Pemeriksaan ke dokter kandungan hari ini juga tidak mengubah keputusan Raina.
Di kehamilannya yang telah memasuki 30 minggu, berat badan janinnya dikatakan kurang dari cukup. Tekanan darah dan kadar darah wanita itu juga kurang.Wajar saja karena saat ini janinnya seperti mengalah untuk bertumbuh.Raina diberikan banyak sekali obat-obatan untuk mengoreksi keadaan dirinya dan juga bayi yang sedang dikandungnya.Keputusan Amar juga tak berubah.Ia ingin Raina dan calon anaknya selamat. Ia kembali mengajak Raina untuk berkonsultasi ke rumah sakit pusat mengenai keadaannya.Apalagi dari dokter spesialis sebelumnya mengatakan bahwa Raina bisa disembuhkan tanpa operasi pembedahan. Walau tentunya harus merogoh koceknya lebih dalam."Jika kamu butuh bantuan, mama dan papa bisa membantu nak.." kata Erina.Erina tahu betul kondisi keuangan Amar. Anak sulungnya itu sampai harus menjual rumahnya untuk meRaina meletakan satu nampan berisi dua porsi nasi dan ayam goreng lengkap dengan cola dan kentang goreng. Tak lupa eskrim coklat dengan taburan kacang sebagai makanan penutup untuk Sierra."Ma.." "Ya, sayang?"Sierra terlihat ragu. Perlukah dia mengatakan apa yang ia lihat tadi."Ada apa?" Tanya Raina tahu jika anaknya ingin mengatakan sesuatu."Nggak apa-apa." Jawab Sierra. Remaja ini mengambil makanannya. "Cuma sedih karena mbak Amara gak ikut kita makan siang disini."Mendengar itu Raina jadi tersenyum. "Mbakmu lagi sibuk persiapan olimpiade, sayang. Jangan kecil hati."Sierra hanya mengangguk.Raina mengambil ponselnya. Dia jadi ingat tentang Amara yang tak jadi ia jemput. Raina menelpon Amara. Pada panggilan kedua barulah terdengar suara di sebrang sana."Sudah dimana? Sudah sampai rumah?" Tanya Raina langsung. Dia tahu karena Amara tadi bilang pulang dengan ojek online."Lagi di jalan, ma."Terdengar suara bising juga klakson."Hati-hati, sayang.. sampai ketemu di rumah.""Iy
Amara terkejut. Dua lelaki dewasa memanggilnya. Galih berdiri di gerbang sekolah dengan senyum manisnya serta Amar yang mengejar dari belakang dengan muka masamnya.Seketika Amara membeku, dia takut. Bagaimana jika Amar benar-benar ingin bertemu dengan Galih. Walau dia merasa tak melakukan kesalahan, entah kenapa ada rasa tidak suka jika ayahnya itu bertatap muka dengan guru idamannya.Dering ponsel berbunyi. Amar menghentikan langkah dan mengambil ponsel yang ada di sakunya.Raina menelpon."Ya, sayang?" Amar masih memandang putrinya yang berdiri disana.Pas sekali bel sekolah berbunyi. Amara langsung berlari masuk ke gerbang sekolah sebelum ditutup. Galih sendiri sudah masuk terlebih dahulu."Aku akan kesana." Amar mematikan ponsel dengan mata yang tetap awas memperhatikan Amara lebih jauh. Anak sulungnya tampak berlarian masuk ke area sekolah."Lain kali saja." Amar menghela nafas.Niatnya tadi ingin menegur sikap Amara yang keterlaluan. Sekalian ingin bertemu dengan guru yang ber
