam. Rafael dengan sadar diri berjanji kalau tidak akan ada yang terjadi. Malam itu, Tania tidur nyenyak. Saat bangun di pagi hari, ia mendapati Dika mengirim banyak gambar. Itu adalah foto Rafael setiap jam. Bibir Tania mengulas senyum tipis. “Ia benar-benar ingin membuktikan.” Tania melangkah ke kamar mandi dengan hati riang. Karena sudah tidak bekerja, Tania menghabiskan harinya membantu Agus dan Anggi di kedai. Malam hari, Tania mendapat kabar jika Rafael tidak pulang lagi. Rafael te
“Kamu benar mau berhenti?” Fera langsung bertanya. “Kenapa? Apa karena Grand Velora mau bangkrut?” Tasya menyela. Wajahnya dipenuhi ketakutan.Baik Tasya maupun Fera, keduanya sama-sama cemas, sama-sama bingung. Tania yang menyadari kekhawatiran keduanya, tidak mau membuat keadaan semakin keruh. “Rafael sudah mengatasinya,” sahut Tania. Meski baru memulai, tapi Tania yakin Rafael akan menyelesaikan semuanya. Ia tidak meragukan Rafael sama sekali. “Benarkah?” Fera bertanya heran. Dahinya berkerut dalam. “Pak Rafael akan tetap di Grand Velora? Aku kira Pak Rafael juga sudah mengundurkan diri.” Rupanya Fera juga mendengar desas-desus itu. Tania tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam sembari memikirkan kalimat yang tepat. Rafael memang ingin berhenti, tapi bantuannya di Grand Velora saat ini, seolah mengaburkan keputusan itu. Tania pun tidak mau memberi harapan palsu pada Fera dan Tasya. Namun, ia juga tidak bisa menampik kenyataan. “Grand Velora pasti akan kembali seper
“Pak Rafael memanggil saya?” Nico ditarik kembali ke Grand Velora. Tania bahkan melihat Rachel yang datang bersama Nico. Sepertinya Rafael memang sengaja meminta keduanya kembali. “Untuk sementara, kamu yang menggantikan posisi saya sebagai direktur–”Nico mengangkat tangan menyela. Wajahnya terlihat gugup, juga ragu. Tiba-tiba saja dia dipanggil ke Grand Velora secara mendadak. Belum sempat Nico menebak apa yang terjadi, ia sudah dihadapkan dengan perintah seperti ini. Bahkan dalam mimpi saja, Nico tidak berani memimpikan posisi direktur.“Maaf, Pak Rafael. Saya pikir ini terlalu terburu-buru.” Nico mencoba meminta Rafael berpikir ulang. Tentu saja Nico sudah mengetahui keadaan Grand Velora. Belum lama ini, ia bahkan sudah membahasnya dengan Rachel. Sebagai orang yang pernah berada di Grand Velora sebelumnya, tentu saja ia peduli. Grand Velora, juga Grandee Hotel Group yang sedang berada di ujung tanduk. Tak ada satu pegawai pun yang tidak mendengar desas-desus itu. “Saya yakin
“Kenapa kamu di sini?” Rafael menghela. Kedatangan Dika membuat suasana menjadi semakin canggung. Tania mulai menyesali keputusannya untuk mengajak Rafael. Rafael yang berusaha menghindar dari semua hal yang berhubungan dengan keluarga Dharmawan, jadi malah bertemu kembali dengan mantan asistennya. Jelas bukan reuni yang diharapkan oleh Rafael. “Saya masih bekerja di sini, Pak Rafael,” jawab Dika. “Saya berusaha meski sangat berat. Saya tidak bisa terus mengisi posisi kosong Pak Rafael,” sambung Dika. Suara Dika terdengar bergetar. Pria itu sedang menatap penuh harap pada Rafael sekarang. Rafael tegas menggeleng. “Aku tidak akan kembali.” Terdengar tarikan napas kaget. Seisi lobi seakan terkejut. Keadaan semakin tegang dengan suara berbisik di sana-sini. Tania menggigit bibirnya erat. Sekarang, ia sudah melakukan dua kesalahan. Pertama, membawa Rafael bersamanya. Kedua, membuat Rafael menjadi pusat perhatian. “Itu saja yang ingin saya sampaikan, Bu Manajer!” Tania senga