Satu minggu berlalu, hubungan Amara dan Galih semakin dekat. Tiada hari tanpa bertemu. Setelah jam pelajaran usai, maka waktu menjadi milik mereka.Amara juga selalu mencari cara agar bisa menarik perhatian pak guru yang tampan itu. Seperti bertanya mengenai soal yang rumit dan sulit dipecahkan atau masalah yang lain. Karena semangat belajar, Amara jadi lebih berani memoles pewarna bibir di bibirnya yang merekah. Sungguh Amara kini tengah menikmati gemuruh perasaan di hatinya yang berbunga.Walau dia tahu ini salah karena menyukai gurunya sendiri. Tapi ia tak perduli. Toh, ini hanya sekedar perasaan suka saja. Tidak lebih. Amara cukup tahu diri.Satu minggu terlewati, begitu juga dengan Sierra yang tengah gugup karena akan melewati hari besarnya. Dua hari lagi dia akan lomba tilawah tingkat kota. Seluruh persiapan sudah dia lakukan. Menyiapkan stamina yang cukup agar tampil fit saat lomba nanti. Dia juga mampu menciptakan variasi nada untuk bisa memenangkan lomba ini."Tapi, hari min
FlashbackPetir menggelegar merendakan sore ini. Langit yang berubah menjadi gelap pertanda akan meluapkan hujan yang lebat.Mbok Darti menutup seluruh pintu dan jendela."Kayaknya mau hujan lebat, mbak.." serunya dari luar.Raina menatap arah luar sebelum pintu ditutup rapat. "Gelap banget, mbok.." Raina tiba-tiba merasa cemas. Suaminya belum pulang. Hari sudah pukul 4 sore tapi langit sudah gelap. Cuaca begitu mencekam.Untunglah 10 menit kemudian Amar pulang ke rumah di tengah langit yang bergemuruh.Tak lama, hujan lebat mengguyur membasahi bumi. Menyebabkan luapan banjir di dataran yang rendah.Sudah dua jam hujan tidak berhenti. Hingga akhirnya suara dentuman yang besar terdengar membuat Raina terpekik sambil menutupi telinganya.Lampu menjadi padam."Mbok Darti.." panggil Raina. Dia sedang seorang diri di dapur ingin menyiapkan makan malam. Amar berlari memeluk istri
Sierra menoleh ketika pintu diketuk. Ternyata Raina yang sudah berdiri di depan pintu yang tidak tertutup rapat."Boleh masuk, sayang?" Tanya Raina lembut.Sierra tersenyum. "Boleh, ma." Sierra menutup buku yang sedang ia baca di meja belajarnya dan menatap ibunya yang baru saja masuk.Raina sangat suka kamar Sierra. Kamarnya tidak lebih luas dari kamar Amara. Mungkin hanya setengahnya. Tapi, Sierra sangat pintar menata kamarnya. Begitu rapi dan bersih.Tempat tidur berukuran satu orang berada di sudut ruangan. Lemari pakaian terletak di sebrangnya dengan meja belajar. Buku juga tertata rapi dengan rak gantung yang ada di dinding.Tak banya barang di ruangan ini hingga membuat ruangan ini terkesan luas."Sedang belajar?""Iya, ma." Jawab Sierra ikut tersenyum."Jangan pernah merasa kecil hati, sayang. Papa dan mama tidak pernah membedakanmu.." ucap Raina lembut."Sierra gak
"Amara Putri Wijaya."Suara itu dengan lantang berkumandang di penjuru sekolah. Semua orang berkumpul menyaksikan pemenang dari pemilihan Putri Sekolah tahun ini.Tak hanya mengandalkan kecantikan fisik, tapi juga kecerdasan dan tata krama kesopanan.Amara naik ke panggung setelah namanya disembut. Tampil dengan senyum menawan menghampiri kepala sekolah yang sudah siap membawa selempang.Selempang itu dikalungkan pada tubuh Amara. Begitu juga mahkota kecil yang tersemat di atas kepala yang terlapis hijab putih itu.Amara Putri Wijaya. Siswi tingkat 2 menengah atas telah berhasil mengukuhkan dirinya sebagai Putri Sekolah. Sebuah gelar yang didambakan oleh para siswi yang bersekolah di sekolah elit disana."Selamat Amara.." Amara tersenyum. Riuh penonton yang terdiri dari para siswa dan juga memberikan tepukan padanya."Dreams come true ya, Mar." Anita menempel pada Amara ketika gadis itu suda